Seandainya Kita

By Akirara03

5K 756 105

Hanzel Adisty adalah perempuan paling nekat yang rela menggadaikan rasa malunya. Meninggalkan kota kelahiran... More

AN
2- Menunggu Ketidakpastian
Cast
1- Tujuan Hidup Hanzel
3- Saling Berlawanan
4- Harapan yang Terus Tumbuh
5-Tak Diinginkan
6- Harapan dalam Kesempatan
7- Mengambil Hati
9- Perempuan Gila
10- Kencan Versi Gamma
11- Make a Wish
12- Ketakutan yang Semakin Menjadi
13- Luka Paling Sakit
14- Berakhirnya Kesempatan
15- Elegi Hanzel
16- Kehidupan Baru
17- Bertemu Calon Mertua
18- Ternyata Luka itu Belum Sembuh
Open PO
19- Perasaan dari Masa Lalu
20- Bahagia Versi Hanzel
21- Lelaki untuk Masa Depan
22- Rindu yang Salah
23- Sesuatu yang Aneh
24- Sebuah Kenyataan
25- Menikmati Kesakitan
26- Tolong Bertahan!

8- Peristiwa Mengerikan

172 36 0
By Akirara03

Hanzel menahan napas, tangannya sudah berkeringat. Rasa takut menjalarinya saat bau alkohol dari seseorang di sebelahnya tercium, begitu menyengat hingga membuatnya mual.

Sejak tadi, lelaki berusia 30-an itu terus bergeser ke arahnya, padahal kursi dalam angkot masih luas karena hanya ada mereka berdua di dalam kendaraan.

"Cantik! Ikut Abang pulang, yuk!"

Gadis dengan make up yang masih menghiasi wajahnya itu menoleh takut lalu kembali menggeser posisi duduknya sampai mentok ke badan mobil bagian belakang. Ia merutuk, menyesali tindakan menghindarnya dari Abra dan terpaksa menaiki angkot dengan buru-buru. Awalnya hanya ada dirinya sebagai penumpang, tapi lelaki di sampingnya kemudian naik dari pertigaan dan langsung bersikap kurang ajar.

"Turun di mana, Cantik?"

Hanzel berjengkit merasakan colekan di lengannya yang tertutup kardigan hitam. Terang saja ia bertambah takut karena lelaki hidung belang di sampingnya semakin mepet.

"M-mas, bisa geser nggak?" cicit Hanzel lalu menunjuk ke belakang lelaki itu. "Kursinya masih luas."

Ucapannya diabaikan. Jelas saja, lelaki di sebelahnya berada di bawah pengaruh alkohol. Seharusnya supir angkot tidak membiarkan orang mabuk menaiki kendaraannya.

Sekuat tenaga Hanzel menahan tubuh lelaki itu dengan lengannya. Haruskah ia turun sekarang? 

"Wow, seksi!"

Hanzel refleks menutupi rok yang tersingkap dengan tas. Dengan tangan bergetar Hanzel mengambil ponsel dari saku jaket. Mencari kontak Gamma dan berusaha meneleponnya. Namun, lelaki itu tak mengangkat sampai panggilan ke lima.

Tak kehabisan akal, ia mengirimi Gamma pesan. Hanzel bahkan sudah tidak bisa mengetik dengan benar saking takutnya. Hanzel menatap supir angkot yang hanya diam, padahal ia yakin lelaki paruh baya itu melihat apa yang terjadi padanya.

Mata gadis itu membeliak merasakan sesuatu mendarat di pahanya dan terus naik. Untuk sesaat Hanzel membatu. Jantungnya berdegup sangat keras hingga membuatnya kesulitan bernapas. Hanzel berusaha mengangkat tangannya karena tubuhnya tiba-tiba sulit sekali digerakan. Mulutnya bahkan terasa kaku untuk sekedar berteriak. Wajah lelaki itu mendekat dengan cepat, Hanzel mencoba menghindar, tapi sayang, bibir hitam tersebut mengenai wajahnya.

Mata Hanzel membeliak. Mengumpulkan seluruh nyawanya, ia mendorong sekuat tenaga hingga tubuh lelaki itu membentur badan mobil.

"Brengsek!" pekiknya, "berhenti, Pak! Berhenti!"

Namun, mobil masih terus melaju, padahal Hanzel sudah berteriak dengan sangat keras. "Berhenti, sialan!"

Umpatan keluar dari bibirnya sebelum kemudian tubuhnya hampir tersungkur karena mobil yang direm mendadak.

Melihat lelaki tadi hendak bangkit, Hanzel mengangkat kaki untuk menendang perutnya keras hingga terdengar benturan, tubuhnya yang tidak seimbang kembali terkapar.

Dengan terhuyung, Hanzel melompat lalu menatap ke arah supir angkot dengan amarah penuh. "Bapak tuli? Nggak punya anak perempuan, hah?"

"Sialan!" umpatnya dengan suara bergetar. Ada keterkejutan di wajah lelaki seumuran ayahnya. Namun, Hanzel tidak peduli karena ia sangat benci dengan lelaki tak memiliki hati nurani itu.

Tak ada jawaban, sang supir malah kembali melajukan kendaraannya, berbeda dengan Hanzel, tubuhnya langsung luruh lalu tangisnya pecah begitu saja.

Apakah penampilannya terlihat semurahan itu? Padahal Hanzel hanya pulang bekerja dan tidak bermaksud menggoda siapapun. Beberapa rekannya yang lain juga mengenakan rok seperti dirinya, bahkan ada yang lebih pendek, tapi kenapa harus Hanzel yang mengalami hal seperti ini?

Derap langkah terdengar mendekat disusul dengan suara gaduh di sekitarnya.

"Mbak ada apa?"

Hanzel berjengkit saat seseorang menyentuh bahunya. Rasa takut kembali menyergap hingga tangisnya semakin kencang. Ia tidak tahu ada berapa orang yang mengelilinginya karena Hanzel menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Mbak kenapa? Orang di angkot tadi jahatin Mbak?"

"Dia apain, Mbaknya?"

"Mbak ndak apa-apa?"

"Ayo duduk dulu di warung saya, Mbak!"

Suara orang-orang saling bersahutan. Mereka mencoba menenangkan, tapi tubuhnya refleks menolak dan terus menghindar, takut hal tadi terjadi lagi.

Suara ponselnya terdengar, tapi Hanzel tidak tahu letak benda pipih tersebut. Ia juga tidak ingat di mana tasnya berada. Apakah Hanzel membawanya turun dari angkot atau tidak.

Dipikirannya saat ini hanyalah dirinya yang ingin pulang.
***

Suara seseorang yang tengah mengetik memenuhi sebuah kamar berbentuk persegi. Keadaan di luar sudah cukup sepi, hanya sesekali bising kendaraan terdengar. Gamma melirik ke arah benda pipih yang terletak di sebelah laptop berukuran 14 inci. Hampir dua puluh menit lalu beberapa panggilan masuk secara beruntun dari orang yang sama. Namun, sengaja ia abaikan karena tanggung dengan pekerjaannya.

Hanzel biasanya menelepon karena beralasan insomnianya kambuh. Ujungnya gadis itu akan terus mengajak bicara dan pekerjaan Gamma akhirnya tidak selesai tepat waktu.

Lelaki itu menghentikan pergerakan tangannya. Tiba-tiba merasa penasaran dengan pesan yang sejak tadi ikut ia abaikan. Gamma mengambil ponselnya membuka chat dari Hanzel yang membuatnya berubah khawatir.

Hanzel: Ga bisa jrmput? Aku takut
Hanzel: ada orang mabuk di angkpt
Hanzel: Dia godsin akutetus
Hanzel: Ga
Hanzel: Pppll

Setengah jam lalu.

Gamma langsung menelepon gadis itu. Jantungnya berdetak tak karuan selepas membaca pesan Hanzel. Ia berjalan ke sana kemari, menunggu dengan tak sabar sang pemilik menerima panggilan masuk darinya.

Tidak terjadi sesuatu yang buruk, kan?

"Azel-"

"Halo?"

Langkahnya terhenti. Ia mencoba menerka siapa yang sedang berbicara dengannya. Itu bukan suara Hanzel. Namun, dapat ia dengan keributan di seberang sana disertai suara tangisan.

"Zel? Kamu-"

"Mas? Mas maaf ini pemilik ponselnya nggak bisa diajak bicara. Masnya bisa datang ke sini?"

Ada apa?

Pertanyaan tersebut langsung menyerbunya. "Ada apa, Bu?" tanya Gamma cepat setelah yakin yang mengajaknya bicara adalah wanita paruh baya. "Temen saya nggak-"

"Mbaknya nangis terus, Mas tolong langsung datang aja ke jalan Aruji seberang Garmen ya, Mas."

Entah siapa yang mematikan telepon lebih dulu karena Gamma sudah tidak ingat apapun selain kunci mobilnya. Ia menutup pintu sembarang hingga terdengar bedebum keras. Naya yang berada di kamar sebelah langsung berlari ke luar.

"Ada apa, Kak?" tanyanya, tapi Gamma mengabaikannya dan berjalan cepat menuruni tangga. Naya ikut turun untuk mengejar. "Kak Gamma ada apa?" Tentu saja Naya menjadi ikut khawatir melihat raut muka sang kakak yang tampak sangat cemas.

"Kenapa ribut-ribut? Ada apa?" Kedua orangtuanya ikut keluar dari kamar. Gamma tak menjawab malah terus berjalan keluar rumah.

"Kakak kamu kenapa, Ya?" tanya Rami yang dibalas gelengan. Ketiganya ikut mengejar. Gamma sudah berada di dalam mobil dan bersiap melajukan kendaraan beroda empatnya.

"Ga!" Dion hendak menghampiri ketika putra sulungnya mobil sudah melaju cepat.

"Susul aja, Pah!" teriak Rami. Segera Dion memasuki rumah untuk mengambil kunci. Lelaki paruh baya itu berusaha mengejar, tapi kehilangan jejak.

Gamma tidak tahu secepat apa dirinya membawa mobil karena yang ada dipikirannya saat ini hanyalah keadaan Hanzel. Berkali-kali ia merutuki kebodohannya karena melupakan jadwal kerja gadis itu.

Beberapa meter darinya, Gamma melihat kerumunan. Menghentikan lajunya, ia segera melompat turun. Mendekat ke arah orang-orang yang seketika mengalihkan pandangan padanya, kecuali satu orang yang tengah menangis sembari menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya.

"Mas yang tadi di telepon?" tanya wanita berusia 40-an. Gamma mengangguk.

"Dia kenapa, Bu?" Gamma dapat melihat wajah cemas orang-orang.

"Saya juga kurang tau, Mas. Mbaknya turun dari angkot langsung teriak-teriak terus nangis. Kita coba nenangin, tapi Mbaknya malah nangis makin keras dan ketakutan."

Gamma mengalihkan tatapan pada Hanzel yang masih berada di tempatnya. Ia berusaha untuk tak langsung mendekat, memilih mendengarkan penjelasan wanita di depannya.

"Sepertinya Mbaknya menjadi korban pelecehan, Mas," ucap pemuda berusia awal 20-an. "Akhir-akhir ini memang lagi marak kejadian."

Gamma melebarkan matanya lalu berjalan ke arah Hanzel dan berjongkok. Ia menyentuh bahu gadis itu yang langsung berjengkit dan berusaha menjauh.

"Zel?" panggilnya. Namun, Hanzel tak mendengar karena tangisnya yang semakin keras. "Azel?"

Tak ada respon. Gamma menjadikan kedua lututnya sebagai tumpuan lalu mengangkat kedua tangan untuk menarik Hanzel ke pelukan. Sempat ada pemberontakan. Hanzel berusaha mendorongnya.

"Ini aku, Zel. Gamma," bisiknya tepat di telinga gadis itu yang tampak membeku.

"Ada aku. Kamu aman sekarang, Zel," tambah Gamma.

Setelah itu, tangisan Hanzel kembali pecah. Bukan sejenis tangis ketakutan melainkan kelegaan yang luar biasa. Hanzel beralih memeluknya erat, menumpahkan perasaan kacaunya karena kejadian mengerikan tadi.

"Kita pulang, ya?" ajaknya lembut. Tersisa isakan yang keluar dari bibir gadis dipelukannya. Gamma mendongak ke arah orang di depannya. "Mas maaf, bisa tolong bantu bawakan barang-barang dia ke mobil?"

Mendapat anggukan, Gamma beralih pada gadis itu lagi. Ia mengurai pelukan dan menyentuh sisi wajah Hanzel yang menunduk dalam.

"Hei! Udah, kamu aman sekarang," ucapnya menghapus sisa air mata di pipi Hanzel. Lelaki itu kemudian menariknya untuk berdiri dan menuntun menuju mobil.

Gamma sempat mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang sudah membantu menjaga Hanzel.

"Lain kali jemput aja pacarnya Mas kalau pulang kerja."

"Iya, Mas. Malam-malam begini rawan. Udah banyak kejadian."

"Minggu kemarin juga ada yang kayak Mbaknya, tapi sayang malang banget nasibnya. Dia ditemukan udah nggak bernyawa, pelakunya juga belum ketemu sampai sekarang."

Mengangguk kaku, Gamma pada akhirnya pamit. Kendaraan melaju pelan. Ia melirik ke arah Hanzel yang menyandarkan badannya, isakan masih sesekali terdengar. Air matanya jatuh lagi dan gadis itu segera menghapusnya sendiri. Hanzel tampak tak bisa menahan tangisnya walau sudah berusaha.

Gamma mengambil jemari gadis itu dengan tangannya yang bebas. Ia genggam erat tangan tersebut, berharap dapat memberi ketenangan pada Hanzel walaupun sebenarnya hati Gamma sendiri tidak bisa tenang, menerka apa yang sudah terjadi pada gadis di sebelahnya.

Hanzel yang tadinya memilih menatap ke arah luar jendela menoleh. Jemarinya yang semula dingin berubah menghangat, masuk hingga aliran darahnya. Dapat ia lihat lelaki itu yang tersenyum tipis. Hal tersebut seketika membuat hatinya merasa tenang.

Mengingat keadaan Hanzel, Gamma memutuskan membawa gadis itu ke rumahnya. Ia baru saja memarkirkan mobil ketika kedua perempuan yang disayanginya langsung keluar rumah. Sikapnya tadi pasti membuat keluarganya khawatir.

"Kenapa ke sini?" tanya Hanzel dengan suara seraknya.

Gamma tidak menjawab malah turun dan memutari mobil untuk membukakan pintu.

"Azel kenapa?" tanya Rami melihat keadaan menyedihkan gadis itu.

"Nanti aku ceritain." Gamma beralih pada adiknya. "Yaya anter Azel ke kamar. Pinjemin baju kamu juga."

Gadis berusia awal 20-an itu mengangguk lalu menuntun Hanzel yang masih tidak bersuara memasuki rumah.

"Mama telepon papa kamu dulu. Tadi dia nyusulin kamu karena khawatir."

Ucapan sang mama membuatnya meringis. Gamma benar-benar tidak sadar bahwa sikapnya berlebihan. Dipikirannya tadi hanya Hanzel dan Hanzel.

"Setelah ini, kasih tau mama apa yang terjadi."

Lelaki itu mengangguk. "Iya, Ma. Aku masukin mobil dulu ke garasi."
***

Hanzel sudah mengganti pakaiannya dengan kaos milik Naya. Setelah membersihkan diri, ia tidak langsung keluar kamar mandi, melainkan hanya diam di depan wastafel.

Gadis itu menatap bayangannya dalam cermin. Kejadian tadi terekam di benaknya dan terus berputar tanpa ia inginkan. Hal tersebut membuatnya terus mengeluarkan air mata. Hanzel merasa jijik pada dirinya sendiri, terutama bagian tubuh yang sempat disentuh lelaki itu.

Ia terisak lalu menggosok pipinya, beralih pada paha dan lengannya. Terus mengulangi hal sama secara bergiliran.

Bibir dengan aroma alkohol itu masih sangat terasa di wajahnya dan Hanzel merasa tidak tahan mengingat hal tersebut. Ia mengambil sabun milik Naya, berusaha membersihkan tempat yang menurutnya kotor itu. Berkali-kali sampai pipinya memerah.

Panggilan Naya terdengar samar, terendam suara air keran. Sengaja, ia tidak mau gadis itu tahu bahwa dirinya sedang menangis.

Kenapa harus seperti ini?

"Kak Zel?"

"Kak?"

"Kakak nggak apa-apa?"

Pintu diketuk lebih keras. Hanzel sadar ini bukan rumahnya dan ia tidak boleh mengacau. Pada akhirnya ia berusaha menghentikan tangisnya lalu mematikan kran.

"Buka pintunya, Zel!"

"Hanzel!"

Giliran suara Gamma yang terdengar.

Hanzel berjalan dengan terpincang. Ia baru merasakan sakit di kakinya, entah sebab pemberontakan tadi atau karena dirinya refleks melompat dari angkot yang sebenarnya sudah berhenti.

Membuka pintu, didapati sepasang kakak beradik tengah menatapnya khawatir.

"Are you okay?" tanya Gamma menyentuh kedua bahunya.

"Aku ... mau pulang," cicitnya dengan mata yang kembali berkaca-kaca. Hanzel hanya butuh tempat sepi untuk menangis dengan nyaman tanpa merasa mengganggu orang lain. "Anter aku pulang, Ga!"

Gamma yang sempat tertegun menoleh pada adiknya. Naya mengangguk lalu berbalik ke luar kamar, memberikan waktu bagi keduanya.

Lelaki itu menuntun Hanzel untuk duduk di pinggir tempat tidur milik sang adik. Melihat pipi kiri gadis di sebelahnya yang menyisakan bekas merah, ia membeliak.

"Kamu ditampar?"

Hanzel menggeleng.

"Terus ini-"

Isakan gadis itu menghentikan ucapannya. Gamma berusaha berpikir keras untuk memahami perasaan Hanzel dan menerka perlakuan apa yang diterimanya.

"Benar orang itu ... lecehnin kamu?" tanya Gamma hati-hati.

Tanpa menghentikan tangis, Hanzel mengangguk. Sesuatu dalam dada Gamma membara seketika.

"Dia ..." Lelaki itu marah, tapi berusaha bertanya dengan pelan-pelan karena tak mau membuat Hanzel merasa tertekan. "Di mana?" tanyanya tercekat.

Mana mungkin Hanzel mengatakan sejujurnya? Ia merasa malu dan takut Gamma akan jijik. Gadis itu menunduk lalu menggeleng.

"Zel? Hei!" Gamma mengangkat dagu Hanzel agar mau menatapnya. "Nggak apa-apa, bilang aja."

Tersedu, Hanzel berbicara, "Na-nanti kamu ... kamu pasti-"

"Nggak!" potongnya mencoba menghilangkan kegusaran gadis itu. "Nggak akan."

Benarkan? Hanzel meremas kedua tangannya kemudian memberanikan diri menatap Gamma yang melemparkan tatapan teduh.

"D-dia ... dia ..." Hanzel menggigit bibirnya. Rasanya sangat sulit mengatakan apa yang dialaminya. "Dia ... raba pa-" Gadis itu memejamkan matanya sejenak, merasa malu. "Atas lutut, ke atasnya lagi," lanjutnya sangat pelan.

Gamma paham kata atas lutut yang dimaksud. Bagi gadis itu, menyebutkan 'bagian' yang sebenarnya terlalu vulgar.

Sialan! Gamma merasa marah pada laki-laki itu, tapi ia lebih murka pada dirinya sendiri karena membiarkan lelaki bajingan itu berusaha melecehkan Hanzel, bahkan ia dengan sengaja mengabaikan panggilan masuk ke ponselnya.

"Selain itu, apa lagi yang dia sentuh?"

Hanzel menunjuk lengan sebelah kirinya tanpa bersuara.

"Ada lagi?" tanya Gamma.

Gadis itu menggeleng lalu menunduk lagi. Gamma dapat membaca gerak-gerik Hanzel yang berusaha menghindari tatapannya. Mengembuskan napas berat, ia mencoba bersabar mengingat gadis di sebelahnya masih cukup terkejut.

Tatapannya tertuju pada wajah Hanzel.

"Ini juga?" tunjuk Gamma hendak menyentuhnya, tapi Hanzel refleks menepis lalu menggosok bagian tersebut dengan tangannya secara berulang.

Gamma segera menahan lengan gadis itu. "Hei! Nanti sakit."

Bibirnya bergetar. Matanya kembali memanas. "Dia berusaha cium aku, Ga." Hanzel ingat saat bagaimana wajah menyeramkan lelaki itu dekat sekali dengannya, mencoba mencium paksa. "Aku berontak dan-"

"Kena pipi kamu?" tebak Gamma.

Anggukan Hanzel berikan.

Sekarang Gamma tahu, Hanzel berusaha menghilangkan bekas bibir lelaki bajingan itu dengan cara yang bisa melukai wajahnya sendiri.

"Jangan digosok lagi," ujarnya mengusap pipi Hanzel yang basah karena air mata. "Wajah kamu nanti rusak."

Isakan kembali terdengar.

"Ta-tapi keinget terus! Aku-"

Mata Hanzel membeliak. Kalimat di bibirnya kembali tertelan saat merasakan sesuatu yang hangat dan basah menempel di pipinya.

Perasaannya yang kacau bertambah tak karuan. Pikirannya kosong seketika. Hanzel hanya bisa terduduk kaku bertepatan dengan jantungnya yang berpacu cepat.

Gamma menjauhkan wajahnya lalu menatap tepat ke mata gadis itu. "Udah aku hapus. Sekarang kamu cuma harus ingat, laki-laki yang kamu cintai yang pernah cium kamu."

Halo!
Mana nih yang nungguin Azel sama Gamma?
Gimana makin seru nggak sama kisah mereka yang kadang bikin gemes kadang bikin sebel? Hehe

Buat yang nggak sabar nunggu part selanjutnya, yuk mampir di Karyakarsa, udah up sampe part 11, lho!

Nggak usah khawatir, harganya Murmer banget, kok.















































Continue Reading

You'll Also Like

291 87 25
Lori yang disebut-sebut sebagai tuan putri Newman Scott Private School karena kecantikannya, kini terjerat kasus narkoba. Meski tes urine telah membu...
15.4K 1.2K 19
Mencoba meredam rasa sekian lama, lalu ketika mencoba membuka ternyata tak ada lagi celah untuk menjadi bagian dari rasa itu. Belum lagi mengikhlaska...
Semicolons By Aku Mati

General Fiction

12.3K 2.6K 28
deskripsi kapan-kapan di tulis. Yang mau baca, silakan...
1.6M 79.2K 53
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...