Hak Asasi Money 21+ [On Going]

By barageni

31.7K 289 11

*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON... More

DISCLAIMER
INTRO
PROLOG
PERTEMUAN
Salam Olahraga
Hai, Princess
Dimulai!
Netek
Istanbul
Panas
Ronde Kedua
Siapa Ratu?
Ratu Geni
Para Singa Betina
Kejutan
Fakta
Misi Baru
Rumah Bordil Darmo
Duel Dua Kstaria
Sang Idol
Tawaran
Ingon-Ingon
Resmi
Darah Biru
Sang Penjagal
Keluarga
Idu Geni

TIBA

737 11 1
By barageni

***

Rantai Hitam sudah terkenal sedari lama. Khususnya masyarakat Kota Anggur. Mereka sudah tak asing dengan nama tersebut. Hanya saja, anggota inti Rantai Hitam jarang sekali tampil di permukaan. Lebih banyak para kacung yang ditugasi me-handle berbagai tugas. Tapi jangan salah, sekali para inti tampil, apalagi ketuanya, dapat dipastikan akan terjadi hal yang luar biasa. Entah kabar baik yang diterima, atau kabar buruk yang mengundang marabahaya.

Jika dianalogikan, Rantai Hitam itu seperti iblis berhati malaikat. Siapa saja boleh datang. Siapa saja boleh minta tolong. Namun, yang perlu digaris bawahi adalah: resiko ditanggung sendiri. Hingga di kemudian hari, muncul sebuah pepatah, "lebih baik gaji kecil tapi halal, daripada mencari masalah dengan Rantai Hitam". Pepatah itu benar adanya. Bukan hisapan jempol belaka apabila ada yang berani mengusik mereka, sudah jelas esok harinya akan ditemukan mayat di pinggir jalan. Mati konyol tanpa tahu siapa pembunuhnya.

Kendati demikian, hal itu tak berlaku bagi pemuda phobia kucing, Bara. Lelaki gesrek takut lapar ketimbang hidup tanpa pacar.

Sampai tibalah Bara di jalan utama bagian selatan, kompleks besar area belakang Kampus UB. Ada sebuah pemandangan yang jauh dari kata biasa. Sampah masyarakat yang dijuluki preman atau pun mahasiswa sulit dibedakan. Mereka berbaur. Membentuk kelompok-kelompok kecil di sudut-sudut jalan. Selain memutar minuman beralkohol, ada pula beberapa orang yang tengah melakukan transaksi ... entah apa itu. Tak sedikit ada yang bermain judi menggunakan media kartu Remi dan Domino. Anehnya lagi, para mahasiswa yang lalu lalang seakan menganggap hal itu biasa. Khususnya para mahasiswi. Seolah mereka tengah melenggang di taman surga. Santai sekali. Tak ada yang mengusik, menggoda, ataupun melakukan pelecehan. Sungguh lingkungan aneh untuk orang-orang suram di Kota Anggur.

Suara knalpot motor brong Bara membuat atensi jatuh kepadanya. Semua mata memandangnya tajam, siap menerkam. Segala macam aktifitas terhenti beberapa saat. Hingga seorang berbadan tinggi besar, berikut rambut gondrong sepunggung yang dibiarkan terurai, menghadangnya dari seberang jalan.

"Wajahmu kelihatan asing. Kamu bukan orang sini, ya?" sapaan tak ramah si gondrong membuat wajah Bara berubah masam. Belum bicara apa-apa, Bara sudah mendapat kesan dimusuhi. Melihat Bara yang tak kunjung buka suara, si gondrong kembali berkata, "Kamu bisu? Jawab, cok, jancok!"

"Wo, wo, wo! Santai, Om. Aku mau kuliah di situ." Bara angkat tangan, seraya menunjuk Kampus UB yang super megah.

Si gondrong memicingkan mata. "Kamu salah jalan. Sana balik. Lewat gate depan, bukan gate sini."

"Kata temenku, aku harus lewat jalan ini, Om. Aku mau nyari kostan sekalian."

"Kost?"

"Iya. Apa ya nama kostannya tadi?" Bara mengetuk-ngetuk jidatnya. Berpikir. Mengingat-ingat. Setelah ketemu, Bara menjentikkan jari. "Ah! Rantai Hitam! Di mana ya itu, Om?"

"Kamu ... siapa temen yang kamu maksud? Kamu ada kenalan orang Rantai Hatam?" si gondrong sontak ngeri sendiri saat ia menyebut nama itu. Tak apalah. Andai ada masalah, ia akan melimpahkan kepada pemuda kurang ajar di hadapannya.

"Anggap aja begitu."

Si gondrong menghela nafas berat. "Ikut aku."

Respon Bara di luar dugaan. Ia berdecak keras sambil membuka masker. "Bangsat. Aku nggak suka di perintah orang lain. Apalagi orang itu bukan wanita. Gendeng!"

"Oh? Kamu nantang aku ceritanya?"

"Apa boleh buat."

Bara turun dari atas motor. Meletakkan barang bawaan di atas jok, kemudian berdiri tegap. Badan jangkung kurus namun berotot itu terlihat menjanjikan. Namun, pantang bagi warga Kota Anggur menilai dari tampilan. Meski hati kecil memberi tanda bahaya, harga dirilah paling utama.

"Aku katakan sekarang sebelum terlambat ..." Bara menjeda, "jangan buat aku marah. Aku paling anti sama orang sok jagoan." Imbuhnya, seraya memberi ultimatum.

Merasa direndahkan, si gondrong kehabisan kesabaran. Ia lebih dahulu menghantam wajah Bara. Kena. Akan tetapi, justru tangan si gondrong yang merasa sakit, dan ... terluka. "Kamu ...?!"

Wajah Bara yang lempeng, hanya memberi tanggapan santai. Lalu, ia bertanya, "Apa aku terlihat bercanda di matamu?"

Tanpa kata, si gondrong membisu. Hanya gestur badannya yang perlahan menyingkir dari jalan. Menepi. Menghampiri teman-temannya sambil memandang Bara dengan ekspresi tak terbaca.

Kejutan di siang hari untuk warga belakang Kampus UB cukup mendebarkan. Pasalnya, salah satu pentolan Kampus UB dibuat mundur teratur setelah merasakan sendiri bagaimana perbedaan level kekuatan mereka beda satu semesta. Bukan lebay. Rasa nyeri akibat pukulan yang ia lesatkan sendiri berimbas pada getaran badan. Tegang. Ketakutan.

Di sisi lain, tatapan Bara terasa menusuk sampai ke dalam jiwa. Seolah mencabik-cabik hingga ke dasar sanubari. Tatapan seorang predator yang sama seperti ....

***

Tibalah Bara di depan mulut gang. Di papan gapura tertulis Gatama alias Gang Tanpa Nama. Ini adalah gang terakhir yang ia kunjungi dari enam gang pertama.

Sebelum masuk, Bara memarkirkan motor di depan warung kopi. Ia melenggang santai ke dalam warung yang di isi oleh tongkrongan para mahasiswa. Tanpa banyak drama, Bara menghampiri ibu pemilik warung untuk titip motor. Bara mau masuk ke dalam gang.

Si ibu warung bertanya, "Untuk apa Masnya masuk ke sana?"

"Saya mau nyari kostan, Bu."

"Memang di dalam ada kostan, tapi-"

"Nah. Sesuai dugaan. Kalau begitu, saya duluan, Bu."

"Bentar, Mas! Ja-"

Belum selesai si ibu menuntaskan kalimatnya, Bara sudah melengos pergi meninggalkan area warung. Menyisakan kebengongan para mahasiswa akan tindak tanduk Bara. Mereka hanya berdoa semoga Bara kembali ke sini dalam keadaan sehat tanpa cacat.

Sambil menyelempankan tas ransel dan sling bag pada masing-masing tangan, Bara menyusuri jalanan gang, yang dari lebarnya hanya muat dilalui dua motor.

Semakin dalam, semakin Bara merasa ketidaknyamanan. Sorot mata orang-orang yang Bara temui sama sekali tidak ramah. Di sisi lain, sepanjang kaki Bara melangkah, ia dapat mencium beberapa aroma yang tak asing lagi di hidungnya. Perpaduan antara aroma alkohol, kelamin, bubuk mesiu, asap rokok, ah ... asap ganja, mungkin. Untun sisanya, Bara tidak tahu.

Hingga tibalah Bara di bangunan paling pojok. Bangunan berbentuk kubus warna hitam. Ada tiang setinggi empat meter berhiaskan bendera logo tengkorak, berikut rantai hitam yang mengelilingi tengkorak. Dari celah-celah pagar berkarat, Bara dapat melihat dan mendengar hal yang mencengangkan. Siang-siang bolong begini, ada sepasang sejoli yang tengah bersenggama di kursi goyang teras bangunan tersebut. Begitu bergairah penuh gelora. Sungguh darah muda. Bara sampai tercengang. Bingung harus berkata apa. Sejurus, Bara memilih balik badan. Duduk bersila di depan pagar menghadap jalan. Ia membakar merokok. Menunggu persenggamaan itu selesai. Rencananya, setelah dua sejoli itu menuntaskan birahi mereka, Bara akan bertanya kepada mereka, apa benar di sini masih ada kamar kosong untuk di kontrakkan.

Seketika nama Bara menjadi buah bibir saat ia datang di depan kostan Rantai Hitam oleh warga sekitar. Orang-orang menyayangkan niat mahasiswa baru seperti Bara ini, yang sudah benar mencari kostan untuk tempat berteduh. Akan tetapi pemilihan tempatnya sangat tidak disarankan untuk manusia bernyali ayam. Saat datang pun semua orang di jalan mengingatkan jika Bara tidak disarankan masuk ke sana, lebih baik ke kostan lain.

Apalah daya. Selain Bara malas menanggapi, pantang baginya menolak tawaran dari wanita bule nan cantik yang sebelumnya ia jumpai. Paling tidak jika kurang cocok, Bara bisa menjadikan kostan lain sebagai opsi.

Arsitektur bangunan kubus yang menjadi markasnya bajingan terbaik di Kota Anggur ini sendiri ada tiga lantai. Di desain langsung oleh sang pemilik lulusan Teknik Sipil yang berkolaborasi dengan lulusan Teknik Arsitek. Lantai satu dan dua dijadikan kostan. Sekitar dua belas dari tiga belas kamar sudah ditempati. Tersisa satu kamar kosong yang sudah dua tahun dibiarkan kosong. Atau mungkin tak ada kandidat pantas yang berhak menempati kamar tersebut. Kemudian, ada lantai tiga berupa rooftop yang biasa dipergunakan pesta. Macam-macam, lebih banyak digunakan pesta alkohol, narkoba, dan seks.

Begitulah Rantai Hitam. Dan sekarang, si anak baru dihadapkan oleh si pemuda rambut model Paquito yang baru saja selesai bersenggama. Bertelanjang dada dan hanya menggenakan boxer. Sungguh pemandangan yang menjijikkan.

"Aku dengar, ada bocah kurang ajar yang mau ngekost di sini. Kamu orangnya?" sambil membuka pagar, si pemuda bertanya.

"Kamu kok tahu, Mas?"

Si pemuda geleng kepala menahan emosi. "Nggak sopan kamu itu. Jawab dulu, baru bertanya. Sekolah gak, sih?"

"Ya kamu jawab juga pertanyaanku, lah. Gimana kamu itu, Mas? Gini nih kalau pelajaran Bahasa Indonesia malah ke kantin."

"Asu. Ngeselin lho kamu ini." Si pemuda memaki sambil tertawa. Tak ada aura intimidasi atau apalah itu. Namun, tatapannya sungguh berbeda dengan preman-preman yang Bara temui di sepanjang jalan. Seakan-akan level pemuda ini di atas orang lain. "Ayo wes masuk dulu. Kayaknya kamu perlu dikasih hadiah."

"Aku nggak mau hadiah, Mas. Aku mau ngekost. Kamu ini geblek, ya?" mendengus kesal, Bara mencicit.

"Cok. Kakean cangkem. Ndang melbu. Timbangane tak cokot kentolmu kapok kon!" (Cok. Banyak bicara. Buruan masuk. Daripada aku gigit betismu mampus kamu!)

Bara melotot. "Mas, kon lanang, lho, Mas! Ojok, Mas!" (Mas, kamu laki-laki, lho, Mas! Jangan, Mas!)

"Lebaymu, ho."

Mengekor di belakang si pemuda rambut Paquito, Bara semakin santer mencium aroma menggairahkan bercampur memabukkan. Inikah yang dinamakan surga?

Saat pintu dibuka, ada sekitar delapan lelaki dan dua wanita di sana. Satu wanita Bara tahu. Ia lawan main si pemuda rambut Paquito. Sedang wanita satunya terasa asing. Maksudnya, bentuk wajah, mata, serta hidungnya seperti wanita keturunan India. Dugaan Bara semakin menguat saat lampu ruangan bagian tengah bangunan tersebut dinyalakan. Kulitnya coklat eksotis. Kira-kira kalau lagi berkeringat di atas ranjang, bagaimana ya ekspresinya?

Bara geleng kepala. Mencoba menghilangkan gambaran mesum di otaknya. Ia kembali mengamati satu persatu lelaki di sana. Mereka bertelanjang dada. Berbagai model tato menghiasi badan mereka. Ada yang full di dua tangan. Ada yang bertuliskan huruf latin melintang di dada. Ada pula yang di leher berbentuk rantai.

"Sopo arek iku, Ber?" (Siapa anak itu, Ber?) tanya seorang pemuda bertato rantai. Ia memegang sloki berisikan minuman di tangan kanan. Masih tertahan, karena terkejut akan kehadiran orang asing.

"Mboh. Aku nemu ndek ngarep kostan, Mas." (Tidak tahu. Aku dapat di depan kostan, Mas.)

"Ko anak baru. Muka ko macam gosi sa perhatikan. Bolehkah sa pukul muka ko sekali saja?" (Kamu anak baru. Mukamu seperti penis saya perhatikan. Bolehkah saya pukul mukamu sekali saja?) timpal seorang pemuda kulit hitam sembari menatap Bara bengis.

"Gas wes. Raine yo ketok mekitik iku, Pace. Cocok iki digawe pelampiasan kalah tarung mambengi." (Gas sudah. Wajahnya ya kelihatan songong itu, Kakak. Cocok ini dibuat pelampiasan kalah tarung semalam.) Seorang pemuda lainnya yang bertato kalimat latin di dadanya berdiri. Tatapan sangar dilepaskan. Selain memprovokasi, ia memang berniat untuk bertarung.

"Mas. Aku ke sini nyari kostan, bukan nyari musuh. Apalagi bikin gara-gara." Bara memberi pembelaan diri, masih tak habis pikir jika dirinya salah masuk kandang.

"Hoi, biji ketumbar. Kreak kali kutengok muka kau. Udah siap kali rupanya kau setor nyawa di mari. Hah?!" dari logatnya yang kebatak-batakan, pemuda berwajah keras dan bertato singa di dadanya ngegas membahana.

"Kalem we atuh, kehed! Sia can pernah di hajar ku aing, arek di hajar ku aing nepi modar, anying?!" (Santai ajalah, sialan! Kamu belum pernah dihajar sampai mampus, ya, anjing?!) si pemuda yang lain dengan logat sunda kentalnya memaki Bara tanpa tedeng aling-aling.

"Arek nggatheli ngene iki paling enak lek dibumbui terus digoreng, cok." (Anak menjengkelkan yang seperti ini nih paling enak kalau dibumbui terus digoreng, cok.) Pemuda yang memiliki vibes koki ikut berkomentar.

"SETUJU!!!" seru semua orang, kompak. Kecuali satu orang yang masih duduk sambil menikmati suguhan drama depan mata.

"Kon kabeh isok meneng, ta? Gak sopan onok tamu malah dijak duel." (Kalian semua bisa diam, kah? Tidak sopan ada tamu justru diajak duel.) Pemuda yang ini jelas berbeda dari yang lain. Bara merasa melihat cerminan diri sendiri. Begitu tenang, kuat, dan berkharisma. Bedanya, wajah pemuda ini terlihat lebih matang dan dewasa dibanding Bara.

Sepi. Senyap. Tak ada sahutan. Bahkan si pemuda tato latin di dada langsung duduk kembali. Semuanya sibuk melakukan entah apa saja sambil tetap memandang Bara. Meski tak segalak di awal, tetap saja tatapan mereka seperti mafia sungguhan.

"Kamu duduklah dulu." Si pemuda kalem mempersilahkan.

"Iya, Mas." Bara mengambil duduk di single sofa. Kemudian, ia meletakkan dua bungkus rokok, yang salah satunya sudah tandas lima batang. "Rokok, Mas."

"Sangar rokok'e Surya. Incip sithok, yo?" (Sangar rokoknya Surya. Incip satu, ya?) si pemuda terduga pemimpin dari kostan ini mengambil sebatang rokok, lantas menyulutnya. Sektika asap membumbung tinggi memenuhi seisi ruangan seiring dua kali hisapan dalam. Setelah beberapa saat, pemuda itu meletakkan rokok di atas asbak gepeng dari aluminium, sebelum berkata, "Salam kenal, aku Loki. Mungkin terdengar menggelikan, tapi aku pemimpin dari bajingan-bajingan di sini."

"Iya, Mas Loki. Aku Bara." Bara mengangguk kepada si pemimpin bernama Loki, dilanjutkan anggukan kepada penghuni lainnya.

"Oh, jadi kamu Bara, calon maba Kampus UB yang direkomendasikan Elle buat ngekost di sini?"

"Benar, Mas Loki. Kira-kira sebulan di sini berapa, ya? Terus biaya tambahan kayak WiFi dan lain-lain."

"Itu dibahas nanti. Sekarang, ada yang lebih penting yang perlu kita diskusikan."

Bara mengangguk. "Siap, Mas."

"Jadi, sebelumnya aku sudah dikabari sama Elle kalau akan ada yang menempati satu kamar yang masih kosong. Ternyata kamu orangnya." Loki manggut-manggut, "aku sih setuju aja. Soalnya yang ngomong itu Elle sendiri. Keponakan yang punya kontrakan ini. Mau gimana lagi?"

"Mas-" seorang pemuda bertato rantai di leher berniat protes. Detik itu pula tatapan death glare dari Loki sukses membungkam mulut pemuda itu.

"Bara. Aku mau tanya dulu sama kamu. Apa yang kamu tau tentang tempat ini?"

"Kost-kostan."

Semua orang dibuat melongo. Tak terkecuali Loki yang bola matanya hampir meloncat dari rongganya. Saking polosnya jawaban Bara, membuat Loki harus memutar otak untuk memberi penjelasan yang mudah dipahami oleh otak ayam Bara.

"Kamu ini lugu banget, Bar." Loki berkata sarkas. "Ya udahlah. Coba kamu memperkenalkan diri dulu. Ah, maksudku, jelasin secara singkat personal kamu."

"Bentar dulu, Mas. Ini aku mau ngekost kok pake acara wawancara segala? Emangnya di sini ada lowongan kerja juga?"

"Tentu saja ada. Banyak malah. Justru aku yang diberi tanggung jawab mengelola kostan ini, memfilter siapa yang boleh tinggal atau tidak. Kami mencari orang berkompeten yang profesional di bidangnya untuk nantinya siap menghadapi kerasnya dunia kerja. Apalagi orang itu calon mahasiswa baru seperti kamu. Kebetulan. Maka dari itu, sudah menjadi tugas kami sebagai senior untuk membimbing para junior demi masa depan yang lebih baik. Benar begitu, bukan?"

"Kalau itu aku setuju, Mas." Bara mengambil rokok. Membakarnya tanpa sungkan di hadapan semua orang. Mengundang umpatan dan makian para penghuni lainnya dalam hati. Setelah menghisapnya panjang, Bara mulai bercerita. "Secara singkat, dari bayi sampai SMA, aku tinggal di Kota Apel, Mas. Tujuan awalku ke kota ini sebenarnya nyari kerja buat dapat penghasilan tambahan. Awalnya, ya, kan. Tapi, orang tuaku menyuruhku untuk kuliah demi kebaikanku sendiri. Di sisi lain, sampeyan tau sendiri Kota Apel nggak terlalu bagus soal pendidikan. Jadilah aku mendaftar di Kampus UB lewat jalur SNBP dan aku diterima. Sumpah, aku agak ngeri juga pas tau diterima di Kampus UB. Masalahnya gini, Mas. Di kotaku, aku sedikit banyak tau dari teman-teman kalau kota ini nggak ramah sama pendatang dari Kota Apel. Mungkin beda kali ya seandainya aku perempuan dan kuliah di sini. Itu aja, sih, Mas."

"Hebat juga kamu diterima jalur SNBP, bocah. Padahal standar Kampus UB cukup tinggi. Belum lagi biaya masuk dan per semesternya cukup menguras dompet. Aku jadi nggak yakin orang desa kayak kamu sanggup kuliah di sini sampai selesai." Sindiran keras keluar dari bibir wanita teman main si pemuda rambut Paquito. Dari nada sinisnya, tersirat ketidaksukaan akan kehadiran Bara di sini. Entah apa sebabnya.

Bara sedikit tersinggung dicela orang desa. Akan tetapi, ia menutupi emosinya dengan menghisap rokok sambil menatap datar wanita itu.

BRAK!!!

"Yang nyuruh kamu ngomong siapa, Sarah Nuha Angelica?" desis tertahan Loki seraya memukul meja dengan kepalan tangan bagian bawah. Menggetarkan meja oval kayu jati, yang di atasnya berserakan botol alkohol, berikut menerbangkan abu rokok.

Kembali hening. Kali ini ketakutan hebat menerpa diri si wanita lokal, Sarah. Dari raut wajahnya laksana ibu tiri, seketika berubah menjadi ikan teri di hadapan hiu purba. Aura yang luar biasa kuat terpancar mistis. Detik itu juga, tanpa kata-kata, si pemuda berambut Paquito lekas membawa Sarah memasuki salah satu dari tujuh kamar di lantai satu.

Situasi tegang seperti ini sudah jelas butuh pencair suasana. Dan itu menjadi tugas si pemuda bermuka joker.

"Ngawur sampeyan, Mas Ki. Sarah sampe nangis, lho. Untung aja masih bisa nafas cewek itu." Tawanya sumbang, pemuda yang juga berambut gondrong sebahu ini menepuk-nepuk kepala teman sebelahnya saat tertawa. Dasar lelaki aneh.

"Wes, menengo, Pang. Suaramu koyok nyambek kecepet lawang, cok." (Sudah, diamlah, Pang. Suaramu seperti kadal kejepit pintu, cok.) Masih dengan nada galak, Loki merespon ucapan rekannya. Sedetik, Loki fokus pada Bara lagi, sebelum berkata, "Ya, ya. Aku ngerti, Bar. Perseteruan Kota Apel sama Kota Anggur emang udah dari jaman seniorku. Tapi satu yang harus kamu tau, tidak ada asap kalau tidak ada api."

Lelah. Bara memutar bola mata malas. Menguap. "Intinya gimana, Mas? Aku boleh ngekost di sini enggak?"

Loki menatap Bara tajam. Masih terfokus kepada pemuda pemberani di hadapanya. Sedangkan teman-temannya yang lain diam memperhatikan. Loki, lelaki yang hampir kepala tiga tapi belum jua menikah. Alasannya sederhana: standar pasangannya terlalu tinggi. Sesungguhnya, dbilang tinggi juga tidak. Loki hanya menginginkan wanita kuat dan tangguh di segala lini. Hanya itu. Meski begitu, sampai sekarang Loki belum menjumpai sosok wanita idamannya. Miris.

"Boleh. Gratis malah."

Bara yang sedang menghisap rokok, kontan terbatuk karena asap rokok dan ludahnya sendiri. Ia menyeka liur yang keluar dari sudut bibir. Menatap Loki curiga. "Pasti ada tapinya, ya, kan?"

"Tentu saja." Loki hampir tertawa. Namun, ia tahan. Ia tak ingin wibawanya anjlok hanya karena pemuda jangkung ini. "Kita main TTS."

"Hah?" Bara garuk kepala. "Tuku Tempek Sewu, Mas?" (Beli Vagina Seribu, Mas?) imbuhnya, ngawur.

Giliran Loki yang tersedak. "TTS. Teka-Teki Sulit, telo." Ucapan Loki disambut gelengan kepala teman-teman yang lain. Hanya saja mereka tak ada yang berani protes akan syarat yang diajukan sang ketua. Sudah jelas. Pemimpin harus didengar, bukan dibantah. Apalagi disanggah. "Kamu cukup jawab tiga TTS dengan benar, maka kamu resmi nempatin satu kamar kosong di atas. Gimana, berani?"

"Nggak mundur."

Bara melakukan peregangan tangan yang tidak perlu. Ia merileksasikan lehernya ke kanan dan ke kiri.

"Pertanyaan pertama. Hewan berkaki empat biasanya?"

Bara refleks menjawab, "Berjalan."

"Benar!" seru Loki, sambil tepuk tangan.

"Bangsat!"

"Pantek!"

"Celeng!"

"Mokondo!"

"Cukimai!"

"Koclok!"

Umpatan serta makian bernada frustasi dari para penghuni diarahkan kepada Loki dan Bara. Pertanyaan dan jawaban yang tak masuk akal. Di luar nalar.

"Salahkah jawabanku? Emangnya hewan berkaki empat kalau punya kaki jelas bisa jalan, kan? Kalau nggak ada, namanya buntung, dong."

"Bajingan! Ini kostan lama-lama aku bakar, thel. Gelap banget, asu."

"Hoi, anak baru. Kau nih apalah, cok? Apa pula jawaban kau tuh? Mana bisa begitu? Pantek kau!" cecar si pemuda batak. Mengomel tidak terima karena jawaban Bara benar.

Dengan wajah seratus persen songong, Bara nyengir. "Bisalah, Bang. Apa pula yang nggak bisa sama aku ini? Jangankan aku, orang stroke juga bisa jawab. Hahahaha."

"Bangsat." Si pemuda batak geleng kepala. Andai tidak ada Loki, sudah ia hantam sedari tadi wajah kampret menyebalkan Bara.

"Oke, lanjut, ya."

"Terserah sampeyan aja, Mas. Aku pasrah," ujar seorang pemuda bermuka joker.

"Ojok ngunu talah, Pang. Gak enak aku lek wes ngene." (Jangan gitu, dong, Pang. Tidak enak aku kalau sudah begini.) Loki drama.

"Wes ndang sampeyan lanjutno, Mas. Timbangane timbangan tak timbang. Wes emosi level limo iki aku lek gak dicekeli." (Sudah buruan kamu lanjutkam, Mas. Daripada timbangan aku timbang. Sudah emosi level lima ini aku kalau tidak dipegangi.)

"Cekolono Ipang, Pace. Wedine nguntal gapuro lek wes nggeremeng." (Pegangi Ipang, Pace. Takutnya makan gapura kalau sudah merajuk.)

Hahahahaha!

Bara cengo melihat interaksi kelompok mengerikan yang tidak semenyeramkan penampilan urakan mereka. Entah mengapa, Bara merasa akan menemukan hal baik di tempat yang tidak baik ini. Feeling kuat seorang pecinta keju tak bisa diremehkan.

Tetiba Loki menepuk pundak Bara. "Halo, Bara. Kamu masih di sini?"

"Eh? Iya. Gimana, Mas?" Bara tercenung. Meski ditepuk, ia merasakan hawa tak biasa yang menguar dari Loki. Padahal, kalau Bara perhatikan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, Loki-lah satu-satunya orang yang tidak kelihatan hawa jahatnya.

"Kita lanjutkan ke pertanyaan kedua. Siap?"

"Siap."

"Oke. Sebelumnya aku mau tanya. Kamu tadi masuk ke gang ini lihat banyak hal, kan?"

Bara mengangguk. Biar cepat.

"Pertanyaannya, yang biasa dipasang di depan gang?"

"Hah?" Bara berpikir keras. Memegang batang hidung sambil memejamkan mata. Semua penghuni ikut berpikir. Stress dengan pertanyaan multi tafsir dari Loki. Lama-lama rambut mereka jadi ubanan hanya karena ulah si pemimpin sengkleknya itu. Sedetik kemudian, Bara membuka mata. Tersenyum seraya manggut-manggut. "Yang biasa dipasang di depan gang ... menung! MENUNGGANG!"

"BETULLL!!!"

"HOREEEE!!!"

Sahutan Loki serta seru kegembiraan Bara langsung disambut lontaran kata-kata mutiara dari berbagai daerah. Seolah mereka memaki kebodohan mereka sendiri. Sia-sia rasanya mereka bertahun-tahun kuliah mengejar sarjana kalau ujung-ujungnya dibuat tak berdaya dengan pertanyaan absurd dari Loki. Sungguh membagongkan.

"Lho, lho, lho. Kok pada diam?" Loki heran dengan sikap teman-temannya yang tiba-tiba termenung. Apalagi melihat wanita keturunan India yang hanya bisa tersenyum jengkel kepada Loki. "Nggak ada protes, nih?" imbuhnya, seraya menghisap rokok.

"Nggak!"

"Baguslah. Tumben kalian nurut sama aku?"

"Sa tra bisa berkata-kata. Pokoknya jancuk tenan sampeyan, Mas," (Saya tidak bisa berkata-kata. Pokoknya jancuk sekali kamu, Mas,) ujar si pemuda rambut gimbal. Lemas.

"Pace ikutan aja. Yang lain juga boleh. Tapi jawabnya dalam hati. Jangan mau kalah sama anak baru ini."

"Daripada torang jadi gila jawab pertanyaan sampeyan, lebih baik sa putar saja minuman sudah. Cukimai." (Daripada kita orang jadi gila jawab pertanyaanmu, lebih baik saya putar saja minuman, lah. Cukimai.) Gerutu si pemuda rambut gimbal sembari menuang alkohol langsung dari botol ke dalam sloki. Kemudian, sloki tersebut diserahkan kepada Loki. "Nih, giliran sampeyan, Mas. Semoga otak sampeyan sedikit encer macam pejunya si Ipang."

"Nggatheli Pace ini. Masa aku dibawa-bawa, cok?" Ipang mengomel.

Loki tertawa renyah sambil mengambil sloki. "Aku angkat dulu, ya, rek."

"Werrrrr!"

Sekali teguk, setengah gelas sloki berisikan cairan kejujuran langsung tandas. Masuk merasuk ke dalam tenggorokan. Membawa serta rasa panas, pahit, tapi nikmat.

"Hahhhh! Seger!" Loki meletakkan gelas di atas meja. Membakar rokok kretek Dji Sam Soe Refil,yang lebih dulu membuka kertas kuning yang membelit batangan tembakau tersebut. "Lanjut, ya."

Tak ada jawaban. Semua penghuni memilih menyimak. Kalau si pemuda rambut gimbal sibuk dengan menuang minuman dan diserahkan kepada penghuni lain.

Helaan nafas kecil dari Bara tertangkap pendengaran Loki. Kontan saja Loki melirik Bara. "Kamu minum, Bar?"

"Ya minum, Mas. Kalau enggak, mati aku."

"Cok. Alkohol maksudku, telo."

"Oh. Hehehe." Bara cengengesan. Bingung harus menjawab apa. Pasalnya, ia kurang suka minuman murah. Bukannya tidak menghargai, proses naiknya sedikit menyiksa. Tanpa Bara bertanya pun, ia sudah tahu kalau minuman alkohol tanpa hiasan label produk ternama itu adalah Arak Bali. Arak Bali versi lama karena dari tutup botolnya warna hijau. Kalau yang baru tutup botolnya warna hitam.

"Pace, kasih anak baru ini minuman. Kelihatannya haus dia." Tanpa meminta pendapat Bara, Loki langsung menyimpulkan. Dasar egois.

Mau tak mau, Bara menerima dengan dongkol, saat di mana si pemuda rambut gimbal menuang minuman satu sloki penuh dan diserahkan kepada Bara.

"Makasih atas jamuannya. Aku angkat, ya, Mas-Mas."

"Werrrrr!"

Glek!

Panas. Terbakar. Sengak. Mulut Bara sedikit mati rasa. Arak Bali di kota ini, atau yang akrab disingkat Arbal, sungguh berbeda seperti Arbal kebanyakan. Entah mengapa rasanya lebih nendang di kepala. Padahal, baru satu sloki. Wajar saja, tanpa campuran, alias murni. Seketika itu pula, wajah Bara memerah seperti kepiting rebus. Mengundang tawa tertahan dari para penghuni. Hanya Loki yang masih santai-santai saja.

"Pertanyaan terakhir. Siap, Bar?"

"Hm. Siap, Mas." Pandangan sedikit kabur, suara Bara juga sedikit serak saat menyahut.

"Tahan, Bar. Masa baru satu sloki udah naik?" sarkas Loki.

Untuk mengimbangi rasa panas yang menyerang tenggorakan, Bara mengambil rokok. Menyulut. Kemudian, menghisapnya dalam seraya merenggangkan punggung, sebelum ia berkata, "Aman aja."

"Pertanyaan terakhir. Yang lain juga boleh ikutan."

"Siap."

"Mirip dan sulit dibedakan adalah ciri anak?" Loki cengar-cengir tidak jelas. "Aku kasih kata bantu. Huruf depan K. Ayo, jawab, gendeng!"

"Kembar!"

"Komeng!"

"Setan!"

"Kontol!"

"Kedondong!"

"Kucing!"

Ada yang tidak menjawab. Sengaja diam. Entah kelewat kesal, atau puyeng sendiri.

"Jawaban yang benar adalah ..." Loki memandang satu persatu penghuni. Lalu, matanya berakhir menatap Bara sambil menunjuk dengan jari. "Mirip dan sulit dibedakan adalah ciri anak ... KUCING! BARA BENAR!"


























JANCOK JARAN SAK DOKARE!

Continue Reading

You'll Also Like

SCH2 By xwayyyy

General Fiction

136K 18.7K 49
hanya fiksi! baca aja kalo mau
413K 1K 13
Kumpulan One Shot 18 dan 21+ (MINOR DNI)
1.3M 4.3K 8
WARNING! 21+| Harap bijak dalam membaca cerita ini khusus dewasa jadi yang dibawah umur harap bijak dalam memilih bacaan.
95.1K 10.1K 17
Kim Doyoung tidak tahu harus merasa bahagia atau menyesal ketika ia diterima bekerja menjadi manager artis sekelas NCT yang namanya sedang naik daun...