Kemiskinan Yang Tak Terlihat

By IstiqaJeinRow

1.1K 215 28

Siapa yang bilang 'Bahagia tak melulu soal harta?' Cobalah untuk tinggal bersama orang-orang bawah jika tak p... More

* Pembukaan *
Nestapa Jauhari
Andaru Rajendra
Jagad Mahanta
Raden Raynar Lasmana
Pamungkas Merangin
Cakra Nanggala Nagapasa
Raksi Sanubari
Chapter 1 : Ketika Agustus Dimulai
Chapter 2 : Menelisik Kekurangan
Chapter 3 : Definisi DPR!
Chapter 4 : Memulai Perjuangan
Chapter 5 : Demi Sesuap Nasi

Chapter 6: Hidup Susah Sehari-hari

44 3 1
By IstiqaJeinRow

Panas. Satu kata yang identik dengan kota Jakarta, janganlah siang, pagi pun bisa terasa sangat menyengat.

Gala keluar dari kamar kosannya, hari ini dia libur. Tetapi menutup mata untuk tidur rasanya sulit sebab kamarnya terasa enggap dan panas betulan.

Melirik jam di ponsel, Gala mengusap-usap perut kecilnya yang telah meminta kode untuk dipuaskan. Ini nyaris sore, tetapi dia telah melewatkan sarapan dan makan siang.

Merogoh kantung celana pendeknya, Gala melenguh panjang sebab uangnya tinggal sedikit. "Nyampe akhir bulan nggak ya?" pikir Gala, meski dia rasanya telah hemat setengah mati. "Duit gue kemana aja sih?"

Meski pikirannya terus berkecamuk pada uang, Gala kelihatan menjalaninya dengan kelewat santai.

Dia mengetikkan langkah manakala menemukan Raynar tengah mengais sampai dengan seragam sekolahnya.

"Woi!" teriak Gala, melambai-lambai.

Raynar menoleh, botol plastik yang ada di alat pengaisnya jatuh kembali ke tong sampah akibat kejutnya.

"Bang Gala!"

Gala melirik kondisi Raynar, lantas mengedip-ngedip linglung. Sial, baru saja ia mengeluh dengan keadaan ekonominya. Mengapa tuhan langsung memberinya pelajaran?

"Baru pulang sekolah?"

Raynar mengangguk. "Iya." lalu menyeka keringatnya. "Bang Gala mau kemana?"

Gala terdiam sejenak, mengingat sisa uangnya. Tetapi, entah mengapa dia malah merangkul bahu Raynar dengan akrab. "Cari makan, ayo ikut."

"Eh?" Raynar merampas karungnya, lalu meringis. "Uangku nggak cukup —"

"Aku traktir. Aku habis dapat rezeki lebih." kata Gala, berbohong. "Nah, aku mau berbagi pada sesama."

Raynar tersenyum cerah, menatap Gala dengan binar. "Makasih, bang."

Sampai di warung makan warteg, Gala langsung mengambil duduk di kursi panjang depan etalase kaca yang di dalamnya berjejer lauk pauk.

"Pilih aja sesukamu, Nar." ucap Gala lantas dia pun menyebutkan pesanannya. "Minumnya air teh tawar hangat."

"Beneran nggak apa-apa nih, Bang?"

Gala menoleh dengan raut heran, lantas tertawa menyadari keraguan Raynar. "Iya, pilih aja. Nggak usah sungkan."

Saat pesanannya telah diberikan, Gala langsung menyuap nasi ke dalam mulutnya. Dia nyaris tersedak ketika tubuhnya ditubruk dari belakang tiba-tiba. Jelas saja Gala berang, dia melongokkan kepalanya ke belakang hendak menyemprot ganas orang yang dengan tidak sopan menyenggolnya. Tetapi, segala ocehannya jadi mental entah kemana mendapati wajah pucat seseorang yang ia kenal.

"Eh, mbak Raksi kenapa?" si pelayan pun sama kagetnya ketika Raksi seperti ketakutan. "Ya ampun, sampe ngos-ngosan gitu."

Raynar berdiri, lantas melirik dua buah sepeda motor dengan pengendaranya yang ikut berhenti di depan warung. "Kak Raksi diikutin orang ya?"

Ucapan Raynar membuat Raksi tercekat. Gala yang masih duduk bisa melihat jelas tubuh gemetar perempuan itu, dia lantas bangkit dan memegang bahunya. "Rak, siapa mu orang-orang itu?"

Raksi belum mau menjawab, dia turut memantau orang-orang tersebut yang sepertinya enggan masuk karena kondisi ramai.

Gala keluar. "Ngapain kau?" tanyanya, tak ramah. Seperti preman yang siap tarung. "Warung tutup!"

"Oh, i-ya mas." pengendara itu berlalu begitu saja melihat wajah garang Gala. "Permisi, mas."

"Sana!" usir Gala, lalu berbalik ke arah Raksi yang sudah didudukan Raynar dan diberi air oleh pelayan langganan mereka. "Kenapa, Rak?"

Raksi menggeleng kecil, dia masih syok oleh kejadian tadi. Itu Riki, mantan pacarnya. Sejak Raksi di pasar, lelaki itu terus mengikutinya dan nyaris memaksanya untuk turun dari motor untuk ikut lelaki itu.

Raksi yang takut jelas memilih mengebut mati-matian. Dia hampir jatuh karena terus dipepet Riki dan kawannya, namun saat dirinya sudah mulai buntu berpikir untuk melarikan diri, Raksi langsung berhenti di warung yang ramai.

Dia hanya berharap orang-orang di sana dapat menjadi penolong. Riki tak akan berani macam-macam jika di keramaian.

Raynar menatap dengan panik, dia kenal Raksi. Gadis ini baik sekali, dia sering mengumpulkan sampah dan diberikan pada Raynar sukarela. Dia juga memberikan Raynar berbagai alat sekolah yang layak pakai padanya.

"Pelan-pelan minumnya." ucap Gala, lanjut duduk di sisi Raksi. "Siapa itu?"

Raksi menoleh pada Gala, dia mengucapkan terimakasih pada Raynar dan Ibu pelayan sebelum turut duduk dengan rileks. "Mantan pacarku."

Tak ada respon berarti, Gala lanjut makan begitu saja. Raksi melirik Raynar, lalu tersenyum tipis. "Lanjut aja makannya, Nar."

"Eh? Iya, kak." Raynar menawarkan pada Raksi yang ditolak halus perempuan itu. "Kok mereka ngejar Kak Raksi?"

Raksi melenguh, dia tak bisa membicarakan hal tersebut pada Raynar. Rasanya tidak etis dan memalukan. Makanya dia hanya menjawabnya dengan gelengan singkat.

"Dia nggak terima kau putusin?" Gala menyambar. "Hati-hati sama lelaki macam itu, Raksi."

"Begitulah." jawab Raksi seadanya.

Padahal Riki yang ketahuan selingkuh, tetapi cowok itu malah mengejarnya begini. Raksi jadi tidak nyaman dan sedikit parno. Dia tak menyangka Riki akan bertindak nekat, seperti terus mencari-cari dirinya atau menjadi penguntit.

Raynar yang telah selesai makan, menyambar minumnya. Gala lantas menyilahkan Raynar untuk kembali mengepul sampah botol tanpa perlu menunggunya.

"Iya, nggak usah nunggu aku." Gala tertawa.

"Bang, sekali lagi makasih ya. Gue emang belum makan dari pagi, makasih banyak. Semoga rezekinya makin ngalir." Raynar menunduk pada Raksi. "Kak, duluan."

Raksi tersenyum. "Hati-hati, Nar. Eh iya, besok ke rumah ya. Botol plastikku udah penuh."

"Wah, makasih ya, kak!" Raynar pamit dengan keceriaan di mukanya.

Gala melirik Raksi. "Pulang sendiri berani?"

"Eng... iya." sahut Raksi ragu-ragu.

Gala menghela nafas. "Aku numpang, boleh kan?" tanyanya, tak mau terang-terangan berkata dia ingin memastikan Raksi sampai rumah dengan selamat. "Tunggu aku selesai makan."

Raksi tak menjawab pun tak memberi penolakan. Dia memang masih ngeri kalau-kalau Riki dan kawannya masih menunggu di jalan untuk mencegatnya. Jadi, membawa Gala sepertinya ide bagus.

Begitulah jadinya. Gala membonceng Raksi, sesekali melirik sekitar untuk mencari-cari pria-pria bajingan yang menakuti gadis itu.

"Deket sama Raynar?" tanya Gala, karena tak enak terus-terusan terbelenggu hening.

"Raynar sering ke rumah buat ambil sampah botol." jawab Raksi. "Dia juga anak yang pintar, Raynar sering pinjam buku-buku lamaku."

Gala tak menjawab, dia mengerling kontrakannya, lalu lanjut saja membawa motor hingga Raksi heran.

"Gal, rumahmu udah lewat." kata gadis itu.

"Iya."

Raksi mengerutkan keningnya. "Kok nggak berhenti?"

Gala tak menyahut lagi. Melirik wajah Raksi lewat spion, senyum tipisnya tumbuh karena kebingungan perempuan itu.

"Gal! Gala!"

"Nanti aku pulang jalan kaki." ujarnya kemudian. "Aku antar sampai rumah." katanya, kini jauh lebih jelas.

Raksi melenguh malu. "Duh, padahal kamu nggak perlu begini, Gal."

"Daripada ketemu cowok-cowok itu lagi saat nggak ada aku." gumam Gala, ragu-ragu.

Sesampainya di depan rumah Raksi, Gala langsung turun dari motor dan hendak balik. Tetapi dirinya terkejut ketika Ayah dan Ibu Raksi keluar dari rumah dengan teriakan yang saling bersautan.

"Minta mobil?! Kamu sudah gila, hah?!" bentak Ayah Raksi. "Motor saja baru lunas dicicil! Kamu kurang bersyukur, Sari!"

"Aku kan cuma usul biar keluarga kita bisa mudik pakai mobil sendiri! Nggak terus pinjam dan dicaci maki saudara-saudaramu?!"

Raksi tertegun di tempatnya, matanya bergetar hebat melihat kecamuk di wajah kedua orangtuanya. Ditambah kehadiran Gala, Raksi merasa tidak enak.

Kedua orangtua Raksi mulai diam setelah menyadari anaknya tidak sendirian. Mereka tak banyak tanya, ayah Raksi langsung berlalu pergi dengan raut wajah dongkol. Sedang sang Ibu hanya melihat putrinya sebelum memasuki rumah malu-malu.

Gala menggaruk tengkuknya, bingung ingin bersikap bagaimana. Melihat Raksi terus mematung, dia berinisiatif untuk menepuk pundaknya. "Raksi."

Nafas Raksi memburu, menahan mati-matian tangisnya. Dia tak habis pikir dengan nasib hidupnya. Raksi merasa sudah cukup keras bekerja untuk memenuhi keinginan Ibu-nya yang terus termakan gengsi sanak saudara. Baik, Raksi akui perkataan saudara-saudara dari Ayahnya sangat pedas, tetapi kita tak bisa terus ikut-ikutan standar hidup orang lain kan?

Bisa-bisanya sang Ibu meminta sebuah mobil. Di sisi lain, hati Raksi terhantam karena gagal menjadi anak pertama yang membanggakan. Andai dia punya pekerjaan dengan gaji lebih baik, mungkin segala sesuatu yang diinginkan Ibu akan terpenuhi.

Andai nasibnya jauh lebih beruntung.

"Gal... maaf ya." Raksi tersenyum getir. "Makasih udah anter, hati-hati pulangnya."

Gala mengangguk, tak yakin dia meninggalkan Raksi dengan kondisi begini. Tapi apa boleh buat?

"Jangan dipikirkan. Semuanya akan baik-baik saja."

Raksi terkekeh. "Iya, udah sering kok kayak gini." jawabnya, menyembunyikan lukanya. "Kamu mau pakai payung nggak? Panas banget lho ini."

"Nggak usah repot-repot. Makasih, aku pulang, Rak." Gala pamit sopan.

"Hati-hati."

Ternyata semua orang punya masalahnya sendiri. Pikir Gala sembari menyusuri jalan raya dengan kepala berkecamuk. Melihat pertengkaran orangtuanya Raksi entah mengapa mengingatkannya pada memori lama, Gala mengepalkan tangan sembari berhenti berjalan dan melihat ke atas.

"Orangtua ya..." gumamnya, lirih.

***

Waktu turnamen badminton antar desa semakin dekat. Pamungkas giat latihan di depan rumah Jagad, lelaki itu tak keberatan teras rumahnya dijadikan lapangan dadakan bagi Pamungkas.

"Mungkas, istirahat dulu!" teriak Ratih gemas. "Aku buat singkong rebus nih!"

Dari sore hingga selepas isya, remaja itu tak lelah-lelahnya melatih diri. Kadang lawannya Ratih, lalu orang lewat dan kini dia sendirian melatih gerak tangannya.

"Rat, aku nggak enak terus-terusan ngerepotin kamu dan Bang Jagad."

Ratih menabok keras punggung Pamungkas hingga lelaki itu meringis-ringis. "Kamu kayak sama siapa aja." Ratih nyengir. "Nanti kalau udah sukses nggak boleh lupa sama aku, ya!"

"Aamiin." Pamungkas terkekeh. "Tapi doamu ketinggian kayaknya, Rat."

"Nggak ada yang mustahil, Mungkas."

Suara mesin mobil yang menggerung membuat keduanya menoleh, Jagad mengeluarkan kepalanya hanya untuk menyapa Pamungkas sebelum turun dan memutar mobil untuk membantu Ari.

Ratih menahan nafas ketika melihat Andaru membopong tubuh Ari. Debar dadanya mulai menyepat, seketika itu Ratih pun berdiri mendekat.

"Ari, k-kamu kenapa?"

Ari mengangkat kepalanya, menahan ringis mendapati raut cemas di wajah mungil Ratih. "O-oh, gue nggak apa-apa kok, rat." sahutnya, tersenyum tipis.

Tetapi alasan Ari tak berguna. Wajah lelaki itu yang babak belur sudah menjawab segalanya. Ratih tercekat melihat sudut bibir Ari bahkan masih terdapat darah, mata kiri pemuda itu juga biru. Dan kondisinya kotor serta memprihatinkan, Ari bahkan tak bisa berjalan dengan benar.

Jagad hanya mampu menghela nafas melihat mata adiknya bergetar, ia tahu Ratih sangat memperhatikan Ari.

"Bawa masuk dulu, daru." ucap Jagad dingin.

Dibantu Pamungkas, Ratih menyiapkan tikar dan bantal untuk Ari di ruang tengah. Membiarkan Ari menyender di dinding rumah yang catnya sudah setengah terkelupas.

Ratih berlari lagi ke dapur usai membawa sekotak obat-obatan dari kamar. Dia memang selalu punya stok obat dan perban karena Jagad kelewat sering berkelahi dulu.

Andaru memberi ruang pada Ratih, ia menyingkir bersama Jagad. Sedang Pamungkas hanya mampu terdiam menonton kawannya tengah diobati.

"Rat..."

"Diem dulu."

Ari mengedip linglung kala dengan lembut Ratih meraih wajahnya dan membersihkan sisa-sisa darah serta kotoran yang melekat. Tatapan mata Ratih yang getir entah mengapa menghangatkan bagi Ari.

Ratih berkerja dalam diam dan Ari tak berbicara apa-apa selama Ratih mengobatinya. Ia lebih senang memperhatikan wajah Ratih dari jarak sedekat ini. Baru Ari sadari jika pipi Ratih memerah perlahan.

Kenapa?

"Lo... Ssssh." Ari meringis kala Ratih dengan sengaja menekan luka di pelipis kirinya. "Maaf." lanjutnya kala Ratih tampak melotot memperingati.

Jagad geleng-geleng, teringat dirinya sering diobati Ratih dengan cara yang tidak halus. "Pelan-pelan dong, Rat."

Ari melirik Jagad, menggeleng kecil seolah memperingati Jagad untuk tak membuat Ratih murka. Masalahnya, Ratih diam saja sudah menakutkan untuk Ari.

Andaru mengacak rambutnya, sejak tadi dia tampak gusar. "Ari, sorry... aku nggak expect bakal kejadian kayak gini. Aku— "

"Gue nggak apa-apa, Dru." sahut Ari cepat-cepat, lantas menatap Andaru lekat-lekat. "Elo yang kudu ati-ati."

Pamungkas memberikan air pada Andaru yang kelihatan sangat gelisah dan tegang. "Sebenarnya ada apa, bang?"

"Kami diserang pihak keamanan."

Deg

Tangan Ratih mengambang di udara mendengar lirihan Andaru, ia lantas memandangi Ari tanpa berkedip. Ari dengan tenang memegang tangan Ratih, lalu pelan-pelan dibawa ke bawah.

"Udeh ye, rat? Makasih, Rat." Ari duduk lebih tegap. "Maaf ngerepotin." Ari berdehem sebab Ratih terus saja menatapnya dalam.

Jagad turut duduk setelah amarahnya reda. Sejak tadi ia diam saja karena pikirannya berkecamuk murka. Saat Andaru menghubunginya dan meminta jemputan, perasaan Jagad sudah tidak enak. Maka saat melihat Ari terkapar di tanah dengan motor reot-nya yang sama kacaunya, Jagad pecah kepala! Dia ngamuk di sana mendapati sahabatnya babak belur.

Berani-beraninya. Jagad bahkan tak bisa tenang kalau saja Andaru tidak menyadarkannya perihal kondisi Ari yang lebih butuh pertolongan.

Motor Ari sudah di taro bengkel kala dalam perjalanan pulang. Tapi Jagad nggak berani bawa Ari ke rumahnya, Enyak pasti bakal bertanya-tanya.

"Gimana ceritanya kau dipukuli si, Ri?"

Ari melirik Ratih sebelum menjawab, matanya tak berpaling dari gadis yang tengah membereskan baskom dan alat-alat sebelum hilang di balik tembok dapur. Ari menghela nafas dan baru buka suara.

"Biasa..." sahut Ari, pelan. "Gue nggak tega liat bocah cangcimen nyaris ketangkep Satpol PP." lanjutnya, menghela nafas.

Pamungkas tertegun. "Abang bantuin anak-anak itu lari?"

Ari mengangguk mantap, tak menyesal sama sekali meski tubuhnya luka-luka. Dan hal tersebut membuat Pamungkas kagum padanya.

"Dan kau dipukuli mereka di depan umum?" Jagad menyambar.

"Untung ada Dru, jadi nggak ditangkap." Ari malah nyengir. "Gak tahu deh si Dru ngomong apa sama pihak Satpol."

Andaru menghela nafas. "Aku mengancam mereka."

Jagad menoleh penasaran. "Dengan nama besar Ayahmu?"

Kepala Andaru menggeleng. "Tidak, aku mengaku sempat merekam aksi kejam mereka pada rakyat kecil. Dan dengan sedikit berdebat, Ari dibebaskan."

"Elo kudu liat pas Dru debat deh, Gad. Waduh, sesaat kek hakim agung!"

Jagad yang sedari tadi gemas lantas menggeplak kepala Ari. "Bisakah kau sedikit egois, Ri? Sudah sering kau menolong orang tanpa peduli dirimu sendiri. Pikir risiko dan nasibmu juga, kau sama malangnya dengan mereka!"

"Karena itulah... gue nggak tahan untuk diem aja, Jagad." sahut Ari, membungkam semuanya. "Gue juga orang susah, gue ngerti apa yang mereka rasakan," Ari menatap langit-langit, sejenak hanya nafasnya saja yang terdengar.

Lamat-lamat terbayang jelas gambaran betapa kejamnya nasib pada anak-anak kecil itu.

"Kepanasan, kelaparan, kedinginan, nggak punya uang, mereka yang miskin melakukan apa saja untuk bertahan, gue ngerti anak-anak itu hanya mau mencari peruntungan lewat jualan dan gue paham betul tujuannya, cuma demi hidup, Jagad. Supaya mereka tetap hidup dan nggak mati."

Di dalam dapur, Ratih yang mencoba mengalihkan perhatiannya lewat mencuci piring rupanya tak dapat menahan rasa terbarunya. Setetes air mata meremas dari sudut matanya.

Nestapa Jauhari...

Pemuda yang tak pernah berpikir panjang untuk menolong sesamanya, pemuda yang mempunyai pemikiran keras sekaligus halus soal negara, pemuda yang tak takut akan apapun selama membela kebenaran, Ratih sungguh jatuh hati padanya.

***

Andaru memutuskan untuk pulang ke rumah sementara Ari menginap. Ya itu jauh lebih baik daripada Enyak melihat putranya bapak belur. Beliau pasti akan sedih sekali, beruntung sekali Enyak percaya dengan Andaru kala pemuda itu mengatakan Ari akan menginap di rumah Jagad.

Sehabis mandi, Andaru membantu Enyak menyiapkan makanan. Ia masih kesulitan untuk berbaur dengan masyarakat, ada sesuatu yang unik dan tak pernah Andaru dapatkan ketika hidup dalam lingkungan yang serba susah.

Apa adanya. Segala kesulitan itu mereka maknai dengan cara yang paling indah. Berserah serta percaya pada Tuhan.

Bayangkan saja hidup dilingkungan yang serba kurang. Air untuk mandi saja harus beli perhari saking tak punya uang untuk membangun pam.

Jika tak ada kepercayaan yang kuat pada yang Maha Kuasa, Andaru yakin banyak sekali manusia yang menyerah. Tetapi warga sini, meski hidup dalam kesusahan, mereka masih bisa tersenyum dan bekerja giat setiap hari. Hasil? Itu urusan belakangan, yang harus dilakukan adalah berjuang!

"Dulu bapak tinggal di dekat tanggul, nak. Tapi tempat tinggal Bapak tergusur untuk kanal. Itu berat sekali untuk Bapak, tetapi akhirnya kami pindah ke sini dan sekarang meskipun rumahnya tak begitu bagus, kami tetap punya tempat berteduh."

"Ibu setiap hari nyapu di kota untuk makan sehari-hari. Anak Ibu ada lima, nak. Ayah mereka doyan judi, terpaksa Ibu ikut cari nafkah. Meskipun gajinya nggak banyak, asal bisa makan, Ibu sudah bersyukur banget pada Allah."

"Saya udah ngamen sejak umur Tujuh tahun, kak. Tadinya ikut-ikutan temen, eh dapat uang buat jajan, keterusan deh, lumayan buat bantu Emak beli beras. Saya nggak masalah panas-panasan asal bisa beli makan."

Kelebatan ingatan kala Andaru berkeliling untuk mencari-cari sesuatu demi skripsinya mulai melekat. Semua orang punya masalah dan perjuangannya masing-masing.

Satu yang Andaru petik. Bahwa sesulit apapun hidup, asal kita mau berjuang untuk bertahan dan tak putus harapan, segalanya akan terasa lebih mudah untuk dilewati.

Tinggal di kampung kemiskinan ini ternyata banyak sekali hal yang mengubah pemikiran Andaru. Betapa ia buta selama ini tak pernah memperdulikan nasib-nasib mereka.

"Enak tempenya, Daru? Maapin Enyak ya, nggak pernah bisa ngasih makanan yang enak-enak."

Andaru menatap Enyak yang tengah menyuapi Dul. Anak bontot itu sedikit protes dengan mulut penuh.

"Nyak, kite kok makannya tempe mulu?"

Enyak dengan wajah yang menyimpan beribu kesedihan itu tersenyum, kembali memasukkan nasi ke mulut anaknya. "Huss! Kaga boleh ngomong begitu. Bersyukur, Dul."

Anak yang masih kecil itu cemberut total, tapi masih bisa menelan makanannya.

"Tuh, tempe enak kan?" Enyak mencoba menghibur.

"Dul mau makan ayam kayak Upin Ipin, nyak."

Enyak mengangguk saja. "Iye, ntar ya."

Di sebelah Andaru, Siti tampan lahap memakan tempe yang dicocol sambal, tak seperti Dul, Siti sepertinya sedikit mengerti masalah ekonomi keluarganya dan dia tampak maklum.

Lauk-pauk yang disediakan Nyak Romlah memang sangat sederhana dan apa adanya. Sering kali Enyak meminta maaf padanya sebab menyiapkan lauk pagi yang dihangatkan untuk siang.

Padahal Andaru sudah menekankan untuk tak perlu merasa sungkan ataupun bersalah. Ia malah merasa makin menyusahkan keluarga Ari.

"Bang Daru pernah makan ayam nggak?" Dul tiba-tiba bertanya dengan mulut penuh.

Andaru tersenyum, hatinya meringis karena dulu seringkali memakan ayam dengan semena-mena. Bahkan menyisahkan makanan dan dibuang begitu saja.

"Pernah..." sahutnya, getir.

Dadanya tiba-tiba terasa sesak sekali, Andaru ingat, nyaris setiap hari dia makan ayam dengan merek yang terkenal. Duduk berjam-jam di outlet mereka, lantas makanannya tak tandas dan terbuang sia-sia.

"Dul... suka ayam?"

Dul mengangguk antusias. "Ayam Upin Ipin paling enak!"

"Nanti Bang Daru beliin ya, kita makan bareng-bareng." katanya, sembari menunduk menahan gejolak kesedihan melihat mata Dul berbinar-binar.

"Beneran, bang?" Dul melompat ke arah Andaru, memeluknya. "Ajak Enyak, Bang Ari sama Mpo juga, Bang?"

Andaru mengangguk. "Iya, sekarang Dul makan dulu."

Enyak melirik Andaru dengan tak enak, beliau meringis melihat Dul terus berceloteh soal ayam.

"Aduh, Daru... Jangan repot-repot lu, duitnye simpen buat kuliah, Daru."

"Nggak apa-apa, Nyak." Andaru tersenyum. "Daru dapet gaji kok tiap ikut Ari manggul." Andaru menatap Romlah penuh penghormatan. "Nyak, makasih ya udah nerima Andaru dan ngasih banyak banget pelajaran."

***

"Teruslah berbuat baik, anak-anak yang diuji oleh nasib. Teruslah berpihak pada mereka yang lemah, anak-anak yang menjadi korban arogansi kekuasaan dalam negeri."

Aku sayang banget sama Ari 😫 Ratih nggak salah jatuh cinta pada sosok lelaki macam Ari. Dia nggak punya harta, tapi punya hati yang mahal :)

Andaru tuh bener-bener kagum sama Ari, dia ada di sana tuh karena tertarik dengan sifat dan sikap Ari yang nggak pernah tahan sama ketidakadilan.

Tak pernah sudi menunggu dan berdiam diri seperti dungu, Ari membuktikan diri dengan aksi demi merubah nasib.

Pamungkas aja hormat ke Ari. Karena dia tahu, Ari itu... benar-benar peduli pada nasib orang lain. Dia tak pernah memikirkan dirinya sendiri.

Jatuh cinta banget pokoknya aku sama karakter Ari! Dia berani sama siapapun, tapi takut lho ke perempuan 😫🤣

Apakah cinta Ratih bertepuk sebelah tangan?

Apa Gala dan Raksi menjadi kapal yang berlayar?

Entahlah, cerita negeri jauh lebih rumit daripada kisah cinta mereka.

IstiqaJeinRow

Continue Reading

You'll Also Like

474K 51.9K 23
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...
1.1M 43K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
1.6M 115K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
2.6M 131K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...