Cinta yang Sederhana

By teru_teru_bozu

188K 23.4K 1.9K

Bukan tentang siapa yang kita kenal paling lama, Yang datang pertama, atau yang paling perhatian. Tapi tentan... More

Pada Sebuah Kisah
Cinta yang Sederhana
satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Cinta Yang Sederhana
Menjelang Pre Order Cinta Yang Sederhana
Open Pre Order Cinta Yang Sederhana

Delapan Belas

8.6K 1.1K 146
By teru_teru_bozu

"Cak—"Jerini mengernyit saat keraguan kembali menghampirinya. Dia menatap nanar pada Cakra yangduduk di sofa ruang tamu merangkap ruang tengah pada unit yang disewanya. "Beneran lo nggak mending pulang aja?" tanya Jerini memastikan.

"Gue cuma minta makan, Je. Kenapa lo malah pengin usir?" balas Cakra lempeng. "Bisa kan lo bikinin makanan apa gitu? Apa aja deh, please. Yang penting bisa isi perut. Apa permintaan itu terlalu rumit buat lo?"

Jerini menggeleng linglung. "Enggak sih. Cuma, apa lo nggak merasa aneh gitu, berada di sini? Maksud gue, lo sama gue kan—"

"Nggak semua hal harus dipikirin secara berlebihan, Je. Emang apa bedanya gue sama Bima buat elo? Apa lo juga bakal bertanya dengan segini mendetail andai Bima atau Tommy, atau siapa lah, datang ke sini buat minta makan sama elo?"

Ditanya seperti itu membuat Jerini mati kutu karena logikanya ditumbangkan semudah itu oleh Cakra. "Lo paham bukan itu maksud gue, Cak," Jerini memberengut kesal.

"Emang kenapa?" ucap Cakra tak peduli sambil melepas jaketnya.

Kini, Jerini harus mengakui kalau dengan penampilannya yang sekarang, jeans dan tshirt putih polos, Cakra terlihat sangat muda. Ini nggak adil banget. Woy! Lo itu udah lewat 30 tahun, Cakra! Bukan brondong 23 tahun!

"Masa iya lo anggep diri lo sendiri selevel Bima atau Tommy, sih?" Jerini masih terus mengejar Cakra dengan pertanyaan.

Mata lelah Cakra kini berbinar lebih cerah. "Ini lo lagi mengakui kalau gue lebih istimewa dibanding Bima atau Tommy di circle lo, Je?" tanya Cakra .

Ih! Sialan. "Nggak gitu juga kali!" Jerini membantah kesal. "Maksud gue—"

"Nganggep gue lebih istimewa juga oke kok, Je. Nggak usah malu atau gengsi gitu," lanjut Cakra yang terlihat geli oleh reaksi Jerini.

"Ih, Cakra! Gue bukannya—" Jerini merasa wajahnya merona memalukan. Membuatnya benar-benar kesal.

"Harusnya gue emang istimewa buat elo, Je," kata Cakra tak terduga.

"Cak, lo tuh jangan ngadi-ngadi, ya!" gerutu Jerini.

"Ngadi-ngadi apaan sih? Kan kenyataan?" Cakra terlihat geli. "Karena nyatanya gue yang lebih banyak bantuin elo. Bukan dua cecunguk Bima sama Tommy itu," Cakra mencibir mengejeknya. "Emang lo pikir kenapa?"

Ish! "Lo beneran deh," gerutu Jerini kehabisan kata. "Iya, deh, iya. Lo emang istimewa! Puas?"

Cakra menyunggingkan senyum culas. Sialan bener orang satu ini, batin Jerini.

"Lo kalau butuh pujian, nggak usah mancing-mancing, Cak! Emang cuma elo yang istimewa karena udah bantuin gue, mulai nyari pengacara buat perceraian gue, sampai dapetin apartemen ini," omel Jerini kesal. "Sekarang, kalau gue udah menyatakan dengan segamblang ini betapa istimewanya elo buat gue, terus lo mau apa?" tantang Jerini.

"Mau minta makan. Gue udah sebutin dari tadi," kata Cakra lempeng.

Jerini menatap Cakra dengan tajam. "Lo mau begoin siapa sih, Cak? Lo paham banget maksud gue bukan itu. Dan gue enggak sedang bercanda," katanya tajam.

Cakra menegakkan tubuhnya dan duduk dengan sikap resmi di sofa sambil membalas tatapan Jerini.

"Lo tahu siapa gue dan apa status gue. Dan gue yakin kita berdua sama-sama paham kalau hubungan di antara laki-laki dan perempuan itu hanya ada dua jenis. Yaitu hubungan saudara dan hubungan asmara. Lo dan gue tidak berada dalam dua kondisi itu, Cak. Dan jangan ceramahin gue soal pertemanan antara laki dan perempuan karena gue nggak bakal percaya sama bullshit kayak gitu."

Jerini merasa Cakra harus tahu apa yang dia rasakan saat ini. Bahwa dia tidak bisa begitu saja menerima kehadiran pria itu di apartemennya seperti ini.

"Tahu nggak, Cak, kalau sikap lo yang seperti ini bisa ngerugiin gue?" tanya Jerini dengan suara parau. "Kalau sampai orang kantor tahu, bukan elo yang bakal kena imbasnya, tapi gue. Udah cukup gue dibilang janda gatel yang ada main sama suami orang. Yang bikin gue harus angkat kaki dari kontrakan lebih cepat. Gue nggak mau julukan gue nambah jadi janda gatel yang ada main sama bujangan."

Jerini sadar dia meluapkan emosi yang sebenarnya tidak pada tempatnya. Namun dia tidak mau meminta maaf untuk itu. Karena harusnya Cakra paham kalau dia tidak bisa seenaknya merangsek masuk ke ruang pribadinya.

Namun saat Cakra terlihat sangat tenang untuk orang yang mengaku sedang kelelahan setelah perjalanan panjang. Pria itu bergerak luwes berdiri dari sofa. Dan membuat Jerini ketar-ketir menduga apa aksi Cakra selanjutnya.

"Lo udah selesai ngomong, Je?" tanya Cakra dengan suara pelan. "Sudah?"

Jerini terpaku menatap pria itu. Lalu mengangguk tanpa suara.

"Oke, sekarang giliran gue yang bicara."

Cakra dengan tinggi badannya yang menjulang memang sangat mengintimidasi. Namun Jerini tidak mau mundur, alih-alih dia mendongak agar bisa memandang Cakra langsung di matanya.

"Gue paham kok, Je, sama situasi yang lo sebutin tadi. Dan gue akui kalau kondisi saat ini emang aneh buat kita. Namun nggak semua hal harus dianalisis saat ini juga, tahu. Kayak sekarang. Ngapain lo mikir terlalu jauh? Apa nggak bisa kita menganggap situasi ini sebagai kejadian normal yang bisa terjadi antara teman kerja yang kebetulan bertetangga? Mungkin kayak yang terjadi sama elo dan keluarga Mas Budi."

Tatapan Cakra tajam menghunjam langsung pada Jerini.

"Kecuali lo anggep gue berbahaya."

Jerini menggeleng secara spontan.

"Atau lo punya ekspektasi lebih sama gue."

Jerini kembali menggeleng. Kali ini lebih kuat lagi. Seolah dengan begitu dia bisa meyakinkan Cakra akan pendapatnya.

Lalu Jerini tertegun. Kenapa Cakra bisa segampang ini menormalisasi kondisi mereka berdua sekarang? Dan kenapa ucapan Cakra terasa ringan dan masuk akal, serta mudah dia pahami?

"Iya ...." Akhirnya Jerini mengangguk dengan canggung.

"I mean, lo nggak usah khawatir berlebihan. Nggak akan ada orang yang tahu kalau lo khawatir bikin nggak nyaman. Gue kan bukan orang yang biasa nggosip di meja Mbak Ratna, you know?"

Cakra tertawa pada ucapannya sendiri. Dan Jerini akui dia pun geli membayangkan betapa kantor akan gempar kalau sampai Cakra nongkrong di sebelah meja Mbak Ratna untuk bergosip.

"Gue juga nggak bakal bikin lo kenapa-kenapa. Kita bukan asing, Je. Kita sering pergi bareng. Bahkan lo pernah nebeng di apartemen gue."

Saat Cakra mengucapkan fakta ini, wajah Jerini terasa memanas karena malu gara-gara semua ucapannya tadi.

"Track record gue saat bersama lo selama ini, apa belum cukup sebagai jaminan kalau gue nggak bakal ngapa-ngapain elo?" tanya Cakra.

Akhirnya Jerini mengangguk. Iyalah. Dari semua orang, Cakra adalah orang asing yang secara tidak langsung membuatnya yakin kalau dia tidak akan kenapa-kenapa berada di dekatnya.

"Maaf ya, Cak. Gue emosi," kata Jerini akhirnya. "Padahal lo cuma mau minta makan," lanjutnya sambil tertawa kering.

Dan permintaan pria itu juga bisa dia anggap sederhana untuk malam ini. Minta makan. Dibanding apa yang telah dilakukan Cakra untuknya, permintaan ini bukanlah apa-apa.

"Iya, gue cuma minta makan," Cakra pun tertawa geli sambil kembali duduk di sofa. "Bisa kan?"

"Tapi gue cuma punya Indomie rebus, Cak," kata Jerini akhirnya. "Lo masih minat minta makan sama gue?"

Cakra mengangguk. "Pilihan yang gue punya cuma dua, Je. Dimasakin lo, meskipun cuma mi rebus, atau pulang dan tidur kelaperan karena gue nggak yakin apa ada makanan layak konsumsi di tempat gue."

Dimasakin lo. Di luar dugaan, kata-kata Cakra ini memiliki impact yang lebih kuat dari seharusnya di benak Jerini. Membuatnya bertanya pada diri sendiri. Kapan terakhir kali lo masak buat seorang pria, Je?

"Nggak ada opsi ketiga?" tanya Jerini. "Go—"

"Nggak. Gue sengaja batesin kondisi hanya untuk dua opsi aja. Biar gampang."

Ah, Cakra si ahli urusan efisiensi! "Oke. Indomi rebus kalau gitu."

"Kalau gue minta pakai telur dan cabenya ditambah, bisa?" tanya Cakra ringan. Seolah seolah mereka melakukan hal seperti ini setiap hari.

"Bisa," sahut Jerini singkat. "Tunggu, ya," katanya sambil melangkah menuju pantri.

Di atas counter table, ada shopping bag dari minimarket yang belum dia bongkar sejak dua hari lalu. Jerini mengeluarkan dua bungkus mi instan sekaligus dengan asumsi satu bungkus tidak akan cukup untuk pria berbodi tinggi besar seperti Cakra. Serta mengeluarkan telur omega dari kemasan plastiknya. Masih dari tas plastik yang sama, Jerini menemukan sekotak teh melati yang masih tersegel rapi. Puas dengan bahan-bahan yang tersedia, Jerini mulai membuka laci untuk mengeluarkan sauce pan, serta mengisi air ke dalam ketel listrik dan menyetel suhunya.

Untuk pertama kali sejak pindah ke sini, Jerini bisa menatap dengan gembira ketika alat-alat masak itu mulai bekerja sesuai fungsinya. Dan bersyukur mendapatkan unit ini dengan perabotan yang masih persis seperti iklan di brosurnya karena pemilik sebelumnya belum pernah menempatinya.

Ketika membuka kulkas yang terpasang menyatu dengan kitchen set, Jerini menoleh kepada Cakra. "Cak, lo mau pakai cabe iris? Gue juga punya daun bawang nih, kalau lo doyan."

"Gue mau semuanya, Je," sahut Cakra singkat.

Jerini menoleh ke tempat Cakra berada. Pria itu hanya duduk. Tanpa memegang HP, juga tidak bertanya tentang remote TV. Luar biasa juga melihat Cakra seperti sangat ahli dalam hal tidak melakukan apa-apa tanpa terlihat gabut maupun bosan.

"Oke, deh," gumam Jerini akhirnya.

Wanita itu pun kembali melanjutkan aktivitas memasaknya. Dengan penuh semangat dia membuka rak bagian atas untuk mengambil salah satu dari dua mug yang baru dia beli. Tak lupa mangkuk-mangkuknyaserasi yang baru dia beli dan bahkan belum dibuka dari boksnya. Lagi-lagi Jerini menatap ke sekelilingnya dengan gembira. Menganggap keputusannya untuk membeli barang-barang pengisi rak dapurnya sungguh tepat. Karena apa artinya menempati rumah baru kalau tidak diikuti dengan serunya berbelanja melengkapi pernak-perniknya?

Masih terbayang bagaimana dulu dia sangat antusias berburu aneka furnitur serta perlengkapan seperti gorden dan karpet, tepat setelah berhasil membeli rumah. Juga aneka perabot dapur dan kamar tidur yang menjadi prioritas utamanya, meskipun setelahnya saldo tabungannya nyaris nol rupiah. Bagi Jerini, memiliki rumah sendiri adalah pencapaian luar biasa di usianya yang waktu itu masih 26. Begitu bersemangat sampai dia mengabaikan keengganan Gandhi. Dan menganggap suaminya kala itu tidak bisa merasakan kegembiraan yang sama karena bukan uangnya yang digunakan untuk membeli rumah.

"Ngapain sih harus ngoyo banget beli ini itu?" tanya Gandhi dengan skeptis saat itu. "Bukan hal penting. Mending dipakai untuk hal lain, kayak renovasi garasi yang lantainya kurang—"

"Garasi melulu yang Mas pikirin. Terserah ya, kamu mau berpendapat apa. Memang belanja kayak gini bukan hal yang utama. Tapi aku seneng melakukannya. Aku happy," sahut Jerini tak menanggapi pendapat suaminya.

"Kamu memang susah dikasih masukan, Rin," omel Gandhi kesal. "Selalu kesenanganmu sendiri yang kamu pikirin."

Jerini mencibir. "Kalau Mas Gandhi mau renov garasi, silakan aja. Aku belanja-belanja nggak gangguin duit kamu, kok. Ini duitku sendiri. Aku bisa banget bikin diriku sendiri happy." Jerini sengaja mengucapkan kalimat ini karena kesal gara-gara Gandhi kebanyakan menuntut tetapi tak mau keluar uang sepeser pun. "Aku sih bersyukur banget karena secara finansial aku mandiri. Jadi nggak sampai kurus kering makan hati karena aku nggak pernah jadi prioritas utamamu. Selalu saja kamu royal ke keluargamu dan pelit ke istri."

"Rin, kamu tahu sendiri kondisi keluargaku. Ngapain aku kasih duit sama kamu kalau duitmu udah banyak? Ibu dan adik-adikku lebih butuh gajiku daripada kamu—"

"Tapi aku kan istrimu, Mas?" Jerini sampai terbelalak kaget mendengar pendapat Gandhi tentang bagaimana pria itu menyusun prioritas antara dirinya dan keluarganya. "Minimal aku ada hak di pendapatanmu, karena bagaimana pun aku ini tanggung jawabmu!"

"Jadi sekarang kamu nuntut aku buat tanggung jawab?" Gandhi malah ngegas. "Asal kamu ingat, kita nggak akan kayak gini kalau kamu nggak memaksakan keinginan biar kita menikah cepat-cepat, sebelum aku siap dan mapan."

Mendapat serangan seperti itu spontan Jerini meradang. "Nunggu kamu mapan?" tanyanya sengaja dengan mengejek. "Inget aja, yang nyariin kerjaan dengan gaji layak buat kamu siapa? Sok-sokan bilang mapan!"

Ucapan ini cukup untuk menyulut emosi Gandhi.

"Emang ya, selalu kamu yang merasa benar—"

"Iya!" potong Jerini cepat. "Emang aku udah benar mengambil keputusan! Kalau aku nggak mutusin kita cepat menikah, sampai sekarang juga kamu masih terlunta-lunta jadi marketing perumahan yang penghasilannya nggak menentu itu. Keluargamu masih terlilit utang untuk membiayai kebutuhan!"

"Sebut saja terus jasamu—"

"Dan jangan lupakan keputusanku untuk beli rumah secara cash! Kalau aku nurutin mau kamu beli rumah KPR, kita hanya akan terlilit utang. Utangmu akan semakin besar selain utang buat keluargamu—"

"Emang sejak dulu aku nggak ada harganya di mata kamu! Kamu nggak pernah mau dengerin pendapatku!"

"Ha? Pendapatmu yang mana?" tantang Jerini. "Ucapin itu kalau kamu udah bisa nggak sok-sokan pamer mobil bagus sama temen-temenmu! Ucapin kalau pendapatmu benar kalau kamu udah bisa berhenti bangga-banggain rumah ini di depan kolegamu! Kamu pikir aku nggak tahu semua kelakuanmu?"

Jerini menghela napas panjang sambil menuang mi instan yang telah matang itu ke dalam mangkuk yang sudah dia cuci serta dilap sampai kering. Gemuruh di dadanya memang tidak lagi sekencang kemarin-kemarin setiap kali dia mengingat semua pertengkarannya dengan Gandhi. Sakit hatinya pun perlahan sudah mereda saat menyadari semua sudah selesai.

Kini dia justri bisa berpikir lebih jernih, mengingat betapa banyak momen yang mengungkap perbedaan antara dia dan Gandhi. Yang membuatnya semakin mudah memahami benih-benih ketidakcocokan di antara mereka berdua.

Sebenarnya ketidakcocokan itu normal adanya karena mereka hanya manusia yang tak sempurna. Namun yang menjadi masalah adalah baik dia maupun Gandhi tidak tahu bagaimana cara mengatur pikiran serta perasaan agar bisa menerima perbedaan itu dan menganggapnya sebagai sebuah kewajaran dalam satu hubungan.

Sebaliknya, perbedaan di antara mereka justru menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan dan membuat hidup mereka tersiksa pelan-pelan. Karena hal-hal yang menyenangkan bagi Jerini tidak bisa dinikmati oleh Gandhi. Pun sebaliknya. Kelebihan Gandhi tidak bisa membuat Jerini tertarik lagi. Sementara kekurangan Gandhi tidak sanggup dia maklumi.

Sebenarnya Jerini sudah berusaha agar dia tidak terjebak untuk membenci suaminya sendiri. Namun seberapa keras pun dia mencoba, sulit berhasil karena tidak diimbangi oleh usaha yang sepadan dari Gandhi. Karena Gandhi bukan jenis orang yang mau susah-payah berusaha memahami Jerini demi menyenangkan pasangannya. Hal itulah yang akhirnya membuatnya merasa terpaksa. Yang berujung pada rasa lelah tak berkesudahan, dan lama-lama mematikan api asmara di antara mereka.

Jujur harus Jerini akui kalau sebelum kasus Putri pun, sebenarnya dia sudah sering sekali menghindari Gandhi. Memilih menyibukkan diri dengan kegiatannya sendiri demi menghindari kontak dengan Gandhi. Bahkan di saat malam pun, sentuhan pria itu tidak lagi dia sukai. Tak jarang Jerini memilih pura-pura tertidur karena malas sekali disentuh Gandhi.

Kini Jerini hanya bisa tersenyum sinis pada setiap kejadian, entah film, entah drama, atau konten yang bertebaran di media sosial yang meromantisasi pernikahan. Huh! Kalian nggak tahu saja. Menikah nggak seindah itu!

"Je?"

Panggilan Cakra mengembalikan Jerini ke dunia nyata. Dan membuatnya cepat-cepat mengembalikan konsentrasinya pada makanan yang sudah siap dihidangkan.

"Tunggu bentar, Cak," sahutnya sambil cepat-cepat menghalau semua pikiran yang menghinggapi kepalanya beberapa saat lalu. Berharap dia masih bisa bersikap normal di dekat pria itu.

"Di meja makan aja, ya," kata Jerini sambil memindahkan mangkuk-mangkuk serta mug ke atas nampan yang berhasil dia temukan di antara barang-barang yang telah dibelinya itu.

"Lo nggak makan?" tanya Cakra heran saat menghampiri Jerini yang sedang meletakkan mangkuk berisi mi rasa bawang dengan topping telur rebus, serta irisan cabe dan daun bawang di atas meja. Juga mug teh yang harum mengepul sebagai pelengkapnya.

"Gue udah makan di mal tadi," jawab Jerini sambil mengawasi Cakra yang seperti kesulitan menyelipkan tubuhnya di kursi makan yang tiba-tiba terlihat terlalu kecil itu. "Kursinya cukup, kan? Nggak sesak kan?" tanya Jerini spontan.

"Cukup, Je. Gue emang besar. Tapi nggak sebesar itu juga kali," sahut Cakra sambil nyengir.

Cakra bisa nyengir itu sungguh penemuan baru yang layak dirayakan! Membuat Jerini menanggapinya dengan tawa geli. Saat wanita itu duduk di kursi yang terletak di seberang Cakra, dia sadar sesadar-sadarnya bahwa malam ini mereka berdua bertingkah tidak seperti biasanya. Namun seperti kata Cakra, sekarang bukan waktu yang tepat buat menganalisisnya. Jadi dia akan membiarkan semuanya mengalir seperti ini saja.

Sesederhana itu.

"Sejak pertama lihat unit ini beserta isinya, di mata gue, perabotannya terlihat baik-baik saja. Tapi begitu lo masuk, semua kelihatan imut, Cak. Dan ruangan ini juga jadi sempit." Lebih tepatnya sesak sekali.

"Tentu saja," ucap Cakra sambil meraih mug tehnya. "Lebar ruangan ini cuma tiga meter kalau gue nggak salah ingat. Jadi kalau lebar badan gue setengah meter lebih, keberadaan gue di sini bikin ruangan lo ini tinggal kurang dari dua setengah meter doang, Je."

Tawa Jerini meledak seketika. "Dibahas banget ya, Cak!"

"Biar pikiran lo nggak ke mana-mana. Bahaya kalau lo sampai menganggap kehadiran gue sebagai beban yang menyesakkan ruangan. Padahal semua itu bisa dijelasin secara matematis."

Yaelah, Cakra! "Bisa aja lo," Jerini masih tertawa sambil mengamati Cakra yang kini mengangkat mug ke depan bibirnya.

Tanpa sadar Jerini mengawasi dengan saksama bagaimana pria itu menyesap teh panasnya sedikit. Lalu meletakkannya kembali di atas meja dan mengambil gula dalam kemasan sachet yang disiapkan oleh Jerini dalam mangkuk kecil dari porselen putih polos. Menuang sebungkus gula dan mengaduknya perlahan dengan sendok kecil yang juga telah dia sediakan.

"Gue suka aroma tehnya," gumam Cakra.

"Ntar gue spill merek dan variannya kalau lo mau," balas Jerini yang perhatiannya masih terfokus pada pria di dekatnya itu.

"Ngapain? Gue nggak bakalan beli juga," sahut Cakra tak acuh.

"Katanya lo suka. Gimana sih?" Jerini mendelik.

"Kan gue bisa minta bikinin sama lo?" balas Cakra cuek. "Lo pikir kenapa gue ngotot jadiin lo tetangga?"

Jerini terdiam lalu membelalakkan mata kepada Cakra karena kehabisan kata. "Cakra! Lo Ya!"

Cakra pun tertawa. "Gitu aja lo percaya, Je. Kayak anak kecil aja," katanya meremehkan.

"Terus gimana kalau lo udah tahu gue kayak anak kecil? Lo nyesel tetanggaan sama gue?" tantangnya.

Cakra hanya tertawa tanpa memberi jawaban dan dengan santai melanjutkan melahap makanannya. Membuat Jerini tanpa sadar menjadi fokus memperhatikan bagaimana cara pria memperlakukan makanan serta minumannya. Karena sering makan bersama, Jerini sedikit banyak mulai hafal dengan kebiasaan Cakra untuk menyicipi dulu hidangan yang ada. Sebelum menambahkan seasoning tambahan seperti kecap, saus, atau pun sambal. Sekarang, semakin dia amati, semakin membuatnya penasaran. Kok ada ya, laki-laki yang punya kebiasaan antik begini?

"Kenapa, Je?" tanya Cakra sambil mengangkat muka dan memergoki Jerini yang tengah mengamatinya.

"Hah?" Jerini terkejut oleh pertanyaan Cakra yang tiba-tiba.

"Lo yang kenapa," sahut Cakra. "Kenapa elo melototin gue kayak gitu? Takjub karena gue ganteng?"

Jerini mencebik seketika. "Iya deh. Lo emang ganteng sih. Tapi sayangnya gue udah nggak takjub lagi."

Kalau tadi Jerini heran karena Cakra bisa nyengir, sekarang dia sudah tidak heran lagi ketika pria itu mencibir.

"Dasar janda! Jangan bilang lo udah mati rasa sama laki."

Kan? Jerini sampai sulit mempercayai pendengarannya sendiri. Ini Cakra lho, yang bicara? Sarkas banget!

"Kenapa? Lo juga terkejut gara-gara gue bilang lo janda?" tanya Cakra cuek. "Emang nyatanya status lo begitu, kan? Samalah, kayak gue dibilang bujang lapuk, masih jomlo meskipun usia udah 33."

"Tapi dibilang janda tuh kayak dikatain, Cak! Gimana sih, lo ini. Janda itu konotasinya negatif!" bantah Jerini.

"Kata siapa? Nggak ada negatifnya jadi janda, Je. Elah, lo sensi banget. Padahal yang ngomong juga cuma gue, Je. Gimana kalau orang lain coba?" Cakra berdecak-decak sambil terus menyantap mi rebusnya.

"Kayaknya lo paham banget ya, urusan perjandaan ini?" tanya Jerini sengit meskipun sudah tidak kesal lagi.

"Seumur hidup gue, nyokap gue tuh istri rasa janda. Gimana gue nggak jadi master dalam urusan kayak gini, coba?" Cakra menimpali dengan enteng. "Makanya jangan baper. Hadapi aja itu. Dibilang janda, ya udah terima aja. Lama-lama juga lo bakal terbiasa dan nggak bikin lo nyolot lagi."

Sebelnya, Cakra 100% benar!

"Lo sempet belanja perabot juga, Je?" tanya Cakra sambil menunjuk pada mug, mangkuk, serta sendok dan garpunya. "Dua kali gue nempati apartemen baru, dua kali juga gue lupa kalau nggak ada alat makan di lemari dan meskipun dibilang full furnished."

"Full furnished kan buat furnitur, Cak. Mentok-mentoknya kompor lah. Nggak sampai ke sendok dan garpu segala. Emang lo nggak nanya waktu marketingnya jelasin?"

"Malu."

Jawaban Cakra di luar dugaan. Sampai-sampai Jerini sampai mengangkat alis karena tidak percaya oleh ucapan pria itu. "Kenapa mesti malu? Serius, Cak—"

"Orang kayak gue, paling anti kelihatan katrok, Je. Masa kayak gitu aja lo nggak paham."

Duileh. Jaim kalau berasal dari DNA ya kayak gini jadinya. "Apa salahnya sih nanya? Kan nanya bukan berarti katrok? Aneh-aneh aja lo. Jaim banget."

"Bukan perkara jaim sih," Cakra terlihat berpikir keras. "Uhm ... pokoknya, buat sampai ke posisi sekarang ini bukan perkara mudah buat gue. Dengan status keluarga gue, dengan tingkat sosial ekonomi Ibu gue, banyak faktor lah. Buat elo mungkin santai ya, masuk toko gede, nanya-nanya ini itu. Tapi dulu gue enggak berani. Rasanya semua orang udah tahu kalau gue nggak punya duit."

Ucapan Cakra membuat Jerini terdiam. Dia menatap pria itu untuk beberapa lama. Lalu mengangguk. "Makasih, Cak. Lo udah izinin gue kenal lo," katanya sambil tersenyum.

Cakra mengangguk. "Anytime, Je."

Suasana kikuk di antara mereka akhirnya berakhir saat Cakra menghabiskan suapan terakhir mi instannya. Membuat Jerini segera bangkit untuk mengambil mangkuk dan mug bekas makan pria itu.

"Ngapain?" tanya Cakra sambil mencegah uluran tangan Jerini.

"Mau dicuci dong, Cak. Masa mau dibanting?"

"Malam ini juga?" Cakra mengernyit.

"Masa tunggu besok? Tiga biji doang, Cak."

Cakra berdiri. "Ya udah, gue cuci sendiri mangkuknya karena lo udah masakin."

"Eh!" Jerini kaget. "Jangan! Gue aja—"

"Lo bukan babu gue, Je. Dan gue bukan laki-laki jompo," sahut Cakra tak peduli.

The real Cakra is back! "Terserah," sahut Jerini akhirnya sambil bergerak untuk duduk di sofa singleyang kini dipenuhi oleh travel bag serta backpack milik Cakra. Sementara pria itu sudah berdiri di depan wastafel dengan perabot kotornya.

"Kali aja lo mau tiap hari ke sini buat cuciin piring-piring gue, Cak!" tambah Jerini sengaja menyindir.

Di keluarga Jerini, laki-laki adalah raja. Ayahnya jenis pria yang harus dilayani 24 jam sehari bahkan untuk urusan seringan mengambil air minum dari dispenser. Sedangkan Gandhi? Tidak jauh berbeda. Sebagai anak sulung laki-laki yang dianggap "tulang punggung keluarga besarnya plus sosok panutan" haram hukumnya mengerjakan "pekerjaan perempuan" yang identik dengan urusan rumah serta dapur. Hal itu berlaku juga saat dia menjadi suami Jerini. Tak peduli sesibuk apa istrinya, pria itu selalu minta dilayani seolah hal itu sebuah keharusan.

"Gue tukang cuci piring berpengalaman, tahu!" kata Cakra yang terlihat tidak canggung berkecimpung dengan cairan pencuci piring, spons, serta lap dapur.

Ini Cakra bukan sembarang Cakra, lho. Ini Cakra sang CSO ngetop itu!

"Almarhum nyokap gue aja mengakui sama keahlian gue yang satu itu. Makanya piring-piring kotor di rumah kontrakan kami dulu selalu nunggu sampai gue pulang sekolah, baru dicuci. Karena sebagus itu kerjaan gue."

Jerini tertawa geli mendengar curcolan pria itu. Dan menyadari entah sudah berapa kali Cakra menyebut tentang almarhumah ibunya. Tanda kalau sosok wanita itu begitu lekat di benak putranya.

"Iya, percaya. Siapa yang nggak percaya sama kemampuan domestik anak janda kayak elo, Cak!"

Jerini tahu kalau untuk telinga awam, candaan mereka akan terdengar sangat kasar. Namun setelah Cakra mengatainya janda, Jerini jadi penasaran apakah pria itu juga imun terhadap ejekan sarkas seperti ini.

"Makanya, jangan remehin anak janda satu ini," sahut Cakra selow.

Pancingan mengena. Dan Jerini tersenyum lebar mendengarnya.

"Emang lo nggak pernah nonton TV, Je?" tanya Cakra yang belum beranjak dari depan wastafel.

Ini obrolan apaan deh? Random banget. Sambil menyembunyikan tawa yang entah muncul untuk keberapa kalinya malam ini, Jerini menjawabnya. "Nonton juga kadang-kadang. Tapi dasarnya gue nggak terlalu suka nonton TV."

Lagi-lagi tatapan Jerini tertuju pada sosok pria tinggi besar di dapurnta. "Apalagi kalau ada tontonan lain yang lebih menarik kayak sekarang," tambah iseng.

"Tontonan apaan?" Cakra sampai membalikkan tubuhnya agar bisa menghadap Jerini.

"Nonton lo nyuci piring, dong. Emangnya apa lagi?" Jerini terbahak. "Mau gue pinjemin celemek, Cak? Celemek gue baru juga, lho. Warnanya pink, motif bunga-bunga—"

Cakra yang sudah selesai mencuci piring dan tengah mengeringkan tangannya, tiba-tiba melemparkan kain lap itu ke wajah Jerini dan membuat wanita itu menjerit kesal.

"Kotor dan bau tahu!" hardiknya.

Cakra mencebik sambil mendekati sofa. Lalu meraih ransel untuk membuka saku depannya.

"Nih, Je," katanya sambil mengulurkan sebuah benda.

Jerini menerimanya. Lalu mengerutkan dahi saat mengamati benda pemberian Cakra. "Ini oleh-oleh, Cak?" tanyanya tak percaya. "Gantungan kunci karakter abang none Jakarta?"

Cakra mengangguk. "Cuma itu yang gue temuin di toko souvenir ...."

"Yaelah, Cakra! Ngapain lo kasih gue oleh-oleh dari Jakarta sih? Kasih oleh-oleh harusnya lo beli waktu di New York, dodol!" Jerini berkata dengan sebal. "Ini mah—" dengan kesal dia mengacungkan souvenir dari Cakra.

"Waktu gue masih di New York, lo belum pasti jadi tetangga gue, Je," jawab Cakra lempeng. "Ya udah, terima aja nasib lo dapet oleh-oleh sepuluh ribuan itu."

Nggak sopan banget pakai sebut harga. Tapi mau heran ini Cakra. Dan dari semua keabsurdan yang terjadi malam ini, oleh-oleh souvenir ini benar-benar yang paling epik. Membuat Jerini akhirnya hanya bisa terbahak-bahak karenanya.

"Mimpi apa gue dikasih oleh-oleh sama Bapak Cakra Maulana Ibrahim?" sindirnya. "Padahal lo udah jadi omongan orang sekantor karena nggak pernah bawa oleh-oleh, meskipun tiap bulan lo business trip ke mana-mana."

"Yang pergi lo sama gue, Je. Kenapa gue doang yang diomongin?" balas Cakra cuek. "Lo juga nggak beli oleh-oleh."

"Cakra! Helloo! Yang bos itu elo, gue nurut apa kata lo. Orang lain pake duit kantor buat beli oleh-oleh, Cak. Dimainin segala bukti pembayaran apalah apalah itu. Masa yang kayak gini elo nggak paham?"

"Lo emang mau kayak gitu, Je?"

"Ya enggak lah. Gila aja lo. Itu bohong, tahu? Gue udah pernah dibohongi suami dan itu rasanya anjay banget. Jadi sebisa mungkin gue menghindari melakukan kebohongan dalam bentuk apa pun kecuali kepepet."

"Ya udah. Ngapain lo sewot, Je? Terima aja oleh-oleh gue."

"Iya, Cakra. Iya," Jerini memutar bola matanya.

Cakra menatap Jerini. Pria itu terlihat sudah bersiap akan angkat kaki. "Belum setahun lo kenal gue, Je. Jadi lo nggak tahu gue."

"Maksudnya?" Jerini memicingkan mata.

"Dulu gue selalu beli oleh-oleh kok, setiap bepergian. Buat nyokap," kata Cakra sambil menyampirkan tali travel bag-nya ke bahu. "Tapi karena nyokap udah nggak ada, gue nggak tahu harus beli oleh-oleh buat siapa."

Dengan kata-kata itu Cakra berjalan menuju pintu depan. "Kunci pintu lo, Je. Gue udah tahu pin pintu lo. Kalau pin pintu gue, enam digit terakhir nomor HP gue. Kali aja lo mau masuk cari temen kalau pas nggak tahan kesepian di sini."

Sampai pintu tertutup di belakang punggung Cakra, Jerini masih terbengong-bengong berusaha mencerna apa yang terjadi.

Continue Reading

You'll Also Like

82.5K 15.3K 27
COMING SOON...
173K 10.7K 54
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
180K 12.3K 55
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
1.3M 70.2K 58
Takdir itu emang kocak. Perasaan cerita tentang perjodohan itu hanya ada di film atau novel, tapi sekarang apa? Cecilia Janelle terjebak dalam sebuah...