Ketua Osis Manja Is Mine

By utiwiutii

4.1K 137 0

Kisah seorang gadis bar bar yang sifat pecicilan nya selalu membuat semua orang mengelus dada sabar. Ara, ga... More

01 || Cowok kutub
02 || menginap
03 || di rumah berdua
04 || MPLS
05 || Cicin permata hitam
06 || Tanda tangan
07 || Mabar
08 || Kelas baru
09 || marah
10 || Traktiran
11 || Terus menempel
12 || Lomba
SPESIAL CHAPTER
14 || Keluarga besar
15|| candunya Varel
16 || without title

13 || mau coba buatan bunda?

145 6 0
By utiwiutii


Cinta beda agama memang sakit, cinta beda dimensi juga sakit, cinta bertepuk sebelah tangan lebih sakit. Tapi saling cinta namun tidak mengungkapkan rasa lebih asik.

⃘♡

⃘♡

⃘♡

Have a nice day

Gibran menatap datar gadis yang tengah berjalan ke arahnya dengan senyuman itu. Sangat malas jika harus berdebat dengan gadis keras kepala seperti Lia. Iya, yang teriak itu si Lia. Cegil nya Gibran.

Sedangkan Danu, Ade, Azril dan juga Kavin sudah siap memasang wajah judes untuk Lia. Mereka menatap jijik ke arah seragam ketat yang gadis itu kenakan. Apalagi kedua temannya yang tidak beda jauh. Pantes mereka temenan.

Varel memilih untuk tidur dan Kaisar mulai fokus mendengarkan lagu dari headphone yang terpasang di telinga nya. Lebih baik menutup mata daripada memandang ke arah 3 gadis tersebut.

"Mau ngapain tuh bocah kesini, malesin banget liat muka nya sumpah," julid Ade.

"Palingan juga nyamperin si Gibran, apalagi coba," sahut Danu.

Lia dengan semangat 45 mendekati Gibran. Namun saat tangan lentik itu hendak menggandeng tangan nya Gibran langsung mundur satu langkah.

"Ih kenapa mundur? Aku kan mau gandeng tangan kamu, Gib," kata Lia dengan wajah sedihnya.

"Ngapain kesini?" Tanya Gibran menghiraukan pertanyaan Lia tadi.

"Ini," Lia mengangkat paper bag yang dirinya bawa dengan cengiran. "Aku bawain makanan buat kamu, ayo makan aku suapin nanti."

Gibran menghembuskan nafasnya, ingin menolak namun dirinya tidak tega. Cowok itu masih punya perasaan untuk tidak menyakiti hati wanita, apalagi wanita itu menyukai dirinya. Tapi jujur saja Gibran risih dengan tindakan berlebihan yang Lia lakukan.

"Simpen aja buat lo, atau kasih ke orang yang lebih ngebutuhin, ya? Gue udah makan dan ngga laper sama sekali. Ngerti kan?" Ucap Gibran berusaha selembut mungkin. Berharap Lia mengerti dan tidak memaksa.

Ini yang Lia sukai dari seorang Gibran. Tutur katanya yang selalu lembut ketika berbicara. Apalagi saat menolak makanan atau pemberian darinya, meskipun di tolak Lia tidak merasa sakit hati sedikit pun karna Gibran menolak dengan penuturan yang lembut dan tatapan matanya selalu mengarah pada lawan bicaranya.

Gadis itu tersenyum, "ohh udah makan ya? Yaudah kalo gitu ini cookies nya aja kamu ambil ya, aku udah bikin ini semalaman, semoga suka dan semoga kamu engga buang cookies ini," kata Lia menyodorkan satu kotak cookies kepada Gibran.

Gibran tersenyum dan mengambil kotak itu dengan senang hati. Dia akan selalu berusaha menghargai seseorang entah dari pemberian nya atau perasaannya. Meskipun Gibran tidak menyukai balik, tapi setidaknya dia tetap menghargai. Itu lebih baik di banding dengan mengolok-olok dengan kata yang menusuk hati.

"Makasih." Lia mengangguk semangat, "sama sama, semoga suka ya!" Setelah itu Lia pergi dengan kedua temannya yang senantiasa mengikuti dari belakang. Kedua teman Lia sedari tadi terus mencuri pandang ke arah Varel dan Kaisar yang tengah menutup mata. Gibran dan yang lainnya menyadari itu.

"Lumayan buat nyemil," gumam Gibran menatap kotak dengan pita merah yang menghiasi.

"Si Lia kalo kalem gitu cantik juga ya, sayang banget sifatnya kalo lagi tantrum suka pengen gue gedik," kata Kavin.

"Dia emang cantik, lo baru nyadar? Kemana aja? Buta sekarang mata lo kalo selama ini ada cewe cantik?" Tanya Gibran beruntun membuat teman teman memandang curiga.

"Lo, suka sama Lia, ya Gib?" Tanya Danu langsung ke inti.

"Jangan jangan iya lagi, soalnya sikap lo ke si Lia lembut lembut gitu, curiga gue," sambung Ade.

Gibran mendengus mendengar pertanyaan itu, "salah kalo gue nyikapin Lia kaya gitu? Salah gue ngehargain perasaan sama pemberian dia? Salah kalo gue nolak dengan cara halus?" Tanya Gibran balik. Ade Danu dan juga Kavin menggeleng, memang tidak ada yang melarang dan menyalahkan jika Gibran berbuat seperti itu.

Azril yang paham sedari awal hanya diam memperhatikan. Gibran juga sempat cerita dan meminta saran kepada nya harus bagaimana kepada Lia. Dan Azril cuman menyuruh cowok itu untuk menyikapi apa yang di suruh isi hati. Karna Azril tau Gibran bukan cowok brengsek yang suka membuat hati wanita terluka.

"Alah itu mah akal akalan lo aja buat ngelak, hayoo ngaku aja kalo suka sama Lia, Gib," goda Ade.

"Nanti si Ara ngamuk mampus lo," tambah Kavin.

"Enggak salah tapi gue nebak nih lo pasti suka sama Lia. Orang sikap lo aja ke tu anak lembut manis gitu, siapa yang ngga curiga coba," ucap Danu.

"Dengerin gue. Gue punya adik cewek, mama gue juga cewek. Gue gamau kalo misalkan mereka berdua di perlakuin kasar sama cowok. Dan gue juga gamau kalo misalkan gue kasar sama cewek malah imbas ke seseorang yang paling gue sayang dan gue jaga, kalian pasti ngerti itu. Mangkanya sebisa mungkin gue bersikap biasa aja tanpa bentakan buat nyikapin tingkah lakunya Lia, bukan berarti gue suka atau apa tapi gue cuman ngehargain perasaan nya aja. Gue gamau dia sakit hati kalo gue bentak, gue gamau dia sakit hati kalo gue katain dia yang enggak enggak." Sejenak Gibran menghela nafas, butuh kesabaran untuk menghadapi 3 curut ini.

"Gue punya prinsip kalo wanita itu harus di jaga bukan di sakitin. Itu juga amanat dan nasehat papa sama bang Esa buat gue, sebisa mungkin, kapan aja, dimana aja, gue harus hormat sama yang namanya perempuan. Gue bilang sekali lagi kalo sikap gue ke Lia lembut itu karna gue cuman ngehargain perasaan nya aja, nggak lebih. Daripada gue bentak dan nolak dia dengan cara kasar sambil ngehina dia dengan sebutan sebutan yang gajelas, mending gue terima apa yang dia beri, iya kan? Gue kenyang dia senang. Kalo perlakuan nya yang suka ngelunjak gue juga kan suka kasar dikit, kata kata gue juga pedes tapi nggak sampe ngatain dia yang bikin sakit hati. Kalo sampe lo semua gitu, banci tau gak."

Dari awal Lia mengutarakan perasaannya kepada Gibran sebisa mungkin cowok itu bersikap ramah kepada Lia. Mau Lia ngasih bunga, coklat, surat, kotak makan dan lain lain Gibran terima dengan senang hati. Intinya cuman satu, menghargai.

Tidak pernah Gibran membentak terlalu keras dan mengatai Lia dengan sebutan yang seharusnya tidak di sebutkan untuk seseorang. Menolak Lia pun Gibran menggunakan suara dan penuturan yang lembut sehingga Lia dengan mudah tidak memaksa lagi, atau melakukan hal hal yang berlebihan.

Itulah kenapa Lia sangat tergila-gila kepada Gibran, apapun yang cowok itu lakukan Lia menyukai nya. Suara, sikap, sifat dan caranya yang menghargai wanita. Gibran bagaikan berlian di antara sungai yang harus dirinya raih, dijadikan miliknya seorang.

Namun ketika Lia yang berubah menjadi cegil dan keras kepala barulah Gibran sesekali menegur dengan cara kasar, namun tidak terlalu. Dia akan sangat berhati-hati, apalagi dengan ucapannya.

Masalah di kantin waktu itu yang Lia memaksa Gibran makan dari tangannya dan membuat Ara murka. Gibran sebisa mungkin tenang dan santai, meskipun dirinya sangat risih jika di tempeli seperti itu. Dan melihat Ara yang sepertinya sangat marah Gibran hanya diam, dia tidak mau membela yang berakhir hubungan nya dengan sang adik renggang.

Saat Gibran membentak Lia juga di dalam dirinya sedikit ada rasa takut menyakiti perasaan gadis itu. Di satu sisi Gibran tidak mau memperlihatkan kelembutan nya untuk seseorang di hadapan Ara, terbilang gadis itu sekarang memusuhi Lia. Di sisi lain juga Gibran harus menjaga perasaan Lia, dia lebih baik diam daripada menyakiti keduanya.

"Masya Allah tabakarallah sahabat gue punya pemikiran kaya gitu, pasti nanti yang jadi cewe lo bakalan bahagia banget," puji Ade.

"Apaan si lo, biasa aja kali. Ya emang seharusnya kita ngehargain perempuan kan? Perempuan itu di ciptain dari tulang rusuk kiri, dekat di hati untuk di cintai, dekat di tangan untuk di lindungi. Itu kata papa sebelum ngebuat gue ngehargain banget sama yang namanya perempuan. Jangan ngebentak karna hati perempuan itu sangat sensitif," jawab Gibran.

"Bangga gue sama lo," kata Azril menepuk pundak sahabatnya.

"Si Gibran masya Allah banget ngehargain dan ngelindungin perasaan perempuan, eh tapi dia punya temen brengsek yang hobinya mainin perempuan. Gimana nih, Gib? Ceramahin atau perlu ruqiyah aja sekalian," kompor Danu yang tertuju untuk Kavin.

"Heh apaan gue di bawa bawa! Kalo Rere mau balikan sama gue, gue bakalan tobat kok. Mangkanya bantuin buat balikan, baru gue berenti mainin cewek," kata Kavin.

"Udah biarin aja, Nu, kalo maunya gitu. Nanti juga nyesel sendiri, nanti juga berubah sendiri," kata Gibran.

"Yaudah lah, biarin kena ajab nyusruk ke neraka kalo kata si Ara mah," sahut Ade. Dan mereka langsung tertawa.

"Mau bolos sampe kapan?" Tanya Varel mengucek matanya. Cowok itu baru saja bangun dari mimpi indahnya.

"Yaelah putra tidur baru bangun, si otong kalo gitu cakep nya nambah, ni si Ara kaga klepek klepek apa ya?" Tanya Kavin menerka-nerka.

"Bacot," sentak Varel. Mereka yang melihat wajah kesal cowok itu lantas tertawa bersama. Si Kaisar yang denger suara ribut langsung ngebuka mata, ke ganggu dia.

Adekara
|Woi bazingan kaga mau nyemangatin gue lo?

|Abang kaga pekaan dasar

Gibran terkekeh melihat pesan yang adik kecilnya kirim. Lantas dia langsung membuka camera mengarahkan ke wajahnya. Cowok itu mengucapkan beberapa kata penyemangat untuk Ara.

Satu ide muncul di otak Gibran, dia mengarahkan kamera itu kepada teman-teman nya yang tengah berkumpul. Mereka yang di intruksikan untuk menyemangati Ara langsung heboh seketika. Melambai tangan, memberikan kisbay dan finger heart kepada Ara. Lebih tepatnya ke arah camera tersebut.

"Arahin ke si Varel, Gib." Usul Azril.

"Ngomong, Rel." Suruh Gibran saat kamera sudah menyorot wajah tampan sahabatnya.

Sejenak Varel hanya diam menatap wajahnya di layar, dan kalo nanti Ara melihat itu pasti seperti yang tengah bertatapan. Mereka semua menunggu apa yang akan Varel lakukan, cukup geram karna 20 detik Varel hanya diam. Gibran ingin menegur tapi di tahan oleh Azril.

Varel tersenyum tipis lalu berucap, "semangat." Setelahnya cowok itu mencondongkan wajahnya ke arah kamera dan mengecup layar ponsel milik Gibran. Satu mata Varel mengedip membuat siapapun yang melihatnya akan histeris.

"ANJIR SI VAREL!"

"DI LUAR NURUL WOII!"

"WAHH GA BERES NI GA BERES!"

"BAHAYA OY BAHAYA!"

Gibran cengo dengan mulut yang sedikit terbuka dengan tatapan kosong. Apa itu tadi? Benarkah yang melakukan hal itu barusan si Varel? Sungguh fenomena langka. Gibran tidak bisa membayangkan reaksi adiknya nanti, apakah salting sampe banting orang apa cuman biasa aja.

"Syokjut banget gue."

♡♡♡♡

Ara izin pamit ke kamar mandi untuk menuntaskan panggilan alam nya. Gadis itu mendapatkan nomor urut 25, dan sekarang masih nomor urut 15. Masih ada waktu untuk Ara pergi ke kamar mandi. Dan guru pembimbing nya mengizinkan.

Sebelum buang air kecil Ara sempat mengirimkan pesan kepada Gibran, dia kesal kepada abangnya itu masa tidak memberinya semangat. Abang macam apa. Sedangkan Arion, Anin, Mahesa, Rai, Riu, Maisha, Azri serta sahabat nya yang lain sudah lebih dulu memberinya dukungan. Hanya Gibran yang belum.

Setelah selesai Ara mencuci tangan dan sedikit membasuh wajahnya untuk menyegarkan pikiran. Tadi dia sempat gugup karna banyak sekali penonton, namun guru pembimbing nya berhasil untuk menenangkan Ara.

Satu notifikasi masuk dari Gibran berupa sebuah vidio sebanyak dua kali. Karna penasaran Ara membuka nya, dia mengklik vidio yang di awali wajah sang abang. Ara tersenyum mendengar dan melihat betapa excited nya Gibran saat mengatakan semangat untuk nya.

Apalagi, di tambah suara heboh dari Kavin Ade dan juga Danu membuat mood gadis itu semakin membaik. Satu makhluk yang menjelma sebagai buaya juga memberinya pantun gombalan, ingin sekali dia menghantam wajah yang sayangnya tampan itu. Azril hanya tersenyum dan memberi kata motivasi supaya Ara tenang ketika di atas panggung, dan tidak heboh seperti ke 3 curut yang masih saja mengoceh.

"Betah juga si Gibran temenan sama reog kaya mereka."

Setelah puas, Ara beralih ke vidio yang selanjutnya. Gadis itu sedikit mengerutkan kening saat yang pertama terlihat adalah wajah Varel si kutub Utara. Karna penasaran Ara mengklik dan terputar lah vidio tersebut.

"Apaan banget nih si kutub cuman diem? Kaga niat apa gimana? Halah dasar bocah prik," gerutu Ara saat melihat Varel yang hanya diam di dalam Vidio itu. Kesal? Tentu, waktunya terbuang hanya untuk melihat orang yang cuman diam. Nyemangatin nggak ngebuat mood buruk iya.

Saat Ara hendak mematikan vidio itu, di detik 20 Ara terdiam saat Varel tersenyum dan mengatakan semangat kepadanya. Ya kalo bukan buat si Ara buat siapa lagi? Toh vidio nya juga di kirim buat Ara, iya kan? Iya lah.

Sedetik kemudian Ara membelalakkan matanya melihat Varel yang mengecup ke layar, gadis itu langsung menjauhkan ponselnya dengan cepat. Tadi saat melihat vidio tersebut memang jarak wajah Ara dengan ponsel cukup dekat.

Dia memegangi dadanya yang tiba-tiba berdegup kencang, jantungnya seolah bereaksi saat melihat Varel seperti itu.

"Apaan tuh anjir," gumam Ara yang masih syok. Kalo Varel ngecup layar ponsel dan vidio nya Ara yang melihat, otomatis Varel mengecup nya bukan? Iya kan? Astaga, Ara semakin gila saja ketika memikirkan itu.

"Gila, beracun banget tuh cowok."

♡♡♡♡

Gadis itu pulang dengan senyuman merekah. Di tangan kanan ada piala juara 1 dan di tangan kiri ada 2 piagam penghargaan. Sedangkan di lehernya ada medali juara 1 juga. Senyuman nya tidak pernah luntur mulai turun dari mobil yang mengantarkan nya pulang sampai sekarang sudah di depan pintu.

"Assalamualaikum."

Ara mendorong pelan pintu rumahnya dan disana sudah ada kedua orangtuanya beserta kedua abangnya serta si kembar lengkap dengan Azri dan Maisha. Mereka tersenyum manis melihat Ara yang pulang dengan kemenangan.

"Selamat sayang," ucap Anin tulus memeluk sang putri lalu mendaratkan kecupan di puncak kepalanya.

"Papa selalu bangga sama kamu. Terus seperti ini, menjadi kebanggaan kita semua," kata Arion seraya menggendong Ara dengan kecupan manis di pipinya. Gadis itu tertawa dan tawanya sangat menggelegar membuat yang lain ikut tersenyum. Mereka turut bahagia.

"Adik abang yang paling pinter paling cantik paling manis, selamat ya manis. Abang seneng banget kamu pulang bawa kemenangan, apalagi liat kamu baik baik aja abang tambah bahagia," ujar Mahesa memeluk Ara beserta Gibran.

"Selamat, cantik," timpal Gibran.

"Jangan lupa traktiran oi," celetuk Rai membuat lengannya di tampol oleh Maisha.

"Tenang nanti traktir di bayarin sama papa," ucap Ara dengan enteng nya. Sang papa pun menanggapi dengan senyuman, dia sudah hafal sifat putrinya ini.

"Udah traktiran mah nanti, sekarang makan dulu ayo. Mama udah masak masakan spesial buat nyambut Ara," kata Anin menggiring semua anggota keluarga menuju meja makan. Disana sudah ada banyak macam hidangan.

"Eh sini kamu peluk mamih sama papih dulu," titah Maisha kepada Ara. Gadis itu pun dengan senang hati memeluk kedua orang tua si kembar dengan sayang.

"Selamat ya, Ara, mamih sama papih bangga sama kamu." Ara tersenyum manis menanggapi ucapan selamat dari Maisha. "Iya mamih."

"Anaknya papih sekarang udah besar, tapi tetep aja sifat ambis sama piala nya masih ada ya," kekeh Azri. "Selamat ya anak manis."

"Piala number one, pih," kata Ara.

"Yasudah ayo makan dulu."

Kedua keluarga itu pun lantas mengambil piring dan menyendokan nasi, serta lauk pauk yang sudah di sediakan di atas meja tersebut. Acara makan-makan bersama dengan dua keluarga yang tengah saling bercengkrama pun mengalir begitu saja.

Candaan serta alur obrolan yang terbilang selalu mengundang tawa itu tentu berasal dari gadis yang kini tengah menaikkan satu kaki nya ke atas. Itu kebiasaan Ara. Namun tidak ada yang pernah menegur nya, menurut Anin dan Arion jika itu membuat sang putri nyaman mereka tidak akan melarang. Namun, jika kenyamanan itu membuat keselamatan nya terancam, maka keduanya akan menjadi garda terdepan untuk melarang.

Ara semenjak kecil memang sangat menyukai piala dan medali, apalagi sensasi saat namanya yang di panggil ke atas podium untuk menerima penghargaan. Banyak pasang mata, pujian serta pandangan kagum tertuju kearahnya memiliki arti tersendiri bagi gadis itu.

Keluarga nya selalu mendukung apapun yang Ara lakukan, dan semua yang Ara inginkan juga pasti akan di penuhi. Ara ingin les tambahan, Ara ingin les bahasa asing, Ara ingin punya guru privat, Ara ingin punya lemari pribadi untuk piala piala nya, Ara ingin perpustakaan pribadi, dan lain lain selalu Arion penuhi.

Dan, itu semua, bukanlah keinginan Ara sepenuhnya. Selalu saja sang kakek yang mendoktrin itu semua supaya Ara sepanjang hari selalu belajar dan mengasah otak. Cukup melelahkan, tapi gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti anjing yang harus menurut pada majikannya.

Apakah keluarga nya tahu sang kakek selama ini memperlakukan cucunya seperti itu? Tidak! Tidak ada yang tau, bahkan Azri maupun Arion tidak ada yang curiga ketika Ara selalu menatap takut pada kakeknya. Wajar sih, karna itu tidak terlalu Ara perlihatkan.

Jika dirinya berani mengadu atau hanya sekedar mengeluh ini itu kepada Anin dan Arion, maka yang akan kena imbas adalah keluarga nya sendiri. Braman selalu saja mengancam seperti itu. Maka dari sanalah Ara selalu bungkam.

Shaka, dia tau saat bagaimana Ara kecil yang di tampar beberapa kali oleh sang kakek saat tidak dapat meraih peringkat pertama di kelas. Itu kejadian tidak sengaja saat Shaka hendak mengajak Ara bermain. Dan yang dilihatnya malah Ara-sahabat kecil yang selalu menemani nya tengah meringkuk dengan wajah yang bersimbah air mata.

Ara mengembuskan napas pelan saat otaknya kembali mengingat vidio yang Gibran kirimkan, dimana Varel mengecup layar, terngiang-ngiang di otaknya.

Saat tengah melamun, ponsel di sakunya bergetar. Ada pesan masuk.

Orang tua
|Hampir kalah! Kenapa nervous, Bela? Kamu hampir saja tidak ada di urutan pertama. Jangan ulangi.

Ara menatap nanar pesan yang kakeknya kirim itu. Alih alih memberikan ucapan selamat atau hanya sekedar memberikan kata kata yang bisa membuat nya senang, tapi pria itu malah membuat mood nya turun drastis.

Ara tadi saat sedang tampil memang sedikit ragu, beberapa bait puisi dirinya lupakan. Namun mengingat jika dia harus menang dan namanya harus di panggil paling awal, membuat Ara PD dengan sendirinya.

"Aki aki peot dasar, mood gue anjlog nih," gerutu Ara

♡♡♡♡

Kantin sekolah kini sudah ramai dengan murid murid yang kelaparan, lebih tepatnya mungkin cuman lapar gak sampe kelaparan banget, yakali.

Ara, Gibran, Varel, Azril, Kaisar dan ke 3 curut yang sangat menyebalkan itu sekarang tengah duduk manis menyantap makanan mereka masing-masing. Sungguh khidmat mereka makan sampai tidak terasa sudah habis 2 mangkuk.

Ralat, yang habis 2 mangkuk cuman si Ade, si Kavin, sama si Danu doang, yang lainnya masih standar. Hari ini Ara mentraktir mereka karna Rai Riu membocorkan jika dirinya berhasil meraih juara 1 di dua lomba tersebut.

Sebenarnya bukan keinginan Ara untuk mentraktir mereka siang ini, tapi karna kemauan Ade dan Kavin. Kedua cowok itu tiba-tiba saja sudah di depan pintu kelas Ara saat istirahat mendatang, mereka bukannya memberikan Ara ucapan selamat malah menodong gadis itu dengan traktiran.

Bukan masalah besar bagi Ara untuk membayar semua makanan yang sudah di pesan, gadis itu juga senang bisa berbagi kebahagiaan dengan yang lain. Entah keinginannya ataupun bukan, tetap Ara dari rumah sudah siap untuk menyambut berbagai macam pujian serta palakan, seperti sekarang contohnya. Bukan sombong, tapi sedari tadi memang ke 3 curut itu selalu memuji Ara.

Gibran menanggapi dengan senyuman saat Kavin ikut memuji dirinya yang selalu memberikan contekan, selain Varel dan juga Kaisar. Kata Kavin, mereka pantas satu darah karna memang kecerdasan nya setara.

Sedangkan si kembar hilang entah kemana saat sudah berhasil memalak uang Ara, kata mereka berbagi itu indah. Ara mau tak mau memberi apa yang keduanya inginkan, toh dirinya juga suka di beri jajan dan di beli kan barang oleh Azri maupun Maisha.

"Makasih banget inimah udah bayarin ya, manis, makin hari makin cantik aja deh lo, Ra." Kavin menggombal membuat Ara langsung mendelik dan ingin muntah di tempat. Mual sekali mendengar gombalan pasaran itu.

"Ra, jangan sampe lo masuk lubang buaya. Apalagi kena rayuan nya si Kavin, jangan deh, gue bilangin dari sekarang. Soalnya ni buaya amazing bahaya banget," kata Danu di lebih lebih kan. Padahal mah Kavin tidak se berbahaya itu, paling paling ninggalin pas sayang sayang nya. Standar kan? Daripada di tinggal nikah.

"Cailah gue gak bakalan mempan di gombalin kaya gitu, lagu lama, basi, gue suka hal hal baru," kata Ara yang santai meminum pop ice rasa mangga. "Lagian nih ya, kayaknya bukan gue yang harus kalian wanti wanti, tapi si Kavin," lanjut nya.

"Lah, emangnya kenapa? Kan tu bocah buaya, Ra," tanya Ade.

"Adek gue pakar plus pawang nya buaya, ati-ati aja, Vin. Jangan heran kalo nanti lo tunduk sama Ara," ucap Gibran lalu dengan senyuman manis sang adik memberinya jempol. Mereka berdua cuman mau manasin si Kavin aja, bukan berarti Ara beneran kaya gitu. Orang dia anak baik baik kok.

"Wahhh bahaya nih kalo disatuin," heboh Ade.

"Yaelah becanda kali si Gibran mah, pada serius amat," ucap Ara di seling dengan tawa ringan.

"Oh iya kemarin ada yang nanyain lo, Ra, ke si Gibran. Namanya siapa sih, Gib? Gue lupa," kata Azril membuka suara dan mengingat jika kemarin saat gadis itu absen untuk mengikuti lomba, ada yang menanyakan dirinya.

"Itu si Theo, dia nyariin lo. Gue tanya kenapa malah bilang nanti aja ngomong ke lo nya langsung, yaudah kata gue teh," sahut Gibran.

"Nahhh iya si Theo namanya."

"Yaelah bapak tiri gue udah mulai pikun, pasti bebannya banyak ya, pak," ucap Kavin terkekeh.

"Iya beban gue banyak, mikirin lo semua, kalo curhat kaga nanggung nanggung," kesal Azril.

"Yaelah lo kan bapakable, Az, yaudah kita jadiin tempat curhat aja iya gak?" Alis Ade naik dan menatap sahabatnya satu persatu, mereka lantas meng-iyakan saja.

Ara yang penasaran pun langsung bangkit dan pergi untuk menemui Theo, sebelumnya dia izin pamit pada semua orang dan berlalu dari sana. Urusan bayar sudah ia serahkan kepada Gibran.

Theo akhir akhir ini jarang menampakkan diri di depan Ara, sudah lama dirinya tidak bertegur sapa dengan cowok itu. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk kembali mengobrol dengan Theo, si anak yang suka Ara usili tapi tetap mau bersahabat dengan gadis ini.

Saat sampai di koridor kelas 10, Ara menghentikan langkahnya ketika melihat Theo sedang nongkrong di depan kelas dengan beberapa teman cowok itu. Ara hendak berbalik, sebaiknya nanti saja karna sepertinya Theo sedang sibuk. Tidak enak kalau di ganggu.

"Araa!!" Gadis itu berbalik dan mendapati Theo yang tengah melambai dan tersenyum ke arahnya. Dia berjalan mendekati Ara membuat para siswa di belakang sana bersorak menggoda.

"Darimana aja? Gue cariin dari kemaren juga," tanya Theo seraya merangkul pundak Ara. "Biasa lah gue kan anak sibuk jadi wajar kalo gue jarang banget keliatan," jawab Ara dengan senyuman tengil.

"Iya deh si paling sibuk. Oh iya, ayo ikut ada yang mau gue kasih ke lo." Theo menuntun Ara mendekati teman temannya yang tengah saling bersiul menggoda kedua sahabat ini. Ara memasang wajah tengil bersiap untuk membaur dengan yang lain, sedangkan Theo wajahnya sudah masam sekali karna kesal kepada teman temannya itu.

"Wah wah ada siapa ini, lo kenal sama temen dongo gue, Ra? Ko bisa?" Tanya salah satu teman Theo, Deren namanya.

"Sialan lo," umpat Theo. Deren dan yang lainnya terkekeh melihat raut kesal milik cowok itu.

"Lo emang dongo, Yo. Dari smp ampe sekarang menurut gue masih ada tuh si dongo nya," kata Ara seraya tertawa.

"Nah kan Ara aja ngakuin lo dongo," timpal Deren.

"Udah diem lo pada, bisanya nistain gue mulu. Ra, lo tunggu dulu sini ya? Gue ke kelas ambil barangnya." Ara mengangguk, lantas Theo langsung masuk ke dalam kelas guna mengambil barang yang hendak dirinya berikan kepada gadis itu.

"Lo kenal Theo dari smp ya, Ra?" Tanya Risal, teman Theo juga.

"Iya bre, kok lo tau sih? Wahh teroris ya lo?" Tuding Ara dengan mata yang memicing serta jari telunjuk nya terarah kepada Risal.

"Anjir hahaha! Lucu juga nih bocah." Risal tergelak begitu saja mendengar penuturan Ara. Menurut Risal gadis di hadapannya ini sangatlah polos melebihi anak balita.

"Lah? Malah tawa lo," heran Ara.

"Lo masih paud ya? Kok gemesin banget..." Belum sempat Risal memegang pipi Ara, sebuah tangan dari arah belakang menarik bahu gadis itu sehingga mundur beberapa langkah. Ara merasakan punggung nya menabrak sesuatu yang keras, dia menoleh dan mendapati dada bidang seseorang.

Tangan kekar melingkar posesif di leher Ara membuat gadis itu mendongak ke atas. Matanya membulat melihat Varel yang tengah menatapnya dengan alis yang naik turun sebanyak 2 kali. Bukannya syok atau kaget tapi dirinya kesal, apa apaan dengan alisnya yang naik turun itu? Meledek kah?

"Loh? Kak Varel?"

Siapa yang tidak kenal dengan ketua osis dingin kepunyaan SMAYA ini. Tentu semua orang kenal dan segan kepadanya. Setiap kelas pasti akan membicarakan ketampanan dan parasnya yang sangat menggoda iman itu. Apalagi ketika melihat Varel yang tengah berjalan dengan kacamata dan jas osis melekat di tubuhnya, pasti histeris sudah satu sekolah. Tentunya para kaum hawa yang akan heboh sendiri.

"Iya," jawab Varel sedikit ketus.

"Waw ada kak Varel, hay kak! Salam kenal saya-"

"Santai aja sama gue," potong Varel saat Theo hendak menggunakan bahasa formal yang menurutnya sangat kaku. Padahal mah dirinya juga kaku.

"Oh i-iya kak, kenalin gue Theo, salam kenal ya, kak!" Varel hanya mengangguk. Arah pandang Theo tertuju pada gadis yang tengah di rangkul oleh Varel. Wajahnya sedikit masam dan tidak bersahabat, apakah Ara kesal di perlakukan seperti itu oleh Varel? Bukankah banyak para gadis yang menginginkan dekat dengan cowok ini, lantas mengapa Ara malah kesal?

"Kalo udah gaada yang mau di bicarain, gue bawa Ara," ucap Varel dengan wajah datarnya.

"Heh apa apaan lo?! Gue masih mau main disini, ada Theo juga. Lo aja yang pergi sono." Ara malas dengan cowok kutub itu. Dirinya masih ingin berada disini dan bermain dengan mereka, pasti seru. Sok akrab banget dah tu cowo pikirnya.

"Lo ngerepotin," jawab Varel.

"Engga kok, kak. Ara ngga ngerepotin, malah kita seneng Ara ada disini," jawab Deren. Yang lainnya ikut membenarkan ucapan cowok itu, terhitung ada 5 siswa termasuk Theo disini. Menjadi 6 kalo Varel nya ke ajak.

"Tuh kan mereka aja kaga keberatan apalagi repot kalo gue disini! Lo kenapa sih? Sana ah."

Varel menatap tajam Deren karna ucapannya membuat Ara malah makin berontak untuk dirinya ajak pergi. Sedangkan Deren sendiri meringis di tatap seperti itu, sepertinya dirinya salah bicara.

"Ini ambil, dah sekarang lo ke kelas ya?" Ucap Theo menyodorkan sebuah kotak yang sudah di hias dengan pita hitam, termasuk kotaknya juga berwarna senada.

"Wahh apaan ni? Jangan jangan santet? Lo mau santet gue, Yo? ANJIRRR!! Syok banget aing iye mah," Ara heboh sendiri, padahal mah dia belum tau isi nya apa. Theo cuman menggeleng seraya berdecak, sudah hafal dan paham bagaimana tingkah dan pemikiran random sahabatnya ini. Kecuali yang lain langsung melongo.

"Duluan," pamit Varel menggeret Ara yang masih berada dalam rangkulannya. Entah kenapa Ara tidak berontak saat dirinya rangkul, malah tadi Varel rasa gadis itu menyandar pada dadanya. Posisinya Varel berada di belakang Ara dengan tangan kanan yang melingkar di leher gadis itu.

Ara memberontak saat Varel menarik dirinya menjauh dari Theo dan teman temannya. "WOI VAREL JANCOK LEPASIN GAK? ANJIR TOLONGIN GUE WOI INI NAMANYA PENCULIKAN! THEO! THEO! YO LO KAGA MAU NOLONGIN GUE HAH? TEMEN DAKJAL LO GUE MUTILASI BIAR TAU! BANG RAN, BANG ESA, MAMAH, PAPAH, PAPIH, MAMIH, RAI RIU TOLONGIN GUE!"

Theo tertawa terbahak-bahak bersama ke 4 temannya yang lain melihat Ara ngereog seperti itu. Mereka menggeleng saat tau sifat ajaib yang Ara punya, kecuali Theo tentunya.

"Ternyata bener yang orang bilang kalo si Ara tuh mood booster banget, orang sifatnya aja kaya gitu," kata Risal dengan tawa yang masih ada.

"Ajaib ajaib," sahut Deren terkekeh.

"Dia mental baja kayaknya, berani banget ngumpat kak Varel, hahaha! Mana sambil teriak gitu lagi," ucap Syahril yang sedari tadi diam.

"Namanya juga ajaib, Ril," kata Danang.

"Mereka deket ya?" Tanya Theo entah kepada siapa. Pasalnya dia bertanya dengan tatapan lurus ke depan dimana Ara masih berjalan dengan Varel. Ke 4 temannya saling lirik satu sama lain bingung mau menjawab apa.

"VAREL LEPAS GAK!"

"Diem," ucap Varel datar, membuat Ara mengatupkan bibirnya. Mendengar ucapan yang terbilang sedikit membuat bulu kuduk merinding itu Ara langsung terdiam. Tidak ada lagi pemberontakan yang dirinya lakukan. Varel menoleh ke samping, ujung bibirnya berkedut menahan senyum saat melihat Ara tengah memajukan bibirnya. Persis seperti anak bebek.

Banyak siswa siswi yang melihat interaksi keduanya dengan lekat, dari awal Ara teriak dan sekarang masih banyak yang terang terangan menatap mereka. Bisik bisik mulai terdengar dari bibir satu ke bibir lainnya melihat kedekatan Ara dengan Varel.

Itu yang Varel benci, di tatap seperti orang yang tengah melakukan kesalahan. Dirinya tidak mau di tatap seperti itu. Dan sekarang, dia harus bisa menerima jika setiap saat harus menerima banyak tatapan dari para murid. Kan Varel maunya deket Ara terus, sedangkan Ara kalo deket Varel pasti berisik dan ngundang perhatian.

"Mau kemana sih!" Tanya Ara dengan nyolot. Ini bukan jalan ke arah kelas nya, bahkan koridor kelas 10 sudah terlewat. Sebenarnya mau di bawa kemana ia oleh si Ketos ini.

"Ruang osis," jawab Varel saat mereka sudah sampai di depan ruangan osis yang sepi. Sepertinya anggota inti maupun anggota lain sudah masuk ke kelas masing-masing, terbilang sebentar lagi jam pelajaran akan di mulai kembali.

"Ngapain? Gue mau ke kelas." Ara melepaskan rangkulan Varel dengan kasar. Gadis itu menatap nyalang Kaka kelasnya.

"Gue udah izinin lo, masuk dan bikinin gue susu," kata Varel melenggang masuk lalu duduk di kursinya. Punggung ia sandarkan seraya arah mata yang terus memperhatikan Ara yang masih berdiri di ambang pintu.

"Lo masih nyusu, Rel? Serius?" Tanya Ara melangkah masuk dengan sendirinya. Mendengar permintaan Varel tadi yang ingin di buatkan susu membuat Ara ingin menjahili cowok itu. Kapan lagi, kesempatan tidak datang 2 kali.

Varel sedikit gelagapan mendengar pertanyaan Ara. Dia juga reflek tadi saat meminta Ara untuk membuatkannya susu. Sedangkan gadis yang kini tengah duduk di atas meja di hadapan Varel itu tengah menaik turunkan alisnya. Ketara sekali Ara meledek Varel, wajah tengil milik Ara ingin sekali Varel ini, emm itu intinya gitu.

"Kok nggak di jawab?" Tanya Ara lagi. Bisa dia lihat wajah panik Varel karna memang jaraknya dekat, terbilang Ara duduk di atas meja yang cowok itu biasanya gunakan untuk berpacaran dengan laptop nya.

"Salah denger," elak Varel membuang wajah ke samping. Ara tersenyum miring, kedua tangan gadis itu menangkup kedua pipi milik Varel, membuat wajah yang tadi sedang menoleh ke samping mendadak menghadap nya secara gamblang.

Tatapan keduanya bertemu, tidak ada satupun dari mereka yang ingin duluan memutuskan kontak mata itu. Keduanya sama sama hanyut dalam pesona seseorang yang mereka tatap, mungkin.

Ara mendekatkan wajahnya, otomatis badannya juga ikut condong ke depan. Varel sudah menahan nafas melihat Ara yang semakin dekat dengan wajahnya, bahkan nafas gadis itu pun bisa ia rasakan.

"Bayi," ucap Ara lalu menghimpit kedua pipi Varel sehingga bibir cowok itu monyong ke depan. Ara terkekeh lalu kabur ke dapur untuk menghindari Varel, takut takut jika dia akan mengamuk. Tapi nggak mungkin sih.

Varel terdiam beberapa saat, tangan nya terangkat untuk menyentuh kedua pipi yang tadi di pegang oleh Ara. Ada rasa bungah di hatinya dan juga, kenapa perutnya sekarang seperti ada banyak sekali kupu-kupu yang berterbangan. Entah sejak kapan tapi kini Varel sudah tersenyum lebar sehingga kedua matanya juga ikut tersenyum. Sangat manis.

"Nih cucu nya buat bayi," ucap Ara tersenyum jahil seraya menaruh satu gelas susu di atas meja. Saking senangnya Varel sehingga Ara sudah di hadapannya pun cowok itu tidak menyadari. Buru-buru ia mengembalikan raut wajah bahagia nya menjadi datar.

"Makasih," ucap Varel. Dia meraih gelas berisikan susu putih itu lalu di teguk sampai habis. Pergerakannya tidak lepas dari tatapan mata Ara.

"Lo beneran masih minum susu, Rel?" Tanya Ara membuat cowok itu yang sedang anteng meminum susu langsung tersedak.

"Eh, eh! Aduhh lo ati-ati dong minumnya, kan keselek," tegur Ara sedikit panik. Dia meraih gelas yang Varel pegang lalu menaruhnya di atas meja. Di elus nya punggung lebar itu membuat sang empu berhenti terbatuk-batuk. Bolehkah Varel jujur? Usapan Ara sangat lembut dan penuh perhatian.

"Udah mendingan?" Tanya Ara. Varel mengangguk lalu menoleh ke samping dimana Ara tengah berdiri seraya mengelus punggung nya.

"Duduk sofa aja sini," Ara mengajak Varel untuk beralih duduk di atas sofa, tujuannya hanya untuk membuat Varel nyaman saja. Dia sedikit bersalah telah membuat Varel tersedak karna pertanyaan nya. Kan ga lucu nanti kalo Ara yang di salahin misalkan Varel kenapa napa, formalitas bro.

Varel menurut dan ikut Ara untuk duduk di atas sofa empuk. Cowok itu diam melihat Ara yang tengah mengutak atik benda pipih di tangan nya.

Bang Ranjing
Online

|Woi lo dimana? Rai Riu sama temen temen lo pada nyariin nih, hape gue bunyi terus daritadi.

|Balik Ra jangan mangkal di kantin terus ah elah, bel udah bunyi tuh.

|Heh adek laknat ya lo kaga bales pesan abang nya

|ARAAA

Apaan si anying?|

Ganggu gue lo, berisik tau|

|Ya elo dimana anying, sana balik kelas

Lagi ada urusan gue|

Udah izin ke guru yg mau ngajar| tenang aja

Ara menoleh ke arah Varel yang tengah bersandar seraya memandangi nya dari samping, Ara cuek akan hal itu. Lantas dia bertanya, "bener kan Rel, lo udah izinin gue ke guru yang mau ngajar? Awas aja kalo alfa, siap siap aja gue bogem."

"Iya udah."

Ara kembali memusatkan perhatian nya ke ponsel, membalas pesan Gibran yang masih saja mencecar dirinya dengan banyak pertanyaan.

Varel bosan, lantas ia mengeluarkan ponsel dari saku lalu membuka satu aplikasi yang dirinya tidak pernah sentuh sama sekali. Game epep yang waktu itu Ara download.

Bang Ranjing
Online

|Dimana? Sama siapa? Ngapain?

Yaelah nanya nanya mulu kaya sales| panci

|Anying🗿🖕🏿

Jelek amat tu emot|

|Dih suka suka gue, siapa lo?

Yaelah pake nanya|

Ruangan AC, sma ketua nya, di suruh| bikinin susu

Setelah mengetikkan itu Ara langsung mematikan data untuk menghindari Gibran yang di pastikan akan terus bertanya tiada henti. Ara malas.

Dia menaruh ponselnya di atas meja lalu menoleh ke samping dimana Varel tengah sibuk dengan benda tipis di tangannya. "Lagi ngapain? Serius amat kayaknya," tanya Ara sedikit mengintip.

"Main ini gimana caranya?" Tanya Varel menyodorkan ponsel itu kepada Ara. "Yaelah lo kaga bisa maen epep, Rel? Anjir manusia dari planet mana lo?" Tanya Ara sedikit terkekeh kecil.

"Planet mars," jawab Varel asal.

"Yaudah sini gue ajarin, nanti kita mabar kalo lo udah jago, gue ajarin nembak langsung pala," kata Ara dengan semangat. Varel tersenyum kecil melihat keantusiasan gadis di depannya ini, dia menggeser tubuhnya agar sedikit lebih dekat dengan Ara.

"Jangan deket deket!" Tahan Ara saat Varel mendekatkan diri kepadanya. Cowok itu menaikkan satu alis ke arah Ara. "Kenapa? Katanya mau ngajarin. Kalo jauh jauhan gimana gue liatnya?" Tanya nya.

"Lah iya juga ya, gue kenapa sih. Yaudah sini." Ara menepuk sofa di sebelah nya menyuruh Varel untuk mendekat.

Cowok itu tersenyum lalu dengan girang menggeser posisi untuk lebih dekat dengan Ara. Entah si Varel kesurupan atau kenapa tapi sekarang cowok itu menaruh kepalanya di pundak Ara. Bahkan, dia menggaet lengan Ara untuk di peluk dari samping.

"Heh! Gausah meluk meluk gue bau jigong!"

"Lo bau jigong?" Tanya Varel polos.

"Kenapa malah gue yang bau?" Geram Ara.

"Lo kan tadi bilang 'gausah meluk gue bau jigong' gitu. Tapi lo nggak bau kok malah wangi."

"Sialan." Karna malas debat, Ara membiarkan Varel untuk menyandar pada bahunya. Sementara gadis itu fokus pada ponsel milik Varel yang tengah menyala menampilkan game.

Varel tersenyum menang melihat Ara yang pasrah saat dirinya bersandar pada pundak cewek itu.

"Ara kok mirip bunda ya, nyaman banget kalo deket dia," gumam Varel.

♡♡♡♡

Gibran menyodorkan buku catatan nya kepada Kavin dan Ade sambil di lempar, kedua curut itu meminta contekan karna belum mengerjakan tugas yang di berikan oleh gurunya kemarin. Gibran kembali fokus ke ponsel berusaha menghubungi adiknya namun tak kunjung di jawab.

Cowok itu memijat pelipis yang sedikit pusing karna memikirkan Ara. Mau keluar kelas tapi masih ada guru yang sedang mengajar, sekarang guru tersebut sedang keluar untuk mengambil spidol yang baru.

"Lo kenapa si Gib? Daritadi gue liatin kaya lagi mikirin sesuatu," tanya Ade duduk di atas meja milik Gibran.

"Mikirin Ara gue, tu anak kaga ada di kelas kata Rai. Tadi kan izin mau temuin si Theo tapi ampe sekarang belum ke kelas, gatau kemana," jawab Gibran.

"Daritadi juga Varel gaada di kelas," sahut Azril yang tengah santai menulis materi di samping Gibran.

"Nah berarti Ara sama Varel tuh, iya kan," kata Ade.

"Kenapa malah nyambung nya ke Varel? Tu cowok mungkin aja lagi ada urusan terkait osis, kalo Ara gue takutnya dia bolos."

Ade mengambil ponsel Gibran yang menyala di atas meja, disana terlihat room chat cowok itu bersama Ara. Dia membaca chatan tersebut sampai dimana Ara yang memberitahu dirinya sedang dimana dan dengan siapa. Ade sedikit paham.

"Adek lo lagi di ruang osis anjir, sama si Varel, gitu aja pusing lo," kata Ade menoyor kepala Gibran, dia gemas kepada sabahat nya itu.

"Darimana lo tau? Ara ada ngasih tau lo?" Tanya Gibran.

"Ini kan Ara bilang di ruangan AC, sama ketua nya, di suruh bikinin susu. Meskipun setiap ruangan di SMAYA itu AC semua tapi lo jangan terpaku kesana, perhatiin kata yang kedua 'sama ketuanya' lo pikir deh, emangnya ruang BK ada ketuanya? Emangnya perpustakaan ada ketuanya? Itu di ruang osis menurut gue," ucap Ade panjang lebar. Membuat Gibran manggut-manggut mengerti, cukup jelas sahabatnya ini berucap.

"Tumben lo pinter," celetuk Azril. Cowok itu sudah tau kemana Ara dan Varel pergi. Saat Varel menggiring Ara untuk ke ruang osis cowok itu kebetulan melihat nya.

Ade hanya mendelik saat Azril berucap seperti itu. Sedangkan Gibran melihat ponselnya dengan kerutan di dahi. "Thanks ya, De, syukur deh, gue jadi tenang kalo Ara sama Varel."

"Sama sama, lain kali lo jangan panik gitu elah, Ara bukan bocil lagi, eh tapi tu anak emang bokem sih," ucap Ade terkekeh kecil.

"Bikinin susu apa maksudnya?" Gumam Gibran yang di dengar oleh Ade dan Azril.

♡♡♡♡

Elis dan Bastian berjalan beriringan menuju ruang osis, kedua nya sesekali tertawa karna candaan dari Bastian. Kebetulan kelas mereka jamkos dan Bastian mengusulkan untuk ke ruang osis saja.

"Kenapa pintu nya kebuka?" Tanya Elis saat melihat pintu ruangan ini terbuka, di pastikan ada orang di dalam sana.

Bastian masuk lebih dulu lalu di susul oleh Elis dari belakang. Mereka mengedarkan pandangan takut takut ada penyusup atau apalah itu. Tapi kemungkinan besar tidak ada. Arah mata mereka jatuh pada 2 anak manusia yang tengah tertidur di sofa.

Bastian dan Elis saling pandang lalu berjalan mendekati kedua orang yang tengah menutup mata itu.

"Loh Ara?"

"Varel?"

Bastian menaikkan satu alisnya kepada Elis yang di balas gelengan kepala oleh gadis itu. "Kenapa mereka ada disini?" Gumam Bastian. Tidak, dia tidak marah Ara dan Varel berada di ruang osis, namun dirinya hanya aneh dan heran bagaimana Varel bisa sedekat itu dengan seseorang, apalagi ini perempuan, sampai tidur di pundaknya pula.

"Opini gue bener berarti, Lis. Mereka pacaran, fiks, no meleset meleset," kata Bastian sedikit berbisik takut membangunkan Ara dan Varel.

"Gaboleh langsung nyimpulin gitu, Bas." Elis menatap kedua adik kelasnya dengan lekat, "tapi kayaknya emang iya deh," lanjutnya.

"Nah kan, yaudah syukur gue kalo Varel normal. Kirain gay-AWW!" Elis refleks membekap mulut Bastian menggunakan telapak tangannya. Gadis itu berdecak dan menatap tajam sang empu. "Gausah berisik."

"Lo nyubit tangan gue anjir, sakit nih," kata Bastian mengelus ngelus lengannya yang tadi di cubit oleh Elis.

"Ya lagian lo maen celetuk aja kalo ngomong, di saring dulu napa." Bastian menghela nafas, "iya iya maaf bunda."

"Yaudah mau ngapain sekarang? Lo yang ngajak gue kesini." Tanya Elis duduk di sofa singel seraya menatap Bastian. Cowok itu terlihat berfikir dengan tangan yang mengelus dagu. "Sini, ikut gue." Bastian menarik tangan Elis membuat sang empu mau tak mau mengikuti dari belakang.

Tak lama setelah kepergian Bastian dan Elis, mata hazel milik Ara terbuka perlahan. Dia mengantuk saat tengah bermain ponsel milik Varel dan berakhir tertidur disini. Sama hal nya dengan si pemilik ponsel tersebut.

Ara memindahkan kepala Varel yang tadinya di pundak beralih pada pangkuannya. Tangan gadis itu sedikit keram. "Berat banget lo, Rel. Tangan gue Ampe pegel ini," keluh Ara seraya memijat pelan lengannya yang terasa pegal.

Ara mengelus kepala Varel dengan pelan, ternyata kutub ini memiliki rambut yang sangat lembut, dan juga wangi bayi? Ah, Ara tidak salah ini memang bau bayi.

Varel menggeliat pelan, cowok itu menaikkan kedua kakinya dan merubah posisi menjadi menghadap perut Ara. Di peluk nya tubuh hangat itu membuat Varel makin terlelap. Ara hanya membiarkan, melihat dan memperhatikan, sesekali terkekeh saat Varel malah semakin mengeratkan pelukannya.

"Bener bener bayi," gumam Ara. Gadis itu sekarang asik memainkan ponsel milik Varel dengan tubuh yang di sandarkan ke belakang, sedangkan tangan kirinya yang bebas mengelus kepala Varel.

Saat tengah asik dengan kegiatannya, Ara di kejutkan dengan 2 orang yang masuk ke dalam ruang osis. Ingin membangunkan Varel pun rasanya sudah terlambat, mereka sudah melihatnya dan tersenyum penuh arti. Itu Bastian dan Elis, mereka dari kantin membeli cemilan.

Ara mengumpat dalam hati saat melihat kedua kakak kelasnya itu, apalagi saat mereka melihat dirinya yang tengah bersama Varel, Ara takut Bastian dan Elis berfikir yang tidak-tidak.

"Eh? Hay kak, hehe," sapa Ara sedikit canggung. Kini dirinya seperti orang yang tengah ketahuan selingkuh.

Ara sedikit mengguncang tubuh Varel berharap cowok itu segera bangun. "Udah gausah di bangunin Ara, gapapa kok." Tangan Ara terhenti, gadis itu menatap Elis yang kini sudah duduk di hadapannya, bersama Bastian.

"Maaf ya kak," ucap Ara sedikit menunduk. Elis tersenyum dan terkekeh secara bersamaan, ada apa ini? Bagaimana bisa seorang Ara tertunduk seperti itu. "Gapapa, Ara. Kamu gausah minta maaf, kamu ga salah apa apa."

"Iya Ra, ngapain minta maaf coba? Awas itu kepala Varel nya jatuh ke bawah," kata Bastian lalu tertawa.

"Bayi nya Ara bangunin aja deh, udah lama juga tidurnya. Ga sopan kan ada kak Elis sama kak Tian, masa ini bayi tidur mulu," kata Ara lalu dia mulai membangunkan Varel.

Elis dan Bastian saling pandang. Apa tadi katanya, bayi? Ara memanggil Varel bayi? Bayi apanya, orang dingin, cuek, dewasa, kull bet kaya gitu, ga cocok. Pikir mereka.

Varel melenguh pelan dan iris matanya bersitubruk dengan iris hazel milik Ara. Gadis itu menunjuk ke depan dimana Bastian dan Elis sedang menatap mereka menggunakan arah mata nya.

Seakan paham Varel langsung bangun dan duduk di samping Ara. Wajah bantal milik Varel ketara sekali, apalagi tatapannya yang polos dan mata obsidian hitam itu mengerjap pelan beberapa kali.

"Ini di minum dulu, kalo bangun tidur harus minum supaya cairannya kembali," kata Elis menyodorkan minuman kepada Varel dan Ara. Mereka menerima itu dengan senang hati, Ara tersenyum dan mengucapkan terima kasih lalu meraih botol tersebut. Beda lagi dengan Varel yang hanya mengangguk.

"Kalian pacaran?" Tanya Bastian langsung to the point tanpa basa basi.

Ara tersedak minumannya sendiri, sama seperti Varel. Keduanya langsung menatap Bastian dengan tatapan tidak bersahabat, sedangkan Elis tadi langsung menggaplok lengan cowok itu. Salah siapa kalo ngomong suka nggak di filter dulu.

"Lo apaan sih? Jangan nanya gitu anjir," geram Elis berbisik kepada Bastian, lalu dia tersenyum ke arah Varel dan Ara.

"Emang kenapa? Gue kan cuman mau nanya doang." Elis hanya menatap Bastian dengan tajam.

"Kita nggak pacaran kok, kak. Iya kan, Rel?" Ara menatap Varel, tatapan itu penuh ancaman seakan Ara menyuruh Varel menjawab 'iya' bukan yang lain.

"Gatau," jawab Varel ambigu.

"Udah udah gausah di bahas, si Bastian ini gausah di dengerin ya? Udah ini kalian makan aja," kata Elis. Ara bernafas nafas lega saat Elis seperti nya berpihak padanya. Dia mengumpat Bastian karna menanyakan hal bodoh seperti itu.

Dan apa apaan tadi? Kenapa Varel malah menjawab 'gatau' itu membuat siapapun yang mendengarnya menjadi salah paham. Awas saja dia kalo misalkan Elis dan Bastian malah menyalah artikan jawaban tersebut.

"Tapi kalo pacaran gapapa kok, gue dukung, kalian cocok," ucap Bastian dengan jahil.

"BASTIAN!!"

♡♡♡♡

Ara keluar dari kamar mandi dengan pakaian santainya. Gadis itu baru saja mandi dan berkeramas. Wajah yang tadi kusut pun sekarang sudah segar kembali. Ara duduk di ujung kasur lalu memainkan ponselnya.

Gadis itu sedikit pusing karna tadi dirinya di serbu oleh para sahabatnya dan juga Rai beserta Riu. Apalagi di tambah sang abang dengan teman temannya.

Saat Ara dan Varel keluar dari ruang osis mereka langsung di sambut dengan wajah penuh tanya dan amarah. Beberapa pertanyaan keluar dari mulut mereka membuat Ara kewalahan sendiri. Pasalnya si Varel malah anteng memperhatikan tanpa mau menjawab mereka. Ara kesal.

Akhirnya Ara menjelaskan apa saja yang terjadi dan mengapa dirinya tidak masuk kelas, malah berada di ruang osis. Tentu, cerita tersebut sedikit di rubah demi image mereka masing-masing. Apalah kata nanti kalo mereka tahu Varel masih minum susu sedangkan Ara yang terang terangan selalu ribut bersama Varel malah tadi akur dan tidur bersama.

Setelah mendapat jawaban, akhirnya merekapun tidak lagi bertanya ini itu. Ara menghela nafas dan menatap tajam Varel yang tengah menatap ke arahnya juga. Sudut bibir Varel terangkat membuat Ara melotot. Apa apaan itu? Meledek kah?

Saat mereka hendak pulang dan berbalik arah, sial nya Bastian dan Elis malah keluar dari ruangan. Itu membuat mereka kembali mengobrol dan sangat patut untuk di umpat si Bastian malah membahas persoalan tadi. Untungnya Elis bisa membuat keadaan netral kembali. Lihat saja Ara akan tandai wajah Bastian.

Gadis itu mengerutkan kening saat ada nomor tidak di kenal mengechat nya. Ara mengabaikan dan beralih ke game untuk mengusir gabut. Makan malam sebentar lagi dan nanti Ara akan turun ke bawah. Sebelum itu dia ingin bermain game sebentar.

Saat asik dengan dunia game nya Theo mengirimkan pesan membuat Ara berdecak karna kalah. Sial, mengganggu saja orang itu. Ogah ogahan Ara membuka pesan dari Theo.

Yoyo
Online

|Araaaa

|Ra? Lo molor ya? Mandi dulu anjir, bau badan mampus lo

|Woi

Apaan anying?|

Ganggu gue lo, lagi ngegame juga|

|Bodo sih ga peduli

Kemplud|

Apaan?|

|Lo deket ya sama kak Varel?

Kenapa bahas itu?|

|Gapapa sih nanya aja, soalnya tadi kalian keliatan deket

Gue musuh sama Varel asal lo tau|

|Iya kah? Ngeri ah musuhan sama ketos, wkwkw🤣

Ketawa lo jelek banget|

|Suka suka Theo😋😝

Bacot🖕🏿|

|Kotak yang gue kasih udah di buka belum?

Untung lo ingetin, gue ampe lupa|

|Lo dari smp sifat pikunnya kaga ilang ilang ya

Sialan🖕🏿|

|Haha yaudah buka sana

|Chat gue lagi kalo udah di buka yaa

Ara beralih mengambil kotak pemberian dari Theo yang berada di atas meja belajar nya. Perlahan tapi pasti pita hitam yang tadi terpasang rapih mengelilingi kotak tersebut sekarang sudah terlepas.

Kaget dengan apa isinya sekaligus senang, gadis itu tersenyum lebar saat melihat bagian dalam dari kotak tersebut. Ada banyak macam makanan dan juga coklat. Theo tau sahabatnya ini suka sekali mengemil jadinya dia iseng untuk memberikan hadiah berisi makanan. Dan ya, itu berhasil membuat Ara senang dan mood nya naik drastis.

Ara mengambil ponselnya yang di letakkan di atas nakas lalu dengan cepat menelpon Theo untuk mengucapkan terimakasih.

"Hallo, Yo? Anjir makasih banget edan makanan nya. Sumpah gue seneng banget, mood gue naik Yo anjayy. Lo tau banget si apa yang gue suka, lope lope banget dehh!"

"Hahaha iya iya sama sama, Ra. Syukur deh kalo lo seneng, gue takut lo nolak dan malah di kasih ke orang makanan nya. Asal lo tau gue mah tau apa aja yang lo suka."

"Yaelah kaga bakalan gue tolak kalo yang ngasih isinya makanan mah, rugi dongg. Emang iya lo tau apa aja yang gue suka? Boong banget."

"Yeuuu bocil di kasih tau malah ngeyel. Gapapa sih kalo ga percaya, intinya gue tau."

"Iya deh terserah lo aja. Udah dulu ya? Gue mau ngegame sambil nyemil ini, lumayan makanan gratis, haha!"

"Iya dah sana, heran cewek kok hobinya nge-game."

"Bacot!"

Ara mematikan telfon lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mengambil satu coklat lalu memakannya dengan santai. Satu notifikasi membuat gadis itu kembali menegakkan tubuhnya, dengan malas Ara membuka ponsel dan melihat siapa yang mengirimkan pesan.

Nomor tidak di kenal yang tadi kembali mengechat Ara. Sebenarnya siapa dia? Apakah dirinya harus membalas? Atau sekedar bertanya siapa ini? Begitu? Ah baiklah.

O856********
Online

|Sv

|Sv

Apaan lo sv sv|

Gaje banget heran|

Siapa lo?|

|Mnsia

Mansia saha? Naon si anying|

|Varel

OHHH ELO TUB KIRAIN SAPE|

Yaelah mansia mansia jwb aja Varel| gitu, susah bet heran

|Udh

Iye ah bawel lu|

Apaan ngechat gue? Btw dapet| darimana ni nomor inces?

|Gsokan ale2

Sialan anying😭😭|

|Knp nangis?

Bacot ah cape banget 😭|

|Aneh, cpe y tdr mlh nangis

Varel bayik es batu kutub
Online

|Udh sv?

Udah tub|

|Ok

Karna sudah malas meladeni Varel yang sangat tidak asik itu, Ara beralih pada makanan yang masih tersimpan rapih di kotak. Dia pastikan detik ini juga makanan ini akan habis. Ara lapar tapi tidak lapar, dia mau nya ngemil bukan makan.

"Huh si parel masa iya dapet nomor gue dari gosokan ale ale sih? Aneh banget," gerutu Ara saat mengingat jawaban Varel yang tadi di chat.

Tak terasa sudah setengah cemilan yang gadis itu makan tapi tak kunjung membuat lapar itu menghilang. Bisa saja aja turun ke bawah dan mendahului makan malam tapi gadis itu mager. Lebih baik tiduran.

Notifikasi dari Varel membuat Ara berdecak dan langsung membuka chat tersebut.

Varel bayik es batu kutub
Online

|Ngpain?

Apanya yg ngapain?|

|Lo

Gue? Lagi ngemil ini knp?|

|Nnya doang

Jancok lu FAK🖕🏿|

|Jlk emt nya

Bodoamat|

Rel, tutor ngilangin laper|

|Mkn

Iya juga, tapi males cok|

|Ck, mgran

Laperrr|

|Mau cba buatn bunda gk?

Wah apaan tuh? Mau dongg|

Emg bunda lo bikin apa?|

|Gue, hehe

Wajah Ara memanas seketika melihat Varel yang tiba-tiba mengirimkan foto seperti itu. Padahal mah menurut otak Ara biasa saja tapi mengapa jantung dan hatinya berfikir berbeda. Bahkan, reaksinya sangatlah berlebihan. Kenapa sampai berdetak kencang sekali? Sial.

"Racun banget nih cowok," ucap Ara seraya memegangi dada dan pipinya yang memerah.

Varel bayik es batu kutub
Online

|Lgi slting y?

|Cie

BACOT BANGET LO!🖕🏿|

Siapa yg salting coba?|

|Oh nggk y?

Gaada yg salting, pd banget|

|Ywdh

Ara menghempaskan ponselnya asal dan menggerutu menyumpah serapah Kaka kelas nya itu, sial kenapa jantungnya sedari tadi tidak normal kembali?

Sementara itu Varel menatap nanar pada ponsel tersebut saat Ara tidak membalas pesannya. Apakah Ara marah karna dirinya berbuat seperti itu? Tapi kan kata Kavin tadi di jamin Ara bakalan salting.

Ya memang benar, Varel melakukan hal tersebut usulan dari sahabat nya yang buaya itu. Bukan usulan inisiatif dari Kavin langsung sebenarnya, tapi Varel sendiri tadi yang menelpon Kavin bertanya bagaimana cara membuat cewek salting. Dan dengan senang hati Kavin memberitahu cowok itu meskipun Varel harus bersabar ketika Kavin terus menggoda nya.

Jadi, dirinya gagal membuat Ara salting? Pikir cowok itu. Ohh tidak tahu saja si Varel kalo Ara daritadi jantungnya jedak jeduk terus, apalagi pipinya jadi merah, lucu sekali.

Nomor Ara, Varel dapatkan dari Gibran. Ya terus dari siapa lagi? Kan abang si gadis temennya sendiri, jadi ya di gas aja langsung. Berbeda dengan Kavin saat di tanya cara membuat cewek salting, Gibran tidak bertanya ini itu dan tidak menggoda Varel seperti apa yang dilakukan oleh Kavin. Cowok itu langsung mengirimkan nomor Ara.

"Harus gimana supaya Ara salting? Kata mama Anin Ara kalo di gombalin wajahnya datar, apa tadi Ara muka nya langsung jutek ya? Ara ilfeel gak ya? Duhh tadi aja nggak usah ngechat yang macem macem," rancau Varel. Pikirannya berkelana ke mana mana, memikirkan jika Ara akan ilfeel kepada nya. Gini gini Varel juga bisa ovt.

"HUAAA BUNDA EL PUSING!"

♡♡♡♡

Ara sekarang sudah rapi dengan dress putih di bawah lutut dengan pita kecil pada bagian dada. Aksesoris turut menghiasi leher jenjang putih milik gadis itu. Kaos kaki putih dan sepatu yang di belikan oleh Mahesa sudah rapi membungkus kaki Ara.

Rambut yang biasanya di kepang, di kuncir, di cepol, kini di biarkan tergerai bebas dengan hiasan jepitan pita putih. Sangat cocok untuk Ara.

Anin tidak jadi menyuruh Ara untuk memakai dress bermotif bunga-bunga karna kata anak gadisnya itu mirip seperti anak kecil. Ara memilih dress putih polos, itu lebih baik menurutnya.

Braman, kakek dari Ara sudah tiba di Indonesia dengan istrinya-Elina, yang tak lain adalah neneknya Ara. Seperti kata orang tuanya waktu itu, jika Braman sudah sampai di Indonesia mereka akan berkunjung ke mansion milik beliau. Dan nanti disana pasti ada sanak saudara yang turut hadir.

Menurut Ara, dirinya tidak perlu berdandan layaknya putri seperti ini. Cukup pake kaos oversize dan kolor saja dirinya sudah oke. Tapi Anin bilang, putrinya harus terlihat paling bersinar dan cantik diantara saudara saudara yang lain. Padahal mah cucu perempuan cuman Ara doang, lalu buat apa dandan? Ya sudah pasti dirinya yang paling cantik.

Mobil Lamborghini Aventador berwarna soft pink milik Ara sudah melesat dari garasi. Anin dan Arion di jok depan sedangkan si bungsu berada di jok belakang dengan kedua abangnya di sisi kanan dan kiri.

Candaan selalu terdengar di dalam mobil tersebut, meskipun Ara sudah memakai dress tapi sifat bar bar dan pecicilan nya tidak pernah hilang. Harusnya kan anggun, kalem dan elegan ya? Jangan harap deh. Tapi bisa aja si Ara kaya gitu, kalo di hadapan sang kakek.

Tak terasa mobil tersebut sudah masuk ke halaman mansion milik Braman yang sangat luas. Di tengah tengah nya ada taman mini dengan bunga yang tumbuh subur. Air mancur juga turut menghiasi taman tersebut. Sudah ada banyak mobil yang berjejer rapi, di pastikan sanak saudara yang lain sudah ada di dalam.

Gibran berniat membantu Ara turun dari mobil dengan tangan yang tersodor berharap gadis itu meraih tangannya. Namun, Ara malah menepis tangan Gibran dan dengan dress yang di angkat Ara keluar dari mobil. Sungguh, Gibran hanya bisa menganga.

Mahesa terkekeh melihat tingkah adik bungsunya. Sudah Mahesa tebak Ara tidak akan bisa berperilaku anggun.

Anin menoleh ke belakang saat melihat ke 3 anaknya malah diam di tempat. "Ayo masuk, kakek sudah menunggu." Mereka langsung mengangguk patuh. Ara kaget saat Gibran dan Mahesa berdiri di samping kanan dan kirinya. Gadis itu menaikkan kedua alis bertanya kenapa.

"Tuan putri bar bar harus di gandeng sampai masuk ke dalam, pastikan keselamatan nya aman, iya kan putra mahkota?" Gibran menatap abang tertua. Dan Mahesa tersenyum menanggapi, "benar sekali pangeran."

"Ahahaha! Apaan si anying." Tawa Ara menggelegar membuat kedua abangnya ikut tersenyum. Dengan senang hati Ara menyodorkan tangan kanan dan kirinya untuk di gandeng oleh kedua sang abang. Mereka berjalan beriringan masuk kedalam.

Ada bodyguard yang menjaga pintu utama dan mereka ber 3 tersenyum untuk menyapa, ke 2 bodyguard itu juga menunduk dan membalas senyuman cucu majikannya.

Sampai dimana mereka telah tiba di ruang utama yang sudah ramai dengan banyak orang. Ara menggeleng, ruangan ini sudah seperti gula yang di kerubungi oleh semut saja.

Matanya meliar untuk mencari kedua orangtuanya, namun mata itu malah bertubrukan dengan mata hitam milik sang kakek. Braman menatap cucunya dengan ekspresi datar, lalu arah mata itu seakan menyuruh Ara untuk memisahkan diri.

Ara mengangguk kecil. "Emm bang, Ara ke toilet dulu ya? Kalian duluan aja, ntar gue nyusul."

"Yasudah sana, jangan lama lama nanti mereka pada nanyain kamu," jawab Mahesa.

"Kebiasaan kebelet terus, dah sana," timpal Gibran.

Ara mengangguk lalu berjalan menjauh dari kerumunan. Bukannya masuk ke kamar mandi Ara malah berbelok ke ruangan yang di pastikan sudah ada Braman di dalamnya.

Tangan nya gemetar saat memegang knop pintu tersebut, dia ragu namun jika tidak masuk akan lebih parah.

"Kakek," sapa Ara saat dirinya sudah masuk kedalam dan melihat Braman tengah berdiri menghadap ke kaca yang menampilkan halaman depan.

"Bolos berapa kali?" Tanya Braman tanpa menatap sang cucu. Ara panik seketika saat kakeknya bertanya demikian, sial dia tidak bisa menjawab. Karna Ara akhir akhir ini memang sering membolos pelajaran. Dan bodohnya dia lupa jika Braman selalu mengawasi pergerakannya.

"Tidak bisa jawab?" Ara menunduk, tidak berani hanya sekedar untuk menatap sang kakek.

"Ganti pakaian mu, Bella. Kau harus mendapatkan hukuman karna bolos, absensi mu banyak alfa," titah Braman.

Ara menurut, gadis itu berganti pakaian dengan kaos oversize dan celana kolor hitam. Ara kembali menghadap Braman, sampai sekarang gadis itu belum berani membuka suara.

Ara menutup mata saat Braman mengambil gesper dari laci, gesper itu besar dan sangat menakutkan bagi Ara. Matanya tertutup rapat, bibirnya bergetar, tangannya sudah basah dengan keringat. Ara merutuki kebodohannya sendiri dengan membolos.

Tubuh mungil itu di hantam beberapa kali dengan gesper, namun tidak ada suara yang Ara keluarkan. Bibirnya ia gigit sekuat mungkin, saking kuatnya kini bibir itu sedikit mengeluarkan darah segar.

"Kakek, jangan bagian punggung atas, aku memakai dress yang bagian itu terbuka, k-kumohon.." lirih Ara sebelum tubuhnya kembali menerima cambukan dari Braman.

"Bang iyass..."

Hayyyy
Vote jangan lupa

---------------

Tertanda milik
R༊

Continue Reading

You'll Also Like

6.4K 235 1
What? Gw di jodohin sama manusia super duper dingin,kayak batu es teh sisri? untung ganteng. Kalau jelek gue mending kabur ke kutub utara. -Chalista...
506K 12.6K 63
( jangan lupa vote+follow akun Author ya!!) "Aku hamil anak kamu." ucap nya dengan sedikit terisak. "Terus?" ucap mahen dingin. "......." "Gugur...
1.7K 207 30
Memiliki keyakinan untuk menjalani hubungan di lembaran yang baru, namun masih di hantui dengan terganggunya kepercayaan, itulah yang di rasakan oleh...
727 79 7
Detik itu, ketika remang-remang lampu jalan menjadi satu-satunya penerangan, Septian akhirnya mengerti jika perpisahan kali ini bersifat abadi. Saat...