KUMPULAN CERITA PANAS by Robe...

By RobertoGonzales95

273K 1K 23

Kumpulan Cerita Panas buatan Roberto Gonzales. Khusus 21 tahun ke atas. More

Pesta Bujang Liar si Pengantin Pria (1)
Pesta Bujang Liar si Pengantin Pria (2)
Pesta Bujang Liar si Pengantin Pria ( 3 )
Skandal Besar Menjelang Pernikahan (1)
Skandal Besar Menjelang Pernikahan (2)
Skandal Besar Menjelang Pernikahan (3)
Disewa Lionel (1)
Disewa Lionel (2)
Disewa Lionel (3)
- JEREMY MURAKAMI kembali -
Gigolo Biseks Simpanan Mama (1)
Gigolo Biseks Simpanan Mama (2)
Gigolo Biseks Simpanan Mama (3)
CASAMIGOS
CASAMIGOS - PROLOG
CASAMIGOS - 1: Ricardo
CASAMIGOS - 2: Kendall
CASAMIGOS - 3: Arjuna
CASAMIGOS: 4 - Sophia
CASAMIGOS: 6 - Intersection 1B
Suami Yang Disetubuhi Cowok Macho Spanyol
Si Pemuas Satu Kos
Si Pemuas Satu Kos 2
Pacarku Sang Pemuas Satu Geng
Pemuas Suami Si Bos Bule
DRIVER OJOL ARAB PLUS - PLUS
Tubuh Kekar Suamiku Dijadikan Mainan Lima Atasanku (1)
Tubuh Kekar Suamiku Dijadikan Mainan Lima Atasanku (2)
DISETUBUHI TEMAN MACHO ISTRIKU DI PESTA PANTAI BINAL (1)
Disetubuhi Teman Macho Istriku di Pesta Pantai Binal (2)
TUBUHKU DIPINJAMKAN PACARKU DI PESTA LIAR
BODYGUARD "PLUS-PLUS" MODEL GANTENG ITALIA (1)
BODYGUARD "PLUS-PLUS" MODEL GANTENG ITALIA (2)
BODYGUARD "PLUS-PLUS" MODEL GANTENG ITALIA (3)
Piala Bergilir Pesta Seks Tokyo (1)
Piala Bergilir Pesta Seks Tokyo (2)
Di-Double Penetration Di Depan Istri Hamil (1)
Di-Double Penetration Di Depan Istri Hamil (2)
PEMUAS PARA PREMAN JALANAN
Memperawani Suami Muda Tetanggaku
Lubang Pemuas Pria-Pria Beristri
Malam Liar Sang Budak Korporat
Takdir Seorang C*mdump
Service Plus-Plus Barber Straight Turki
BULE ONLINE, PEREBUT KEPERJAKAANKU
Salah Kamar, Aku Dapat Sugar Daddy
Napas Buatan Dari Papa Sahabatku
MENGERJAI DADDY KEKAR BERISTRI
Menjebak Sopir Straight Bad Boy
MENJAJAL KEJANTANAN MASSEUR IMPOR RUSIA
LEGENDA SI OTONG MONSTER
MESIN PEMUAS MANTAN DAN GEBETAN
PELARIANKU SEORANG PRIA KEKAR BERISTRI
SI PEMUAS SEKAMPUNG
PEMILIK TUBUH INDAH SI PEMBANTU GANTENG
PELEGA DAHAGA SAHABAT PAPAKU

CASAMIGOS: 5 - Intersection 1A

760 9 3
By RobertoGonzales95

RICARDO ADONIS RAMIREZ’s POV


Ilustrasi: Ricardo Adonis Ramirez



I thought I could be very happy…

Besar di Panti Asuhan, aku tidak berani terlalu banyak berharap. Sejak kepergian Suster Laurencia, harapan-harapan di benakku tentang masa depan yang indah telah lenyap. Aku sama sekali tidak punya nyali untuk sebuah harapan indah mengenai masa depanku. Namun, tiba-tiba ada suatu cahaya yang menuntunku. Suster Laurensia sendiri sering datang di dalam mimpiku dan berkata aku harus terus hidup. Melalui tuntunannya, aku berusaha melanjutkan hidupku…

Namun, tetap saja aku seorang pengecut. Aku tidak pernah berani bermimpi besar. Bagiku, bermimpi itu bodoh. Kalau tidak terwujud, itu hanya akan membuat hidupku yang sedih ini semakin tragis saja. Sebagai gantinya, aku mulai saja belajar berharap hal-hal kecil. Aku hanya mau percaya suatu hari aku bisa keluar dari San Fernando Orphanage, mendapatkan pekerjaan yang layak di Madrid atau Barcelona untuk aku bertahan hidup, lalu bertemu dengan seseorang. Yang kubayangkan adalah seorang wanita berambut pirang panjang seperti Suster Laurencia. Di bayanganku, wanita itu berkulit sedikit kecoklatan, berbadan curvy, dan memiliki otak yang cerdas, persis seperti Shakira, superstar reggaeton dari Kolombia. Kuharap dia pandai menyanyi atau menari karena aku seorang laki-laki yang pendiam dan membosankan. Setidaknya, aku berharap dia bisa membawa keceriaan dalam hidupku yang terasa suram.


Ilustrasi: Miguel Rivera


Lagi-lagi, mana boleh aku berharap? Ternyata yang datang di hidupku adalah seorang pria… Miguel Rivera… Usia kami terpaut 12  tahun. Aku mengenalnya sejak usiaku 13 tahun saat dia menjadi seorang volunteer di San Fernando Orphanage. Dia seorang pria muda yang murah senyum, baik, dan disukai semua orang di Panti. Aku pun nyaman dengannya karena dia selalu berusaha membuatku tersenyum. Akhirnya, aku bisa membuka kembali hatiku setelah Suster Laurensia pergi… Saat usiaku 16 tahun dan dia berusia 28 tahun, Miguel mulai berkata dia ingin mengajariku berciuman.

Di sebuah hotel di Barcelona, Miguel memintaku menggosok gigiku bersih dan berkumur listerin agar bau napasku wangi dan nyaman untuk saling bercumbu. Aku dilanda kebingungan luar biasa tetapi juga penasaran. Berkali-kali aku berkata ini tidak seharusnya terjadi kala itu.

“Miguel, tidakkah ini aneh?” ucapku penuh keraguan. “Kamu adalah figur yang paling dekat dengan konsep keluarga bagiku… Aku menghormatimu… Dan lagi, kita ini sama-sama pria…

“Ricardo, katakan padaku sekarang!” ucap Miguel berusaha menghentikan kata-kataku. “Apakah aku pria yang berparas jelek menurutmu? Apakah napasku bau? Apakah aku sebegitu menjijikannya bagimu hingga kamu tidak mau aku mengajarimu ciuman?”

“Tentu saja tidak!” jawabku cepat-cepat, bingung harus menjawab apa. “Saat pertama kali melihatmu menginjakkan kaki di San Fernando Orphanage, aku cukup merasa yakin aku seakan-akan pernah melihatmu di sebuah majalah fashion… Lalu, kamu adalah satu-satunya orang yang dekat denganku saat ini… Kamu satu-satunya keluargaku…

“Lalu, apa masalahnya kalau kita berciuman?” jawabnya lagi berusaha meyakinkanku. “Kamu punya mulut… Aku punya mulut… Penampilanku seperti seorang model menurutmu… Kamu menyayangi seperti seorang keluarga, kan? Kenapa tidak dari lama saja kita berciuman? Lebih baik dicium seorang pria tampan sepertiku daripada seorang wanita buruk rupa, kan?”

“Kau memang pria sinting!” kataku tertawa dengan selorohannya, tetapi jantungku terus berdegup kencang.

“Ricardo, apakah salah kalau aku ingin memiliki peran dalam hidupmu?” ucapnya lagi, berusaha menjatuhkan benteng pertahanan dan kewarasanku saat itu. “Apakah tidak boleh kalau aku ingin mengajarkanmu berciuman? Aku hanya ingin memastikan kalau kamu bisa menjadi seorang pencium yang handal saat waktunya tiba…”

“Aku takut ini akan membuat hubungan kita canggung, Miguel…” sahutku berusaha jujur. “Sejak Suster Laurencia tiada, satu-satunya orang yang paling penting di hidupku adalah dirimu… Aku takut ini akan membuat hubungan kita aneh… Dan… Akhirnya, aku akan kehilangan dirimu…”

Kalimat itu berisi kejujuran… Air mataku turun… Entah kenapa, aku takut sekali. Bayangan bahwa suatu saat Miguel mungkin meninggalkanku muncul di kepalaku, dan aku tidak sanggup membayangkan itu terjadi sama sekali. Selama tiga tahun terakhir, Miguel adalah bagian besar dalam hidupku… Dia satu-satunya orang yang bisa aku ajak bicara mengenai pikiranku, perasaanku, dan ketakutanku. Lalu, dia sekarang di depanku, berdiri begitu dekat, memintaku menciumnya seakan-akan ini hal yang wajar. Itu adalah hal tergila yang pernah kudengar di telingaku dan membuatku jiwaku ketakutan luar biasa. Di bayanganku, Miguel akan menyadari kekonyolan ini dan menyesalinya. Pada akhirnya, dia meninggalkan aku seorang diri di San Fernando Orphanage karena dia malu melihatku. Dan aku akan sendirian lagi

Miguel hanya memandang mataku yang berair, lalu menyentuh satu pipiku. Dia ingin aku memandangi matanya yang berwarna hazel nan indah itu. Aku memberanikan diri memandangnya dengan air mata yang masih terus turun di kelopak mataku.

"You don't know how beautiful you are, Ricardo," ucapnya lembut, lalu sekali lagi mengecup bibirku sambil memejamkan matanya.


 

Ilustrasi: Ricardo Adonis Ramirez


Aku pun otomatis memejamkan mataku, berusaha menikmati kecupan lembut dari bibir kenyal Miguel. Selama ini, tak pernah terbayang bagiku bahwa Miguel, pria yang kuanggap saudaraku sendiri, akan memberikan kecupan tepat di bibirku. Miguel pun mulai melumat lembut bibirku, berusaha memperkenalkan setiap sudut bibirnya kepadaku. Pelan-pelan, dia keluarkan lidahnya yang hangat untuk menyapu ujung bibirku. Segera terhirup aroma pasta gigi yang segar memenuhi indra penciumanku. Dengan ragu-ragu, aku membuka mulutku dan membiarkan lidahnya masuk. Kedua mulut kami menari dalam suatu irama kesatuan yang indah. Air mataku turun deras, namun Miguel tidak mau berhenti. Mulut kami terus bercumbu dan bercumbu. Air liur kami menyatu dan bercampur menjadi satu. Kami sedang duduk di atas kasur dan tiba-tiba saja dia menjatuhkan tubuhku ke atas kasur dan menindih tubuhku. Tubuhnya yang atletis dan 12 tahun lebih tua dari tubuhku itu cukup berat.

"Ricardo, andai kamu mengerti... Tiga tahun lalu, saat aku pertama mengenalmu di San Fernando Orphanage, hal ini lah yang kubayangkan ingin aku lakukan bersamamu," ucapnya setelah melepas pagutan mulutnya dari bibirku. Dia memandang wajahku dengan tatapan nanar sambil memegang bibirku yang belum pernah terjamah seorang pun selain dirinya itu. Napasnya berat, tampak berusaha mengontrol gairah besar di dadanya. "Saat itu, aku benar-benar terpesona dengan ketampananmu... Dan bila sekarang aku bisa menikmati bibirmu seperti ini, tentu aku tidak akan pernah sanggup meninggalkanmu..."


 

Ilustrasi: Miguel Rivera


"Kamu...serius?" tanyaku mulai terbuai dengan janjinya.

Saat itu, hanya kalimat itu yang ingin aku dengar. Aku tidak akan pernah sanggup meninggalkanmu… Semenjak Suster Laurensia meninggal dunia, yang ingin kupastikan adalah Miguel tidak akan meninggalkanku. Dia satu-satunya keluargaku dan harapanku... Aku tidak peduli hal lain lagi selain itu...

Miguel mengecup bibirku lembut, lalu memaksa lidahnya masuk dan mengaduk-aduk isi mulutku. Dadaku bergemuruh, tetapi kata-kata Miguel tadi membuatku kembali menerima secercah harapan. Lidah hangat Miguel menari-nari di dalam mulutku, mencari-cari keberadaan lidahku. Dikaitkannya lidahku dengan lidahnya. Kurasakan mulut Miguel pelan-pelan menyedot lidahku, memaksa lidahku masuk di dalam mulutnya.

"Your mouth tastes amazing, Ricardo..."

"Apakah kamu sungguh-sungguh dengan perkataanmu, Miguel?" tanyaku berusaha mendapatkan kepastian.

"Aku bersumpah, Ricardo..." ucap Miguel, lagi-lagi memberi ketenangan di hatiku.

Air mataku kembali turun. Namun, Miguel tidak terlalu memperhatikannya. Yang kurasakan, mulutnya makin sibuk melumatku, menikmati setiap permukaan bibirku lagi. Dia kemudian berhenti menciumku sejenak, lalu memandang wajahku.

"Julurkan lidahmu!"

"Apa?" tanyaku bingung.

Miguel tersenyum lagi, lalu mengulangi ucapannya, "Julurkan lidahmu... Aku ingin kamu merasakan rasa mulutku… Aku ingin kamu mengingat rasa mulutku…"


 

Ilustrasi: Ricardo Adonis Ramirez


Dengan jantung yang terus berdegup kencang, aku pun mengikuti permintaan Miguel. Ragu-ragu, aku julurkan lidahku yang disambut masuk ke dalam mulut Miguel yang tampak sangat mengingini keberadaan lidahku di dalam sana. Semuanya berubah...

Malam itu, Miguel yang mengambil alih. Aku hanya mengikuti permintaannya. Di pikiranku kali itu hanya ada janjinya… Miguel tidak akan pernah pergi dariku… Itu yang terpenting sekarang…


[ … ]


 

Ilustrasi: Miguel Rivera


Tiga malam kami menginap di Barcelona, Miguel sepertinya melampiaskan segala nafsunya yang terpendam padaku. Pagi, siang, dan malam, saat kami berada di kamar, mulut kami terus bercumbu seakan-akan cumbuan itu adalah oksigen yang kami butuhkan.

It stays between us…” ucap Miguel saat kami berkemas-kemas dari perjalanan kami di Barcelona kala itu. “Kamu tidak mau aku dalam masalah, kan? Tidak ada seorang pun di San Fernando Orphanage yang boleh tahu mengenai ini… Kamu mengerti kan, Ricardo?”

Aku pun cuma mengangguk, menjanjikan padanya soal itu. Padahal, aku sendiri bingung harus melakukan apa sekarang.

“Kuharap kamu juga mulai terbiasa dengan ini semua… Aku masih perlu mengajarimu beberapa teknik lagi…”

“Apa?" tanyaku sambil melotot kaget. "Kita akan melakukan ini lagi di Madrid nanti? Bagaimana kalau orang-orang di Panti tahu? Aku pasti malu sekali…"


Ilustrasi: Ricardo Adonis Ramirez


"Aku sudah bilang kita harus merahasiakannya, kan? Aku juga sama tidak maunya mereka tahu mengenai ini, Ricardo…" balas Miguel sambil mengecup bibirku sekali lagi. Dia lalu tersenyum menggodaku, "Meskipun kamu secara natural jago berciuman, masih ada banyak hal yang perlu aku ajarkan padamu…"

"Apa hal seperti ini lumrah, Miguel?" tanyaku penuh keraguan.

Miguel menangkap keraguanku dengan matanya yang berwarna hazel indah itu. Tangannya memegangku, berusaha menenangkan gejolak di jiwaku.

"It's gonna be alright, Ricardo…" bisik Miguel di dekat telingaku. "Percayalah padaku…"

Miguel kembali meraih wajahku, mengarahkan mulutnya tepat di depan mulutku. Bibirnya mengundang bibirku untuk menari-nari bersama di dalam mulutnya. Akhirnya, mulutku pun ikut menari-nari lincah di dalam kehangatan mulutnya.


[ … ]


Sepulang kami dari Barcelona, dinamika hubunganku dan Miguel benar-benar berubah. Bila sebelumnya aku sudah akrab dengan Miguel, akhirnya Miguel dan diriku semakin lebih dekat lagi…secara emosional maupun seksual. Miguel meminta izin memugar sebuah gudang tak terpakai menjadi sebuah kamar sederhana di mana dia bisa menginap saat harus pulang larut dari San Fernando Orphanage. Padahal, diam-diam aku tahu kalau itu cuma alibi agar bisa memiliki tempat untuk bercumbu denganku. Apalagi, semakin lama, gairah yang dimiliki Miguel semakin parah terhadapku.

Usiaku 13 tahun dan Miguel 25 tahun sejak Miguel pertama kali mengajarkan aku cara berciuman. Setiap pulang sekolah, Miguel memintaku mandi dan pergi ke kamarnya untuk membantunya mengerjakan beberapa pekerjaan administrasi Panti. Begitu lah ucapnya pada semua orang di San Fernando Orphanage…

Hari pertama kami melakukannya di kamar Miguel di San Fernando Orphanage, Miguel memintaku membuka seluruh bajuku.

“Untuk apa?” tanyaku penuh keraguan karena perasaan tidak nyaman.

“Tidak apa-apa,” jawabnya berusaha memanipulasi pikiranku. “Aku ingin memelukmu… Kamu tahu, saat bersama wanita, biasanya pria berciuman sambil berpelukan dalam keadaan telanjang… Hal itu terasa sangat intim dan menyenangkan… Aku ingin mengajarkanmu soal itu padamu, Ricardo…”


 

Ilustrasi: Miguel Rivera


Saat itu, aku mulai sadar ada yang aneh dengan Miguel… Aku yakin dia sedang memanfaatkan tubuhku. Namun, aku tidak sanggup menolak… Yang ada di pikiranku hanya bagaimana ini bisa membuatnya terus bersamaku seperti perkataannya di Barcelona kala itu…


[ … ]


Hari demi hari, Miguel terus memaksa membuka diriku untuk menerima hal yang lebih berani lagi dari sentuhan-sentuhan nakalnya. Dia mulai menciumku sambil mengonani kemaluannya. Aku yang tidak tahu harus berbuat apa kala itu cuma bisa memejamkan mataku dan berusaha membalas kecupan bibir Miguel yang semakin intens. Kemudian, dia mulai menyuruhku ikut meloco kemaluanku sendiri saat dia mencium bibirku sambil bermasturbasi. Hari itu, pertama kali aku orgasme karena ciumanku bersama Miguel. Setelah itu, secara natural, aku sadar bahwa kecupan-kecupan dari bibir Miguel bisa membawa kenikmatan padaku. Menyadari aku sudah mulai menerima kenikmatan yang dia bawa padaku, Miguel mulai meminta tanganku menggantikannya untuk memasturbasi batang kejantanannya.

“Jangan, Miguel!” ucapku berusaha menolak. “Aku tidak pernah menyentuh penis pria lain…”

“Aku bukan pria lain, Ricardo,” sela Miguel dengan suara bergetar dan nafsu yang meledak-ledak. “Setelah apa yang kita lakukan, kamu masih menganggap aku seperti pria lain? Kita lebih dari itu… Aku akan menyayangimu dan tidak akan pernah meninggalkanmu…”

Aku tidak akan pernah meninggalkanmu… Entah kenapa, kata-katanya itu selalu berhasil merayu aku masuk ke dalam lembah yang makin dalam. Aku pun mengikutinya. Dalam aktivitas percumbuan kami, aku mulai memasturbasi batang kejantanannya seperti yang dia mau.

Di usiaku 18 tahun, aku lulus Sekolah Menengah Atas. Karena nilaiku buruk, aku tidak pergi kuliah dan membantu administrasi San Fernando Orphanage bersama Miguel. Tiap hari, aku membantu pekerjaan Miguel. Entah sudah berapa juta kali bibirku dan bibir Miguel bertemu. Entah berapa liter cairan kejantanan kami sudah muncrat dari tubuh kami masing-masing akibat aktivitas menyimpang kami. Yang jelas, setelah tiga tahun semenjak Miguel mengajakku bercumbu dan onani, Miguel mulai ingin mengoral kemaluanku.


I

lustrasi: Ricardo Adonis Ramirez



“Apa kamu yakin?” tanyaku kebingungan.

“Kurasa ini terasa organik, Ricardo,” jelas Miguel. “Bertahun-tahun, latihan ciuman kita berhasil membuat aku dan kamu semakin dekat secara seksual… Sangat natural kalau kita mengingini hal yang lebih lagi.. Aku ingin merasakan tubuhmu seutuhnya… Ini seperti perjalanan monumental tubuh kita…”

Aku tidak yakin dengan apa yang mendorongku untuk setuju melakukan hal yang lebih lagi. Sebelum kepalaku bisa berpikir jernih, Miguel mulai membungkus batang kemaluanku di dalam mulutnya yang hangat dan menghisapnya. Sambil memandang wajahku, aku berusaha meresapi kenikmatan yang dia tawarkan dari mulut mungilnya. Aku pun orgasme hebat dan seluruh spermaku langsung masuk ke dalam tenggorokannya.


[ … ]


Ternyata, seksualitas sangat lah fluid. Di awal perlakuan Miguel padaku, aku sangat tidak menikmati itu semua. Aku berharap Miguel segera mendapat yang dia mau dan ingin ini semua segera berakhir. Aku benar-benar membenci tiap detiknya. Aku bertahan hanya karena ingin Miguel menepati janjinya… Tetapi, setelah bertahun-tahun dia terus mengajakku bercumbu dan onani, aku pun mulai menikmatinya. Aku pun mulai menunggu-nunggu saat Miguel menyuruhku ke kamarnya, melucuti pakaianku, dan mencium bibirku penuh nafsu. Aku menunggu-nunggu saat Miguel menjamah tubuh telanjangku, meraih kemaluanku, dan menindih tubuhku. Aku juga menunggu-nunggu saat dia mengecup dadaku, lalu turun ke perutku, hingga mulutnya memberi kehangatan dan kenikmatan ke batang kemaluanku. Semuanya benar-benar sampai ke titik di mana aku tidak bisa kembali lagi ketika Miguel meminta aku mengisap kemaluannya.

“Apakah kamu serius, Ricardo?” tanya Miguel saat usiaku 20 tahun. “Kamu mau melakukannya untukku?”

Aku terlalu malu untuk menjawab. Alhasil, aku pun hanya mengangguk dan meraih kemaluan Miguel yang tegang itu dengan tanganku. Aku segera memasukkan batang kemaluan Miguel ke dalam mulutku dan mengikuti instingku untuk memuaskannya.


Ilustrasi: Miguel Rivera


Dari itu, semuanya berjalan lebih intens. Keterbukaan untuk sepenuhnya membuka diri pada Miguel membuatku mencoba semuanya bersama Miguel.

“Ricardo, aku ingin kamu menyetubuhiku,” bisik Miguel saat usiaku 21 tahun.

Di titik ini, aku pun sudah terlena dengan segala permainan ini. Aku menikmati ini semua sama besarnya dengan Miguel. Aku pun menyetujuinya secara instan. Kami berhubungan badan… Aku pun menyetubuhi Miguel.

Aku mengingat saat pertama kali kemaluanku masuk di dalam tubuh Miguel. Air mataku turun karena kenikmatan yang tak terlukiskan. Melihat Miguel terbaring di hadapanku dalam posisi missionary sambil kedua tangannya memegangi kedua lenganku, aku melihat sebuah kepasrahan… Aku mengingat kejadian sembilan tahun lalu, saat Miguel datang ke San Fernando Orphanage sebagai seorang intern dan menyapaku. Akhirnya, sembilan tahun kemudian, tubuh kami menyatu dalam satu kesatuan yang intim. Saat itu, ini semua terasa sakral… Aku mencium bibirnya sambil mendorong kemaluanku untuk semakin masuk ke dalam dan menyetubuhinya.

Miguel mengerang karena rasa nikmat yang melanda dan berbisik, “Te amo, Ricardo…

Miguel menyatakan cintanya.

Te amo, Miguel…” ucapku dengan bibir masih menempel dengan bibir Miguel.

Sambil tangis terus menetes di kedua pipiku, aku terus menyetubuhi Miguel dengan intens. Malam itu, cinta kami terungkap untuk satu sama lain…


[ … ]


 

Ilustrasi: Ricardo Adonis Ramirez


Semuanya berlalu begitu cepat. Aktivitas seks kami juga semakin berkembang. Akhirnya, kuberikan keperawanan lubang pantatku untuk Miguel. Ketika dia merenggutnya, yang kupikirkan hanya seberapa besar cintaku pada Miguel dan keinginanku untuk melayaninya. Kami pun memiliki sebuah dinamika kehidupan seks yang baru. Kami tidak malu-malu lagi untuk bertingkah seperti dua ekor binatang dalam seks. Aku pun mulai berani mengeksplorasi keinginan-keinginanku bersama Miguel.

Aku mencintai Miguel… Kami otomatis menjalani hubungan cinta. Aku pikir ini sudah semestinya. Kami sudah saling mengenal sembilan tahun dan buktinya waktu membawa kami makin dekat. Beberapa bulan kemudian, Miguel mendapatkan pekerjaan di Meksiko sebagai pengurus sebuah NGO (Non-Governmental Organization) yang bergerak di bidang pemberdayaan remaja miskin.

“Ikutlah bersamaku ke Meksiko, Ricardo,” ucap Miguel suatu kali saat kami baru bercinta. Baru saja orgasme, aku bingung harus menjawab apa. “Aku akan meminta izin kepada Suster Kepala agar kamu keluar dari San Fernando Orphanage. Kukatakan kamu akan menjadi asistenku… Kita bisa memulai hidup yang baru di sana… Aku akan mengurus VISA dan semuanya…”

Aku terdiam membisu.

“Meksiko juga berbicara Bahasa Spanyol… Kita tidak akan kesulitan beradaptasi,” ucap Miguel, bersikeras meyakinkan. “Selain itu, ada aku di sana… Aku tidak akan pernah meninggalkanmu…

Lagi-lagi, kalimat itu meyakinkan aku… Air mataku keluar dan aku mengangguk-angguk…

Aku meninggalkan Madrid, meninggalkan San Fernando Orphanage…


Setelah VISA-ku disetujui, aku pun tinggal bersama Miguel di sebuah flat sederhana di pusat kota. Miguel bekerja setiap Senin sampai Jumat, dan di akhir pekan, kami pergi ke gereja dan jalan-jalan berkeliling Meksiko bersama. Masalah ranjang, aku dan Miguel juga semakin menyatu. Kami makin paham dengan keinginan masing-masing dan bisa saling menikmati peran masing-masing.

Setiap hari, aku membersihkan flat kami dan mengurus segala kebutuhan rumah. Aku mulai belajar memasak untuk Miguel. Hidupku berbeda dari bayanganku, tetapi aku bersyukur karena aku memiliki keluarga. Aku memiliki Miguel, seseorang yang aku yakin tidak akan pernah meninggalkanku…

Di Mexico City, aku memulai segalanya… Aku mantap dengan masa depanku bersama Miguel…


[ … ]


Ilustrasi: Ricardo Adonis Ramirez


Hari-hari berjalan indah. Tetapi, ketakutan-ketakutanku datang kembali. Aku mulai ingat aku tidak boleh terlalu banyak berharap…

Tak terasa, tujuh tahun kami tinggal bersama—Miguel dan diriku. Usiaku 28 tahun saat itu dan Miguel 40 tahun. Kasih sayang selalu ada di rumah kami. Begitu juga seks yang membara. Meskipun berjalannya waktu keinginan seks kami atas satu sama lain makin turun, kami tetap bercinta setidaknya dua kali seminggu.

Namun, di tahun ketujuh kami tinggal bersama itu, aku mulai merasa ada yang berbeda dari Miguel. Dia sering pulang kantor larut malam. Bukan hanya itu, dia juga sering melewatkan ritual makan malam bersama kami. Bahkan, di Minggu pagi, dia juga jarang mau pergi bersamaku ke gereja seperti sebelum-sebelumnya. Akhirnya, aku terpaksa menjalani aktivitasku sendirian setiap harinya…

Ketika Miguel pulang, dia hanya akan pergi mandi dan tidak menyentuhku sama sekali. Aku pikir dia mulai bosan dengan tubuhku. Aku mencoba membaca forum-forum di internet. Kata mereka, seks tidak akan selamanya seintens saat pertama kali para pasangan bertemu. Aku sendiri tidak pernah mempermasalahkannya.

Namun, suatu sore, ketakutanku selama ini akhirnya datang. Miguel pulang cepat hari itu. Dia membawa sebuah koper besar, lalu mengemasi beberapa pakaian yang paling sering dia pakai. Ketika aku melihatnya mengemasi beberapa potong kemeja dan celana favoritnya, aku menghampirinya dengan kepala penuh tanda tanya.

“Apa kamu akan melakukan perjalanan ke luar kota, Miguel?” tanyaku berdiri di belakang Miguel yang sibuk mengambil pakaiannya dari lemari. “Kenapa mendadak sekali?”


 

Ilustrasi: Miguel Rivera


“Apa?” tanyanya dengan wajah kaget. “Sejak kapan kamu di sana, Ricardo?”

“Aku tadi sedang membersihkan kamar mandi saat aku mendengar kamu datang, Miguel,” balasku dalam tanda tanya makin besar. “Kamu mau kemana? Kenapa membawa banyak sekali pakaian?”

“Aku ingin bicara hal penting setelah ini…”

Dahiku pun berkerut. Berbagai pertanyaan berbeda mengisi kepalaku.

“Mau aku bantu berkemas?” tanyaku, memegang pundak Miguel.

“Tidak usah, Ricardo!” ucap Miguel tersentak kaget, lalu meraih tanganku dan mengajakku keluar dari kamar, duduk di depan TV yang aku biarkan menyala. “Ricardo, ada yang ingin aku bicarakan…”

Melihat Miguel begitu gugup, aku jadi ketakutan. Aku tidak siap mendengar berita yang akan diucapkan Miguel.

“Ada apa, Miguel?” tanyaku mulai panik. “Apakah ada masalah di pekerjaan? Atau ada masalah dengan kesehatanmu?”

“Aku minta maaf, Ricardo…” ucap Miguel sambil menggenggam tanganku erat-erat lalu mengecupnya. Aku bisa melihat dari wajahnya bahwa dia ketakutan sekali untuk memulai pembicaraan ini. “Kita tidak bisa tinggal bersama lagi sekarang…”

“Apa?” tanyaku dengan suara bergetar. “Apakah kau sedang bercanda, Miguel?”

It doesn’t work, Ricardo,” ucap Miguel dengan suara berat dan tatapan nanar. “Aku bertemu seorang wanita… Dia adalah bosku di kantorku yang baru… Kami memutuskan tinggal bersama…”

“Kamu sedang menggodaku kan, Miguel?” tanyaku berusaha tenang, namun air mata sudah membanjiri wajahku. “Kamu tidak serius, kan? Apakah kamu sedang marah padaku karena suatu hal?”

Dadaku mulai terasa sesak. Pikiran-pikiran gila mulai memenuhi kepalaku.

“Aku akan memberimu apartemen ini, Ricardo… Tetapi, kita tidak bisa tinggal bersama lagi…”

Kenyataan ini langsung memukulku… Aku tersadar aku sedang menghadapi ketakutan-ketakutan yang ada di pikiranku selama ini… Ini semua menjadi kenyataan…


 

Ilustrasi: Ricardo Adonis Ramirez


“Maafkan aku, Miguel!” sahutku kini histeris. Aku segera tersungkur di tanah, lalu bersimpuh di kaki Miguel. “Aku akan berusaha lebih baik… Jangan tinggalkan aku! Aku mohon, Miguel! Aku bersumpah aku tidak akan membeli McDonald’s untuk makan malam lagi! Maafkan aku! Aku akan belajar memasak! Aku juga akan lebih sering membersihkan apartemen kita… Tolong, jangan buang aku dari hidupmu…”

“Aku tidak membuangmu, Ricardo…” ucap Miguel, berusaha meraih wajahku dan menenangkanku. “Aku bersumpah, aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja seperti ketakutanmu… Aku hanya harus pindah…”

“Apa ini soal seks?” tanyaku berusaha menduga-duga. “Miguel, aku bersumpah… Kamu boleh lakukan apa pun pada diriku… Kamu boleh lakukan apa pun terhadap tubuhku… Threesome yang selama ini kamu usulkan dan aku tolak? Silakan… Kamu bilang kamu ingin mencoba mencekikku? Lakukan… Aku bersumpah, saat ini, aku akan lakukan semua yang kamu mau… Kamu mau mencoba BDSM, celetukanmu setelah menonton Fifty Shades of Grey? Lakukan padaku… Aku tidak peduli lagi… Tapi, tolong jangan tinggalkan aku… Bagaimana aku bisa hidup tanpamu, Miguel? Aku akan melakukan semuanya… Tolong, jangan pernah terpikir untuk meninggalkan aku lagi!”


 

Ilustrasi: Miguel Rivera


“Apartemen ini akan menjadi milikmu, Ricardo…” ucap Miguel, berusaha menenangkan aku. Dia memeluk tubuhku yang terus bergetar karena panic attack. Air mataku membasahi lengan bajunya. “Jangan khawatir… Aku tidak mungkin meninggalkanmu…”

“Aku tidak mau apartemen ini, Miguel! Untuk apa sebuah apartemen kalau tidak ada kamu di dalamnya?” jawabku bersikeras, menangis lebih keras. “Miguel, tolonglah… Aku sendirian… Aku telah meninggalkan San Fernando Orphanage, dan sekarang hanya kamu lah yang aku miliki… Tolong, jangan tinggalkan aku… Aku tidak pernah bekerja… Aku pria bodoh… Apa yang bisa aku lakukan di sini tanpa pekerjaan?”

“Ricardo, tolong jangan buat ini sulit… It doesn’t work… Kita tidak bisa bersama lagi… Aku tentu tidak akan pergi begitu saja dari hidupmu… Aku hanya ingin pindah rumah. Itu saja… Aku tetap akan mengirimimu uang dan segala sesuatu yang kamu butuhkan… Aku mencintai seseorang. Dan aku ingin tinggal bersamanya…”

Aku pun berlari ke dapur dan mengambil sebuah pisau. Miguel tampak ketakutan, tidak tahu apa yang ingin kulakukan.

“Apa maksud ini semua, Ricardo?” tanyanya dengan nada keras. “Jangan berani-beraninya kamu melakukan hal bodoh!”

Aku pun segera mengarahkan ganggang pisau itu ke tangan Miguel. Kebingungan, Miguel segera menerimanya.


 

Ilustrasi: Ricardo Adonis Ramirez


“Bunuh aku sekarang, Miguel!” ucapku sungguh-sungguh. “Tusuk jantungku dengan pisau ini dari tanganmu sendiri… Tolong, lakukanlah! Aku mohon padamu!”

“APA KAU SUDAH GILA?” teriak Miguel naik pitam.

“Aku serius! Percayalah padaku… Lakukan saja! Aku yang meminta! Apa bedanya ini semua?” ucapku sambil terus menangis semakin keras. “Kalau aku bunuh diri, aku akan masuk neraka… Itu yang dikatakan di gereja… Aku tidak mau masuk neraka, Miguel… Setidaknya, biarkan aku istirahat tenang setelah meninggal… Aku lelah, Miguel… Selama ini, orang-orang berkata mereka tidak akan meninggalkanku. Suster Laurensia saja ternyata membohongiku… Dia juga pergi… Dia meninggalkanku… Selama ini, satu-satunya yang kutakutkan adalah kamu akan melakukan hal yang sama pada akhirnya. Ternyata, sekarang terjadi juga… Semuanya meninggalkanku… Bahkan orang tuaku, dua orang yang diprogram secara biologis untuk menyayangiku pun meninggalkanku… Sakit sekali menjalani kehidupan seperti ini… Kalau aku bunuh diri dan masuk neraka, apakah kamu tidak kasihan pada diriku? Setidaknya, biarkan aku mati tenang… Bunuh aku… Biarkan aku ke surga…

Miguel terperangah dengan kata-kata yang keluar dari mulutku. Tak lama kemudian, tangisnya meledak… Air mata membasahi wajahnya. Dia terus terisak dalam tangisan yang luar biasa.

“Maafkan aku, Ricardo,” ucapnya terus berusaha meminta maaf. “Kamu boleh saja tidak percaya padaku setelah segala yang terjadi. Tetapi, aku sangat menyayangimu… Sayang sekali ini memang tidak bisa berlanjut…”

Miguel lalu mengarahkan pisau itu ke hadapanku… Aku memandang pisau itu dengan tatapan nanar. Namun, aku yakin dengan apa yang aku mau… Aku ingin Miguel yang mengakhiri ini semua… Aku ingin dia menusukku…


[ … ]











Continue Reading

You'll Also Like

6K 163 13
(YES IT IS ANOTHER ONE) Shadow: Broken.. Crying... Hurt.. What do i mean? Well... Möbius's hero, Sonic The Hedgehog, is dead.. There was a sudden f...
581K 19.5K 27
Why were all the so-called normal guys, a**holes? Why couldn't she find a decent guy. Was something wrong with her? She knew her days of youthfulness...
26.3K 1.1K 27
Hyunjin is a well known boy at his school. From his looks to his kind personality to his great grades. He was the schools "it" boy. The perfect boy n...
75.5K 11.1K 42
Setelah mengetahui bahwa dirinya mengandung, Larasati Kirana sangat kebingungan. Ia memang punya kekasih, namun mereka tidak pernah melakukan hubunga...