Get Well Soon

By macafau

7.7K 886 407

Tidak ada yang tahu alasan Ris pergi ke IGD sendirian dengan kondisi fisik yang berantakan. Sementara, alasan... More

Chapter I : Datang Sendirian di Keramaian
Chapter II : Pasien Pertama Adimas
Chapter III : Teman Yang Berprofesi Dokter
Chapter IV : Ris 'Sendirian' Atmariani
Chapter V : Waktu Indonesia Bagian Overthinking
Chapter VI : Ujian Dadakan
Chapter VII : Perasaan Adimas
Chapter VIII : Siapa Keluarga Siapa?
Chapter IX : Doa Yang Baik Saja
Chapter X : Serba-serbi yang Tak Terucap di Sabtu Pagi
Chapter XI : Terjebak Ekspektasi
Chapter XIII : Lekas Pulih, Ris
Special Illustration
Chapter XIV : Pulang ke Rumah yang Mana?
Chapter XV : Ngobrol Tipis Kena di Hati
Chapter XVI : Di Rumah Ayah

Chapter XII : Fungsi Kakak dan Adik

315 37 6
By macafau

Adimas hampir lupa bentuk rupa adik bungsunya. Tidak sebenarnya sih, tapi memang beberapa bulan terakhir si bungsu tak ia temukan di rumah karena sibuk skripsian dengan teman.

Pagi buta dengan memamerkan satu dari lima berkas tebal berjudul skripsi, Alvaro nyengir di kursi penumpang mobil Adimas ketika Adimas masuk ke dalamnya. Nampaknya Alvaro sudah mendahului, diam-diam tanpa suara ketika Adimas sibuk memindahkan barang ke bagasi.

"Astagfirullah." Cuma itu yang dapat terucap dari bibir Adimas disertai helaan napas pasrah.

"Mas istighfar karena tau aku mau ikut ke apartemen Mas di hari Minggu atau karena lihat judul skripsiku?" tanya Alvaro.

"Dua-duanya."

Mobil dinyalakan. Tak kuasa Adimas mengusir adiknya dari sana. Hanya bisa pasrah membawa pemuda yang belum genap dua puluh satu itu ke apartemennya.

Berbagai alasan biasanya Alvaro mengungsi ke apartemen Adimas. Satu, Bapak dan Ibu dinas malam, Bapak yang masih sering dinas malam lanjut praktik pagi, kalau Ibu menangani kasus pelik kalau sampai menginap di rumah sakit. Dua, mau ujian, si anak manja yang harus dibacakan kalau mau ujian dan tersisa Adimas yang bisa dimintai tolong karena yang lain sudah berkeluarga.

"Kaget aku kamu bahas topik hepar," kata Adimas pelan membuka pembicaraan.

"Jo jantung, Dwiki ginjal, Jessi lambung, aku hati. Intinya sama cuma organnya aja yang beda," jelas Alvaro, "tapi ditengah jalan si Jo malah ganti jadi perkara SOP rumah sakit blablabla deh."

"Apa tadi judulnya?" tanya Adimas lagi.

"Pengaruh konsumsi fruktosa terhadap peningkatan resiko fatty liver non-alcoholic pada dewasa muda. Ternyata ada pengaruhnya dan hasilnya dewasa muda sekarang memiliki resiko fatty liver non-alcoholic yang cukup tinggi." Alvaro menjelaskan dengan antusias.

"Kenapa tuh?" tanya Adimas.

"Ya, kan karena konsumsi fruktosa!" Alvaro membalas penuh emosi.

Adimas menghela napas merasa pertanyaannya diputar. Bukan itu maksudnya.

"Fruktosanya dari mana? Kan gak mungkin manusia waras ngemilin fruktosa!" balas Adimas yang baru dipahami Alvaro. Lelaki yang lebih muda itu nyengir kuda.

"Itu, Mas. Minuman-minuman kemasan, gelasan kayak thai tea, teh-tehan, segala minuman manis-manis, es krim viral yang murah tapi dapetnya banyak yang tokonya ada di mana-mana," jelas Alvaro.

"Jadi fruktosa itu beda kan sama glukosa. Si fruktosa ini bikin badan kita ada di survival mode, ke-trigger tuh kan untuk menyimpan lemak karena si badan mikir, wah lagi survival mode nih, lagi gak ada makanan. Nah, prosesnya hampir keseluruhan di proses di liver. Makanya minum manis, mengaktifkan survival mode, men-trigger proses penyimpanan cadangan makanan dalam bentuk lemak, nyimpannya di hati, jadi fatty liver non-alcoholic."

Adimas menyimak penjelasan Alvaro dengan hati-hati. Seperti biasa, adiknya yang pintar bisa mudah paham hanya dengan mendengar sekali saja. Adimas tak perlu membantu apa-apa.

"Benar, 'kan?" tanya Alvaro pada Adimas. Adimas mengulas senyum lalu mengangguk membenarkan.

"Mas, ih! Benar, 'kan?" tanya Alvaro lagi merasa tak puas dengan jawaban kakaknya.

"Benar, Dik. Kamu kan lebih pintar daripada Mas," balas Adimas tenang yang dibalas wajah mengkerut oleh Alvaro.

"Bukan masalah lebih pintar, Mas. Mas kan lebih berpengalaman!" tutur Alvaro, menuntut sebuah diskusi dari masnya yang sesungguhnya pasif ini.

"Udah benar, apalagi yang hari Mas jelasin?" Adimas bertanya balik.

"Kata Mbak, Mas lagi nanganin kasus Fatty Liver. Bagi pengalaman dong, Mas." Oh, maksudnya ini. Sumpah kepala Adimas sedang berantakan, dia tak mengerti maksud Alvaro dari awal.

"Itu di tab. Aku cuma punya dua kebetulan memang dua-duanya fatty liver. Yang satu alcoholic, yang satu non-alcoholic." Adimas memulai penjelasan ketika mereka sampai di parkiran apartemen Adimas.

Adimas keluar mendahului Alvaro. Alvaro mengikuti langkah kakaknya dan membantu untuk membawakan barang-barang yang dibawa Adimas dari rumah.

"Yang alcoholic seumuran sama Mas. Sebenarnya masuknya baru dua hari lalu. Kelihatan langsung, oh ada masalah nih hepar-nya, jadi di IGD langsung USG. Kuning banget kulitnya, ternyata udah grade 3 dan dia masuk IGD pulang clubbing. Gila emang," jelas Adimas tak habis pikir.

"Satu lagi, sudah empat hari. Masuk IGD diagnosanya dyspepsia syndrome, makanya bingung. Mual, perut begah, nyeri ulu hati, fesesnya berdarah segar, sudah sebulan dan riwayat empat tahun terakhir minimal dua kali setahun pasti ada gejala typus, jadi organ dalamnya mau aku cek semua," tutur Adimas.

"Aku kasih Barole injeksi sekali sehari, rebamipide sama sukralfat tiga kali sehari sebelum makan. Kondisinya cukup membaik tapi masih ada mualnya, fesesnya sudah tidak berdarah juga padahal yang itu belum diapa-apain juga, sih. Cuma yang memperparah ada riwayat asma dan sinusitis, hampir tiap malam serangan asma, itu yang bikin USGnya agak ngaret, baru di hari keempat bisa USG, kemarin."

"Dari hasil USG, resminya dari Rangga belum ada memang, tapi dari yang aku lihat memang sudut heparnya meruncing dan ukurannya membesar, bisa disimpulkan fatty liver grade 1 atau grade 2." Adimas menjelaskan sementara Alvaro menyimak dengan seksama.

"Penampilannya, bentuk rupanya, bagaimana?" tanya Alvaro.

"Yang non-alcoholic?" tanya Adimas memastikan. Alvaro mengangguk.

"Cantik, gemes, baik hati," balas Adimas diselipi canda yang tentu membuat Alvaro kesal.

"Gitu aja terus tiap ada pasien cewek!" Alvaro kesal dan menendang Adimas yang baru saja merebahkan diri di karpet ruang tengah apartemennya. Adimas tertawa kecil.

"Gemuk. Tinggi badannya seratus enam puluh, beratnya delapan puluh lima waktu masuk IGD sekarang delapan puluh satu," jelas Adimas menjawab serius.

"Roundness gitu perutnya?" tanya Alvaro lagi dan Adimas hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Fatty liver itu emang gak ada obatnya karena memang bukan yang butuh obat, butuhnya ngerubah pola hidup sama pola makan lebih sehat aja," kata Adimas.

"Tapi dalam kasus pasienku itu, yang bikin kompleks penyakit penyertanya banyak. Lambungnya belum diperiksa, ususnya belum diperiksa. Ya, semua itu harus diperiksa karena diagnosa awalnya dyspepsia, 'kan. Lalu asma dan sinusitisnya juga perlu ditangani juga." tutur Adimas.

"Berarti ada beberapa dokter yang jadi DPJP?" tanya Alvaro.

"Kepala tim penanganannya Mas. Parunya sama dr. Emir, THT-nya si Indira. Nanti dirujuk ke dr. Fatimah untuk endoskopi, kalau dari hasil endoskopinya memang perlu penanganan dokter konsultan berarti DPJP-nya jadi dr. Fatimah." Adimas menjawab panjang disertai helaan napas.

Lelah. Sebenarnya dia lelah. Bukan karena Ris, tapi karena lingkungan yang seakan menekannya untuk berperforma baik. Sejujurnya memang Ris juga membuatnya sakit kepala tapi bukan karena personalnya, bukan atas kesengajaan Ris. Dilema menggerayangi, lagi dan lagi Adimas tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Adimas semula memandang langit-langit unit apartemennya yang serba putih. Masih setengah jam sampai ke adzan subuh dan dia tak bisa memejamkan matanya kembali. Kalau begini istirahat Adimas berantakan, mau tak mau besok dia izin tak jogging pagi.

Ketika Adimas melirik, dia mendapati Alvaro memandangnya kagum. Si bungsu yang beda dua belas tahun dari Adimas, bocah yang kemarin sore rasanya masih Adimas antar jemput masuk SD, manusia minim ekspresi seperti bapaknya itu kini sedang menatap Adimas dengan binar mata antusias.

"Itu yang non-alcoholic itu pasien pertama, Mas, 'kan?" Alvaro bertanya memastikan. Adimas mengangguk.

"Gila! Keren banget!" Alvaro memuji dengan suara yang lantang. Adimas melotot, memberi isyarat agar Alvaro tak terlalu berisik.

"Sumpah deh, Mas! Pasien ranap pertama Mbak Jano aja hepatitis doang gak ada penyertanya. Ini sih, mumet puol! Udah setara konsultan itu, Mas," ucap Alvaro antusias.

"Benar kata Bapak. Memang Mas lebih pintar dari Mbak Jano," tutur Alvaro sekonyong-konyong membuat Adimas mengernyit.

"Penjilat kamu." Adimas merespon tak percaya. Si sulung di keluarga mereka terkenal pintarnya, lalu si bungsu. Adimas dan Adila yang sering jadi korban atas ketidakpuasan ekspektasi orang-orang.

Nyatanya Alvaro melotot kesal karena ucapannya tidak di percaya. Dia memukul kakaknya dengan bantal sofa tepat di muka.

"Astagfirullah! Gak sopan banget adik bungsu!" Adimas berkata terkejut sambil membalas pukulan Alvaro.

"Sumpah Bapak ngomong gitu! Makanya aku gak percaya sama Mbak Jano. Mbak Jano juga suka bilang, 'Coba tanya Mas Dimas.' Begitu," tutur Alvaro mencoba meyakinkan Adimas.

Adimas menatap adiknya tak percaya. "Mana ada," celetuk Adimas sungguh tak percaya.

"Eh!" Alvaro kesal dengan tingkat percaya diri kakaknya yang mungkin sama pendeknya dengan sumbu kesabaran kakak sulung mereka yang selalu dalam mode senggol-bacok.

"Bapak yang bilang, aku ada rekamannya." Alvaro terus bersikukuh dan Adimas masih terus tak percaya.

"Aku masuk lulusan swasta dari SD sampai Universitas," tutur Adimas merendah. Itu argumen kuat apalagi mengingat keluarga besar Bapak yang mengagung-agungkan sekolah negeri.

"Aku juga swasta," balas Alvaro tak mau kalah.

"Kan kamu karena lupa, kalau aku emang gak lolos-"

"Kalau lupa diwajarkan yang pernah usaha lebih wajar lagi." Alvaro memotong perkataan Adimas tak mau kalah.

"Minimal Mas gak akan lulus kedokteran kalau gak pintar." Alvaro menambahkan.

"Lagian, bisa jadi dokter di CCIH juga udah another level of bright careers. Kalau argumen Mas itu karena Mas punya orang dalam, karena ada Mbak Jani atau karena power Bapak sebagai dokter senior di kota ini, mustahil Mas bisa bertahan lebih dari dua tahun di CCIH. Gak cukup orang dalam buat bertahan, Mas!" Kesal sekali Alvaro sampai berani membentak sang kakak yang bahkan jarang membentaknya.

Alvaro menindih badan kakaknya membuat Adimas mengaduh. Dia menggelitik Adimas saking kesalnya sebelum kembali memukul wajah masnya itu dengan bantal.

"Aduh! Aduh!" Adimas mengaduh karena Alvaro melakukannya tanpa ampun.

"Aku juga masuk kedokteran karena, Mas!" tambah Alvaro.

"Hah?" Adimas sungguh tak percaya, dia baru tahu.

"Kakak kamu semuanya dokter," balas Adimas benar-benar mencari argumen untuk tetap rendah diri.

"Karena Mas Adimas. Aku punya mimpi nanti kit praktik di rumah sakit yang sama. Jadi, sampai aku jadi spesialis nanti, Mas harus bertahan di CCIH karena aku mau jadi dokter di CCIH." Alvaro berkata antusias seperti deklarasi kemerdekaan, agak memaksa sang kakak untuk bertahan. Tak mau tahu, Adimas harus bertahan.

"Ngerasa gak sih, Mas? Anak-anak perempuan Bapak too perfect to be true? Mba Jano dan Mba Dila itu perfect golden child idaman segala manusia, tapi jujur deh, hidupnya monoton abis." Sekarang Alvaro mencoba menjelaskan alasannya. Dari bahasa tubuhnya, dia memaksa Adimas harus mendengar.

"Role model aku ya, Mas Dimas. Segala-galanya. Aku aja kadang mikir, kok bisa Mas Dimas tahu ini-itu padahal gak punya kakak laki-laki, soalnya aku tahu segala rupa dari Mas. Aku tahu kalau bantu orang dengan jadi dokter itu seru, bukan tertekan kayak Mbak Dila dan Mbak Jano. Kalau dokter juga manusia, perlu istirahat, bisa salah, makanya ada yang namanya second opinion. Skripsiku juga penelitian terdahulunya skripsi Mas yang dulu aku gak ngerti apa yang Mas lakukan sampai gak tidur."

"Aku tahu Mas lagi galau. Aku tahu dari Mbak Dila juga sih, tapi intinya aku tahu Mas lagi galau. Kalau Mas galau karena Bude Pur nanya kapan nikah, biar aku yang balas-"

Adimas terkikik membuat Alvaro diam tanpa menyelesaikan kalimatnya. Dari posisi berbaringnya, kini dia duduk bersila menghadap sang adik.

"Dokter Aryanto nawarin buat ambil sub-spesialis." Adimas akhirnya buka suara.

"Aku gak merasa performaku bagus. Jadi Sp.PD aja pas-pasan apalagi ambil sub-spesialis," tutur Adimas pelan.

"Bukannya enak karena jadi lebih mengerucut?" tanya Alvaro.

"Tapi lebih kompleks, Dik."

"Kan walau kompleks, konteksnya lebih menjurus jadi kasusnya bakal ada kesamaan yang mirip satu sama lain," balas Alvaro.

"Ambil dong, Mas."

"Kalau kamu jadi Mas, pilih gastroentero atau hematologi-onkologi?" tanya Adimas.

"Mas sukanya yang mana? Kalau aku jadi, Mas, aku maunya ambil spesialis kardiovaskular." Arti perkataan Alvaro ini adalah walau dia mengidolakan kakaknya, dia tak tahu apa yang diinginkan kakaknya itu.

"Bukan masalah suka-"

"Tapi waktu Mas internship di Timor Tengah Selatan, alasan Mas cuma suka tempatnya. Ya, buat sub-spesialis pilih yang suka aja seperti waktu internship gak sih? Kan Mas sendiri yang bilang sama aku, yang penting suka dulu, masalah bisa bisa diasah." Santai Alvaro menjawab, menampar Adimas untuk berpikir logis.

Adimas baru ingat, itu yang dikatakan Adimas pada Alvaro yang bingung memilih jurusan setelah lulus SMA beberapa tahun lalu. Yang penting suka dulu, kalau suka nikmat rasanya, kerja segala-gala jadi terasa mudah.

"Tuh, 'kan? Mas baru ingat, Mas yang bilang itu ke aku." Alvaro mengerling kesal, merasa akhirnya setelah panjang lebar sang kakak sadar juga.

"Jadi besok aku pinjam mobil, ya?" tutur Alvaro.

Kini giliran Adimas mengerling malas walau akhirnya tertawa kecil. Akhir-akhirnya begini juga tapi setidaknya dia sedikit lebih lega setelah mendengar na ni nu segala rupa yang tak terbatas tema bicara dengan Alvaro.

"Hari ini aku mau tidur seharian jadi jangan ganggu, ya!" kata Adimas ketika adzan subuh berkumandang.

Rencananya, setelah shalat subuh dia akan tidur setidaknya sampai jam sepuluh. Saatnya menikmati hari Minggu tanpa rutinitas sebagai dokter yang melelahkan.

~**~

Author's Note

Perbanyak minum air putih, makan lotek dan hindari jajan manis-manis ya guys! Biar gak jadi pasiennya Adimas.

Continue Reading

You'll Also Like

409K 2.8K 15
cerita-cerita pendek tentang kehamilan dan melahirkan. wattpad by bensollo (2024).
Istri Kedua By safara

General Fiction

611K 19.2K 49
Jangan lupa vote banyak-banyak yah guys,semoga suka dengan cerita ini ☆☆☆ nadilla di paksa menikah oleh suami orang untuk merawat suaminya yang menga...
Segalanya💞 By xwayyyy

General Fiction

68.3K 10.3K 34
hanya fiksi! baca aja!
1.9M 46.6K 54
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...