Journal: The Lessons

By kenzaputrilia

5.4K 1.2K 1.6K

[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada bena... More

Journal
01 | Rendezvous
02 | Kensington
03 | Notting Hill
04 | Millennium Bridge
05 | Tate Modern
06 | Bankside
07 | City of London
08 | City Hall
09 | River Thames
10 | Greenwich
11 | Brixton
12 | Islington
13 | Islington Pt. II
14 | Highbury
15 | Camden Market
16 | Highgate
17 | Primrose Hill
18 | Lambeth Bridge
19 | Covent Garden
21 | West End
22 | West End Pt. II
23 | Soho
24 | Andrew's Journal, Pt. I
24 | Andrew's Journal, Pt. II
24 | Andrew's Journal, Pt. III
25 | Euston Station
26 | London - Manchester
27 | Manchester
28 | The Stanleys
29 | The Stanleys, Pt. II
30 | Wedding
31 | Wedding, Pt. II
32 | Wedding, Pt. III

20 | Eye To Eye Gallery

137 33 35
By kenzaputrilia

"Kau bertengkar dengan Nia?" Zevo menerima cup berisi kopi yang kubeli dari kedai dalam galeri. Kami berada di ruang kerjaku, sementara para kru dan aktor film yang sedang digarap Zevo sibuk bersiap-siap untuk memulai proses syuting di Galeri London Eye To Eye.

Aku mengajak Zevo bicara empat mata di ruanganku, menceritakan tentang perang dingin antara Zevania dan aku. Baru kuketahui Zevania menjawab pesan dari Zevo sekitar setengah jam yang lalu, pertanda bahwa dia baru bangun tidur. Zevo terlalu sibuk dua hari ini jadi dia tidak bertemu dengan Zevania dan baru tahu tentang pertengkaran ini dariku.

"Aku mendengar cerita dari Zevania, dia tampak benar-benar bahagia kau bawa jalan-jalan ke tempat yang tidak pernah dikunjunginya. Kupikir kalian akan jalan berdua lagi hari ini," tambahnya. Kupikir juga begitu, aku berencana mengajaknya ke London Timur. Zevo menyesap kopinya dan berkata, "Sulit dipercaya."

Memang sulit dipercaya. Semua yang berkaitan dengan Zevania itu sulit dipercaya. Mulai dari kedatangannya, kehadirannya, hingga pertengkaran dengannya.

"Kupikir kau adalah orang terakhir yang akan bertengkar dengan Nia." Zevo terbiasa memanggil Zevania dengan Nia, sedikit membuatku harus berpikir siapa yang dimaksudnya. Dia melanjutkan, "Dia jarang mengekspresikan emosinya, kan? Apalagi marah sampai meledak seperti itu. Dia pasti mengatakan hal-hal yang menusuk hatimu."

Benar, Zevo benar. "Dia bilang seharusnya kami tidak pernah bertemu." Perkataannya itu menciptakan lubang besar dalam hatiku yang sedang perlahan kucoba tutup. Membuatku gelisah dan terjaga sepanjang malam memikirkan apa yang telah salah di antara hubungan kami. Mengapa begitu sulit bagi kami untuk bersatu?

"Dia tidak sungguh-sungguh mengatakannya, dia hanya kesal." Zevo memiringkan kepalanya sambil menggeleng. "Itu alasannya dia cenderung menghindar ketika amarahnya meluap karena sekalinya dia bicara, pasti bikin sakit hati lawan bicaranya. Aku juga sering kena semprot darinya, setelah itu dia minta maaf. Percaya padaku pasti dia sekarang sedang merasa bersalah karena berkata seperti itu. Biarkan dia sendiri dulu."

Bahuku terangkat pelan. "Entahlah. Dia terlihat sangat marah, matanya benar-benar menunjukkan kekecewaan."

"Oh, matanya tidak bisa bohong."

Aku mengangguk setuju, ingin mengakhiri pertengkaran ini dan tidak ingin melihat mata Zevania yang tidak bersahabat. Aku ingin melihatnya berbinar karena London lagi seperti yang selalu ditunjukkan olehnya. "Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki semua ini?"

"Tidak ada." Jawaban Zevo membuatku putus asa seketika dan dia menyadarinya, dia melanjutkan, "Hanya dia yang bisa mengontrol emosi dan perasaannya. Kalau dia masih belum tenang, percuma kau meminta maaf sampai sujud pun dia tidak akan memaafkan. Biarkan dia sendiri dulu."

"Bagaimana kalau dia tidak memaafkanku sampai dia pulang ke Indonesia?" Ketakutan terbesarku. Masih banyak hal yang ingin kukatakan padanya dan juga tempat yang ingin kutunjukan.

Zevo mengecek ponselnya. "Dia mengirimiku pesan, bertanya tentang lokasi syuting. Kujawab di galeri Andrew."

"Dia pasti tidak akan kemari." Fakta baru yang sungguh menyakitkan, padahal aku ingin sekali menunjukkan ruang kerjaku padanya, mengetesnya apakah dia mengingat foto sepasang burung yang kuambil saat kami melakukan sesi wawancara, yang merupakan alasanku menjadi seorang fotografer. Selain itu, ada banyak dari sisi galeri yang ingin kutunjukkan padanya.

"Lihat nanti." Zevo fokus pada ponselnya, jemarinya mengetikkan sesuatu. "Oh, katanya dia akan ke Soho, tapi belum tahu apakah kemari atau tidak. Dia memberitahu padaku secara tidak langsung bahwa kalian bertengkar."

Aku tersenyum miris mendengarnya. Jadi dia akan ke Soho. Kutebak dia pasti akan ke Covent Garden. Dan, ternyata Zevania baik-baik saja. Entah asumsi itu membuat hatiku tenang atau bertambah gelisah. Di satu sisi aku senang dia tidak mengurung diri di kamar hotelnya. Namun, di sisi lain itu pertanda bahwa Andrew dan London adalah dua hal terpisah. Marah dengan Andrew, bukan berarti marah dengan London. Hidupnya akan baik-baik saja tanpa kehadiranku. Dari awal dia memang sudah berencana jalan-jalan sendiri—aku tidak begitu penting baginya.

"Apa kau ingin menemuinya? Aku bisa bertanya tempat yang akan dia kunjungi dan kau bisa ... entahlah seolah-olah kau berpapasan dengannya sebagai skenario?" Kupikir Zevo akan menghajarku karena telah menyakiti hati kembarannya, seperti ancamannya kemarin ketika aku merepotkan Zevania karena mabuk. Namun, hari ini Zevo tampak begitu mendukungku agar berbaikan dengan Zevania.

Aku menggeleng. "Kurasa kau benar, aku akan membiarkannya sendiri dulu. Mungkin itu yang dia butuhkan. Bagiku yang terpenting dia baik-baik saja."

Zevo mengangguk paham. "Nanti akan aku kabari kalau dia sudah cerita tentang dirimu. Aku akan pura-pura belum tahu perihal pertengkaran kalian."

"Terima kasih." Aku mengetuk-ngetuk meja, lalu teringat sesuatu. "Foto ini," aku menunjuk sebuah bingkai foto di belakangku, "kuambil pada hari Zevania mewawancarai sebagai man of the match." Sebuah foto hitam-putih sepasang burung merpati yang terbang.

"Oh, kau sudah memiliki bakat fotografi sejak dulu." Zevo memperhatikan foto itu. "Kau sangat menyukai Zevania, ya?"

Pipiku terasa hangat, entah karena Zevo menyebut bahwa aku menyukai—sangat menyukai Zevania—atau karena dia menyebut nama Zevania alih-alih Nia, menyesuaikanku. "Aku tidak berani bertanya padanya. Tadi malam dia juga bilang bahwa pada saat itu—3 tahun yang lalu—dia telah memiliki pacar. Apakah ucapannya benar?"

Kuharap tidak. Untuk pertama kalinya aku berharap seseorang berbohong padaku. Kuharap Zevania berdusta tentang kehadiran kekasihnya itu.

"Andre."

"There is no way you pronounce my name wrong." Tidak ada yang memanggilku Andre. Oh, ada, temanku dari Madrid. Namun, Zevo bukan orang Spanyol. Dia tahu namaku Andrew.

Zevo terkekeh mendengarnya. "No, I meant his name is Andre. He was almost married to her."

Dan jantungku merosot seketika begitu mendengar bahwa Zevania hampir menikah dengan seseorang bernama Andre.

"Almost? What do you mean by almost? They didn't get married yet or?" Aku tidak bisa membayangkan Zevania kini telah menjadi istri orang lain. Jauh lebih buruk daripada kabar bahwa dia telah memiliki kekasih.

Zevo memulai ceritanya.

Pria bernama Andre itu telah berpacaran dengan Zevania selama tiga tahun. Mereka bertemu di universitas dan Andre merupakan seniornya. Hatiku teriris begitu mendengar bahwa selama tiga tahun itu, hati Zevania diisi oleh seorang pria lain, terutama pada bagian bahwa mereka nyaris menikah. Mungkin aku memang jahat dan egois, tapi aku tidak bisa berbohong bahwa ada kelegaan dalam diriku begitu mendengar bahwa Zevania membatalkan pernikahannya. Terdengar tidak mungkin, terdengar seperti sebuah kebohongan. Rasanya dikhianati karena selama 10 tahun terakhir ini, setiap aku membuka mata dan ingat bahwa aku di London, Zevania selalu muncul dalam benakku. Tidak ada satu titik pun di London yang tidak mengingatkanku padanya. Gadis yang tinggal di ujung dunia itu selalu menghantuiku.

"Pernikahannya batal dua bulan yang lalu. Mereka seharusnya menikah bulan depan," jelas Zevo, menunjukkan beberapa foto Zevania yang mengenakan gaun putih bersama seorang pria asing dengan latar pantai pada matahari terbenam. Mereka berdua tampak bahagia, berpegangan tangan layaknya pasangan pada umumnya. Melihat foto itu membuatku tersadar bahwa aku tidak bisa melihat Zevania bersama laki-laki lain.

"Kenapa mereka tidak jadi menikah?" tanyaku, merasa jahat karena lega mendengarnya, aku bahkan harus mati-matian menahan senyum. Bagaimana pun juga, batalnya sebuah pernikahan merupakan berita buruk. (meski dalam kasusku, ini merupakan berita baik)

"Andre selingkuh dan Nia langsung membatalkan pernikahannya tanpa pikir panjang."

"Selingkuh?"

"Nia paling benci perselingkuhan. Orang tua kami juga bercerai karena ayah kami berselingkuh. Keluarga kami hampir hancur." Zevo tersenyum getir, terlihat kekecewaan pada matanya. Dia mirip dengan Zevania ketika sedang kecewa, seperti yang ditunjukkannya tadi malam. "Intinya, aku paham alasan Zevania langsung memutuskan hubungan dengan Andre tanpa memberikan kesempatan kedua, tidak peduli bahwa mereka telah bersama selama tiga tahun atau persiapan pernikahan mereka sudah matang. Sulit mendapat kepercayaan dari Nia, jadi sekali saja kepercayaan itu dirusak, maka tidak ada kesempatan kedua. Dia takut hal yang dialami dulu akan terulang lagi di kemudian hari."

Aku tidak mampu berkata apa-apa mendengar tentang sisi Zevania yang tidak pernah kuketahui sebelumnya. Selama ini aku hanya tahu hal-hal yang disukainya seperti London, Manchester United, dan cokelat. Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa gadis itu mengalami hal yang buruk, sebuah mimpi buruk. Aku tahu rasanya ditinggal oleh sosok ayah dan fakta bahwa ayahnya meninggalkannya karena berselingkuh rasa sakitnya jauh berkali-kali lipat.

Zevania benar, kami tidak benar-benar kenal. Hanya dua orang asing yang pernah satu sekolah selama setahun, lalu bertemu lagi setelah sepuluh tahun. Aku tidak begitu mengenal Zevania meski aku sudah membaca jurnalnya. Ada banyak hal yang tidak ditulis dalam jurnal.

Perdebatan tadi malam sepenuhnya dimenangkan olehnya. Aku yang bersalah karena telah menjadi seorang pengecut.

"Lalu, bagaimana keadaannya pasca pembatalan pernikahannya?" Mengingat Zevania sudah siap menikah semakin menamparku. Dia sudah berubah menjadi seorang wanita dewasa.

"Dua bulan terakhir dia hanya fokus kerja dan kerja tanpa henti. Dia pura-pura baik-baik saja tapi aku tahu dia sangat terluka. Oleh sebab itu, aku mengajaknya ikut ke London. Tadinya dia menolak tapi aku terus memaksanya. Lihat kan? Dia membaik. Berkat London dan mungkin kehadiranmu juga."

Selama beberapa detik, aku sempat merasa lega karena bisa memiliki peran untuk menghibur Zevania pasca hubungannya yang kandas, tetapi aku tidak mungkin ada di sini jika tidak bertengkar dengannya. Kekecewaan yang tadi malam kulihat darinya itu nyata. "Aku telah merusak harinya di London."

"Sudah kubilang dia akan memaafkanmu."

"Kuharap begitu."

"Kau sendiri apakah marah dengannya? Bisa saja Nia juga berpikir kau tidak akan memaafkannya."

Ah, aku jadi teringat lagi sebenarnya aku yang marah lebih dulu padanya. Aku yang menyulut api. "Aku kecewa karena dia baru membaca jurnal dariku tujuh tahun setelah kepergiannya."

"Oh, itu–"

"Kau tahu?"

"Ya, dia memang bilang padaku bahwa jurnalnya hilang di London. Setelah dia pulang ke Indonesia, tidak lama kami harus pindah rumah karena perceraian orang tua kami. Mungkin jurnal darimu terselip dan bercampur dengan barang-barang lain. Kemudian, baru ditemukan setelah dia membongkar barang-barang lamanya. Aku bukan bermaksud membuka keburukan Nia, ya. Aku mengatakan ini agar kau tidak salah paham." Zevo membenarkan posisi duduknya. Dia memelankan suaranya seperti berbisik. "Pertama, dia itu sering menunda-nunda. Kalau saja dia tidak menunda membongkar kopernya, mungkin dia bisa langsung menemukan jurnal darimu. Kedua, dia sering lupa menaruh barang. Dia tidak bermaksud sengaja mengabaikan jurnalmu, dia hanya tidak tahu kalau ada jurnal darimu. Aku yakin kalau dia menemukan jurnalmu, pasti dia langsung baca—seperti yang dilakukannya. Sejak dari London juga dia tidak pernah menulis jurnal lagi. Kehidupan kami berbeda pada saat itu pasca ... perselingkuhan dan perceraian."

Oh, aku paham sekarang. "Perselingkuhannya terjadi saat Zevania masih di London?"

"Iya, tapi Mama tidak ingin mengganggu pikiran Nia selama di London, jadi kami tidak memberitahunya." Zevo memijat keningnya, seolah dengan begitu dia dapat menghapus memori buruk tentang perpisahan orang tuanya. "Dia baru tahu setelah sampai di rumah dan keadaan rumah tidak sama seperti ketika kepergiannya."

Selama ini aku egois. Kupikir hanya aku yang memiliki masa-masa terpuruk sepergian Zevania dari London. Kupikir hanya aku yang menderita. Rupanya kami berdua sama-sama kehilangan sosok ayah. Dan apa yang dialami Zevania, jauh lebih menyakitkan daripada apa yang kualami.

"Dia tidak bermaksud untuk mengabaikan jurnal darimu—jika itu yang kau rasa."

Aku mengangguk paham. Zevo telah mengembalikan topik pembicaraan menjadi jurnal, dia tidak ingin membahas tentang perpisahan orang tuanya. "Kau ... membaca jurnalku?" Kini aku paham juga mengapa Zevania marah saat jurnalnya dibaca olehku karena aku merasa malu jika Zevo ternyata juga membacanya.

"Tidak, Nia melarangku." Zevo menggelengkan kepala. "Oh, tambahan. Dia menemukan jurnalmu setelah baru saja berpacaran dengan Andre. Ketika dia bercerita padaku bahwa dia menemukan jurnal itu, wajahnya bercampur antara penyesalan dan kebahagiaan."

Ah, hatiku berdesir mendengarnya. Apakah Zevania menyesal karena keadaan mungkin bisa berbeda jika dia menemukan jurnal itu lebih awal?

"Boleh kulihat?" Zevo menunjuk tumpukan album foto di atas meja. Isinya adalah beberapa foto hasil bidikanku. Beberapa foto layak untuk dicetak tapi tidak cukup layak untuk dipajang.

Aku mengangguk sebagai jawaban, lalu teringat sesuatu. "Kau pernah membaca jurnal milik Zevania?"

"Tidak pernah." Zevo berhenti sejenak. "Nia selalu bercerita apa pun padaku—termasuk tentang dirimu."

Bagus, sekarang aku penasaran apa saja yang telah Zevania bicarakan. Bagaimana pendapatnya tentang diriku, semua yang tidak dia tulis dalam jurnalnya.

Sekali lagi dia benar; aku tidak tahu apa-apa meski sudah membaca jurnalnya.

"Kami tahu rahasia masing-masing, tapi kami juga sadar bahwa kami butuh privasi. Jurnal itu privasinya. Kalau dia merasa perlu bicara padaku, dia akan mengatakannya. Kalau tidak, mungkin cukup jurnalnya yang tahu. Yang penting dia tahu bahwa aku siap menjadi pendengarnya kapan pun itu."

Kesalahan yang telah kuperbuat memang kelewatan. Bisa-bisanya aku memanfaatkan ucapan Zevania yang mengatakan bahwa semua orang bisa membaca jurnalnya untuk mengambil kesempatan masuk ke privasinya. Zevo benar, kalau Zevania ingin aku tahu isi pikirannya, maka dia akan mengatakannya.

"Kesalahanku fatal."

"Aku tidak bilang bahwa perbuatanmu itu tidak fatal, tetapi aku mengerti kau ingin mengenal Nia lewat jurnalnya." Zevo membolak-balikan halaman album foto. "Kau tidak sepenuhnya salah karena Nia memang pernah bilang mengizinkan orang lain untuk baca, tetapi kau juga seharusnya tetap minta izin darinya."

"Aku paham." Aku bergumam. "Aku ingin mengenalnya."

"Biar kuberitahu satu hal supaya kau tidak salah langkah lagi." Zevo meletakkan kembali album foto ke atas meja. Aku membenarkan posisi duduk, siap mendengarkan. "Kau bisa tanya apa pun tentang Nia padaku dan aku akan menjawabnya sebagai orang paling dekat dengannya."

Adrenalin tiba-tiba memenuhi sekujur tubuhku. Aku berpikir keras apa saja hal yang ingin kuketahui tentang Zevania saking banyaknya. "Tadi malam dia bilang apa yang ditulisnya tidak berarti. Menurutmu bagaimana? Apakah dia berbohong sebagai bentuk pertahanan diri atau dia bersungguh-sungguh?"

"Oh, dia bohong. Jurnal itu segalanya baginya. Dia hanya kesal dan mencoba menutupi rasa malunya karena kau telah membaca jurnal tanpa sepengetahuannya. Aku asumsikan ada tulisan tentangmu makanya dia bereaksi seperti itu?"

"Ada banyak." Aku tidak kuasa menahan senyum banggaku begitu memamerkan kepada Zevo bahwa Zevania menulis tentangku di jurnalnya. Padahal tidak berguna juga karena Zevo pasti tahu lebih banyak dari yang Zevania tulis. "Apakah ... dia masih menyukaiku?"

Zevo terbahak mendengarnya. "Perasaannya hanya dia yang tahu, tapi dia memang pernah menyukaimu. Kau tahu kan klub favoritnya Manchester United? Setelah pulang dari London, dia jadi sering menonton pertandingan Arsenal atau minimal mengecek line up Arsenal. Kau pikir kenapa dia melakukan itu?"

Dia mencari keberadaan kiper bernama Andrew Stanley.

Aku tidak nyaman membicarakan itu sekarang. "Selain itu?" tanyaku sebelum Zevo bertanya alasan aku tidak jadi masuk ke akademi Arsenal.

"Nama mantannya Andre dan beberapa kali dia sering salah ketik nama, dia menambah huruf W secara tidak sadar." Zevo kini menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. "Kau bisa simpulkan sendiri."

Andre dan Andrew. Menarik.

"Bagaimana hubungannya dengan Andre selama mereka berpacaran?" Fakta bahwa Zevania nyaris menikahi pria bernama Andre tetap membuatku gusar. Dia sudah siap menikah? Dan dia juga sudah yakin dengan Andre sebagai pendamping hidupnya. Perasaannya padaku memang sudah berubah.

Sepuluh tahun memang waktu yang lama dan bisa-bisanya aku masih terus memikirkan Zevania. Bahkan hingga menghancurkan hati gadis lain. Gadis yang menemaniku pada masa-masa terpuruk.

"Wah aku tidak bisa menjawab itu," kata Zevo. "Hubungan itu hanya antara mereka berdua yang tahu. Kau bisa bertanya langsung padanya kalau penasaran."

"Dan kalau berani."

Zevo tertawa menanggapi gumamanku yang keluar begitu saja secara refleks. "Percayalah, Nia akan memaafkanmu. Setelah itu kau harus mendapatkan kepercayaannya. Aku yakin dia akan cerita dengan sendirinya."

Itu dia. Kuharap demikian.

"Oh, aku ingin menitipkan sesuatu." Aku mengeluarkan sebuah jurnal yang terbungkus dengan paper bag dari laci meja kerja dan menyerahkannya kepada Zevo. "Ini jurnal yang kutulis selama sepuluh tahun terakhir. Tolong berikan kepadanya. Aku menulis ini untuknya."

"Kau menulis jurnal untuknya selama sepuhuh tahun ini?" Zevo melihat isi paper bag itu lalu menutupnya kembali. Aku percaya padanya bahwa dia tidak akan membaca jurnalnya.

Aku kembali duduk di atas kursi dengan canggung. "Ya, menulis jurnal cukup membantuku melepas penat. Tolong sampaikan terima kasih juga kepada Zevania karena mengenalkanku pada jurnal."

"Wah, kau tidak terlihat seperti orang yang menulis jurnal."

"Aku tahu." Aku menunjuk paper bag yang telah Zevo letakkan di atas meja. "Kau boleh membaca kalau mau."

"Oh, tidak terima kasih. Aku tidak mau ikut campur lebih jauh tentang hubungan kalian." Zevo menggeleng cepat. "Aku hanya berharap yang terbaik untukmu dan tentunya Nia."

"Terima kasih."

"Aku harus kembali kerja."

"Oh, iya." Aku ikut berdiri dan mengantarkan Zevo kembali ke lantai bawah. Para kru film sedang beristirahat. "Hari ini ke mana saja lokasinya?"

"Trafalgar Square, Regent Street, Soho. Sekitar sini." Zevo langsung menjawab, dia yang bertanggungjawab perihal pemilihan tempat. "Galerinya bagus. Kalau aku ada waktu, aku akan mampir lagi."

"Silakan, kau boleh datang kapan saja," balasku. Kami menuruni anak tangga. Aku memandangi jurnal yang berada dalam paper bag di tangan Zevo. Masa depanku ditentukan oleh jurnal itu.

"Kau sendiri? Apa yang kau lakukan hari ini?" tanya Zevo setelah kami ikut berkumpul dengan para kru film.

"Entahlah. Mungkin seharian di galeri. Daniel sedang ke Edinburgh dan musim panas banyak pengunjung." Ya, mungkin itu agendaku hari ini.

Zevo pun bergabung dengan kru filmnya, kembali bekerja.

Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan dari Zevania. Aku juga tidak mengiriminya pesan. Jariku menekan logo Instagram, aplikasi yang baru kuaktifkan kembali setelah bertemu dengan Zevania. Dialah satu-satunya alasanku kembali menggunakan aplikasi itu. Layar menampilkan laman home dan foto akun Zevania berada di paling depan. Aku membukanya, melihat Zevania mengunggah beberapa foto dan video. Benar dugaanku, hari ini dia pergi ke Covent Garden. London bukanlah hal asing baginya, dia akan baik-baik saja tanpa kehadiranku.

Proses syuting menghabiskan dua jam di galeri. Ini pertama kalinya aku menyaksikan proses syuting sebuah film. Bagaimana para aktornya saling berlatih skenarionya. Perbedaan mereka ketika sedang di depan dan belakang layar. Mengingatkanku pada...

Aku kembali ke ruang kerja setelah para kru film meninggalkan galeri. Terdengar suara ponselku yang bergetar di atas meja. Nama Keira muncul pada layarnya, nyaris tidak pernah dia meneleponku. Barangkali dia sadar bahwa dialah orang yang telah merusak hubunganku dengan Zevania, tidak sekali tetapi dua kali. Tadinya aku sudah melupakan masalah dengannya, kami telah berbaikan. Tidak ada yang aneh sampai ... itu dia.

Sebentar. Keira kemungkinan ada di teaternya dan Zevania juga berada di sekitar Covent Garden. Bisa saja mereka bertemu dan bukan hanya Keira, melainkan ... June.

Ketika aku hendak menerima telepon dari Keira, panggilannya terputus. Aku membuka kunci layar ponsel lalu menelepon balik gadis itu.

"Andrew!" Keira langsung menerima panggilannya pada nada dering pertama. "Kau harus kemari. Zeva dan June bertengkar!"

Tidak mungkin.

Continue Reading

You'll Also Like

6.1K 1K 16
[SELESAI] Pernahkah kau berpikir ada sesuatu yang tidak beres saat kau terjebak dalam suatu jajaran puluhan mobil di jalanan? Terjebak kemacetan di...
34.6K 1.9K 19
Psicopatico diambil dari bahasa itali yang berarti psikopat. Psikopat adalah penyakit jiwa, tapi bukan berarti orang yang menjadi psikopat itu gila. ...
2.9K 1K 12
[COMPLETE] . . Itu hanyalah sepasang ayunan tua. Tak berguna, tak terawat, tak begitu menyenangkan. Tapi bagi Kinar, itu adalah sepasang ayunan. Tak...
6K 1K 9
"And in the back of my mind I always thought I would end up with you." Sore itu, dada Tami seperti letupan kembang api di setiap malam pergantian tah...