Get Well Soon

By macafau

7.1K 880 403

Tidak ada yang tahu alasan Ris pergi ke IGD sendirian dengan kondisi fisik yang berantakan. Sementara, alasan... More

Chapter I : Datang Sendirian di Keramaian
Chapter II : Pasien Pertama Adimas
Chapter III : Teman Yang Berprofesi Dokter
Chapter IV : Ris 'Sendirian' Atmariani
Chapter V : Waktu Indonesia Bagian Overthinking
Chapter VI : Ujian Dadakan
Chapter VII : Perasaan Adimas
Chapter VIII : Siapa Keluarga Siapa?
Chapter IX : Doa Yang Baik Saja
Chapter X : Serba-serbi yang Tak Terucap di Sabtu Pagi
Chapter XII : Fungsi Kakak dan Adik
Chapter XIII : Lekas Pulih, Ris
Special Illustration
Chapter XIV : Pulang ke Rumah yang Mana?
Chapter XV : Ngobrol Tipis Kena di Hati
Chapter XVI : Di Rumah Ayah

Chapter XI : Terjebak Ekspektasi

288 36 15
By macafau

Debur ombak memanjakan telinga, seiring gemerisik nyiur yang diembus angin. Pemandangan sehari-harinya adalah laut dan bentang pasir putih yang mengelilingi pulau. Kapal-kapal nelayan dan orang-orang yang beraktivitas santai.

Tak perlu buru-buru. Semuanya dijalankan dengan tenang. Hiburan dekat di depan mata. Walau bayaran atas jasanya hanya ikan tangkapan kemarin sore.

Sebuah pulau bagian dari Timor Tengah Selatan, habitat Adimas yang membakar semangatnya untuk mengabdi menjadi dokter. Sebuah tempat di mana Adimas menemukan jati dirinya.

Adimas si anak kedua dari tiga. Alasannya kuliah kedokteran tidak ada. Dimasukkan oleh Bapak ke universitas swasta walau bayarannya selangit, sebab si bujang satu ini tak tahu harus kuliah apa. Cita-citanya jadi atlet, tapi menurut Bapak jadi atlet itu masanya terlalu pendek, dalam beberapa tahun performa Adimas akan kalah dibanding atlet-atlet muda yang masih penuh tenaga.

Jadi dokter saja akhirnya. Mau tak mau harus dijabanin sebab seharga rumah petakan di cluster sudah hangus buat uang pendaftaran dan semester pertama. Ya, mau tidak mau Adimas harus jadi dokter, karena bapaknya dokter, ibunya dokter, kakaknya juga dokter.

"Pak, kenapa Bapak jadi dokter?" Dulu Adimas pernah bertanya pada Bapak.

"Soalnya dulu Mbah Putri suka sakit-sakitan. Jadi Bapak niatnya mau jadi dokter biar bisa bantu Mbah Putri sembuh." Tapi Mbah Putri kepalang meninggal tepat sebelum Bapak sumpah dokter.

"Bu, kenapa Ibu jadi dokter?" Adimas juga pernah bertanya pada Ibu. Ibu tertawa sebelum menjawab.

"Ibu inginnya jadi polisi, Eyang Kung inginnya Ibu jadi dokter. Makanya Ibu jadi dokter polisi, jadi dokter forensik polisi." Ibu bangga sekali.

"Ibu gak perlu lari-lari kalau jadi dokter polisi. Cukup kasih tahu teman-teman yang lain dari hasil otopsi, tapi tetap jadi orang berjasa seperti cita-cita Ibu. Tetap bisa menangkap orang jahat." Semangat sekali Ibu ini, hingga wajahnya merona dan matanya berbinar-binar.

"Mbak Jan, kenapa masuk kedokteran?" Adimas juga bertanya pada Anjani untuk mendapat penjelasan panjang lebar tentang 101 alasan Anjani jadi dokter mulai dari jumlah dokter yang kurang, peluang karena selalu ranking satu dan sebagainya.

Lalu kenapa Adimas jadi dokter? Adimas tak menemukan alasan sampai ia menapakkan kaki di Timor Tengah Selatan.

"Pak Dokter! Ini ada ikan!" Itu undangan dari para pria yang menanti waktu melaut di pinggir pantai sambil menikmati ikan bakar.

Mereka memanggil Adimas untuk duduk melingkari api unggun. Berkumpul sambil tanya ini-itu. Mata mereka berbinar-binar mendengar Adimas yang menjelaskan tentang kesehatan.

"Pak Dokter! Nanti kalau aku sudah besar, aku juga mau kuliah ke Jawa, biar jadi Dokter seperti Pak Dokter." Seorang anak bicara gembira setelah Adimas membantu sang ibu melahirkan di rumah.

"Memang kenapa kamu ingin jadi seperti aku?" tanya Adimas.

"Soalnya Pak Dokter membantu banyak orang."

Pada dasarnya Adimas itu hatinya selembut kapas. Meleleh dia dipuji anak kecil yang umurnya bahkan belum lima tahun. Merasa menemukan dirinya di pulau, dengan banyak orang yang melihatnya tanpa banyak syarat ini-itu.

Nikmat memang jadi yang terpenting itu. Merasa makin semangat untuk terus menebar kebaikan.

"Sudah disekolahkan mahal-mahal bayarnya pakai ikan? Haduh, Adimas!" Nyinyir Bude Purwati ketika bertemu dengannya pada hari kematian Mbah Kakung.

Adimas tak pernah merasa itu hal yang salah. Toh, Bapak dan Ibu bisa pergi di Hari Raya untuk bekerja demi kemaslahatan umat. Lebaran kumpul lengkap terhitung jari, ya seperti ini, bahkan di hari kematian Mbah Kakung, Ibu tak dapat hadir karena mengabdikan diri membantu masyarakat.

Waktu itu berharga. Adimas mempercayainya sebagai hal yang lebih berharga daripada materi, hingga dia berpikir kalau Bapak bisa mengorbankan waktu untuk yang terkasih demi membantu banyak orang, hal yang wajar bagi Adimas mendapat bayaran seadanya atau tidak sama sekali untuk hal yang sama.

"Sudah ratusan juta bapakmu keluarkan buat kamu sampai tidak bisa ikut patungan buat harian Mbah kamu, kamu malah mau digaji murah begitu, pakai ikan. Memang puas makan ikan tiap hari?" Bude Purwati terus bicara, cukup begini buat menyayat hati si dokter yang baru menemukan jati diri itu.

"Hah?" Adimas bingung dan kecewa. Dia puas-puas saja dengan ikan setiap hari. Tempe-tahu digoreng saja bagi Adimas nikmatnya luar biasa. Perkara tumis kangkung sisa kemarin saja bisa membuat Adimas gembira. Apa salahnya?

"Tuh, lihat anak Bude-" Iya, seumuran Adimas, dokter juga, mereka seangkatan bahkan.

"Sudah kuliahnya di negeri, jadi dokter di Jakarta, gajinya besar pula padahal perempuan, loh! Lah, kamu laki-laki-"

"Tapi kan ini internship, Bude." Tandanya, baik Adimas maupun sepupunya tidak akan bekerja di tempat mereka sekarang selamanya. Walau Adimas berencana untuk menetap selamanya di sana.

"Kamu berani, ya motong omongan orang tua." Bude Purwati ternyata tak suka Adimas memotong apalagi bicara tentang fakta yang membuat Purwati ciut.

"Ya, kamu. Riri kan sudah menikah, sudah ada yang menafkahi. Lah, kamu, laki-laki, memang istrimu bisa dinafkahi pakai ikan saja?" Pokoknya Bude tak mau kalah.

Adimas diam. Dia juga baru ingat bahwa selama ini tak pernah berpikir untuk menikah. Bukan karena takut, bukan karena apa, memang tak ada yang membuatnya jatuh hati atau semacamnya. Tak ada perempuan yang menarik perhatiannya lebih.

"Dimas." Suara Bapak memanggil membuat Adimas yang sedang membantu Bude Purwati mengemas baju-baju Mbah Kakung untuk dibagikan ke panti jompo menoleh pada sumber suara.

Dengan isyarat, Bapak meminta Adimas untuk mengikutinya. Tentu yang bisa Adimas lakukan hanya patuh.

"Selesai internship, langsung sekolah spesialis, ya," ujar Bapak tiba-tiba tiada angin, tiada hujan.

"Bangga Bapak kalau punya anak spesialis," kata Bapak sambil mengulas senyum hambar dan menepuk-nepuk punggung Adimas. Sungguh, Adimas berat hati.

"Teman Bapak, punya RS kelas internasional, sedang diajukan buat jadi RS tipe A katanya," jelas Bapak tiba-tiba yang membuat jantung Adimas berdegup kencang.

"Central City International Hospital, ya, Pak." Walau ragu, Adimas buka suara. "Yang dulu Cardiac Clinic Center?"

"Oh, kamu tahu?" Terdengar senang Bapak mendengarnya. Adimas mengangguk.

"Dosen penguji skripsi kemarin, Dokter Emir, dokter di CCIH," ujar Adimas pelan.

"Ya, bagus kalau begitu. Semoga rezekimu di situ," tutur Bapak sambil merangkul Adimas senang.

"Nanti, aku usahakan sendiri dulu saja, Pak. Bukan apa-apa, biar tidak mencoreng nama Bapak kalau ada apa-apa," tutur Adimas pelan. "Kalau kepepet aja nanti Bapak bantunya, tapi Adimas usahakan-"

Iya, Adimas usahakan jadi sempurna. Tanpa sadar lelah menerpa sebelum semuanya selesai.

Hela napas Adimas mengingat tiap kilas kehidupannya selama perjalanan dari Instalasi Radiologi ke ruang direksi di lantai sembilan gedung lama. Ya, disini Adimas sekarang, terkurung di antara bangunan-bangunan tinggi, terjebak dalam macet yang penuh sesak, melayani orang-orang yang menuntut lebih karena bayar selangit yang hanya sebagian kecil masuk ke kantong Adimas.

Hiruk-pikuk kota yang serba cepat memang tak cocok bagi Adimas. Sering dia rindu deburan ombak dan suara nyiur yang ditiup angin mewarnai sorenya, alih-alih klakson dan deru mesin kendaraan bermotor. Liburan saja tidak jadi obat karena identitasnya tertinggal nun jauh di tempat matahari terbit.

dr. Aryanto Sarmito Wijoyo, Sp.JP(K). Direktur Bagian Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan. Dibanding Suryadi, Aryanto alias Aryo lebih punya kuasa untuk mengeluar-masukkan dokter yang bekerja di CCIH.

"Selamat Sore, Dokter Adimas!" Adimas disambut senyum, tapi kalau dari Aryanto itu membuat Adimas was-was. Tak pernah sekalipun Adimas lihat Aryanto tidak tersenyum, tidak pernah sama sekali, orang yang seperti ini yang membuat takut setengah mati.

"Sore, Dok," balas Adimas seadanya lalu patuh ketika Aryanto mengisyaratkan agar dia duduk di kursi yang berhadapan dengan Aryanto.

"dr. Adimas Eka Putra Suseno, Sp.PD. Tiga puluh tiga tahun-" Disebut nama lengkap dan usia agaknya menakutkan.

"Performanya sekarang bagus, ya! Sudah tidak pernah telat." Dokter Aryanto memulai pembicaraan.

"Di visit rawat inap nilainya bagus-bagus. Sudah pernah dibaca komentarnya?" tanya Aryanto. Adimas mengangguk agak ragu.

"Tuan Gilang Gamadi Martasuta, 34 Tahun, komentarnya, 'Dokter Adimas seumuran saya. Seperti ngobrol sama teman. Tidak membuat takut.' Hmm... teman nih, udah bestie ya sepertinya sampai kasih nilai 100/100." Aryanto membacakan komentar tentang Adimas. Adimas hanya menyimak walau sungguh dia sudah tahu.

"Tuan, Alfian Haris, 56 Tahun, 'Dokternya masih muda. Seumuran anak saya.' Penilaiannya 70/100, nih." Masih terus dibacakan. Adimas ingat bapak-bapak satu ini yang terus memandangi Adimas sinis sepanjang visit.

"Nona, Karisma Atmariani, 24 Tahun. 'Dokter Adimas selalu menempatkan diri sebagai teman untuk pasiennya. Menenangkan dan tidak memarahi pasien seperti dokter lain yang pernah ketemu saya. Wangi.' Widih, seperti teman lagi ini, nilainya juga 100/100. Tidak memarahi pasien katanya, memang ada ya dokter marah-marah ke pasien?"

"Katanya dokter di puskesmas suka marah-marah, Dok. Kata Nona Karisma," kata Adimas pelan yang direspon dengan wajah tak menyangka.

"Oknum sepertinya, ya. Tapi, ya begitu, puskesmas dan tipe C, biasanya pasiennya bejibun dalam sehari. Lelah juga bikin gampang emosi, tapi tetap saja, dokter tidak boleh marah-marah atau menyalahkan pasien. Di CCIH tidak boleh ada yang seperti itu," tutur Aryanto yang membuat Adimas tegang takut ketahuan pernah memarahi Ris di pertemuan pertama mereka.

"Baik-" Aryanto menutup laptopnya dan memandang Adimas dengan serius, tanpa melunturkan senyum di wajahnya.

"Di poliklinik rata-rata masih dibawah 80/100 nilainya. Lalu, rata-rata masih pindah dokter pasiennya, ya," Aryanto mengatakan hal yang jelas-jelas diketahui Adimas, tapi tak mau diketahui laki-laki itu.

"Nah! Dari data yang diambil dua tahun belakangan, performanya bagus untuk kasus-kasus gastroenterohepatologi, untuk ginjal lumayan, tapi hipertensi penilaiannya masih rendah, alergi-imunologi belum pernah menangani kasus, hematologi-onkologi di sini kamu selalu langsung merujuk ke dokter konsultan, endokrin-metabolik-diabetes juga performanya masih rendah." Aryanto merangkum hasil performa Adimas. Adimas hanya diam mendengarkan.

"Kalau dari pengolahan data, penilaian kurang bagusnya dari pasien-pasien yang usianya 50 keatas, jadi saya mau tanya, kenapa buat pasien lansia pelayanannya dirasa kurang?" tanya Aryanto sambil menatap serius Adimas.

Adimas diam. Mengaku kurang ramah pada pasien-pasien kolot karena teringat wajah para orang tua yang menjebaknya di tempat yang jauh dari habitatnya. Orang-orang tua yang membuat Bapak berpikir sukses itu menjadi dokter di kota.

"Ah-" Tapi Adimas tak bisa mengatakannya, hanya bisa tertawa canggung.

Pasien penyakit dalam itu rata-rata orang tua, sudah berumur, sekelas bude-bude suka nyinyir yang ekspektasinya setinggi langit. Susah payah mereka buat rujukan inginnya bertemu dokter senior yang jam terbangnya tinggi, bukan dokter junior seumuran anak mereka.

"Kalau sub-spesialis Geriatri berarti kurang cocok, ya." Adimas mengernyit tak paham arah pembicaraan yang dibawa Aryanto.

"Sebenarnya butuh banyak sih ini. Masih banyak kosongnya terus RSUP juga makin penuh. Kalau RSUP sendirian yang tangani, tindakan mudah saja nunggunya bisa setahun-dua tahun. Sebagai sesama RS Tipe A, kita harus lengkap sumber daya manusianya." Aryanto terus nyerocos.

"Intinya!" Wajah si dokter senior itu terlihat antusias, malah makin menakutkan bagi Adimas.

"Aku simpulkan kamu itu bagus kalau melayani pasien muda. Lihat deh, komentar orang tentang dokter Yudi, Dokter Agus yang senior, kalau pasiennya masih muda sekitar 20-30an itu komentarnya seadanya, nilainya juga kecil. Kebalikannya, Dokter Adimas itu nilainya bagus untuk pasien muda. Makanya kalau menurut saya, performa Dokter Adimas itu bagus kok, untuk orang tertentu dan semua dokter juga begitu," kata Aryanto masih antusias.

"Kamu baik, ramah, pintar. Bahkan kamu ingat curhat pasienmu selain tentang penyakitnya, seperti kamu tadi ingat Nona Karisma tidak mau ke puskesmas karena dokternya galak."

"Maka dari itu, kalau performanya terus meningkat, ada beasiswa untuk ambil sub-spesialis di Amerika pastinya." Ketika Aryanto mengatakannya Adimas membeku di tempat.

"Saya sangat berharap Dokter Adimas yang masih muda, masih berenergi, nantinya bisa meneruskan nilai-nilai pelayanan CCIH-" Adimas masih membeku.

"Jadi, saya kasih dua pilihan, mau subspesialis gastroenterologi-hepatologi atau hematologi-onkologi. KGEH, kalau dilihat sekarang, mahasiswa rawan gastritis, gerd, usus buntu, hepatitis, fatty liver, sudah banyak menyerang usia 20-an. Itu pasarmu, 'kan?"

"Kalau di KHOM, bisa tuh ambil alih pasien dari pasien kanker anak yang sudah beralih remaja, jadi masih pada muda. Ya, remaja, dewasa muda zaman sekarang juga ada yang anemia semacamnya, jadi bisa kamu ditempatkan di sana." Aryanto bersemangat menjelaskan. Tahu, dia tahu betul kalau Adimas terlihat enggan untuk itu, tapi dia juga tahu betul bahwa Adimas itu...

"Saya usahakan, Dok. Saya minta waktunya untuk memperbaiki diri."

Adimas itu people pleaser.

"Saya percaya kamu bisa. Saya sangat berharap pada Dokter Adimas." Ini seperti mantra untuk membuat Adimas patuh, dasarnya dia anak baik yang enggan membuat orang kecewa.

Sampai kapan? Sampai kapan Adimas susah payah memenuhi ekspektasi orang?

Mulai dari praktik rawat jalan sampai visit rawat inap hari ini terasa berat. Selama praktik ada bagian direksi yang mengawasi Adimas. Dokter Aryanto juga ikut visit.

"Oh, Dokter Suryadi? Anaknya?" Tampaknya Aryanto baru tahu kalau rekan sejawatnya ini adalah orang tua pasien Adimas.

"Iya, Dok. Ini putri tunggal saya, Karisma." Suryadi memperkenalkan Ris yang terbaring di kasur pada Aryanto.

"Halo, selamat malam, Nona Karisma! Saya dr. Aryanto, wakil direktur bagian PSDM. Saya mau tanya beberapa hal mengenai Dokter Adimas apakah boleh?" tanya Dokter Aryanto. Ris mengangguk.

"Menurut Nona Karisma, bagaimana pelayanan dari Dokter Adimas?" tanya Aryanto.

Ris menatap Adimas. Menyadari betapa lelahnya lelaki itu. Seperti energinya terkuras habis, mungkin karena audit terus-menerus pada kinerjanya. Ris tidak akan membiarkan Adimas dipecat.

"Sejauh saya berobat di beberapa tempat, hanya Dokter Adimas yang melayani saya dengan baik." Ris akan mengutarakan seluruh isi hatinya supaya dunia tahu bahwa Adimas adalah dokter paling baik yang dia temui.

"Saya sudah sebulan terakhir bolak-balik ke dokter. Saya coba dari puskesmas, klinik kampus sampai klinik berbayar, dokter-dokternya malah memarahi saya karena pola hidup yang jelek. Saya tahu pola hidup saya buruk, tapi saya ke dokter bukan untuk dimarahi."

"Dokter Adimas bisa menjelaskan dengan baik, memberi pengertian dan saya benar-benar diperiksa bukan hanya ditanya lalu dikasih obat saja. Saya senang karena pelayanannya sangat baik, bahkan Dokter Adimas juga memberikan rekomendasi cemilan dan buah-buahan supaya saya cepat pulih. Pola makan kedepannya dan pola hidup sampai porsi olahraga juga bisa saya konsultasikan dengan Dokter Adimas dengan nyaman."

Adimas tertegun. Tersanjung. Hatinya yang selembut kapas itu tersentuh hingga basah dan meleleh. Senyum di wajahnya kini berubah sedikit, bukan lagi senyum formal yang menyembunyikan lelah, tapi juga senyum bahagia.

"Terkait pengetahuan tentang kondisi pasien? Sudah tiga hari belum ada diagnosis, kan?" Adimas mengkhawatirkan pertanyaan ini, tapi dia punya alasan jadi dia bisa tenang ketika Aryanto menanyakan ini pada Ris.

"Iya, karena Dokter Adimas hati-hati dan teliti." Ris menjawab tegas.

Suryadi menatap anak gadisnya dengan pandang sulit dideskripsikan. Entah bagaimana Ris mengerti kata kunci untuk membangun citra baik bagi Adimas.

"Dokter Adimas saya rasa sudah melakukan yang terbaik," kata Ris final

Sejuk Adimas mendengarnya. Besok dia akan berterima kasih pada Ris. Mengirim bunga atau boneka untuk dipeluk selama menginap di rumah sakit mungkin.

Hari ini berat, walau akhirnya baik.

Kali ini Adimas pulang ke rumah, membawa martabak manis pisang-cokelat-keju kesukaan Bapak. Lelaki yang dalam empat tahun ke depan pensiun itu tampaknya bingung melihat bukan hanya si bungsu yang pulang ke rumah, tapi juga Adimas.

"Ada apa, Dim?" Bapak was-was, karena Adimas pulang ke rumah hanya untuk dua hal, cuci baju dan kalau ada masalah. Cuci baju kemarin Rabu sudah, ada apa gerangan anak bujangnya ini datang di malam minggu, malam biasanya dia memilih nyepi di apartemennya.

Ada banyak sebenarnya, tapi Adimas tak merasa harus cerita pada Bapak. Hanya ingin menatap Bapak untuk mencari alasan agar kuat bertahan.

"Cuma mau makan martabak bareng Bapak." Penuturan Adimas ini memang menyentuh hati, si anak yang paling romantis pada Bapak sejak lahir.

Walau wajahnya dingin dan tak banyak berekspresi, Bapak tetap peka kalau ada hal yang mengganjal pada Adimas. Mengingat kembali kapan anak lelaki cengengnya ini terakhir menangis atau sekadar mengekspresikan sedih, entah sejak kapan Adimas banyak memendam sendiri.

"Oh iya, Pak." Adimas mengeluarkan amplop cokelat lalu menyerahkannya pada Bapak. Bapak menghela napas.

"Kan Bapak sudah bilang-"

Amplop itu berisi uang, setengah gaji Adimas, kadang ada lebihnya. Tiap bulan sejak bekerja di CCIH selalu begini padahal tahu, gaji Bapak juga masih jauh diatas gaji Adimas.

Namun, seperti biasa. Sebelum Bapak selesai bicara Adimas sudah melenggang pergi buru-buru ke kamar. Besok paginya, kembali ke apartemen mungilnya subuh sekali.

Uang itu kata Adimas untuk Bapak. Mengganti uang Bapak yang habis karena menyekolahkan Adimas. Walau butuh seumur hidup, Adimas hanya berusaha jadi anak baik yang selalu memenuhi ekspektasi.

~**~

Anak baik tak harus jatuh, kalau rasi bintang runtuh.

{ Sal Priadi - Ambilkan Bintang }

~**~

Author's Note :

Untuk setiap anak yang sedang susah payah memenuhi ekspektasi orang tua. Aku doakan yang paling baik untuk kalian anak-anak baik.

_Fau_

Continue Reading

You'll Also Like

128K 8K 24
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
184K 544 45
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...
908K 9.3K 24
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
877K 3.5K 9
Kocok terus sampe muncrat!!..