Siang semuaaa!!!
.
.
.
Dari tempatnya duduk, Kalya melihat ke arah jari manis Jerry, jari yang masih dilingkari sebuah cincin. Cincin yang Kalya pilih sendiri karena dia pikir Jerry akan memberikannya pada orang tuanya, namun ternyata cincin itu untuk mengikat hubungannya dan Jerry ke arah yang lebih serius. Kalya tersenyum pahit mengingat bagaimana bahagianya dia kala itu ketika Jerry melamarnya secara mendadak di toko perhiasan, di depan banyak orang yang memberikan tepuk tangan setelah Kalya menerima Jerry sebagai calon suaminya. “Kalya.” Wanita yang semula terpaku pada cincin itu, memalingkan wajah ke depan setelah Jerry yang duduk di sebelahnya memanggil. Kalya tak menyahut. Dia malah memandangi langit yang mendung. Sementara Jerry kembali diam sebab panggilannya tak disahuti. Hening tercipta kembali. Hanya terdengar suara angin karena posisi mereka berada di ketinggian, di rooftop tanpa atap ataupun pohon. Hanya ada kursi panjang dengan Jerry duduk di ujung kiri, sementara Kalya di ujung kanan. Namun, Kalya tiba-tiba berdiri, seolah akan pergi. “Jangan pergi dulu Kal. Aku mohon.”
“Gak ada yang penting di sini.”
“Ada orang yang pantes dapat hukuman di sini.”
Kalya menghela napas. Dia kembali duduk.
Jerry memandangi Kalya dari samping. Wanitanya–tunggu, Jerry lupa, dia sudah tidak bisa menyebut Kalya sebagai wanitanya. Kalya terlihat baik-baik saja. Wanita itu tak menunjukkan tanda-tanda kesedihan seperti yang Jerry alami saat ini dan itu malah membuat Jerry sedikit lega juga sakit. Lega, artinya Kalya tidak menyesali keputusannya dan mengambil tindakan yang benar, sakit karena Jerry belum seikhlas itu dengan kandasnya hubungan mereka. “Aku kangen kamu.” Andai aku bisa peluk kamu. “Aku tau, aku udah gak berhak ngomong gitu.”
“Kamu gak lupa aku benci kamu, 'kan?” Kalya menatap Jerry. Pandangan keduanya bertemu, terkunci sesaat karena di lubuk hati terdalam Kalya, dia pun merindukan Jerry. Dari tatapan tersebut, Kalya baru menyadari betapa berubahnya penampilan Jerry dibanding terakhir mereka bertemu. Tulang-tulang pipi lelaki itu terlihat semakin menonjol, matanya tak secerah dulu, memerah, dan seperti ada kesedihan dan penyesalan mendalam.
“Aku gak lupa. Gak akan aku lupain tatapan dan tamparan kamu hari itu ke aku karena itu salah satu hukuman yang harus aku terima.” Bagaimana Jerry bisa melupakannya jika tiap malam sebelum tidur, Kalya selalu terbayang di kepalanya hingga terbawa mimpi. “Sebenernya aku pingin nemuin kamu dari kemarin-kemarin, tapi aku kehilangan keberanian Kal. Aku takut, kalau aku datang dan memaksa minta ketemu kamu, kamu akan semakin benci sama aku. Jadi walaupun aku kangen, aku cuma berani liat kamu dari jauh. Mumpung kita ketemu gini, aku pingin minta maaf lagi, mungkin kamu bosen dengernya. Tapi aku harus bilang ini, aku udah sangat-sangat keterlaluan ke kamu, selain udah bohongin kamu, gak bisa memposisikan kamu, aku juga udah meremehkan kamu. Aku bilang kamu gak akan bisa bahagia tanpa aku, tapi ternyata aku salah besar. Kamu keliatan baik-baik aja sekarang tanpa aku, malah aku yang gak baik-baik aja. Aku bukan mau minta dikasihanin Kal, aku cuma pingin kamu tau, kalau kamu berhasil bikin aku kesiksa tanpa kehadiran kamu.”
Kalya meremat celananya sendiri, berusaha mengontrol emosinya. Sungguh, tidak mau lagi dia menangisi Jerry, apalagi di depan lelaki itu langsung.
“Andai aja aku bisa lebih menghargai kamu, gak nyakitin kamu, kita gak akan berakhir kayak gini.”
“Gak ada gunanya kamu menyesal sekarang.”
“Bagi aku berguna. Rasa penyesalan itu yang bikin aku tau diri untuk gak minta kamu balik lagi ke aku.” Jerry menatap Kalya dalam. “Aku terima Kal, aku terima semua konsekuensi dari tindakan aku. Aku terima kamu membatalkan pernikahan kita, walau berat, walau sakit, aku terima karena aku yakin, sakit yang aku rasain sekarang ini gak ada apa-apanya dibanding sakit yang kamu rasa kalau memaksakan bertahan sama aku. Sekali lagi aku minta maaf atas semua tindakan jahat aku.”
“Udah ngomongnya?”
Jerry mengangguk pelan. Tidak banyak perkataan yang bisa keluar dari mulutnya, apalagi sebuah pembelaan diri yang baginya tidak akan berguna, dan tidak ada yang bisa dibela pula.
“Sekarang aku yang ngomong. Kamu mengakui kamu udah jahat ke aku, jadi aku berhak bukan kasih kamu hukuman?”
Jerry kembali mengangguk. “Apapun itu, aku terima Kal.”
“Berhenti minum, berhenti ngerokok, jalanin hidup kamu seperti biasanya, jaga kesehatan kamu, naikin berat badan kamu, aku pingin kamu sehat supaya kamu bisa lihat aku yang lebih bahagia dan menikmati hidup tanpa kamu suatu hari nanti. Aku harap, kamu benar mencintai aku supaya hukuman ini terasa efektif dan menyakitkan.”
“Aku mencintai kamu, ucapan aku yang satu itu bukan kebohongan.”
Kalya berdiri dari posisinya. Dia berjalan meninggalkan Jerry.
Kepala Jerry tertunduk, menyadarinya dia sudah benar-benar kehilangan Kalya.
“Mas?” Jerry menoleh ke belakang. Kalya berdiri di ambang pintu menghadapnya. “Aku punya satu pertanyaan sebelum aku pergi.” Kalya mengatur napasnya sejenak. “Apa yang Tari punya sementara aku enggak sampai-sampai kamu belum bisa move on dari dia padahal udah sepuluh tahun berlalu?”
Jerry menggeleng. “Kalian gak bisa dibandingin Kal. Kamu punya pesona sendiri, begitupun Tari. Bukan apa yang kamu gak punya sementara Tari punya, tapi aku yang terlalu bodoh dan egois, gak bisa menghargai dan memposisikan kamu juga Tari. Maafin aku, tindakan-tindakan bodoh aku udah bikin kamu kehilangan kepercayaan diri. Kamu gak kurang apapun, trust me. Aku yang kurang.”
Kalya mengangguk paham. “Aku mau berpesan ke kamu. Jangan terlalu noleh ke belakang sampai bikin kamu lupa ada seseorang di samping kamu yang genggam tangan kamu erat.” Setelah mengatakannya, Kalya berlalu pergi.
Kali ini benar-benar pergi.
⭐️
Pertemuan singkat Kalya dan Jerry berdampak besar bagi dokter tampan tersebut. Jerry merenungi semua ucapan Kalya, termasuk yang memintanya agar berhenti minum dan menjalani hari-hari seperti biasanya. Terdengar sulit dilakukan untuk Jerry, dia sudah mulai terbiasa menyakiti diri untuk menebus penyesalannya. Namun bukan itu yang Kalya inginkan. Sebagai penebusan dosanya pada Kalya, Jerry mulai membuangi minuman-minuman keras yang disimpannya di dalam kamar. Dia membenahi kamarnya yang sangat berantakan, membuka gorden kamarnya dan membiarkan sinar matahari masuk. Akan Jerry lakukan semua permintaan Kalya.
Selesai membenahi kamar, Jerry pergi ke meja makan untuk sarapan. Kedua putrinya yang sudah lebih dulu di sana, terheran melihat Jerry yang bergabung, karena ini sudah cukup lama bagi mereka tak makan bersama.
“Nasi goreng doang nih? Mana sayurnya?” Jerry bertanya.
“Mbok bikin asinannya kok Pa. Mau aku ambilin?” tawar Ansha.
Jerry tersenyum. Entah sudah berapa lama, Aya dan Ansha tak melihat senyum sang papa. Kedua gadis itu saling beradu pandang, seakan berbicara, ada yang aneh pada Jerry. “Boleh, makasih ya Dek.”
Ansha lantas pergi mengambilkan asinan.
“Di rumah sakit, Papa ketemu Mbak Kalya ya?” Aya bertanya.
Jerry mengangguk.
“Alasan Papa mau ikut sarapan bareng kita gini dan udah bisa senyum karena Mbak Kalya juga?”
“Iya. Kalya yang minta supaya Papa jalanin hari-hari Papa kayak biasanya. Papa diminta berhenti minum sama dia supaya Papa sehat dan bisa liat Kalya bahagia tanpa Papa.”
“Tanpa Papa? Papa tau artinya, 'kan?”
Jerry terdiam.
“Tebakanku bisa aja salah dan arti ucapan Mbak Kalya juga bisa beragam. Tapi mungkin salah satunya, Papa harus liat Kalya bahagia dengan laki-laki lain, dan itu pasti menyakiti Papa.”
Jerry menatap Aya, senyum sendunya tersungging. “Papa tau, itu hukuman yang harus Papa dapet.”
Spoiler untuk dua chapter selanjutnya di tiktok asam_asin, di postingan paling baruuuu. Jangan lupa voment di sanaaa juga yaa!!