OUR MARIPOSA

By Luluk_HF

283K 25.9K 2K

Untuk kamu yang selalu suka Mariposa ❤️ Untuk kamu yang selalu mendukung Mariposa ❤️ Dan.... Untuk kamu yang... More

WELCOME (WAJIB DIBACA)
1 - TOGETHER
2 - MEMORIES
3 - SEPERTI ES KRIM
4 - GERBANG SEKOLAH
5 - WAFER
6 - RESTORAN BURGER
7 - COMPLETION
8 - CAMPING
9 - THE NIGHT
10 - SIAPA CEPAT
11 - THE THINGS
12 - LITTLE GIFT
13 - PROVE
14 - WAITING YOU
15 - MY DEAR
16 - ALWAYS WITH YOU
17 - PERSUADE
19 - RENCANA
20 - SYARAT
21 - SALAH PAHAM
22 - JANGAN MARAH
23 - BOLEH?
24 - SECOND KISS

18 - EMOTION

3.1K 268 2
By Luluk_HF


MASA KINI

Iqbal menghela napas panjang sembari meregangkan otot-otot di lehernya. Beberapa hari ini dia sangat sibuk dengan kuliahnya dan tugasnya. Ditambah lagi dia harus membantu penelitian Profesor Tomi yang sangat Iqbal segani dan kagumi.

Iqbal merasakan tubuhnya sangat lelah, bahkan jam tidurnya pun banyak terpotong. Namun, Iqbal berusaha tetap menikmatinya karena itu pilihannya dan Iqbal merasa harus bertanggung jawab dengan pilihan itu.

Iqbal keluar dari kamar, langkahnya terhenti di tengah saat melihat sosok kakaknya tengah tertunduk di kursi makan. Semalam, Iqbal memang ingin tidur di rumah bukan di Apartmen. Ia tak menyangka, kakaknya pun tidur di rumah.

Iqbal perlahan mendekati sang Kakak, Ify.

"Kak," panggil Iqbal.

Ify tersentak kaget, ia segera menggosok pelan wajahnya seolah ingin menyembunyikan sesuatu dari Iqbal. Kemudian, Ify menoleh ke Iqbal dengan senyum dipaksakan. Dan, Iqbal sangat tau hal itu. Sesuatu telah terjadi kepada kakaknya.

"Hai, udah sarapan?" tanya Ify.

Iqbal menggeleng sebagai jawaban.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Iqbal tak mau basa-basi.

Ify mengembangkan senyumnya kembali.

"Nggak apa-apa."

Iqbal terdiam sejenak, menatap kakaknya lebih lekat. Iqbal tau kakaknya sedang berbohong. Iqbal mendekatkan kursinya.

"Kak, cerita sama gue. Ada apa?"

Ify menghela napas panjang, hatinya melemah jika sudah dipojokkan oleh Iqbal seperti ini. Senyum yang sedari tadi Ify pertahankan, akhirnya runtuh juga.

"Gue kalah tender lagi, Bal," ucap Ify dengan berat hati.

"Kak gue udah bilang, kan. Nggak apa-apa kalau se..."

"Apanya yang nggak apa-apa Bal? Ini bukan pertama, kedua atau pun ketiga. Gue udah lebih dari lima kali kalah! Gue ngerasa nggak bodoh banget. Gue udah berusaha pelajari semua materinya tetap saja gue seperti orang terpojokkan dan nggak bisa apa-apa." Ify mulai meluapkan masalahnya yang sudah lama ia pendam sendiri.

Iqbal tidak tega melihat sang kakak yang mulai rapuh.

"Kak, lo nggak bodoh."

Ify menggeleng cepat, kedua matanya menyorot nanar ke arah sang adik.

"Menurut lo, apa gue pantas nerusin perusahaan Papa, Bal?"

Untuk pertama kalinya, Iqbal mendengar kakaknya setidak percaya diri ini, yang menunjukkan Ify sedang ada di titik terlemahnya. Iqbal segera berdiri, kemudian memeluk sang kakak untuk menenangkannya.

"Kak, lo lebih dari pantas. Gue tau lo bisa. Lo ingat kan pesan Papa tentang kegagalan buat kita?"

"Iya, ingat banget."

Iqbal perlahan melepaskan pelukannya dan kembali duduk.

"Jadi, lo nggak usah takut kalau gagal. Lo semakin dekat untuk kejar sukses lo. Oke?"

Ify mengangguk lemah, hatinya terasa lebih ringan sekarang setelah meluapkan masalahnya kepada sang adik. Ify baru menyadari bahwa Iqbal sekarang sudah tumbuh lebih dewasa, bahkan bisa menenangkannya seperti tadi.

"Makasih, Bal."

Iqbal tersenyum lega melihat kakaknya lebih tenang.

"Ada yang bisa gue bantu?"

"Nggak, Bal. Lo sendiri pasti sudah sibuk sama kuliah lo."

"Kalau lo butuh apa-apa kasih tau gue. Sebisa mungkin gue akan bantu."

Ify terkekeh mendengar ucapan Iqbal layaknya orang dewasa. Ify menepuk pelan bahu sang adik.

"Iya. Lo buruan sarapan dan berangkat ke kampus. Nggak usah terlalu khawatir sama gue. Lo tau kan, gue lebih kuat dari yang lo pikir," suruh Ify.

"Hm. Jadi, jangan nyerah."

Ya, sejak kepergian Pak Bov, baik Ando, Ify dan Iqbal saling bergantung dan berusaha membantu satu sama lain. Mereka harus menerima banyak perubahan dan beradaptasi sendiri.

Bahkan, untuk memutuskan apapun mereka dipaksa untuk lebih mandiri. Dan, bagi Ify maupun Iqbal baru menyadari sekarang.

"Bahwa kehadiran orang tua memang sangat penting dan berharga di hidup kita."

****

Iqbal menaruh tasnya di dalam mobil, kemudian memanasi mobilnya. Setelah sarapan, Iqbal langsung keluar rumah dan bersiap untuk berangkat kuliah.

Ponsel Iqbal tiba-tiba berdering, ada panggilan masuk dari sang pacar, Acha. Iqbal segera menerima panggilan tersebut.

"Pagi, Iqbal," seru Acha begitu semangat.

"Pagi," balas Iqbal.

"Iqbal sudah berangkat?"

"Belum, lagi manasin mobil."

"Hari ini Iqbal nggak perlu jemput Acha, ya."

Iqbal mengerutkan kening.

"Kenapa?"

"Acha mau mampir dulu ke toko kue."

"Gue anter aja."

"Nggak perlu Iqbal. Acha tau Iqbal pagi ini mau ketemu dulu sama profesor Tomi. Jadi, biar Iqbal nggak telat, Acha berangkat sendiri ya."

"Ya udah hati-hati."

"Iqbal mau Acha belikan kue juga?"

"Mau."

"Rasa cokelat?"

"Iya."

"Selain kue, Iqbal mau apa lagi?"

Iqbal terdiam sejenak, kemudian senyumnya mengembang kecil.

"Mau ketemu sama kamu, Natasha."

*****

Acha tersenyum senang melihat Iqbal memakan kue pemberiannya dengan lahap. Acha menarik satu lembar tisue, mengusap bibir Iqbal yang belepotan dengan saos cokelatnya.

"Iqbal kalau makan masih seperti anak kecil," cibir Acha.

Iqbal menoleh ke Acha, menyodorkan kuenya.

"Mau?" tawar Iqbal.

"Suapin," rajuk Acha.

Iqbal terkekeh pelan kemudian mengangguk. Tanpa ragu Iqbal menyuapi Acha kue cokelat yang ada di tangannya dan Acha pun mengigit satu suapan.

"Enak banget kuenya," seru Acha begitu senang.

"Mau lagi?"

Acha menggeleng.

"Nggak, Acha udah kenyang. Tadi Acha habis tiga kue."

Iqbal mengangguk-angguk dan segera menghabiskan kue yang ada di tangannya. Acha menatap Iqbal lebih lekat. Acha menyadari kantong mata Iqbal semakin tidak baik-baik aja.

"Capek banget ya akhir-akhir ini?" tanya Acha.

"Lumayan," jawab Iqbal.

Acha berdeham pelan.

"Apa Acha bilang aja ke Abdi kalau Iqbal nggak bisa gabung pertandingan basket rector cup?" tanya Acha merasa bersalah.

Iqbal langsung menoleh ke Acha, menangkap kekhawatiran sang pacar.

"Nggak perlu, Cha."

"Tapi Iqbal pasti semakin kelelahan."

"Gue udah bilang ke Abdi kemarin kalau gue mau."

Acha terkejut mendengarnya, pasalnya Acha memang sengaja belum memberitahu Abdi karena takut Iqbal berubah pikiran.

"Maafin Acha, ya. Iqbal nggak perlu paksain kalau memang Iqbal nggak ada waktu atau pun capek. Belum telat kok bilang ke Abdi lagi."

Iqbal tersenyum kecil sembari menggeleng.

"Nggak apa-apa, Cha. Udah lama juga gue nggak main basket."

Acha menghela napas pelan.

"Beneran Iqbal nanti nggak kelelahan?"

Iqbal mengangguk yakin. Iqbal menatap Acha dengan hangat. Tangan Iqbal bergerak menyentuh rambut Acha dan membelainya pelan.

"Nunggu kamu aja aku nggak pernah lelah, Natasha."

*****

Acha melambaikan tangannya ke Iqbal yang sedang pemanasan di lapangan basket indoor kampus. Sore ini Acha menemani Iqbal untuk latihan pertama kalinya dengan tim basket fakultas kedokteran. Minggu depan mereka akan ikut lomba rector cup yang diadakan Universitas Arwana.

"Kak," sapa Tesya.

Acha menoleh dengan senyum lebar.

"Tesya nonton basket juga?"

"Iya dong. Kan gebetan gue ikut juga," jawab Tesya bangga.

Acha mengerutkan kening.

"Tesya lagi deket sama siapa?" bingung Acha sekaligus penasaran.

Tesya langsung menunjuk ke seorang cowok yang sedang sibuk pemanasan di bawah ring basket.

"Kak Jehan," bisik Tesya dengan senyum malunya.

Acha manggut-manggut kecil, baru tau tentang hubungan Tesya dan Jehan.

"Masih deket ya? Belum pacaran?"

Tesya mengangguk kecil.

"Iya masih deket doang. Doain ya biar Kak Jehannya cepat peka dan nyatain perasaan dia!"

Acha terkekeh pelan.

"Iya, Acha doain biar kalian segera ada status hubungannya!"

"Amin," seru Tesya semangat.

Setelah itu, keduanya fokus menonton latihan basket anak fakultas kedokteran. Meskipun Acha maupun Tesya tidak paham tentang basket, mereka cukup menikmati. Apalagi jika cowok mereka berhasil memasukan bola ke ring, keduanya akan langsung heboh sendiri.

"Gila, Iqbal makin kelihatan ganteng banget kalau main basket gini!" kagum Acha tak ada habisnya.

"Apalagi Kak Jehan. Keringetnya aja ganteng banget!" tambah Tesya tak mau kalah.

*****

Latihan basket anak fakultas kedokteran akhirnya selesai. Mereka latihan dua jam tanpa istirahat. Acha segera turun dari tribun dan mendekati Iqbal. Acha memberikan botol minuman untuk Iqbal.

"Minum Iqbal," suruh Acha.

Iqbal menerimanya dan segera meneguknya sampai habis. Acha membantu mengusapi keringat sang pacar yang masih bercucuran di leher maupun lengan.

"Capek banget, ya?" tanya Acha tidak tega mendengar napas Iqbal yang masih ngos-ngosan.

Iqbal mengangguk singkat.

"Lumayan," jawab Iqbal seadanya.

"Mau langsung pulang atau makan dulu?" tanya Acha.

"Makan dulu. Gue lapar."

Acha mengangguk setuju. Ia segera mengikuti Iqbal berpamitan dengan teman-temannya yang lain kemudian beranjak menuju parkiran kampus. Acha memilih untuk tidak mengajak Iqbal ngobrol, karena Acha tau Iqbal terlihat sangat kelelahan.

Acha masuk ke dalam mobil Iqbal, begitu juga dengan Iqbal. Acha menoleh ke Iqbal, memperhatikan Iqbal dengat lekat.

"Iqbal baik-baik aja, kan?" tanya Acha memastikan untuk terakhir kalinya. Wajah Iqbal terlihat lebih pucat dari tadi pagi.

Iqbal mengangguk singkat tanpa menoleh ke Acha sedikit pun.

"Iya."

Acha berdeham pelan.

"Mau makan di mana?" tanya Acha lagi.

"Nasi padang aja."

"Oke, Iqbal."

Acha pun memilih menuruti saja keinginan Iqbal. Acha bisa merasakan mood Iqbal sedang tidak baik-baik saja. Apalagi Iqbal juga sangat kelelahan. Andai Acha bisa menyetir mobil, mungkin Acha akan menawari untuk menggantikan Iqbal. Sayangnya, Acha tidak bisa.

*****

Acha dan Iqbal makan dengan hening. Acha masih tidak berani mengajak Iqbal bicara. Acha memilih untuk tidak mengganggu Iqbal. Acha menghabiskan makannya dalam diam. Ya, meskipun Acha merasa sedikit tidak nyaman dengan kondisi mereka. Seperti orang yang sedang bertengkar, padahal tidak terjadi apa-apa.

Setelah selesai makan, Iqbal masih tidak membuka suara. Acha pun mencoba memberanikan diri mengajak Iqbal ngobrol.

"Iqbal," panggil Acha.

Iqbal mengangkat kepalanya, menatap Acha.

"Hm?" balas Iqbal singkat.

"Iqbal tau nggak kalau Tesya sedang dekat sama Kak Jehan?" tanya Acha merasa topik tersebut cukup menarik.

"Nggak tau."

"Kalau gitu Acha kasih tau."

"Oke."

"Keren ya Tesya bisa deket sama Kak Jehan. Siapa yang nggak kenal sama Kak Jehan? Semua anak fakultas Kedokteran pasti kenal Kak Jehan. Udah ganteng, pinter segala bidang, ramah juga. Beruntung banget Tesya."

Tak ada respon dari Iqbal, tiba-tiba tatapan Iqbal berubah datar.

"Lo iri sama Tesya?" tanya Iqbal .

Acha tersenyum kecil, berniat ingin menggoda Iqbal agar suasana mereka bisa lebih mencair.

"Jelaslah. Siapa yang nggak iri sama Tesya? Bisa deket sama kakak kelas ganteng dan pinter!" seru Acha dengan nada bercanda.

Iqbal menghela napas berat. Iqbal tiba-tiba berdiri sembari mengambil ponsel dan kunci mobilnya. Kemudian menatap Acha dingin.

"Lo juga bisa deket sama Jehan kalau lo mau."

Acha tekejut mendengar ucapan sarkas dan tajam Iqbal kepadanya. Acha tak menyangka Iqbal akan membalasnya seperti itu. Acha bahkan tak sadar Iqbal sudah pergi dari hadapannya.

Acha mengumpulkan semua kesadarannya, Ia segera berdiri dan mengejar Iqbal.

"Iqbal," panggil Acha, ia harus berlarian demi bisa mengejar langkah Iqbal yang cepat.

Iqbal tak mempedulikan Acha dan tetap berjalan.

"Iqbal berhenti! Jangan marah," pinta Acha.

Iqbal tetap bergeming, masih meneruskan langkahnya.

"Iqbal, Acha cuma bercanda!"

Seketika langkah Iqbal terhenti saat itu juga. Mau tau mau Acha juga ikut berhenti. Iqbal langsung membalikan badan menghadap Acha dan menatap gadis itu dengan tajam.

"Bercanda lo nggak lucu."

Acha merasakan sekujur tubuhnya merinding saat itu juga. Acha juga sangat takut apalagi melihat Iqbal yang terlihat marah kepadanya. Acha tak menyangka ucapannya yang hanya berniat bercanda bisa mengakibatkan Iqbal semarah ini.

"Maaf Iqbal. Acha tadi cuma ingin nyairin suasana aja. Acha nggak berma..."

"Lebih baik lo diem, Cha."

Kedua mata Acha langsung terbuka lebih lebar, sangat terkejut mendengar ucapan Iqbal yang menurut Acha cukup keterlaluan. Acha mengepalkan kedua tangannya, menahan diri untuk tetap tenang walau sangat sulit.

"Iqbal sadar nggak sama ucapan Iqbal barusan?" lirih Acha bergetar.

"Lo juga sadar nggak sama ucapan lo tadi?" balas Iqbal masih tak mau kalah dan dikuasai emosinya.

Acha memilih diam sejenak. Acha masih berusaha menahan diri untuk tidak ikut emosi walaupun ucapan Iqbal bertambah menusuknya. Acha tau jika Iqbal sedang kelelahan. Tapi, tetap saja seharusnya Iqbal tidak berkata seperti itu kepadanya.

Kedua mata Acha terasa lebih panas, sekuat apapun Acha menahan pertahanannya, tetap saja Acha hanyalah gadis lemah. Kedua mata Acha seketika berkaca-kaca. Dan, saat itu Iqbal tersadarkan akan kekalutan emosinya.

Iqbal langsung mendecak pelan sembari mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Cha, maaf. Gue beneran capek banget hari ini. Emosi gue nggak bisa gue kendaliin," ucap Iqbal langsung merasa bersalah.

Air mata Acha langsung terjatuh bebas di kedua pipinya.

"Acha maafin gue," tambah Iqbal semakin merasa bersalah melihat sang gadis menangis.

Acha langsung memundurkan langkahnya saat Iqbal mencoba mendekatinya dan menyentuh pipinya.

"Acha sejak pagi udah tanya, kan? Iqbal capek nggak? Iqbal nggak apa-apa? Kalau capek kenapa terus dipaksakan! Iqbal bisa berhenti! Iqbal nggak perlu pura-pura kuat di depan Acha. Acha pasti ngerti kalau Iqbal bilang sebenarnya. Acha ngerti kalau Iqbal bilang kalau Iqbal capek banget! Acha akan berusaha buat tenangin Iqbal dan hibur Iqbal!" Acha tak bisa lagi menahan kesabarannya, Acha langsung melampiaskannya.

"Cha, gue tau. Gue salah."

"Jelas Iqbal salah! Iqbal capek dan Iqbal lampiasin ke Acha! Apa itu sikap yang benar?!"

Helaan napas Iqbal bertambah panjang. Tak menyangka sikap gegabahnya bisa berakibat pertengkaran antara dia dan Acha.

"Maaf, gue salah, Cha. Gue tau gue..."

"Iqbal pikirin baik-baik kesalahan Iqbal. Perbaiki sikap dan emosi Iqbal!" potong Acha tajam.

"Cha..."

"Nggak usah anterin Acha. Acha pulang sendiri!"

Tanpa memberi Iqbal kesempatan meminta maaf lagi, Acha langsung berlari menjauhi Iqbal dengan perasaan yang masih kesal sekaligus kecewa. Iqbal berusaha mengejar, tapi Acha lebih cepat naik taxi yang berhenti di dekat restoran nasi padang.

Iqbal mendesis kesal, merutuki kebodohannya sendiri.

"Apa yang udah lo lakuin, Bal!"

*****

#CuapcuapAuthor

Bagaimana part ini? Semoga selalu suka dan selalu baca Our Mariposa ya.

Jangan lupa kasih vote dan komen juga biar aku semakin semangat update lagi.

Terima kasih banyak teman-teman pembaca untuk semua supportnya. Jangan lupa jaga kesehatan ya. Love u all.

Salam,

Luluk HF

Continue Reading

You'll Also Like

515K 56K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
2.7M 133K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 323K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.6M 116K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...