CATATAN PRESMA

By nawanday

7.5K 410 14

Waktu itu, Naela pikir keputusannya menerima tanggung jawab sebagai seorang Presiden Mahasiswa adalah suatu h... More

PRAKATA
PERKENALAN
1. Informasi Mengerikan
2. Janji Temu
3. Berbicara Tentang Keputusan
4. Memikirkan Keputusan
5. Sudut Paling Kanan, Ruang Penuh Ke-dilema-an
6. Musyawarah Kurang Sepakat
7. Sebuah Bantuan Dari Hisyam Danuraksa
8. Perihal Pelantikan
9. Diantara Faradina dan Abibayu
10. Sekelumit Pesan Dari Sang Koordinator
11. Naeka Adhyaksa Pangalila
12. Sinyal Rasa
13. Rapat Besar Perdana
14. Jeda
15. Dialog Koalisi
16. Konsolidasi (Daring)
17. Lampu Merah
18. Alter(n)atif
19. Persiapan Kongres
21. Kongres
22. Resmi
23. Raker
24. Tiga Frekuensi Rasa
25. Menuju Konferensi Nasional
26. H-7

20. Pelantikan

146 8 0
By nawanday

Faradina tersenyum penuh kemenangan begitu kakinya melewati ambang pintu sekretariat BEM. Suara-suara protes akan informasi yang ia berikan barusan, saling bersahutan meriuhkan suasana. Dia meninggalkan pekerjaan besar untuk gadis yang belakangan ini sering mengganggu pikirannya.

Saat sampai di ruang DPM, Fara meluapkan rasa yang sempat tertahan. Dia tertawa renyah sambil membayangkan raut cemas Naela ketika menerima pemberitahuan tentang pelantikan. Berbagai upaya dilakukan Presiden Mahasiswa itu--untuk membujuk Faradina agar pelantikan ditunda. Tapi percuma. Naela membuang tenaganya sia-sia. Semakin ia berusaha, semakin bulat tekad si ketua DPM untuk menjebaknya ke dalam situasi yang memprihatinkan.

Sejak hari dimana Naela menghadiri pertemuan aliansi BEM PTS Surabaya, Fara berusaha keras mencari kabar perihal pelaksanaan kongres. Memanfaatkan banyak koneksi yang dimiliki, ia berhasil mendapatkan informasi yang akan memuluskan tujuannya menjatuhkan seseorang yang ia anggap sebagai lawan.

Mengantongi kepercayaan mutlak dari Wakil Rektor 3, perangai angkuh perempuan itu naik berkali-kali lipat. Bahkan seorang Abibayu Hilman Natawijaya tak lagi mampu menyurutkan kehendak-nya.

Kala menikmati euforia yang tak kunjung mereda, tiba-tiba pintu dibuka dengan kasar dari luar. Faradina tersentak. Benaknya sempat menebak satu nama sebelum netranya menjawab semuanya.

"INI SEMUA RENCANA KAMU, KAN?" Bayu mendekat. Wajahnya merah padam menahan amarah. "KAMU LAGI-LAGI MEMPERMAINKAN NAELA DALAM URUSAN PELANTIKAN?!"

Faradina bangkit dari duduknya. Perempuan itu mengikis jarak sebab tak ingin nampak terintimidasi oleh bentakan pemuda yang masih menatapnya nyalang. Untuk kali ini, dia tidak akan mengalah lagi.

"Kamu tahu-kamu nggak sopan?!" Fara melipat tangan di depan dada. "Apapun hubungan kita di luar kampus, di sini, di ruang ini, posisiku adalah Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa. Sikap kamu ini sangat tidak layak! Apalagi kamu seorang Wakil Presiden Mahasiswa."

"Kamu bilang sikapku nggak layak?" Bayu menyeringai. Sorot matanya kian tajam menikam pertahanan si lawan bicara. "Kamu sendiri, gimana?"

"Nggak ada yang perlu dikoreksi dari tindakanku. Apa yang aku sampaikan ke BEM, murni titipan dari Warek 3. Jadi singkirkan kecurigaan nggak berdasar kamu itu!"

Suasana menjadi hening. Keduanya saling pandang dengan sorot mata bengis. Semenjak mendengar sebuah rumor yang dapat menjadi senjata ampuh baginya, Fara memutuskan untuk mengubur dalam-dalam keinginan diakui sebagai saudara pemuda itu. Ia lelah dihina dan disudutkan atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Fara merasa, sudah waktunya hidup bebas tanpa memikirkan orang-orang yang jelas tak menerima keberadaannya di dunia.

Sedangkan Abibayu, emosinya kian tersulut. Sanggahan yang Faradina lontarkan seolah mendorongnya ke perangkap kebimbangan. Sebetulnya, ia tak terlalu peduli pada kongres yang Naela bicarakan di sekretariat BEM tadi. Apalagi pemuda itu menduga alasan dibalik kecewanya Naela adalah laki-laki yang ia jumpai di depan gerbang tempo hari.

Akan tetapi, muka kusut sang gadis praktis menggiring tungkai si lelaki menerobos masuk ke ruang DPM seperti saat ini. Walau Naela mengatakan dirinya baik-baik saja, raut kecewa tercetak jelas di wajah manis itu. Pun dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah menjadi pendiam.

Bayu gusar. Andaikata dia kini berada di situasi yang rumit sekalipun, pemuda itu tak ingin terlihat gelisah di hadapan Faradina.

Cukup lama mengunci lisan masing-masing, suara tawa memecah kesunyian. "Fara, Fara .... kamu pikir aku nggak tahu-kamu kayak gimana?!" seru Bayu bertolak pinggang.

Dahi Fara mengernyit. Alih-alih menanggapi cepat ocehan itu, dia memilih menunggu kalimat berikutnya.

"Kamu iri, kan?" Bayu turut memangkas jarak. Ia mencondongkan badan lalu berbisik tepat di telinga Faradina. "Kamu iri karena Naela punya orang-orang yang perhatian ke dia. Sementara kamu, bahkan seorang ayah pun harus merebut milik orang lain dulu. Itu aja nggak bertahan lama. Tragis!"

Sekali lagi, Bayu menyeringai. Ia menarik tubuhnya sembari menikmati kebencian yang terlukis jelas di mata si perempuan. Biasanya, Fara akan bungkam dan menurut--jika ia singgung perihal ayah mereka.

"Pokoknya aku nggak mau tahu, urus lagi soal pelantikan ini! Koordinasikan ke Naela sampai dia menyetujui tanggal yang pas untuk pelaksanaannya."

Tanpa berniat menanti jawaban si ketua DPM, Bayu berbalik. Ia hendak menemui Naela untuk memberitahu kalau gadis itu tak perlu resah lagi mengenai masalah pelantikan.

"Aku jadi penasaran." Belum sampai ke pintu berwarna biru toska itu, langkahnya terhenti sebab ucapan ambigu Faradina. Bayu bisa mendengar suara sepatu perempuan itu mendekat ke arahnya.

"Kira-kira gimana respon Tante Heni kalau tahu anak kesayangannya suka sama cewek lain, padahal dia menjalin hubungan dengan perempuan pilihan mama-nya sendiri?"

Ucapan Faradina berhasil membuat Bayu kembali berhadapan dengannya. Perempuan itu menyunggingkan senyum seolah perkataan Abibayu yang menyakitkan tak berpengaruh apa-apa untuknya.

"Atau ... menurutmu, gimana reaksi Gina kalau tahu pacar yang amat sangat dia cintai justru mendekati perempuan lain di belakangnya? Dia bakal marah terus minta putus, atau malah laporan ke Tante Heni dan minta biar kamu dipindahkan ke kampusnya?" Lagi-lagi Fara tersenyum usai berkata demikian.

"Maksud kamu apa?" Refleks Bayu mencengkeram kedua lengan Fara. Membuat sang empu meringis sesaat. "Sebanyak apa yang kamu tahu, ha?"

Sebelum menjawab, Fara melepas kasar tangan pemuda itu. Ia menarik satu sudut bibirnya hingga akhirnya tertawa persis seperti yang Bayu lakukan tadi.

"Abi, Abi ... ternyata kamu sebodoh ini, ya? Nggak nyangka aku bisa dapat jawabannya secepat ini. Tadinya, aku cuma mengira-ngira setelah mendengar rumor dan mengamati interaksi kalian. Ternyata benar kamu suka Naela."

Bayu kalah telak. Lidahnya mendadak kelu untuk sekadar menampik pernyataan Fara. Meskipun dia berencana menentang perintah Mama yang berkaitan dengan pilihan asmara, tapi bukan sekarang waktu yang tepat. Bayu masih belum siap. Lebih-lebih ia tak tahu hati Naela sedang terisi atau tidak. Seandainya Bayu segera bertindak tanpa pertimbangan matang, resiko yang akan ia terima bisa saja sangat merugikan dirinya.

"Sejak Tante Heni tahu suaminya berpaling ke perempuan lain, dia terobsesi pada kehidupan perempuan itu. Dia berusaha keras agar terlihat sama atau bahkan lebih baik dari istri kedua-suaminya. Kamu pikir, aku dan mamaku nggak tahu kalau selama ini mama kamu mengawasi kami?"

Fara menjeda kalimatnya sebentar. Ia mengumpulkan keberanian yang sialnya mulai menciut kala tatapan tajam pemuda di depannya tak teralih barang sekejap saja.

"Aku bukan manusia naif yang akan membiarkan keluargaku ditindas terus-terusan. Udah cukup penghinaan yang kami terima. Aku dan mamaku nggak bersalah. Justru ayah kita--sorry, ayah kamu, si bajingan itu yang seharusnya bertanggung jawab karena udah bikin hidup mamaku berantakan."

"Jaman sekarang pihak pelakor hebat-hebat, ya? Jago bener ngarang cerita seolah mereka yang paling tersakiti dan dirugikan."

Enggan mengalah, Bayu melancarkan upaya lain untuk menggoyahkan pendirian Faradina. Udara di ruang itu terasa pengap walau eksistensi dua kipas konsisten bergerak memberi kesejukan. Dua insan di dalamnya tengah berperang rasa dan logika untuk saling menjatuhkan.

"Kamu pikir aku takut?" Pemuda itu berkata lagi. "Kamu yang lebih bodoh, Faradina! Siapa kamu, berani-beraninya ngancem aku kayak tadi? Kamu kira mama bakal percaya omonganmu daripada anaknya sendiri?"

Dering ponsel dari arah meja membuat Fara urung membalas ucapan Bayu. Buru-buru ia menghampirinya. Mata perempuan itu berbinar kala mendapati nama seorang gadis tertera di sana. Namun, alih-alih langsung menerima panggilan itu, ia malah kembali mendekat pada Abibayu.

"Halo ... Gina," ujarnya berhasil menarik atensi si Wapresma. "Kamu udah sampai?"

Alis kanan Fara terangkat begitu menangkap gelagat gelisah pemuda yang sekian menit lalu bersikap arogan terhadapnya. Demi menyudutkan Bayu, ia harus rela menukar waktu berharganya untuk menelusuri seluk beluk kehidupan Renggina. Berbagai cara Fara gunakan agar bisa membangun komunikasi dengan gadis itu. Ia tidak mau mengandalkan Tante Heni semata, karena wanita tua itu pasti akan membela anak kesayangannya.

Seakan didukung semesta, proses merajut interaksi yang ia lakukan hanya menemui sedikit kendala. Fara sampai harus memanfaatkan salah satu kenalan dekatnya-yang kebetulan berteman dengan Gina, karena kekasih Abibayu itu tipikal manusia yang tak mudah didekati oleh sembarang orang. Terbukti, usahanya membuahkan hasil, bahkan jauh dari prediksinya. Kedatangan Gina hari ini cukup menjelaskan jika tak ada seorang pun yang boleh meremehkan dirinya lagi, termasuk Bayu.

"Kebetulan aku lagi sama Abi. Kamu mau ketemu dia, nggak?" Saat mengatakan itu, Fara menatap lekat pemuda yang masih berdiri di hadapannya. Melalui mimik muka yang menyiratkan kemenangan, ia seperti sengaja memperkeruh isi pikiran Bayu.

Sementara di seberang telepon, Gina menghela napas berat. "Nggak dulu, deh. Aku lagi marahan sama dia. Lagian aku kesini karena ada janji sama kamu. Aku bisa ketemu Abi di lain waktu."

Bertambah pula kebahagiaan Faradina. Perempuan itu berpikir bahwa ia memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menggertak Bayu setelah mendengar penuturan Gina.

"Yaudah ... tungguin aku di sana! Aku udah selesai, kok. Bye Ginaa."

Saat Fara mulai menjauhkan ponsel dari telinga, pergelangan tangannya dicekal kasar. "Apa rencana kamu sebenarnya?" tanya Bayu menahan suara. Ia meremas kuat tangan Fara, tak peduli sang empu mulai meringis menahan sakit.

"BERHENTI BERSIKAP KASAR, ABIBAYU!" pekik gadis itu membuat Bayu refleks menarik tangannya.

"Gila ya kamu! Bukan cuma mulut kamu yang kayak sampah, tapi kelakuan kamu juga!"

"AKU NGGAK PEDULI. SEKARANG KAMU JAWAB, APA RENCANA KAMU SEBENARNYA?"

Yang ditanya masih enggan menjawab. Ia sibuk mengusap-usap permukaan kulitnya yg terasa panas.

"JAWAB AKU, FARADINA!"

"Kenapa?" Fara mengangkat dagu. "Apa kamu takut aku bakal berbuat sesuatu yang bisa membuat posisi kamu terancam?"

Rahang si lelaki mengeras. Ia menggertakkan gigi dan tangannya mengepal kuat. Bayu tengah bersusah payah menahan diri agar tak kebablasan bertindak di luar batas. Selain sumpah serapah atau umpatan, pemuda itu hanya berani menyakiti Faradina sebatas yang ia lakukan barusan. Mau bagaimanapun juga, Fara adalah seorang perempuan.

Kaki Fara kembali maju mendekat. Kedua tangannya terangkat untuk membenarkan kerah kemeja Bayu. Disela kegiatannya, gadis itu berbicara pelan namun penuh penekanan.

"Kamu tenang aja. Aku nggak bakal bikin saudaraku sendiri tersiksa." Lantas dia mendongak, "asal kamu nggak macem-macem aja ke aku."

"Kamu lupa, kalau aku tiga bulan lebih tua dari kamu? Jadi, sebagai adik yang baik, bukankah seharusnya kamu selalu mendukung apa yang kakak kamu ini lakukan? Atau ..." Fara sengaja menahan kalimatnya. Ia puas menyaksikan Bayu tak berkutik seperti sekarang. "Kamu mau ngelihat cewek yang kamu sukai menderita karena ulah mama dan pacar kamu sendiri?"

Selepas itu, ia kembali menciptakan jarak. Tak ingin lagi melanjutkan perdebatan,  Fara memilih menghampiri tas yang ia letakkan di kursi. Dia ingin segera menemui Gina, sebab ia tak mau memberikan kesan buruk diawal perjumpaan mereka.

"Oh iya." Gadis itu menghentikan gerakan tangannya lalu menoleh ke arah Bayu. "Soal pelantikan, nggak akan ada perubahan. Pelantikan tetap dilaksanakan dua minggu lagi, sesuai permintaan Warek 3. Jadi, daripada kalian membuang waktu dan tenaga untuk merubah tanggal, lebih baik kalian gunakan itu untuk mempersiapkan pelantikan dengan sebaik-baiknya. Kalian harus bersyukur setelah tiga bulan menunggu--akhirnya kesempatan menjalankan tanggung jawab secara resmi-datang. Bilang ke Presma mu dan anggota yang lain! Aku nggak mau setelah ini ada lagi oknum yang seenaknya datang nyalah-nyalahin DPM terutama aku," jelas Fara berdusta. Pernyataan mengenai permintaan Wakil Rektor 3 hanya akal-akalan dia saja, sebab pada kenyataannya, justru dia lah yang mendesak salah satu petinggi kampus itu untuk mengeluarkan titah yang menjadi sumber kontroversi antar dirinya dan anak BEM.

"Bangsat!" umpat Bayu dalam hati.

Tanpa keduanya ketahui, seseorang mendengar obrolan sengit mereka sedari tadi. Berkali-kali matanya praktis terpejam saat dua orang di dalam ruang itu beradu suara tinggi. Ia juga dihantam sebuah fakta yang membuatnya mengurungkan niat untuk membujuk sang ketua DPM agar mengundur waktu pelantikan. Dia marah, tapi juga bertanya-tanya pada diri sendiri, tentang apa yang bisa ia lakukan setelah mengetahui semua ini.

Tubuh yang bersandar pada tembok itu kontan tersentak saat indra pendengarannya menangkap suara daun pintu yang ditarik dari dalam. Buru-buru ia pergi. Dengan langkah panjang, ia menuruni dua anak tangga sekaligus. Dia ingin segera menjauh dari sana agar tak ikut terjerumus ke dalam rencana licik Fara, seperti yang terjadi pada Abibayu.

°°°°°°

Nyaris setengah jam Naela duduk di bangku panjang yang terletak di seberang kantin kampus. Ia mengamati orang-orang yang keluar-masuk dengan beragam ekspresi. Sama seperti kondisi pikirannya saat ini, isi kantin itu nampak sesak sebab banyak mahasiswa di dalamnya.

Gadis itu menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Ia melakukan itu berulang-ulang hanya demi mengurangi sesuatu yang memenuhi dadanya. Naela tidak suka ketika perasaan kesal mendominasi dan memengaruhi cara kerja otaknya. Dia jadi kesulitan memikirkan jalan keluar atas apa yang sedang ia alami sekarang.

Sibuk menenangkan diri, tiba-tiba sebuah minuman kemasan disodorkan padanya. Dari gelang yang seseorang itu kenakan, Naela mampu menebak siapa gerangan yang tanpa permisi duduk di sampingnya. Ia pun menoleh. Benar saja, senyum kuda Hisyam praktis membuatnya bergidik ngeri.

"Lapo, se, neng kene dewean? Awas kesurupan!" ucap pemuda itu setelah minuman yang ia pegang beralih pada genggaman si gadis.

"Masalah buat lo?!" balas Naela, lantas berusaha membuka tutup botol minumannya. Karena susah, ia terpaksa mengembalikannya lagi.

Hisyam berdecak. "Kebiasaan!" Lalu dia berhasil membuka tutup botol itu dan menyerahkannya pada Naela. Uluran tangannya langsung disambut senyum lebar yang justru membuatnya khawatir sebab terlihat jelas kepalsuan disana. Gadis itu tengah berusaha menyembunyikan kekecewaannya.

"Hwaaa leganyaaa," seru Naela. "Makasih ya, Syam." Sekali lagi, ia meneguk minuman itu.

"Nae, are you okay?"

Mendengar itu, Naela spontan menyemburkan air yang masih belum sampai ke kerongkongan. Dia lantas tertawa sambil menunjuk-nunjuk Hisyam.

"Wah ... edan arek iki koyok e. Kenek LCD-ne iki nek ngene," gumam Hisyam.

"Syam, Syam ... pertanyaanmu," kata Naela disela tawanya.

"Perasaan nggak ono sing salah teko pertanyaanku." Pemuda itu menggaruk kepala menggunakan satu jari telunjuk.

"Ancen iyo. Tapi bahasamu, hahaha ... mulai kapan awakmu ke inggris-inggrisan ngene?"

"Padahal aku fasih bahasa inggris mulai jaman SMP. Cuma tak pendem ae wedi direkrut dadi staff Kemenlu."

Lagi-lagi Naela tertawa. Gadis itu sampai menggeplak lengan kiri Hisyam. "Nae, aku serius. Kamu baik-baik aja, kan?"

Suara tawa itu praktis terhenti. Apalagi saat ia menyadari raut wajah si lelaki berubah sendu. Naela meremas botol yang ada di pangkuannya, lalu membawa pandangannya ke arah kantin yang masih dipenuhi mahasiswa.

"Kalau aku bilang aku baik-baik aja, apa kamu percaya?" tanyanya tanpa menatap si lawan bicara.

"Segitu pentingnya kongres itu?" Hisyam hendak mengorek sesuatu yang membuatnya penasaran beberapa hari ini. Maka dari itu ia tak mau berbasa-basi.

Sebelum menjawab, Naela tertawa sumbang. "Kalau dipikir-pikir, lebih penting pelantikan, sih. Kamu juga pasti mikir kayak gitu, kan? Selama ini, status kita masih abu-abu. Hal itu yang bikin aku sungkan ngasih banyak kerjaan ke temen-temen BEM. Seharusnya aku seneng dan bersyukur akhirnya jabatanku diresmikan. Cuma, aku ngerasa bersalah aja sama aliansi BEM PTS Surabaya. Rapat kemarin aku antusias banget. Aku bahkan ikut nyumbang saran untuk pelaksanaan kongres nanti. Eh, tiba-tiba aku bilang kalau aku nggak bisa hadir? Mereka mungkin akan mempertanyakan integritas ku sebagai pemimpin. Ya nggak papa, sih. Aku juga yang salah. Terus kalau mereka mau kesel juga, ya mau gimana lagi? Tapi tetep aja aku takut, Syam. Ada perasaan khawatir misal karakterku diragukan orang-orang," terang gadis itu.

"Oalah, gitu." Hisyam berdeham. Ia kini ikut memandang ke arah depan. "Aku pikir kamu ngerasa berat karena cowok waktu itu," katanya, sukses mengalihkan perhatian si gadis hanya padanya.

Sayangnya, belum sempat Naela menuntut penjelasan, presensi Anggik membuyarkan situasi serius diantara keduanya. Bagian yang mampu menyulut emosi Hisyam, adalah saat lelaki itu tanpa permisi duduk di tengah-tengah mereka.

"Wah, nggak rejeki nih hari ini. Coba kalau Bu Pres lagi sama Pak Wapres kayak waktu itu, kan enak saya koordinasinya."

"Jangkrik!" umpat Hisyam namun tak dihiraukan oleh Anggik. Dia malah memunggungi Hisyam dan mendorong-dorong pemuda itu dengan punggungnya.

"Ada apa, Nggik?"

"Ini loh, Pres, soal korsa BEM. Kata konveksinya, sekitar dua hari lagi bakal dikirim. Tapi sebelum itu, kita harus segera melunasi pembayarannya dulu. Nah, masalahnya, temen-temen banyak yang belum lunas, salah satunya manusia di belakang saya ini."

Sadar sedang disindir terang-terangan, Hisyam memutuskan beranjak. Dia melenggang pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun.

"Syam, mau kemana?" Naela bertanya.

Pemuda itu menoleh sebentar. "Mau nyari ATM. Mau ngambil uang buat ngelunasin korsa BEM," jawabnya, lantas kembali melangkah menjauhi dua manusia yang sama-sama merasa tak enak hati.

Jika Anggik tak enak hati karena candaannya dianggap serius oleh Hisyam, maka Naela punya alasan lain. Gadis itu dilanda gundah sejak menerima pertanyaan tentang seorang pemuda.

"Cowok waktu itu? Siapa? Siapa yang Hisyam lihat?" Dia terus bertanya dalam diam.

......

Jangan lupa vote ☝🏻

Jangan lupa komen☝🏻

Terimakasih 🙌🏻

Continue Reading

You'll Also Like

112K 5K 52
MEMBINASAKAN ATAU DIBINASAKAN CERITA INI DILINDUNGI UNDANG UNDANG hai semua... ini cerita pertama aku jadi maaf kalau banyak typo dan kurang nyambun...
1.3K 143 5
Menikah dengan sangat tidak elit? . Semua orang pasti ingin menikah dengan rasa cinta, tapi bagaimana dengan Windu dan Naren yang menikah atas insi...
5.8K 494 6
Apa jadinya jika seorang wanita karir yang diberi julukan perawan tua karena sampai sekarang masih belum menikah, harus bertransmigrasi kedalam tubuh...
105K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...