Menunggu

By Ami_Shin

31.1K 4.6K 411

Alma dan Arka saling bersahabat. Sejak kecil, mereka selalu bermain bersama, melakukan berbagai hal nakal ber... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Epilog

Part 10

1.6K 181 9
By Ami_Shin

Sambil memegang segelas jus di tangannya, tanpa mengetuk lebih dulu, Alma membuka pintu kamar orangtuanya. Kepalanya menyembul ke dalam untuk melihat siapa yang berada di dalam. Lalu ketika dia melihat Papanya sedang mengamati penampilan di depan cermin, Alma bersiul menggoda.

Abi menoleh, tersenyum miring dan kembali menatap ke cermin seraya merapikan rambut yang sebenarnya sudah terlihat sangat rapi.

"Rapi banget, Pa. Mau cari Mama baru, ya?" celetuk Alma jail begitu dia sudah berdiri di samping Papanya.

Abi tertawa. "Memangnya boleh?"

Alma mengerling menggoda. "Kalau uang tutup mulutnya gede sih, aku bolehin."

Lalu Abi dan Alma tertawa geli bersama karena obrolan konyol mereka. Obrolan-obrolan sinting sejenis itu memang sering kali mereka berdua lakukan. Bahkan Gisa yang sering mendengarnya pun sama sekali tidak peduli.

Mereka berdua masih saling tertawa ketika tiba-tiba saja Gisa keluar dari kamar mandi sembari berujar santai meski sejujurnya sedang menyindir. "Siapa yang mau cari Mama baru, Al?"

Sontak Papa dan anak itu mengatup mulut mereka serentak meski masih mengulum senyum geli. Gisa pasti mendengar obrolan mereka tadi.

"Papa."

"Alma."

Kedua orang itu menjawab serentak dengan jawaban berbeda. Sembari merapikan ranjang, Gisa melirik keduanya dengan lirikan malas. "Kamar kamu udah diberesin?"

"Belum. Baru aja ini mau minta Shila beresin kamar aku." jawabnya santai dengan cengir kecil.

Gisa berdecak kuat. "Kamar kamu itu nggak gede-gede banget ya, Al. Masa beresin kamar aja harus minta bantuan adik kamu."

"Dih, siapa yang minta bantuin sih, Ma. Shila beresin kamar aku juga nggak gratis." Alma membalas omelan Mamanya.

"Kamu bayar Shila?!"

"Iya."

"Buat beresin kamar?"

"He-em."

Wajah Gisa berubah kesal. Melepaskan guling dari tangannya, Gisa beranjak menghampiri Alma. Abi yang tahu apa yang ingin dilakukan istrinya itu segera menghalangi langkah Gisa.

"Gis, udah, Gis. Masih pagi. Jangan marah-marah."

"Minggir nggak?!"

"Sabar, Gis, sabar... ayo tarik napasnya pelan-pelan..."

"Minggir, Abi!"

"Tuh, lihat, keriput kamu nambah satu."

Saat Abi berteriak kuat karena Gisa menendang kakinya, Alma yang tadinya terkekeh geli mengamati tingkah orangtuanya, kini membulatkan mata dan bergegas kabur.

"Alma!"

Teriakan Gisa terdengar mengerikan. "Alma-nya nggak ada!" balas Alma teriak. Dia harus menyelamatkan diri dari amukan Gisa.

Mamanya itu memang sangat tegas setiap kali mendidik anak-anaknya. Sejak kecil, Alma dan adiknya tidak biasa dimanjakan. Apa lagi mereka diurus langsung oleh Gisa. Tidak seperti Arka dan Adel yang dibantu baby sitter.

Mereka selalu diajarkan hidup mandiri. Sedari kecil, Alma dan Shila sudah diajarkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti menyapu, mencuci piring, mengepel. Bahkan saat remaja, mereka sudah punya jadwal masing-masing untuk mencuci pakaian. Dari mulai mengumpulkan pakaian kotor sampai pakaian itu menjadi bersih dan tersusun rapi di lemari pakaian.

Bahkan kebersihan dan kerapian kamar mereka masing-masing pun akan menjadi tanggung jawab mereka sendiri. Tidak ada ART yang boleh membantu.

"Belajar hidup mandiri, disiplin. Belajar hidup susah, jadi kalau nanti Papa kamu mendadak bangkrut dan kita semua jatuh miskin, kalian nggak harus merengek-rengek ke Mama."

Itu lah yang Gisa katakan sejak dulu pada mereka. Walaupun dulu Alma kesal sekali setiap kali mendengar petuah menyebalkan dari omelan Gisa, tapi sekarang Alma tahu kalau apa yang Mamanya lakukan itu benar-benar sangat berguna bagi Alma. Dulu ketika remaja, Alma pernah mengeluh ke Papanya mengenai sikap galak Gisa yang membuatnya tidak betah di rumah.

"Mama itu galak banget, Pa. Otoriter. Semua-muanya harus sesuai kemauan Mama di rumah. Harus ini, nggak boleh itu. Terus, masa aku mau beli kaset game aja harus di suruh nabung dulu. Kan uang Papa banyak, kenapa aku harus nabung?"

Saat itu Papanya hanya tersenyum menanggapi. Lalu berusaha menghibur Alma dengan tingkah konyol agar Alma tidak semakin merajuk. Tapi ada satu kalimat yang selalu Papanya katakan pada Alma setiap kali dia mengeluh.

"Nanti kalau udah besar, kamu pasti bakal ngerti kenapa Mama bersikap kaya gitu ke kamu."

Dulu Alma selalu saja membantah di dalam hati. Bersikeras kalau Mamanya memang bersalah. Tapi semakin dia dewasa, pada akhirnya Alma membenarkan apa yang Abi katakan.

Kalau saja Gisa tidak mendidik Alma seperti itu, mungkin Alma sudah lama menyerah dari pekerjaannya karena tidak sanggup bekerja di bawah tekanan. Kalau saja Gisa tidak mengajarkan kejujuran dan disiplin pada Alma, mungkin Alma tidak bisa menjadi anak emasnya Pak Regar yang selalu memuji pekerjaan Alma.

Dan kalau saja Gisa tidak mengajarkan Alma untuk berusaha dan bekerja keras jika ingin mencapai sesuatu, mungkin Alma tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya bangga pada diri sendiri ketika Alma berhasil meraih satu persatu impiannya.

Dulu Alma sering cemburu melihat Arka karena memiliki orangtua seperti Rere. Membuat Alma sering membanding-bandingkan dirinya. Tapi sekarang, Alma justru merasa sangat beruntung memiliki Gisa.

Meninggalkan kedua orangtuanya yang masih saling berdebat, terkekeh geli, Alma menuju kamar adiknya. Seperti biasa, dia tidak tahu caranya mengetuk pintu ketika di rumah. Tapi saat Alma membuka pintu kamar Ashila, adiknya itu tengah duduk menyandar di ranjang, tersenyum-senyum seperti orang gila dengan ponsel menempel di telinga. Seketika Alma mengernyit curiga dan tersenyum miring.

Senyuman Ashila lenyap begitu saja sejak dia menemukan Alma di ambang pintu. "Hm, Roy, ngobrolnya kita lanjut nanti aja, ya. Aku di panggil Mama soalnya."

Alma mendengus kuat mendengar suara manis adiknya yang membuatnya geli. Sembari menghampiri Ashila, Alma menghabiskan sisa jus di dalam gelas, meletakkan gelas itu ke atas meja nakas sebelum melompat ke atas ranjang dan berbaring miring.

Menyanggah kepala dengan satu tangan, alis Alma bergerak naik turun ke atas menatap Ashila. "Pacaran ya lo?"

Gadis berwajah jutek itu mendengus malas. "Ngapain sih masuk-masuk kamar orang!"

"Kamar lo nggak dikunci."

"Ketuk dulu bisa kali."

Alma tidak menyahut, hanya seringai di bibirnya saja yang terlihat semakin mengembang. "Mama tahu lo punya pacar?"

Ashila tahu makna dari seringai Kakaknya itu. Tapi sayangnya dia sama sekali tidak peduli. "Aku udah dua puluh, gila aja Mama nggak izinin aku pacaran."

Kali ini Alma yang mengernyit bingung. "Jadi Mama udah tahu?"

"Udah ketemu juga sama Roy."

"Kapan?"

"Minggu lalu, waktu Roy main ke rumah."

"Kok gue nggak tahu?"

Ashila menghela napas malas, "Kak," ujarnya lelah. "Di rumah ini, yang tidurnya kaya orang mati di hari libur itu cuma elo. Jadi wajar aja kalau lo nggak tahu apa pun yang terjadi waktu lo tidur. Termasuk waktu pacar gue datang ke rumah dan kenalan sama Papa, Mama."

Oh, itu artinya Roy datang ketika weekend dan Alma sedang tertidur pulas. Kini Alma mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi kok nggak ada yang kasih tahu sama gue?" protesnya.

Lagi-lagi Ashila menatapnya malas. "Lo berharap apa sih, Kak, dari Mama sama Papa? Hal-hal kaya gini tuh nggak berarti apa-apa bagi mereka, jadi mereka nggak harus mengabarkan soal gue yang udah punya pacar ke semua orang."

Benar juga, batin Alma.

Papa dan Mama mereka memang tidak terlalu mengatur urusan asmara anak-anaknya. Gisa hanya pernah bilang kalau mereka tidak boleh pacaran sebelum lulus SMA. Suka-sukaan sih boleh-boleh saja, asal tidak ada yang namanya jadwal berkencan atau Gisa akan memotong setengah dari uang saku mereka. Tapi Gisa juga bilang, setelah lulus SMA, mereka bebas berkencan dengan siapa pun yang mereka suka asal laki-laki itu harus dibawa sesekali ke rumah untuk dikenalkan.

Peraturan itu tidak menyulitkan Alma sama sekali. Selain dia memang tidak punya niat untuk berkencan atau menjalin hubungan asmara dengan para lelaki, Alma juga terlalu sibuk dengan lingkungan pertemanan yang hampir seluruhnya adalah para lelaki.

Dan jangan lupa kan Arka yang selalu menempeli.

Untuk urusan asmara, orangtua mereka memang sesantai itu.

"Udah?" Ashila kembali bergumam malas. "Sekarang tolong keluar dari kamar gue."

Alma terdiam sejenak, tapi setelah itu tersenyum jail. "Mau lanjut teleponan lagi, ya, lo?"

"Hm."

"Cie... Shila. Gue kok terharu ya, akhirnya adik gue punya pacar." Alma terkekeh-kekeh geli, sedang Ashila memutar bola matanya malas. "Seru nggak punya pacar? Rasanya gimana sih?"

Sejujurnya Alma hanya ingin menggoda Ashila saja. Tapi adiknya yang super jutek itu malah mencibir.

"Makanya cari pacar sana, biar tahu rasanya."

"Nggak dibolehin sama Papa. Kan katanya jodoh gue, Papa yang atur." Keluh Alma dengan mimik sedih.

Ashila mengernyit, sejak kapan Papa mereka bersikap norak seperti itu. Tapi begitu dia melihat Alma mengulum senyum, Ashila melempar bantal ke wajah Kakaknya itu.

"Huh... memangnya lo Kak Adel, sampai jodohnya pun harus diurusin sama Papinya. Udah deh, Kak, jangan halu. Kak Adel sih pantes, bentukannya kaya ice princess gitu. Muka, kelakuan, sama duitnya sesuai. Nggak kaya lo!"

Bukannya marah, Alma malah tertawa terbahak-bahak mendengar adiknya mengomel. Membandingkan Adel dan Alma sama seperti membandingkan langit dan bumi. Jauh... sekali

"Eh, tapi, Kak... Bang Arka juga gitu?"

"Apa?"

"Nggak boleh pacaran dan bakal dijodohin."

Omong-omong soal Arka... kini Alma tampak bersemangat sampa dia beranjak duduk bersila dan menatap adiknya dengan binar cerah di matanya. "Gue belum cerita ya sama lo soal Arka yang udah punya pacar?"

"Hah? Serius?" Ashila pun menjadi penasaran.

Alma mengangguk kuat. "Bentar-bentar," dia mengeluarkan ponsel untuk membuka akun sosial media milk Elena. "Nih, pacarnya Arka."

Mengambil ponsel Alma dan melihat foto Arka bersama seorang gadis cantik, kedua mata Ashila membulat kagum. "Cantik banget nih cewek."

"Namanya Elena, satu spesies sama Arka."

"Maksudnya?"

"Anak konglomerat..." alis Alma bergerak naik turun ke atas sampai Ashila terkekeh geli. "Cakep, kan? Gue aja senang banget waktu tahu mereka jadian. Elena anaknya baik tahu. Sopan, ramah, lembut, pintar masak lagi. Kaya Tante Rere."

"Kelihatan sih..."

"Dulu mereka berdua itu cuma berteman. Tapi beberapa waktu lalu jadi makin dekat, terus jadian." Alma terkekeh pelan. "Nggak nyangka banget, kan, si Arka udah punya pacar."

Ashila menemukan sorot terharu dan bangga di kedua mata Kakaknya. Ashila mengerti. Bagaimana pun, mereka berdua itu sudah lama sekali bersahabat. Sejak kecil sampai sekarang, selalu saja bersama-sama. Bahkan sudah menyerupai anak kembar. Melihat Arka bahagia, Alma pasti juga merasakan hal yang sama.

"Terus elo kapan, Kak?" celetuk Ashila menggoda.

Alma mengernyit. "Kapan apanya?"

"Punya pacar."

"Ck. Nggak deh, makasih. Kerjaan gue aja udah buat pusing kepala. Gue malas diribetin lagi sama urusan cinta-cintaan. Lagian, mobil impian gue aja belum ke beli sampai sekarang." Alma merutuk kesal karena tabungannya masih saja belum cukup untuk membeli mobil impiannya.

Bagaimana bisa cukup kalau akhir-akhir ini Alma mulai boros berbelanja. Dan semua itu karena Arka! Sahabat kesayangannya itu mulai jarang terlihat, jadi Alma kesulitan merayu Arka untuk mentraktir.

"Tapi Bang Arka udah punya pacar loh."

"Ya, terus?"

"Lo nggak takut bakal kesepian kalau ditinggalin Bang Arka pacaran?"

Lagi-lagi Alma mengernyit. Tapi kali ini dia memilih diam mendengarkan adiknya.

"Selama ini kan, lo berdua sama-sama jomblo, makanya ke mana-mana bisa berdua mulu. Tapi sekarang Bang Arka udah punya pacar, itu artinya dia bakal lebih sering ngabisin waktu bareng pacarnya. Bukan sama lo lagi. Terus kalau nggak ada Bang Arka, lo main sama siapa?"

Biasanya, untuk menjawab pertanyaan dari siapa pun dan sejenis apa pun, Alma tidak pernah kesulitan. Tapi kenapa kali ini dia tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Ashila?

Alma terdiam, dengan sorot mata bingung dan juga gelisah. Memikirkan Arka sekaligus pertanyaan sialan adiknya.

***

Tidur siang di waktu weekend bagaikan surga dunia bagi seorang Alma. Apa lagi seharian ini Alma memang tidak punya rencana apa pun untuk bepergian. Sudah tentu yang Alma lakukan hanya lah bermalas-malasan. Mengisi perutnya, bermain game, tidur siang, membuat kebisingan di rumah sampai salah satu anggota keluarganya berteriak murka.

Seperti saat ini, Alma berbaring dengan mulut setengah menganga. Merasa air liur nyaris mengalir, Alma mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangan.

"Jorok banget nih cewek."

Dalam rasa kantuknya, Alma mendengar sebuah suara. Matanya mulai bergerak-gerak gelisah, lalu terbuka perlahan dengan susah payah. Mula-mula Alma tidak bisa melihat apa-apa, hanya bayangan buram.

Tapi setelah dia mengerjap-ngerjap, Alma menemukan wajah Arka tepat di hadapannya.

"Bangun." Arka bersungut malas.

"Jam berapa sekarang?" tanya Alma serak.

"Lima sore."

Alma berdecak, kemudian memiringkan tubuh dan memeluk guling erat. "Bangunin gue jam tujuh."

Mendengar Alma kembali mendengkur, Arka tidak tinggal diam. Ditariknya selimut Alma, kemudian dia lempar ke lantai. "Bangun, Al!"

"Masih ngantuk, Ka..."

"Lo begadang memangnya?"

"Nggak."

"Tidur jam berapa tadi malam?"

"Sebelas."

"Bangunnya jam berapa?"

"Sepuluh."

"Tidur siang jam berapa tadi?"

Tubuh Alma langsung terduduk tegak, rambutnya acak-acakan, matanya menyipit tajam dan tampak kesal. "Banyak nanya ya lo! Gue nggak bisa tidur, bego!" omelnya. Alma memasang wajah kesal, tapi tak lama setelah itu hidungnya mulai mengendus-endus. "Bau apa nih?"

Wajah Arka berubah masam. Dia tidak perlu menjawab pertanyaan Alma, karena tunggu saja sebentar lagi, Alma pasti sudah akan berteriak histeris.

"Ramen!"

Nah, Arka benar, kan. Lihat lah bagaimana Alma melompat penuh semangat ke lantai di mana Arka sudah menyiapkan tiga mangkuk ramen yang tadi dia bawa ke rumah Alma.

"Astaga, Arka, sahabat gue... lo kok baik banget sih." Alma tidak lupa mengerjap berkali-kali agar berusaha terlihat imut. Tapi Arka justru menjulurkan lidahnya jijik. "Ada tiga. Buat gue semua nih?"

Dari arah belakang, Arka menarik rambut Alma pelan. "Satu punya gue, dua punya lo. Jangan maruk deh, Al."

Lagi-lagi Alma tertawa senang. Arka memang benar-benar sahabat sejati. Buktinya, dia tahu kalau Alma tidak akan cukup dengan satu mangkuk ramen. Atau sebenarnya Arka sengaja membeli dua untuk Alma karena tahu miliknya akan dirampas paksa jika kalau Alma belum kenyang?

Apa pun, terserahlah.

Alma hanya ingin segera menikmati ramen itu. Kebetulan sekali, perut Alma sedang keroncongan saat ini.

Melihat Alma makan dengan sangat lahap, bibir Arka mengulas senyuman tipis. Dia sangat menyukai hal ini. Memandangi Alma yang sedang makan, mendengar gumaman aneh dan menyebalkan gadis itu mengenai apa pun sembari dia mengunyah makanannya. Terkadang Alma memuji makanan itu, lalu merutuk karena merasa porsinya sangat sedikit. Tapi beberapa detik setelahnya, dia kembali memuji rasanya sambil terkagum-kagum,

Arka telah banyak mengenal wanita di sepanjang hidupnya, tapi hanya Alma saja yang tampak berbeda, aneh, menyebalkan, tapi sialnya sangat Arka sayangi.

"Tumben lo ke rumah gue." Alma melirik Arka melalui celah mangkuk ramen.

Arka mencibir. "Kaya gue nggak sering aja ke rumah lo."

"Seingat gue sih, ini pertama kalinya dalam dua bulan terakhir." Gumam Alma santai.

Arka terdiam sejenak, sumpit di tangannya mematung di udara. Dua bulan? Batinnya bingung. Benarkah Arka sudah selama itu tidak mengunjungi Alma? Pantas saja tadi saat dia menyapa Gisa, Mamanya Alma itu mengatakan sudah lama tidak melihatnya.

"Sibuk ya lo?" tanya Alma lagi.

Sejujurnya tidak kalau yang Alma maksud tentang pekerjaan. Tapi agar Alma tidak curiga, Arka hanya mengangguk. "Hm."

"Sibuk pacaran maksudnya?"

"Uhuk." Arka tersedak. Ketika tangan Alma menepuk-nepuk punggungnya, dia lirik Alma yang memasang wajah malas. Arka tahu, dia sudah ketahuan. "Sori, Al." ringisnya.

Alma mendengus. "Mampus. Langsung kena azab karena bohongin gue."

"Apaan sih lo."

"Makanya jangan bohong sama gue."

"Gue nggak bohong."

"Gue sumpahin keselek sendok tahu rasa lo."

Bukannya marah, Arka justru tertawa pelan mendengar rutukan Alma. "Iya, iya... sori. Gue nggak sibuk kerja, cuma sibuk... hm, apa ya namanya..." Arka sendiri pun bingung harus mengatakan apa. Jika dia bilang sibuk pacaran, Arka merasa belum berpacaran dengan Elena. Mereka hanya melakukan pendekatan meski semakin hari mereka memang semakin dekat saja.

"Bilang aja sibuk pacaran apa susahnya, sih. Kan Elena memang cewek lo." cibir Alma lagi.

Arka memilih diam. Karena malas sekali menjelaskan pada Alma tentang apa yang Arka dan Elena jalani saat ini.

Mereka kembali lanjut makan, tanpa ada obrolan apa pun. Arka yang memang datang dalam keadaan perut lapar, tampak khusuk menikmati makanannya.

Tapi hal yang sama tidak terjadi pada Alma. Karena Alma justru telah kehilangan selera sejak tahu Arka berbohong padanya.

"Lo nggak takut bakal kesepian kalau ditinggalin Bang Arka pacaran?"

Kemudian tiba-tiba saja Alma teringat pembicaraannya bersama Ashila. Lalu sembari mengemut ujung sumpit di tangannya, Alma berujar. "Shila juga udah punya pacar."

"Oh, ya."

"Hm. Namanya Roy. Udah dikenalin juga ke Mama sama Papa."

"Diizinin sama nyokap lo?"

"Mama oke-oke aja selagi nggak mengganggu pendidikan Shila."

"Oh..." Setelah bergumam ringan, Arka kembali menyuapkan mie ke mulutnya. Dan Alma semakin kesal saja melihatnya.

"Ck!" decakan kesal Alma terdengar hingga Arka menatap sempurna padanya.

"Kenapa?" tanya Arka.

"Males nih gue kalau begini." rutuk Alma. Wajahnya tampak cemberut.

Arka mengernyit tak mengerti. "Malas kenapa?"

"Shila udah punya pacar, elo juga. Terus nanti siapa dong yang main sama gue?" karena ini adalah Alma, gadis yang tidak mengerti basa-basi apa lagi rasa malu, maka dia menatap Arka dengan pandangan tak suka. "Shila bilang, karena sekarang lo udah punya pacar, lo nggak bakal bisa sering main sama gue lagi. Itu benar?"

Arka mengerjap lambat.

Pasalnya, Alma yang merajuk dan merengek kesal seperti ini jarang sekali bisa dia lihat. Gadis ini biasanya selalu saja berteriak, marah-mara, jail, dan membuat Arka kesal bukan main.

Tapi kalau Alma sudah merengek dengan nada merajuk begini, itu artinya Alma sedang merasa gelisah dan juga cemas.

Anehnya, Arka justru tersenyum senang. "Lo takut kehilangan gue ya, Al?" Wajah merajuk Alma berubah datar, tapi Arka justru terkekeh geli. Lalu dua tangannya mencubit pelan kedua pipi Alma. "Jangan mencemaskan hal yang nggak seharusnya lo cemaskan. Ini gue, Arka, sahabat lo. Apa menurut lo gue bisa lupain lo gitu?" Kali ini Alma yang mengerjap lambat. "Lo adalah salah satu dari bagian terpenting di hidup gue, Al. Mustahil gue bisa hidup tanpa lo." ucap Arka lembut.

Sudut bibir Alma terangkat ke atas. Senyum manis terpatri di bibirnya. Kini gelisah itu musnah begitu saja digantikan rasa hangat yang menyelusup.

"Janji?" Alma mengangkat kelingking.

Kekeh merdu Arka terdengar. Dia benar-benar menyukai sisi manis Alma yang satu ini. Dia sambut kelingking Alma dengan kelingking miliknya. "Janji." Ucap Arka.

Dan kini mereka saling tersenyum manis satu sama lain sembari menatap penuh arti.

Alma tidak lagi merasa gelisah, karena dia percaya, bagi Arka persahabatan mereka adalah segalanya. Elena tidak mungkin membuat Arka menjauh darinya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

50.6K 3.1K 19
Akankah lian kembali membuka hati untuk salma? ikuti cerita aku terus yaa
My sekretaris (21+) By L

General Fiction

401K 3.7K 23
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
STRANGER By yanjah

General Fiction

296K 33.5K 37
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
5.8M 282K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...