Journal: The Lessons

Від kenzaputrilia

4.4K 1K 1.4K

[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada bena... Більше

Journal
01 | Rendezvous
02 | Kensington
03 | Notting Hill
04 | Millennium Bridge
05 | Tate Modern
06 | Bankside
07 | City of London
08 | City Hall
09 | River Thames
10 | Greenwich
11 | Brixton
12 | Islington
13 | Islington Pt. II
14 | Highbury
15 | Camden Market
17 | Primrose Hill
18 | Lambeth Bridge
19 | Covent Garden
20 | Eye To Eye Gallery
21 | West End
22 | West End Pt. II
23 | Soho
24 | Andrew's Journal, Pt. I
24 | Andrew's Journal, Pt. II
24 | Andrew's Journal, Pt. III
25 | Euston Station
26 | London - Manchester
27 | Manchester
28 | The Stanleys
29 | The Stanleys, Pt. II

16 | Highgate

88 30 33
Від kenzaputrilia

Ada keraguan luar biasa yang menyerang benakku ketika aku memberitahu Zevania bahwa tempat selanjutnya yang akan kami kunjungi adalah Highgate, lebih tepatnya Highgate Cemetery, lebih tepatnya lagi ... tempat peristirahatan terakhir Dave Collins. Begitu mendengar saranku pun ekspresi wajah Zevania berubah seketika, tidak seantusias biasanya. Awalnya kupikir dia akan menolak, rupanya dia hanya tersenyum tipis dan mengangguk setuju.

Cepat atau lambat, aku tahu kami akan mengunjungi Dave meski sama-sama tidak pernah mengungkitnya. Aku kemari setiap Dave ulang tahun, yang jarak hari kelahirannya hanya berbeda dua hari dengan hari kematiannya. Karena kunjungannya pada penghujung tahun, aku biasanya akan menceritakan rekapan kehidupanku dalam dua belas bulan terakhir kepada Dave. Aku berbicara dengannya seolah-olah dia masih hidup, duduk di hadapanku di salah satu meja The Aksov, bukan terbaring di bawah tanah.

Aku memberitahu Zevania semua itu; tentang kebiasaanku. "Masih sulit untuk menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak ada di dunia ini lagi meski sudah lewat sepuluh tahun." Aku mengakhiri ceritaku pada Zevania. Tidak ada air mata lagi, semua sudah terkuras. Namun, berbeda dengan Zevania yang berdiri di sisi seberang makam Dave. Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat hidungnya sudah memerah. Dia masih menahan air mata kurasa. Aku jadi menyesal telah membawanya kemari, Zevania tidak pernah sesedih ini selama empat hari terakhir.

Zevania mengangkat kepalanya ke langit yang mendadak mendung kelabu. Dia mengembuskan napasnya perlahan sebelum kembali menunduk memandangi batu nisan Dave dengan sedikit lumut menyelimutinya. "Hello, Dave. Apa kabar? Ini pertama kalinya aku menyapamu duluan. Biasanya kau yang selalu menyapaku. Kau menyebalkan, kau tahu? Aku selalu kesal ketika kau menyapaku."

Aku harus menutup mulutku dengan tangan agar tidak keluar suara tertawa. Ini pertama kalinya juga aku melihatnya mengobrol seperti itu dengan Dave, menipu diri sendiri seakan-akan Dave bersama kami. Aku senang mendengarnya. Dulu sewaktu Dave masih bersama kami, Zevania tampak tertekan setiap Dave mengajaknya bicara. Tadinya kupikir hanya aku yang melihatnya demikian, tetapi Emre dan Ryan juga.

"Tapi sekarang ... aku berharap kau menyapaku. Oke, maksudku, tidak langsung sekarang menyapaku juga—tidak setelah ini semua terjadi." Zevania menatapku, memberi tatapan yang seolah-olah berkataaku-telah-mengacau. Aku membalasnya dengan berkata "It's okay." tanpa suara. Kemudian, dia kembali melanjutkan, kini berjongkok di sebelah batu nisan Dave. "Aku kembali, Dave. Aku kembali ke London. Dulu aku sempat berpikir apabila aku tidak pernah ke London, mungkin kau masih ada di sini."

Hatiku tertusuk mendengarnya. Zevania juga menyalahkan dirinya atas kematian Dave dan bisa-bisanya dulu aku memikirkan kemungkinan jika seandainya Zevania tidak pernah ke London; sebuah pemikiran yang sama dengan Zevania. Bedanya aku terdengar seperti seorang brengsek. Tidak seharusnya aku menyalahkan Zevania. Kedatangannya ke London dan kematian Dave, semuanya adalah takdir. Semua manusia di Bumi ini juga akan mati, yang berbeda adalah cara dan waktunya.

"Klub bola favoritmu adalah Liverpool." Zevania sekilas menoleh padaku untuk memastikan, aku mengangguk sebagai jawabannya. "Kalau kau masih ada di dunia ini, aku yakin sekarang kau sedang ikut tur pramusim Liverpool. Lalu kau juga menjadi salah satu pencetak gol ketika Manchester United kalah di Anfield 7-0. Lalu aku akan menyumpahimu setiap ada pertandingan Liverpool."

Oke, kali ini aku tidak bisa menahan tawaku lagi. Zevania benar-benar berbicara seolah-olah Dave ada di sini. Pengandaiannya terdengar konyol, tapi dalam hati aku juga berharap itulah kenyataannya. Dave Collins; ujung tombak Liverpool. Tidak masalah jika aku gagal menjadi kiper Arsenal, yang pasti aku tahu Dave akan berhasil meraih impiannya.

"Andrew bilang dia selalu bercerita padamu tentang apa yang terjadi di kehidupannya, jadi aku akan melakukan hal yang sama."

Tawaku berhenti. Aku memasang telinga, tidak bermaksud menguping, tapi aku juga ingin ikut mendengar perjalanan hidup Zevania.

"Setelah aku pulang ke Indonesia, kehidupanku berubah 180 derajat. Aku juga kehilangan orang yang paling dekat denganku. Merelakan itu sulit. Kurasa aku masih belum rela orang itu pergi. Kau tahu apa yang terjadi jika kau tidak bisa merelakan orang yang kau sayangi pergi? Rasa sayang itu berubah menjadi rasa benci. Kau tidak ingin memiliki rasa benci itu, tapi orang yang kau sayang pun tidak berusaha untuk bertahan untuk tetap berada di sisimu. Lalu rasa bencimu akan menggerogotimu hingga kau tidak mengingat rasa sayang itu lagi."

Selama empat hari ini, Zevania hanya membicarakan hal-hal dia sukai, yang membuatnya bercerita sambil tersenyum, yang membuatku sebagai pendengar turut senang mendengarnya, tertular rasa bahagia. Bahkan ketika dia memuji London secara berlebihan pun aku tetap diam menyetujuinya, tidak berniat mengusiknya dengan membeberkan fakta bahwa kota ini tidak seindah yang dibayangkan. Namun, kali ini di hadapan makam Dave, pertama kalinya Zevania mengatakan hal yang dia tidak sukai bahkan lebih ke arah benci seperti yang dikatakannya. Siapa orang yang meninggalkannya?

Naluriku memerintah untuk menghampiri Zevania, ikut berjongkok di sebelahnya dengan lutut menumpu pada batu pemakaman yang berlumut. Dengan hati-hati aku meletakkan tanganku pada punggung Zevania, menepuk perlahan. Seperti ini kan? Mum selalu menepuk bahuku ketika aku menangis dan berhasil menenangkanku.

"Aku tidak apa-apa, Andrew. Aku tidak menangis. Tidak boleh ada air mata di London." Zevania tiba-tiba menoleh padaku dan mendekatkan wajahnya padaku, matanya sedikit melotot untuk membuktikan bahwa dia tidak menangis.

Sontak aku menarik tanganku dari punggungnya dan mengangkat tangan. "Maaf."

"Dave, temanmu ini merusak suasana." Zevania beralih kembali pada Dave, kali ini dengan suara yang terdengar seperti sedang mengadu. Aku kembali tersenyum mendengarnya. "Aku tidak ingin menangis tapi—"

Tapi apa? Aku ingin mendesaknya untuk melanjutkan ucapannya, tapi kulihat bahu Zevania perlahan naik-turun, seirama dengan tarikan napasnya. Dia menangis.

Ketika tanganku hendak mengulur untuk menepuk kembali punggungnya, dia sudah berdiri sambil menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Kepalanya menunduk. "Maaf atas sikapku dulu, Dave. Tidak ada gunanya berandai-andai karena kita tidak bisa kembali ke masa lalu dan mengubah takdir. Tapi, aku benar-benar berharap semoga kau dapat mendengarku. Terima kasih karena sudah menjadi bagian dari kehidupanku di London. Hubungan kita tidak baik—setidaknya itu menurutku—tapi aku tahu bahwa kau sebenarnya orang yang baik. Aku tahu kau kapten yang baik bagi tim sepak bola sekolah dan orang-orang banyak yang melihatmu sebagai contoh. Kau meninggalkan orang-orang yang menyayangimu, tapi kau tidak akan pernah terlupakan. Semoga kau tenang di atas sana, Dave."

Kata-kata Zevania barusan adalah yang selama ini ingin kukatakan—bahwa Dave adalah kapten yang baik dan banyak yang melihatnya sebagai contoh. Dia memiliki kepribadian seorang pemimpin dan dia dapat melihat potensi seseorang. Sesuatu yang belum tentu dimiliki oleh semua orang, sesuatu yang tidak dimiliki seorang Andrew Stanley.

Sesuatu yang membuatku terus berada di sisinya dan berusaha untuk menjadi sahabat yang baik untuknya.

Dan ... aku gagal.

"Ada yang ini kau katakan lagi?" Zevania tiba-tiba kembali berjongkok di hadapanku. "Hmm?"

Sontak aku bangkit dan membuang muka ke sembarang arah. Mengusap air mataku dengan lengan baju. "Tidak. Kau sudah selesai?" Aku masih enggan berhadapan dengan Zevania dengan kondisi seperti ini.

Zevania tahu aku menangis, tetapi dia tidak meledekku atau mendesakku untuk menghadapnya. "Sudah. Ke mana lagi setelah ini?"

"Reuni," jawabku singkat sambil mulai melangkah meninggalkan makam Dave. Sampai jumpa lagi, Dave. Aku berpamitan dalam hati.

"Dengan siapa?" Aku mendengar Zevania berjalan menyusulku jadi aku melambatkan langkah kaki.

Kini kami berjalan beriringan. Persetan dengan aku yang ketahuan menangis. "Rahasia. Kau pasti senang."

"Tidak mungkin Annika dan yang lainnya kan? Mereka sedang di LA." Terakhir kudengar mereka sedang sibuk menggarap album keempat jadi mereka benar-benar sibuk rekaman di studio.

"Nanti juga kau tahu," kataku, sebisa mungkin membuatnya tetap penasaran. Aku tidak bisa membaca pikirannya dan dia juga tidak membaca pikiranku. Setiap tempat yang kami kunjungi pasti akan membuatnya terpana.

Aku pernah mengatakan padanya bahwa London terlihat indah dari ketinggian. Dua hari yang lalu aku membawanya ke puncak gedung-gedung tinggi di City of London, kemarin aku mengajaknya terbang dan mendaki di Greenwich. Hari ini kami hanya akan duduk santai dari Parliament Hill di Hampstead Heath yang sering muncul dalam film-film yang berlatar di London. Kami duduk di atas bangku taman dan dari titik ini, kami dapat melihat hamparan trek lari dan lapangan Parliament Hill Fields dan tentunya gedung-gedung ikonik dari City of London.

"Aku ingatnya Eternals, adegan terakhir," jawab Zevania ketika kutanya apakah dia pernah melihat tempat ini.

Aku mengangguk membenarkan jawabannya.

"Apakah kau penggemar film-film Marvel?"

Aku menggelengkan kepala. "Hanya menonton film-film Marvel agar terlihat normal."

"Maksudnya normal?" tanyanya sambil memasang wajah kebingungan.

"Ryan dan Emre penggemar berat Marvel, jadi aku ikut mereka menonton."

"Lalu apakah dengan kau tidak menonton filmnya membuatmu merasa kurang normal?" tanyanya lagi.

Bagaimana menjawabnya, ya? Aku juga tidak begitu yakin dengan apa yang kulakukan selama ini. "Kau penggemar Marvel?"

Zevania sama denganku, dia menggelengkan kepala. "Aku menonton Eternals karena kulihat London muncul dalam trailernya."

Sudah pasti itu jawabannya, yang membuatku tergelak lagi. Dia menonton hanya untuk melihat London.

"Sekarang itu baru disebut tidak normal," lanjutnya. "Setiap aku menonton film atau serial tv yang latarnya London, aku akan fokus pada latarnya alih-alih alur ceritanya. Aku bahkan lupa apa yang terjadi di adegan film Eternals itu karena sibuk menebak lokasi filmnya diambil."

"Kau serius segila itu?" Tawaku berhenti. Sadar bahwa aku baru saja mengatakan hal tidak pantas. "Maaf, bukan itu maksudku."

Zevania menggeleng sambil tersenyum. "Ya, aku segila itu. Kau baru sadar?"

"Kurasa kau layak mendapat penghargaan dari kerajaan atas rasa cintamu pada kota ini." Kemudian, aku teringat kami belum pergi ke daerah itu. "Kau sudah ke Buckingham Palace?"

"Belum. Aku menunggu undangan dari kerajaan." Zevania melanjutkan candaku.

Aku ikut tertawa bersamanya. "Changing of the guard? Every tourist's to-do list."

"I'm not like other tourists, I'm different." Zevania menutup mulutnya dengan tangannya, tampak dan terdengar sengaja mendramatisir seolah-olah dia tersinggung atas ucapanku yang memang menyamakannya dengan turis. Selang satu dua detik, tangannya sudah kembali di atas pangkuannya. "I'm planning on putting my tourist card mode on the last day and yes, Buckingham Palace and the changing of the guard are on my to-do list."

Sejenak aku terlalu fokus pada Zevania yang menyebut hari terakhirnya di London, kemudian aku teringat sesuatu. "Mode turis seperti yang kita lakukan sepuluh tahun yang lalu setelah menonton final FA Cup ketika Manchester United kalah melawan Chelsea?"

Lengkungan senyuman yang tadi Zevania ciptakan perlahan luntur, diganti dengan tatapan jengkel. "Kau tidak perlu menyebut kekalahan Manchester United."

"Kau sendiri tadi menyebut kekalahan 7-0 di depan Dave."

"Ketika penggemar Manchester United membahas kekalahan itu terdengar lucu, tapi kalau bukan dari penggemar Manchester United itu menyesakkan." Lagi dan lagi Zevania yang mendramatisir suara dan ekspresinya kembali.

"Oke, oke." Aku mengangkat tangan tanda menyerah. "Oh, omong-omong, apakah Zevo sudah atau berencana ke Stamford Bridge?"

"Untuk apa dia ke Stamford Bridge?"

"Bukannya dia penggemar Chelsea?" Aku ingat ketika Zevania melakukan panggilan video dengan kembarannya itu saat kami berada di Wembley. Katanya Zevo adalah penggemar Chelsea dan meminta sarung tangan Thibaut Courtois, kiper Chelsea pada saat itu.

"Oh..." Bibir Zevania membentuk huruf O besar dan mengatupnya cepat sambil menggeleng, lagi-lagi penuh kejengkelan. "Dia bukan penggemar Chelsea sungguhan. Dia hanya sering memakai Chelsea ketika bermain PS bersama teman-temannya dan sering menang, jadi dia mengaku bahwa klub favoritnya adalah Chelsea. Aku juga baru tahu setelah aku kembali dari London dan minta maaf karena tidak bisa mendapat sarung tangan Courtois—yang tidak mungkin. Kupikir dia akan bereaksi setidaknya sedikit kecewa tapi dia tampak biasa saja. Katanya dia sudah tidak main PS lagi."

"Bagaimana mungkin dia memakai Chelsea untuk bermain PS tanpa mendukungnya?" Aku tidak paham. Aku selalu memakai tim jagoanku, Arsenal.

"Banyak yang seperti itu. Teman-temanku di sekolah juga."

Sebuah informasi baru untukku. Teman-teman sekolahku selalu menggunakan klub favorit mereka ketika bermain PS.

Oh, aku baru ingat teman-teman sekolahku adalah anggota tim sepak bola jadi mereka pasti memiliki klub favorit.

"Andrew, kenapa kau tidak memotret sama sekali di Highgate Cemetery? Ada larangan?"

Ternyata, Zevania memperhatikanku. "Tidak dilarang selama bukan untuk dikomersilkan."

"Lantas?"

"Aku ... hanya tidak ingin memotretnya saja. Menghormati."

Bohong.

Dan, Zevania tahu aku berbohong. "Bilang saja kau takut ada penampakan hantu."

Aku tidak tahu Zevania bisa menyebalkan karena tebakannya benar.

"Ternyata benar itu alasannya?" Dia terkekeh. "Ingat ketika kita ke The Haunted Mansion di Winter Wonderland?"

Aku berdecak lidah. "Tolong jangan ungkit lagi." Zevania sangat gemar mengorek masa lalu. Satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah mengalihkan topik percakapan. "Apakah kau tidak merasa takut ketika berada di Highgate Cemetery?"

"Takut tapi aku merasa menjadi salah satu agen Lockwood and Co."

"Apa itu?"

"Semacam pemburu hantu di London." Kurasa Zevania menyadari kebingungan dan ketakutan yang terpancar dari wajahku jadi dia buru-buru melanjutkan, "Serial tv bukan sungguhan. Kau tidak pernah menontonnya? Pasti belum." Lalu dia menepuk dahinya sendiri, tampak melupakan sesuatu. "Sebelum pulang—atau entahlah nanti, bisakah kita ke 33 Claremont Square?"

33 Claremont Square terletak di Islington. "Untuk apa? Ada kenalanmu di sana?"

"Lockwood and Co bermarkas di sana!"

Tentunya. Tentu. Lagi dan lagi dia fokus pada latar tempatnya. Tapi tunggu ... letaknya di Islington. Meski tidak dekat dengan rumahku, tapi tetap saja di Islington dan dia tahu itu. "Oke, nanti kita ke sana."

"Coba kau tonton serialnya. Hantunya tidak seram. Hanya berbentuk roh saja." Zevania mengatakannya seolah-olah aku takut dengan hantu dan dia benar. "Kau mau lihat hantu Indonesia supaya kau tahu betapa tidak menyeramkannya hantu di The Haunted Mansion?"

"Maksudmu?" Apakah ini ajakan secara tidak langsung dari Zevania agar aku ke Indonesia?

"Aku akan mengetikkan beberapa nama hantu di Indonesia, tapi tidak dengan ponselku—aku pinjam ponselmu. Tentunya kalau kau mengizinkanku."

Aku langsung memberikan ponselku pada Zevania. "Kata sandinya 0101."

"Nomor punggung kiper?" tebaknya dan aku hanya memberinya senyuman. Lalu dia membuka layar kunci ponselku dan mengetikkan sesuatu di sana. "Kau yang menekan tombol enter." Dia mengembalikan ponselku dan ketika ponsel itu masih menghadap ke arahnya, dengan sengaja aku menekan tombol enter. Dia sempat melihat layar ponselku dan tampak puncak pasi lalu bangkit dari kursi dan menjauh dariku. "ANDREW!"

Aku tergelak melihatnya cemberut setelah mengusilinya. Andrew berusia 16 tahun tidak akan berani melakukan ini. Lalu, aku melihat layar ponselku yang menampilkan hantu-hantu Indonesia dan terkejut lalu nyaris melempar ponselku. "Tutup laman pencariannya!" Aku ikut bangkit dan menghampiri Zevania.

Gadis itu menggeleng sambil membuat tangan seperti memohon. "Sudah kubilang kan lebih seram hantu di Indonesia?" katanya dan berlari menghindariku yang mengejarnya.

Sebenarnya menurutku lebih menakutkan hantu dari zaman Victoria tapi aku mengiyakan pendapat Zevania dan mengejarnya dengan alasan dialah yang harus menutup laman pencarian yang menampilkan foto-foto hantu di Indonesia.

Aku terus mengejarnya dan mengejarnya hingga dia tidak bisa lagi menghindariku.

Aku menangkapmu, Zevania.

Продовжити читання

Вам також сподобається

3.4M 51.1K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
Naughty Nanny Від 23

Романтика

7.2M 351K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
DESIRE Від The Bride

Романтика

366K 19.8K 28
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
with Friend (END) Від taa

Романтика

1M 44.2K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...