Ketua Osis Manja Is Mine

By utiwiutii

8.3K 313 13

Mencintai bukan harus memiliki bukan? Sama seperti Ara, dia tidak bisa bersama dengan seseorang yang ia cinta... More

01 || Cowok kutub
02 || menginap
03 || di rumah berdua
04 || MPLS
05 || Cicin permata hitam
06 || Tanda tangan
07 || Mabar
08 || Kelas baru
09 || marah
10 || Traktiran
12 || Lomba
13 || mau coba buatan bunda?
14 || Keluarga besar
15|| candunya Varel
16 || without title
17 || Sabilia putri
19 || Theli
20 || Closed heart
21 || Bukan aku yang mau
22 || Uncovered
23 || Kembali
24 || Padanan
25|| Danz
26 || Ivi

11 || Terus menempel

393 15 0
By utiwiutii

Kamu tidak dapat memulai bab berikutnya dalam hidupmu jika kamu terus membaca ulang bab terakhir.

⃘♡

⃘♡

⃘♡

Have a nice day

"GAUSAH NEMPEL NEMPEL BISA GAK SI LO!"

Teriakan melengking itu berasal dari seorang gadis yang tengah di kelilingi oleh 6 kaka tingkat nya. Gibran yang mendengar teriakkan milik Ara langsung berlari menghampiri.

"Kenapa si, dek?" Tanya nya.

"Itu tuh si Kavin deket deket gue mulu! Mana sambil senyum lagi, udah tau senyuman nya cabul," kata Ara membuat Kavin langsung syok. Padahal dirinya hanya diam saja anteng memakan batagor tapi malah di fitnah.

"Eh Munaroh bang Ocit datang prepet prepet prepet, gue sembelih juga ya. Ini ana dari tadi diem duduk anteng, kenapa malah lo bilang gue yang deket deket? Noh si Varel yang mepet ke lo terus mah, mata lo katarak?" Tanya Kavin tidak santai.

Cowok itu sudah balik ke setelan awalnya. Tadi mah cuman akal akalan si Kavin sok sok an ngambek. Pengennya mah ada yang bujuk atau apa gitu, eh malah gaada yang nyamperin dia. Ya emang perawan kaya si Kavin gausah di ladenin.

"Udah, Bul, lo mending diem." Bul, adalah panggilan baru Ara untuk Kavin, yang tak lain adalah cabul.

"Ebusett!"

"Jadi yang bener yang mana? Si Kavin apa Varel yang bikin lo teriak?" Tanya Gibran memastikan.

"Varel."

"Kenapa si dia?" Tanya Gibran lagi. Kini arah matanya menatap pada Azril meminta jawaban. Azril yang paham langsung menjelaskan.

"Biasa lah urusan rumah tangga. Tadi si Varel duduknya mepet mepet terus ke adek lo, bahkan tu bocah mainin rambut si Ara."

"Yaelah cuman begitu doang. Tapi wajar sih Ara jadi tantrum gitu, soalnya cuman gue yang bisa dan boleh mepet ke dia," kata Gibran.

"Yaa lo kan kakak nya bego!" Umpat Azril.

"Lagian kalo kata gue sih salah si Varel juga, ngapain juga kek bocah yang manja ke emak nya? Si Ara kayaknya ga nyaman kalo di gituin," sahut Danu mengeluarkan pendapat.

"Varel manja sama orang yang bikin dia nyaman, bro. Lo tau itu, ya mungkin tu anak nyaman sama Ara jadinya gitu. Tapi ya si Ara nya malah ga nyaman," timpal Ade.

"Dia physical touch," celetuk Kaisar.

"Nah bener tuh apa kata, Kai. Varel emang Physical touch," kata Ade.

Ara dan Varel saling pandang mendengar gibahan para bujangan di hadapan mereka. Hello! Yang mereka bicarakan itu ada loh di sini, kenapa ngomong nya kenceng banget? Mereka sadar gak sih? Ini mah bener bener ngomongin langsung di depan orang nya.

Saat ini Ara, Gibran, Varel, Azril, Kaisar, Danu, Ade dan Kavin tengah berada di kantin yang sepi. Para murid sudah pulang dan hanya tersisa mereka.

Danu tengah menepati janjinya untuk mentraktir Ara makan di kantin sekolah. Cowok itu malas jika saat jam istirahat, jadinya dia memilih saat pulang sekolah. Untungnya Ara menyetujui hal itu.

Dan sekarang ke 8 remaja tersebut duduk di kursi yang biasa mereka duduki. Para sahabat Ara sudah pulang duluan karna suruhan nyai. Dan, si kembar Rai Riu di telpon oleh Maisha untuk segera pulang, jadi mereka tidak bisa join disini.

Danu menyuruh Ara memesan apapun dan dengan senang hati gadis jtu memilih makanan yang bisa membuatnya kenyang.

Setelah mendapat apa yang dirinya inginkan, Ara langsung memasukkan makanan itu kedalam tas agar aman dari tangan tangan jahanam yang pastinya akan mencomot.

Gibran inisiatif untuk membelikan mereka nasi goreng. Niatnya sih cuman buat Ara, tapi para anak curut itu malah ikut ikutan memesan. Jadi mau tak mau Gibran menyebutkan pesanan dengan jumlah banyak.

Sedangkan, di sisi lain Varel terus saja menggeser kursi yang ia tempati agar bisa dekat dengan Ara. Entahlah, ada apa dengan cowok dingin itu. Karna risi dan malas Ara berteriak sehingga membuat Gibran langsung berlari ke arahnya.

"Mereka ngegibah enteng banget ya? Kayak gaada kita gitu di depan mereka," celetuk Ara.

"Emang stres," timpal Varel.

"Lagian lo ngapain si, Rel, dempet dempet ke gue terus? Perasaan gue ga nempelin magnet ke tubuh lo deh."

"Gue mau deket lo terus, Ra."

"Hah?!" Tanya Ara syok. Gadis itu sedikit menggosok telinga nya takut takut jika dia salah dengar.

"Lupain."

"O-oh, oke. Gue mau ke kios nasgor dulu, lo mau ikut?" Tawar Ara.

Tanpa ragu Varel mengangguk, Ara tersenyum dan mereka berdua langsung melesat ke kios nasi goreng. Pasti pesanan nya akan segera siap, para bujangan itu sibuk gosip jadi mungkin mereka lupa jika tengah memesan nasi goreng.

Dan ternyata benar saja, saat Ara dan Varel tiba di sana, si ibu penjual sudah selesai memasak. Dan 8 piring sudah di sajikan. Tinggal di makan saja. Maksudnya nasi gorengnya yang di makan bukan piringnya.

"Bawa?" Tanya Varel menatap Ara.

"Bawa aja pake nampan."

Setelah mengucapkan terimakasih kepada si ibu penjual, Ara dan Varel langsung membawa pesanan mereka ke meja pojok sana.

"Yaudah, menurut gue sih mereka susah di satuin nya," kata Azril.

"Loh, kok udah ada nasgor disini? Perasaan tadi gaada deh," heran Ade saat melihat di hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng. Begitupun di hadapan para sahabatnya yang lain.

"Ya elo gosip nya kentel banget, jadi ga sadar pas gue bawa ni makanan. Dasar, cowok ternyata bisa gosip juga," kata Ara menggeleng.

Gibran langsung duduk di samping kiri Ara, sementara itu di samping kanan nya ada Varel.

"Yeuu ini tuh lagi bicarain masa depan yang cerah, Ra. Lo mah mana ngerti," ucap Danu.

"Masa depan suram yang ada, mending pada makan dah. Daripada gibah terus, gelap masa depan lo kalo ga makan."

"Iya Baginda ratu Arabella diningrat," ucap Ade dan Kavin serentak. Yang lain langsung tertawa mendengar nya, sedangkan Ara menaikkan jari tengah.

Mereka pun memakan makanan yang di sajikan. Ade dan Danu saling icip menyicip makanan masing-masing, sementara itu Kavin mengambil sosis yang menjadi toping di nasi goreng milik Azril saat dia tidak melihat, begitupun sebaliknya.

Kaisar makan dengan tenang, telinga nya di sumpal earphone yang tengah memutar lagu kesukaannya.

Gibran anteng karna sedang di suapi oleh Ara, begitupun dengan Varel. Saat ini gadis itu seperti mempunyai 2 orang anak yang manjanya melebihi anak balita. Entah kenapa Varel sekarang semakin berani terang-terangan mendekati Ara.

Tak terasa makanan habis dengan cepat, ibu penjual nasgor menaruh beberapa gelas es teh manis di atas meja. Itu Ara yang pesan, lagian nanti kalo mereka ga minum bisa seret. Ara sengaja bilang kepada si ibu jangan dulu di bawa es teh nya, nanti saja saat makanan sudah pada habis.

Saat ketenangan terjadi di meja pojok sana, tiba-tiba Kavin menyeletuk. "Galau banget gue," katanya.

"Galau kenapa lo? Belum dapet degem ya?" Goda Danu.

"Yaelah sehari tanpa cewek aja lo udah galau galauan gak jelas gini, Vin. Cowok macam apa? Udahlah, sekarang mah cari yang pasti pasti aja, jangan banyak gosting anak orang," nasehat si bapak tiri.

"Bener tuh kata si, Azril," timpal Ade.

"Lo galau, Vin?" Tanya Ara lalu menenggak es teh miliknya. Kavin hanya berdehem dan mengangguk.

"Gini, kalo lo galau, seneng, nangis, gabut, susah tidur, naikin mood, fall in love , banyak masalah, epep solusinya" ucap Ara menggebu.

"Yaelah bocil epep beraksi."

"Eh kata si Laskar kapan nih kumpul lagi? Dia mau nantangin separ epep," celetuk Danu, tangannya yang tengah memegang sendok menyuapkan nasi goreng itu kedalam mulutnya.

"Widih, iya kah? Saran gue sih malming, supaya Queen of headsot bisa join juga," timpal Ade. Matanya melirik Ara yang tengah menyodorkan es teh manis kepada Gibran.

"Boleh boleh, atur waktu aja. Gue si ngikut," kata Azril.

"Ngikut bapak tiri kita mah, iya gak?" Kavin menyenggol Kaisar lalu di tanggapi dengan deheman. Meskipun Kaisar tidak tahu sedang membahas apa dirinya hanya hem hem saja, daripada nanti di ganggu makhluk astral. Alias sahabat nya yang gesrek.

"Lo gimana, Rel?" Tanya Azril kepada Varel. Cowok itu bukannya menjawab malah melirik Ara yang tengah membereskan piring.

"Apa!?" Tanya Ara sedikit ngegas.

"Ikut, gaada penolakan," kata Varel tanpa membiarkan Ara berbicara. Mau tak mau gadis itu kembali mengatupkan bibirnya.

"Lo ikut ya, Ra..? Please, nanti ga seru kalo gaada lo," ucap Ade sedikit memelaskan wajahnya agar Ara iba.

"Gue tergantung para leluhur, takut mereka ga ngizinin. Waktu itu di izinin mungkin cuman kebetulan. Sama bang Ran juga, takut dia keberatan ngajak gue," kata Ara seraya menyeruput es teh manis itu.

"Lo ngomong apa si, Ra? Gue? Keberatan ngajak lo? Gaada di kamus gue. Udah nanti ikut tapi naik mobil, nurut kalo ga nurut gue tinggal," ucap Gibran.

"Perasaan, gue kalo mau ngomong kaga jadi terus," katanya kesal. Tadi si Varel sekarang si Gibran, ingin sekali dia menabok wajah itu yang sayangnya terlalu tampan.

"Nahh! Jadi udah fiks ikut semua, tinggal atur waktu sama tanggal aja. Gue nanti kabarin anak binjay nya," kata Danu.

"Semerdeka lo, Nu," ucap Azril.

Bunyi getar di ponsel Varel membuat cowok yang tadi sedang anteng menatap Ara langsung mengalihkan pandangannya. Disana tertera pesan dari seseorang. Mata elangnya langsung memicing, terbesit rasa takut di hatinya.

08563*****
———————
Hati-hati, mereka sudah bergerak

Karna tidak mau membuat suasananya menjadi tegang, Varel langsung memasukkan ponselnya kedalam saku. Azril yang menyadari gelagat Varel langsung menatap curiga.

"Kenapa, Rel?"

"Gapapa."

"Lo kenapa si, Vin? Daritadi kayaknya suasana hati lo berubah ubah terus. Awalnya seneng, gembira, banyak omong sekarang malah galau," celetuk Danu yang peka terhadap sahabat nya itu.

"Menurut kamus gue tentang si buaya amazon ini, dia galau karna gagal terus ngajak balikan si Cindo," ujar Ade yang tahu kenapa Kavin bisa galau berat seperti ini.

"Bejirr ternyata gamon ni bocah," ledek Azril.

"Bisa gamon juga tu buaya amazing," sahut Ara yang mulai tertarik dengan pembicaraan ini. Daripada diem terus, dan juga dia malas jika harus sadar jika sedari tadi di tatap oleh Varel. Mending gak nyadar daripada nyadar dan hasrat ingin membunuh langsung keluar.

"Kasian tau, Ra, ni bocah 3 taun kaga berhasil bikin si cindo mau balikan. Katanya 'kamu terlalu baik buat aku' begitu," kata Ade menjelaskan.

"Ya emangnya gue harus gimana lagi? Apa perlu gue jadi maling, jadi copet, jadi pembunuh supaya dia mau balikan sama gue?" Ucap Kavin setengah frustasi.

"Anjir kaga gitu juga bego," kekeh Gibran seraya menoyor kepala sahabatnya itu yang sudah gila karna si Cindo.

"Ya terus kudu ottokke aing boy?"

"Santet," nimbrung Varel. Wajahnya datar saat berucap, seakan tidak ada dosa ketika mengatakan nya.

"Udah mendingan lo diem, Rel, daripada gue buang ke laut," geram Azril. Varel mengangkat bahu acuh. Cowok itu menyandarkan kepalanya di bahu Ara, seperti biasa.

"Mulai mulai! Gausah nyender!"

"Daripada gue ikut nimbrung?"

"Ish iya iya! Tapi diem cocot lo, yak? Awas aja ampe bersuara gue gorok leher lo," ancam Ara dengan tatapan tajamnya.

"Hm."

"Lo putus karna apa si?" Tanya Danu kepo. Padahal mah drama putusnya di depan muka dia, sempet sempet nya lupa.

"Yaelah penyakit pikun nya kaga ilang ilang," jengah Ade.

"Sekarang dia kelasnya dimana, Vin?" Tanya Azril. "Di sebelas IPS 2 kayaknya, gue tau dari temen di gedung sebelah. Katanya dia banyak yang deketin, tiap hari dapet coklat dari cowok, gimana gue ga frustasi coba?" Ucap Kavin menelungkup kan wajahnya di lipatan tangan.

"Ututu kacian nyaa anak bunda. Ternyata kelakuan buaya lo ada sebabnya ya, Vin?—Kaya gue." Lanjut Ara dalam hati.

Mendengar itu Kavin langsung mendongak dan menatap Ara, "lo, tau?" Tanyanya sedikit heran. Bagaimana gadis ini mengetahui hal itu.

"Ketebak sama gue mah. Semua orang ngelakuin sesuatu pasti ada alasannya, udah hatam gue," kata Ara santai dengan alis yang naik turun.

"Ya, kayak yang lo tau, Ra. Gue udah gatau lagi harus gimana, Rere kayaknya udah gabisa gue raih lagi," ucap Kavin lesu.

"Semangat bro, gue dukung deh kalo gitu buat lo cari degem. Bila perlu gue kenalin satu sekolahan, bahkan gedung sebelah juga, kalo itu bisa buat lo seneng dan sedikit ngelupain Rere. Daripada tobat, tapi jadi sadboy, gak ah, ini bukan lo."

Kavin mulai mengembangkan senyumannya. Yang tadi redup kini menyala kembali. Ternyata gadis kecil ini mampu membuat hatinya terasa lebih baik. Semangat nya bangkit.

"Thanks, Ra. Lo emang selalu bisa bikin orang mood lagi, adik kecil gue the best!" Kavin mengacak rambut Ara dengan gemas. Gadis itu pun tertawa kecil.

"Obatnya ternyata degem bro," celetuk Danu.

"Syukur deh kalo tu bocah udah ga galau lagi, kasian gue liat nya. Udah kaya anak ilang," timpal Ade.

"Bisa banget adik lo bikin Kavin ceria lagi, Gib." Azril tersenyum lembut, Gibran juga ikut menarik ujung bibirnya. "Dia mood booster banget. Gue aja yang tadinya udah males ngapa-ngapain jadi semangat lagi cuman karna kata katanya, saking semangat gue sampe lari keliling rumah 10 kali," kata Gibran melantur.

"Kalo kata gue mah lo bego."

"Iya makasih pujiannya."

"Nah kan, emang bego."

Ara bahagia saat Kavin membelikan dirinya 5 buah permen. Dengan girang gadis itu menerimanya. Senyuman tidak pernah luput dari wajah Ara, termasuk Kavin. Dia senang melihat Ara tersenyum.

"Makasih ya, Vin!"

"Makasih juga." Ara mengangguk lalu memasukkan permen kedalam mulut nya. Satu lagi gadis itu membuka bungkus permen lalu menyodorkan pada Varel yang sedari tadi anteng dengan game. Namun kepalanya masih saja menyender.

"Buka mulutnya," instruksi Ara. Tanpa mengalihkan pandangan Varel membuka mulut dan mengemut permen pemberian Ara. Entah dorongan dari maha, gadis itu mengelus kepala Varel dengan lembut. Membuat sang empu menghentikan gerakan jari di atas ponselnya.

"Ra—"

"Lanjutin," potong Ara saat Varel akan mengeluarkan suaranya. Menurut, Varel kembali bungkam dan menyandarkan kepalanya lagi.

Kavin tengah asik, asik sendiri maksudnya. Cowok itu makan batagor 2 piring sekaligus. Bahkan, Ade dan Danu yang hendak mencomot pun di persilahkan oleh anak itu.

Keduanya bingung, kenapa Kavin mau berbagi? Biasanya kalo di comot makanan nya langsung tantrum.

"Vin, tempat buat beli buku apasi? Gamestidia ya?" Celetuk Azril membuat Kavin langsung menghentikan kunyahan. Tatapan binar itu langsung redup seketika.

Danu dan Ade saling pandang, kunyahan mereka juga terhenti. Matanya menatap nyalang terhadap Azril yang kini tengah tersenyum tengil.

"Rere," gumam Kavin.

"Vin, udah lanjut makan aja." Ara panik sedikit karna di pastikan suasana hati Kavin langsung berubah cuman karna kata-kata si Azril sialan.

"Vin, yang di isi ulang itu apasi? Gamon ya?" Kata si Azril lagi. Membuat Ara langsung melemparkan sumpit ke arah cowok itu saking geramnya.

"GUA YASININ JUGA LO!!"

♡♡♡♡

Setelah selesai dengan janji milik Danu yang mentraktir Ara untuk makan di kantin. Kini giliran Ade yang menepati janji itu.

Keduanya pulang bersama sesuai dengan apa yang Ara inginkan. Gibran sudah pulang duluan bersama yang lain. Awalnya Varel memberontak ingin ikut, tapi ancaman Ara mampu membuatnya tidak bisa berkutik. Dan terpaksa untuk pulang.

"Mau beli apa, Ra!?" Tanya Ade sedikit berteriak karna mereka sedang di atas motor. Takut nya si Ara budek karna pake helm.

"Hah papah?! Papah gue lagi kerja!" Sahut Ara. Kan bener budeg.

"Maksudnya lo mau apa, Ra?!"

"Kenapa si nanya terus papah gue?! Bahaya nanti di bacok pake cerulit sama mama!"

Ade langsung istighfar dalam hati. Untungnya dia sabar, jadi Ara tidak jadi berakhir di rawa-rawa.

Cowok itu menepikan motornya, ia lepas helm tersebut lalu menoleh sedikit ke belakang, tepat dimana Ara sedang menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

"Kenapa berenti?"

"Lo mau beli apa?" Tanya Ade to the point.

"Hmm apa ya?" Ara mengelus dagunya berfikir. "Ohh! Gue mau beli mainan aja ah, sama lego yang di rakit rakit itu, boleh kan?" Tanya Ara menatap Ade.

"Gue di titipin pesen sama abang lo, harus jajanin makanan gaboleh mainan. Jadi beli jajan aja ya?" Tanya Ade sedikit tak tega.

"Tapi maunya Lego, mau kan beliin?" Tanya Ara memelaskan wajahnya. Tangannya menaut di atas paha lalu bibirnya cemberut serta tatapan menggemaskan itu membuat Ade seperti terhipnotis. Dia mengangguk tanpa hambatan. "Gas beli!"

"YEAYYY!!"

Ade menancap gas nya ke toko mainan terdekat. Yah, semoga saja barang yang Ara inginkan ada disana.

Tatapan binar di mata hazel itu membuat Ade tersenyum dan terkekeh. Ara sekarang mirip sekali dengan anak kecil.

"Ayok kesana, siapa tau ada itunya, apa sih yang lo mau, Ra?" Tanya Ade. Tangannya menaut di tangan mungil Ara lalu mereka berjalan beriringan. "Lego, bego. Masa lupa lo? Baru tadi gue sebutin."

Cowok itu menatap malas adik sahabat nya ini. Tidak bisakah bersikap manis sebentar saja?

"ANJIR LEGO KEMBANG WOI! DE, BELI INI DE GUE MAU ANJAY!"

"WANJAY ADA KACANYA! MAU INI JUGA ADE AYOK LANGSUNG BORONG!"

Ara heboh sendiri melihat banyak Lego yang berjejer di rak mainan itu. Dia berjingkrak jingkrak, lari kesana kesini, lompat sana lompat sini, membuat Ade langsung memakai masker. Dia malu! Namun, masker nya dia lepas kembali karna di rasa pengunjung disini tidak terlalu ramai.

"Jangan teriak teriak gitu, Ra," tegur nya.

"Iya. Ayam sori, bro."

"Yaudah pilih yang lo mau gue tunggu di kasir."

"YEAYY MAKASIH ADE!!"

"Gue jungkir balik juga ni lama lama," ucap Ade setengah frustasi.

Setelah selesai membayar, mereka langsung pulang mengingat pesan dari Gibran yang katanya jangan terlalu lama di luar. Kalo telat dikit motor kesayangan si Ade bakalan di sita sama pangeran Gibran diningrat.

Ara mengucapkan banyak terimakasih kepada Ade, cowok itu berhasil membuat perasannya sangat senang sekarang. Ara ingin segera merakit Lego nya.

"Kalo gitu gue pulang ya, Ra. Salam buat orang rumah, bilang ke abang lo gue tepat waktu balikin Queen nya," kata Ade sambil menoel hidung mancung Ara.

Gadis itu terkekeh, "iya iya nanti gue bilang. Makasih buat hari ini, gue seneng banget sumpah!"

"Haha, sama sama, cantik. Yaudah gue pamit."

Melihat motor Ade yang masih dalam penglihatan nya, Ara langsung mengeluarkan suara toa miliknya untuk mengucapkan kata yang tadi terlupakan.

"HATI HATI DE! SEKALI LAGI MAKASIH!"

Ade yang mendengar itu langsung menaikan jari tengah di arahkan ke belakang. Bodoamat Ara melihat atau tidak intinya dia sudah mengeluarkan kekesalan nya.

Ara masuk ke dalam rumah sambil berlari, dia naik ke atas lalu langsung masuk ke dalam kamar. Melempar tas nya asal menghiraukan disana terdapat banyak makanan. Gak takut dia kalo cemilan nya remuk, bisa beli lagi.

Gadis itu langsung ngacir kedalam kamar mandi, tidak sampai 2 jam Ara sudah selesai, keluar dengan pakaian santai serta rambut yang di cepol menggunakan pensil yang entah kenapa bisa ada di dalam kamar mandi.

Mengais Ling-ling yang tengah tertidur di sofa lalu membawa nya turun dengan tergesa-gesa. Sial! Dia melupakan Lego nya. Dengan semangat 45 Ara kembali naik ke atas lalu mengambil Lego yang ada di kantung kresek dan juga tas nya yang berisikan makanan.

Setelah semuanya siap di atas meja, Ara duduk bersila di bawah, di atas karpet bulu. Dia mulai membuka kantung kresek itu dan mengeluarkan 5 Lego dari sana. Iya 5, si Ara ga kira-kira belinya. Lumayan di traktir, kapan lagi. Lagian Ade juga yang menawarkan terserah Ara mau beli berapa.

Gibran dan Anin yang sudah berada di ruang keluarga menatap cengo gadis yang tengah duduk itu. Apakah dia kesurupan reog? Ataukah dia sedang kesambet pelari 500 meter?

Mereka memang sudah ada disini sejak tadi, Ara nya saja yang tidak menyadari. Masuk rumah langsung grusak grusuk gajelas. Tau tau sekarang udah disini, mana keliatan nya udah mandi lagi. Cepat sekali.

"Dek," panggil Gibran.

"ASTAGHFIRULLAH SETAN BOGEL!" Umpat Ara karna kaget. Dia tidak tau abang dan mama nya berada disini, saking fokus ingin cepat cepat merakit Lego.

"Heh! Abang sendiri di bilang setan," kesal Gibran mendelik.

"Hehe maap bang, kaget ini refleks aja bilang gitu. Lagian ngapain tiba-tiba disitu si? Mama juga," kata Ara.

"Mama sama abang kamu udah daritadi disini, Ara. Mata kamu katarak?" Tanya Anin.

"Lah? Iya kah? Ara kok ga liat ya."

"Saking sibuknya kamu ga liat mama sama Ran disini? Kamu ga salam masuk rumah, ga salim ke mama, masuk maen selonong aja naik ke atas. Mana turunnya bawa Ling-ling lagi sambil lari, kasian dia tertekan gitu," tegur Anin membuat Ara hanya tersenyum kikuk dan menggaruk kepalanya.

"Beneran ma, kaga keliatan kalian ada disini. Iya deh maaf Ara udah ga salam, ga salim juga ke mama. Udah lari lari sambil bawa Ling-ling."

"Iya sudah tidak apa-apa. Kamu masih kecil mama maklumi."

"Ish mama.... Ara udah gede bukan anak kecil lagi," katanya dengan nada kesal.

Anin dan Gibran terkekeh kecil. Udah gede katanya. Udah gede darimana kalo kelakuan masih kayak bocah? Beli Lego, lari lari mirip bocil sambil bawa kucing. Dahlah, mau heran tapi ini Ara.

"Iya iya udah gede, sekarang kamu mau ngapain?" Tanya Anin memperhatikan mainan milik putrinya.

"Ini Ara mau pasang Lego, ma. Tadi di beliin sama Ade pas pulang sekolah, mangkanya Ara aga telat dikit pulang nya," papar Ara seraya membuka box Lego tersebut.

"Kamu bisa pasang nya?" Tanya Anin lagi.

"Hehe enggak," jawab Ara dengan menyengir. Matanya menyipit karna senyum nya sedikit lebar.

"Sini Abang bantuin." Ara bersorak lalu mengecup pipi Gibran kanan dan kiri saking senangnya.

"Yaudah kalian main aja mama bikinin cemilan dulu. Ada yang mau request?"

"MAU PUDING COKLAT!!" Kompak Ara dan Gibran. Setelah nya kedua Kaka beradik itu tertawa karna mereka kompak dalam makanan.

"Okey mama buatin." Anin berlalu menuju dapur. Meninggalkan kedua anaknya yang mulai di sibukkan dengan merakit Lego.

"Sebentar, gue kan bilang ke si Ade beliin lo makanan. Kenapa malah jadi mainan Lego gini?" Tanya Gibran.

"O-ohh itu gue yang minta, bang, hehe. Gapapa lah ya, kan udah banyak makanan dari Kavin dari Danu, yakali gue minta makanan lagi ke si Ade. Mending beli Lego, lumayan bisa buat gue ga gabut lagi," jawab Ara.

"Hm yaudah kalo itu mau kamu."

Gibran fokus dengan Lego bunga sedangkan Ara Lego babi. Keduanya nampak serius merakit. Sampai Shaka datang pun tidak mereka ketahui. Bahkan, anak itu kini sudah duduk di samping Ara.

Shaka mengambil box lain lalu membuka nya, dia ikut merakit. Sementara keduanya tidak sadar apa yang Shaka lakukan. Semenit, dua menit, bahkan sampai Lego yang Shaka rakit setengah nya hampir jadi mereka masih tidak menyadari.

"Ra, udah jadi belum?" Tanya Shaka tanpa mengalihkan pandangannya.

"Belum, gue lagi fokus diem lo," katanya. Shaka terkekeh, lucu melihat ekspresi serius milik Ara.

"ANJIR LO KENAPA UDAH ADA DISINI, SHAK?! KAPAN MASUK LO!?" Heboh Gibran yang syok melihat rival adiknya sudah nangkring di hadapannya.

"Hehe, daritadi gue disini, bang. Lo nya aja yang fokus banget daritadi ngerakit nya," jawab Shaka santai.

Ara kaget, dia hampir saja melayangkan bantal ke wajah Shaka. Namun itu bisa di tahan. Lagian kaya jelangkung juga ni bocah.

"Widih udah jadi tuh, yang gue masih setengah," kata Ara melihat Lego di tangan Shaka sudah selesai. Milik Gibran juga sama, sepertinya dia tidak mahir merakit yang seperti ini.

"Sini gue bantu," Shaka mengambil alih Lego di tangan Ara lalu melihat petunjuk nya. Dia mengintruksikan kepada gadis di hadapannya untuk mengambil potongan kecil lego. Setelah nya Shaka lah yang merakit.

Gibran merakit Lego yang lain, karna dirinya mahir 30 menit sudah selesai. Termasuk Lego yang di susun oleh Ara dan Shaka. Gadis itu bertepuk tangan senang melihat Lego nya sudah berbentuk.

"Thanks ya, Ka, udah mau bantuin! Makasih Abang udah bantuin Ara!" Gadis itu mengecup kembali pipi abangnya sebanyak dua kali. Di balas kecupan singkat di hidung mancung adiknya oleh Gibran.

"Gue nya ga di cium, Ra?" Tanya Shaka seraya alisnya yang naik turun.

"Wah mau gue bantai lo, Shak?" Tanya Gibran galak.

"Waduhh kaga bang, becanda ana pice deh suer."

"Nih buat lo," Ara menyodorkan coklat dan permen kepada Shaka. Dan di terima dengan baik oleh cowok itu. Senyuman mengembang, hatinya membuncah.

"Makasih, Ra," ucap Shaka lembut. Tangannya terulur untuk mencubit gemas pipi tembam milik Ara. Dan ya, Gibran langsung menatap tajam sang pelaku. Shaka menyengir lalu dua tangannya terangkat.

"Oh ya, Tante mana? Ini ada titipan dari mom buat Tante Anin," ucap Shaka celingak-celinguk.

"Mama lagi di dapur, nanti juga kesini. Nah itu," tunjuk Ara pada Anin yang tengah berjalan ke arahnya.

"Wahh ada tamu ternyata, untung mama bikin banyak puding nya. Ini sok di makan dulu sayang, kamu juga Shaka," ucap Anin.

"WANJAY!! Gas keun, Ra, puding unlimited ini mah," heboh Gibran. "Iya bang bener! Kalo di jual bisa kaya kita."

"Adek Kaka sama aja," gumam Shaka tak habis pikir.

"Oh iya Tante ini ada titipan dari mom buat Tante. Tolong di terima, kalo Tante nolak nanti mom bisa ngamuk karna aku ga bisa bikin Tante nerima ini," ucap Shaka menyodorkan bingkisan. Isinya ada beberapa kue lapis dan kue bolu. Iris dan Anin adalah teman baik, mereka berteman sejak SMA.

"Hahaha, kamu bisa aja. Iya ini Tante terima ya, terimakasih. Bilang ke mom mu itu bingkisan nya udah sampai ke tangan Tante."

"Siap kalo itu mah."

"Yasudah kalian lanjutkan makan dulu. Dek, Ran, mama mau masak buat nanti malem. Kalian anteng anteng disini."

Ara mengangguk semangat sementara itu Gibran mengangkat jari jempolnya. Lantas Anin langsung kembali ke dapur.

"Ngasih apa ke mama?" Tanya Ara kepada Shaka yang tengah santai memakan puding. Tumben sekali mereka anteng tanpa berulah.

"Lapis sama bolu kukus, bolu pandan, dan banyak lagi. Kenapa?" Tanya Shaka balik.

"Tumben lo mau berbagi, biasanya pedit banget, apalagi sama gue." Pedit itu sama aja kaya pelit.

"Dih itumah momy gue yang bagi bagi, gue mah ogah, apalagi buat lo," sinis Shaka lalu menyuapkan puding kedalam mulutnya. Nah kan, bau bau perang dunia nih. Gibran juga ngerasain, mukanya langsung siaga.

"Wah bener bener lo ya, Tante Iris baik, rendah hati, cantik, lah elo anaknya titisan Dajjal. Bukan anak Tante Iris ya lo, Ka? Wah fiks anak pungut," cerocos Ara membuat Shaka langsung mode baku hantam.

"Lo juga beda ya, curut. Tante Anin itu kalem, gak banyak omong, anggun, kalo ngomong lembut. Lah elo, udah kalo ngomong suka teriak, suka tantrum, banyak tingkah, pecicilan, gamau diem, gaya nya mirip lakik, anak pungut ya lo?" Tanya Shaka membalikkan ucapan Ara.

"Wah sembarangan! Lo mau gue ratain, Ka?!" Nyolot Ara bersiap menerjang Shaka.

"Sebelum lo ratain gue, gue dulu yang bantai lo," ucap Shaka tak mau kalah.

"SINI LO! HIYAKKK!"

Ara memukul Shaka menggunakan bantal yang tadi berada di pangkuannya. Sedangkan Shaka yang tidak ada persiapan langsung menyilang kan tangannya untuk membentuk benteng pertahanan dari serangan maut milik Ara.

Pukulan nya sangat kuat, Ara mirip seperti badak. Ini tidak bisa di biarkan, dirinya bisa babak belur. Dia harus mencari sesuatu untuk membalas.

Gibran yang sudah tahu akan berakhir seperti ini hanya menatap keduanya dengan malas. Dasar bocah, hobinya tawuran pake bantal.

Melihat bantal yang tergeletak tak jauh darinya, Shaka dengan susah payah meraihnya. Serangan Ara bertubi-tubi, dirinya harus siaga, jangan sampai lengah.

"Mampus lo, gue yang menang!!" Ara terus memukuli Shaka dengan brutal, tidak akan dia biarkan tikus kecil ini lari begitu saja.

"GUE BALES LO! HIYAAKK!"

Dan sekarang keadaan terbalik, Ara yang melindungi diri menggunakan bantal sedangkan Shaka memukul nya dengan bantal juga.

Karna tidak mau kalah, Ara membalasnya dengan sekuat tenaga. Kini mereka saling memukul namun hanya bantal yang beradu. Mulutnya pun tidak berhenti berceloteh. Gibran sampai pusing di buatnya.

"NYERAH AJA LO, KA!"

"KAGA AKAN! EMANGNYA GUE COWO APAAN YANG NYERAH GITU AJA?!"

"LO COWOK APAAN GAMAU NGALAH SAMA CEWEK?!"

"LO CEWEK APAAN YANG MIRIP LAKIK? CEWE BUKAN?!"

"SIALAN LO!"

"LO BAU TANAH!"

"LO BAU MINYAK JELANTAH!"

"BONCEL BOGEL PENDEK DASAR!"

"TIANG JALAN, TIANG LISTRIK, POHON KELAPA DASAR!"

Diketahui Gibran sekarang tengah duduk bersandar pada sofa. Dia menyeruput teh yang entah di dapat darimana. Wajahnya ketara sekali sangat tenang dan damai. Maksudnya, sebaliknya.

"Nanti minta di antar ke psikolog dah, mental brikdens gue ngadepin tu bocah bocah edan."

♡♡♡♡

"Kamu tidak merindukan dia?" Tanya seseorang kepada Ara.

Ara menutup matanya merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya, "saya, sangat merindukan sosok seperti nya, dia terlalu baik untuk terus berada di lingkungan keluarga yang keras."

"Kamu ingin dia kembali?" Tanya seseorang itu lagi.

Ara menggeleng, "tidak, saya tidak ingin dia kembali. Karna jika dia kembali hanya akan ada rasa sakit yang dia rasakan. Cukup, cukup sampai waktu itu dia merasakan semuanya."

"Mau pulang?"

"Tunggu sebentar, saya masih ingin disini, mengenang dia yang telah lama meninggal kan saya."

"Baiklah, saya izin pergi sebentar," lalu seseorang itu pergi meninggalkan Ara, sendiri, di sebuah taman yang cukup luas.

Malam hari yang sangat menenangkan untuk Ara, gadis cantik itu sekarang tengah duduk dengan wajah yang mendongak ke atas dan mata yang terpejam.

Untuk semuanya, Ara sudah lelah dengan apa yang telah terjadi di kehidupannya, Ara rasa itu sudah berlebihan. Rasa sakit yang dia rasakan tidak ada yang tahu, bahkan keluarga nya pun menganggap bahwa dirinya baik baik saja. Gadis itu sangatlah mahir menyembunyikan semuanya tanpa ada yang curiga.

Bekas cambukan, goresan, sayatan, serta cacian yang dia dapatkan sudah menjadi makanan sehari-hari. Ara kuat, tapi dirinya juga butuh seseorang untuk membuat nya bisa menjalani kehidupan ini.

Dulu, Ara punya seseorang itu. Naufal Ilyas Ataxaria. lelaki tampan tersebut adalah Kaka tertua dari Ara. Ya, Mahesa bukanlah yang tertua tetapi Ilyas. Arion dan Anin mempunyai 4 orang anak, 3 laki laki dan 1 perempuan. Tetapi, mungkin Tuhan lebih menyayangi anak pertama mereka.

"Jangan melamun disini, sebaiknya kita pulang," ucap seseorang yang tadi bersama Ara.

Ara tersentak kaget, "anjeng lo ya, gue lagi nyaman juga, kaget sat."

"Kata katanya."

"Haduhh, iya iya maaf, gue lupa."

"Pulang saja ayok," ajak seseorang itu.

Ara mendengus pelan, "baiklah, kita pulang."

♡♡♡♡

Gadis itu sedari tadi terus saja merengek, Ara sudah seperti orang yang tengah kerasukan. Dia berguling-guling di atas karpet tepat di hadapan para leluhur, yang tak lain adalah Anin, Arion dan juga Mahesa.

Tadi, sebelum drama ini di mulai, Ara sempat meminta izin untuk ikut pergi main bersama Gibran. Cowok itu hendak pergi ke rumah Kaisar untuk mabar bersama, seperti ucapan mereka waktu di kantin kemarin.

Laskar bilang malam Minggu saja, dan malam ini adalah malam yang mereka tunggu untuk berkumpul kembali. Ara mau ikut, dia sangat ingin, tapi para leluhur nya tidak mengizinkan. Apa boleh buat, sekarang anak itu tengah menangis seraya berguling-guling.

"HUAAA MAU IKUT BANG RAN MAIN MAMA!!"

"Kenapa ga di izinin sih~"

"Ara mau main, pokoknya harus ikut! Mau main, mau main, mau mainn!!"

Mahesa menutup telinga nya mendengar ocehan sang adik. Cowok itu sebenarnya mengizinkan Ara untuk pergi, bahkan Arion juga sama. Tapi Anin malah mengeluarkan pendapat yang berbeda. Dia menolak keras anak perempuan nya keluar tengah malam.

"Udah gausah drama kamu, sekarang mending nonton Upin Ipin sini, itu udah mulai," bujuk Anin. Namun itu membuat Ara semakin mengencangkan tangisannya.

"Biarkan sajalah anak mu itu bermain, sayang. Lagian ada Ran yang pastinya akan menjaga Ara," bujuk Arion. Dia kasian melihat Ara tantrum begitu.

"Bener mah, Ran pasti bakalan jagain Ara. Mama tenang aja, gausah khawatir, Queen nya kita bakalan Ran jagain sebaik mungkin," kata Gibran meyakinkan Anin.

Namun, itu semua sia sia. Anin tetaplah seorang ibu yang tidak mau anak perempuan satu satunya sering keluar malam. Meskipun bersama abang nya, dan main bersama orang yang dirinya kenal, tetap saja rasa khawatirnya berhasil mendominasi.

"Kalo kata mama enggak, ya enggak," ucap mutlak sang singa betina.

Yang lain langsung pasrah, mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Biarkan saja si Ara nangis sampe matanya bengkak, gak bakalan ada yang bisa ngebujuk Anin.

Mahesa berdehem membuat Gibran menoleh, dia membisikkan sesuatu membuat adiknya langsung tersenyum senang. Baiklah jika tidak di izinkan ke luar, bisakan di lakukan disini?

Arion mendekati putrinya yang masih saja terlentang di atas karpet, dia menggendong nya lalu mengecup mata merah itu. "Udah jangan nangis, kamu jelek kalo nangis."

"Ish! Papa mah gitu, gak sayang aku," kata Ara merajuk. Arion terkekeh lalu kembali menciumi Ara dengan gemas.

"Sini sama mama duduk," Anin merentangkan tangannya yang langsung di sambut hangat oleh Ara. Semarah apapun dia kepada Anin, itu tidak akan berangsur lama.

"Gimana? Udah?" Tanya Mahesa. Gibran berhenti mengutak-atik ponselnya, "beres, tinggal nunggu."

Ara kini sedang di tenangkan oleh Anin, gadis itu lahap memakan kue lapis pemberian si Shaka tadi siang. Arion kembali fokus pada layar laptop, sedangkan Mahesa dan Gibran bermain game online.

Di tengah keheningan yang melanda itu, suara gaduh dari arah luar membuat penghuni rumah sedikit terganggu. Suara ribut, grusak grusuk, serta sepertinya ada banyak motor yang berhenti di depan sana.

"Bi, bisa tolong cek ke depan, ada apa disana? Kenapa ribut sekali?" Instruksi Anin kepada bi Nai yang kebetulan hendak membuang sampah ke depan. Bi Nai mengangguk lalu berjalan ke arah pintu utama.

"Siapa si, mah? Rame banget kaya pasar malem," celetuk Ara. Sepertinya gadis itu juga sedikit terganggu.

"Gatau mama juga, kita tunggu bi Nai ya sayang." Ara mengangguk sebagai jawaban.

"Udah dateng ya?" Tanya Mahesa tersenyum ke arah Gibran. Cowok itu bukannya tersenyum malah sedang cemberut. Seharusnya mereka tidak gaduh seperti ini, dasar kutil onta.

Bi Nai membuka pintu dan betapa terkejutnya dia melihat ada banyak remaja yang tengah... Tiduran di lantai?

"Ya ampun kalian teh lagi pada ngapain atuh? Mau tidur ya? Ke dalem aja atuh, disini mah dingin," kata bi Nai.

Sardan yang kini tengah menanggung beban pun hanya tersenyum manis, sangat manis sampai membuat bi Nai bergidik.

Sardan, Laskar, Azmi, Adam, Azril, Danu, Ade, dan Kavin. Ke 8 remaja itu kini bukan tengah tiduran di lantai, namun tengah saling menindih.

Jadi, tadi saat mereka hendak mengetuk pintu utama rumah Gibran, Sardan tersandung sesuatu membuat dirinya terjatuh. Karna Laskar ada di belakangnya, otomatis dia juga ikut tersandung. Begitu sampai di akhir ada Kavin yang paling atas menindih para sahabatnya.

Posisi ini sangat menguntungkan bagi si buaya, namun sangat merugikan bagi si mantan buaya. Bayangkan, Sardan paling bawah, menahan beban yang tidak bisa di ucapkan lagi. Gabisa berword word.

Sedangkan Varel dan Kaisar tengah santai bersandar pada tiang, mereka sama sekali tidak menolong. Biarkan saja, mereka tidak mau ikut campur.

"Woi lo semua bisa bangun kaga sih?! Ini berat anjir!" Teriak Sardan.

"Ya ini si Kavin nya bangun dulu kek, gue gabisa gerak juga pea," sahut Azam.

"Bangun gak lo, Vin?! Gue bogem lama lama," geram Azril. Ayoklah, badan nya sudah remuk.

Karna tidak tega dengan wajah melas milik sahabat nya, Kavin bangkit lalu menolong satu persatu remaja itu. Mereka akhirnya bisa bernafas lega. Meskipun begitu, kini punggung, kaki, tangan dan juga leher mereka sepertinya sudah pada geser.

"Ya Allah aing encok yakin," ucap Sardan memegang pinggangnya.

Bi Nai yang tidak tahu harus apa langsung mengajak remaja remaja itu untuk masuk ke dalam. Daripada di biarkan di luar, mereka akan gaduh kembali. Gaenak di denger tetangga.

"ASSALAMUALAIKUM WASAP PARA PENGHUNI RUMAH!" Salam Ade. Sepertinya cowok itu langsung lupa akan rasa sakit di pinggang saat masuk kedalam rumah.

"Nah itu dia mereka," celetuk Gibran.

Ini memang rencana cowok itu untuk mengajak para sahabatnya main di sini. Awalnya Mahesa yang mengusulkan, kalau tidak di izinkan keluar oleh Anin, kenapa tidak bermain di sini saja? Toh mereka juga pasti tidak akan menolak.

Gibran awalnya ragu, dia tidak mau menyusahkan para sahabatnya, namun Mahesa meyakinkan dan membujuk agar Gibran membicarakan hal ini terlebih dahulu. Dia pun bertukar pendapat dengan yang lain lewat ponsel.

Jawaban tak terduga Gibran dapatkan dari para sahabatnya. Mereka mau dan sangat bersemangat bermain di rumahnya. Mereka akan batalkan ini semua jika tidak ada Ara, mangkanya mereka rela malem malem ke rumah Gibran. Demi apa? Demi Ara.

"Heh! Kalian ngapain disini?" Tanya Ara heran.

"Main lahh!" Kompak para remaja itu, kecuali si dua kutub tentunya.

"Ohh jadi ga di bolehin keluar malah bawa pasukan kesini, pinter ya kamu," gemas Anin mengunyel-ngunyel pipi putrinya.

"Aduh aduh mah! Bukan Ara yang manggil mereka, Ara kan daritadi ga pegang hp," ucap Ara.

"Iya juga, terus siapa?" Arah mata Anin langsung tertuju pada anak tengah nya. Gibran yang di tatap seperti itu langsung cengengesan, dia menyengir seraya mengangkat jari tengah dan telunjuk nya.

"Malam mama, papa, bang," sapa Azril ramah. Dia menyalami punggung tangan Anin dan Arion di ikuti yang lain. Masya Allah tabakarallah anak muda yang Sholeh.

"Malam juga," balas Arion.

"Bolehkan kita main disini, pah? Kan katanya Ara gaboleh keluar malem, jadi kita aja yang main kesini," ucap Danu mewakili.

"Boleh, silahkan saja. Papa gak mempermasalahkan itu. Tapi kalian udah pada izin belum sama orang tua di rumah?" Tanya Arion balik.

"UDAH, PAH!!" Kompak mereka dengan semangat.

"Ekhem, kalian ga izin sama mama?" Tanya Anin berdehem singkat. Ara ketar ketir saat itu juga, dia takut mama nya akan mengusir para pemuda ini. Dia kan mau Mabar.

"Eh? Emm, mah kita di izinin kan main disini? Mau ajak Queen nya mamah main epep," ucap Azril dengan sangat lembut. Saking lembutnya membuat yang lain bergidik ngeri.

"Ati ati lo, Az. Itu papah ion matanya udah mau ngeluarin laser," canda Ade.

"Iya boleh dong! Mama seneng kalo kalian kumpul kayak gini, mama bikinin cemilan mau?"

Ara bernafas lega saat itu juga, dia kira Anin akan melarang. Taunya malah seneng, sampe mau di bikinin cemilan juga.

"Apa aja kita mah, apapun di makan," ujar Kavin.

"Yeuu lo mah pemakan segalanya," timpal Azam membuat Kavin mendelik malas. Ikut ikut saja kutu kupret itu.

"Yasudah kalian ngobrol ngobrol dulu, mama ke dapur sebentar. Pah, ayo ikut bantuin mama." Anin langsung menggeret Arion tanpa persetujuan dari suaminya. Dia kan mau join perkumpulan remaja ini, gini gini jiwa muda Arion masih segar.

"Hay! Ketemu lagi kita, Ra," sapa sumringah Sardan. Ara menaikkan jari tengahnya untuk merespon. Dan itu sukses mengundang gelak tawa dari yang lain.

"Gak salah lo ngusulin buat kita yang kesini, Gib, jadi bisa makan gratis," kata Azmi. Cowok itu kini sudah duduk di samping Laskar.

"Bukan ide gue sebenernya. Ini ide bang Esa, kasian dia liat si Ara nangis kejer cuman gara gara gak di izinin main sama—anjing kepala gue!"

Ucapan Gibran terpotong karna Ara sudah lebih dulu melayangkan bantal ke arah cowok itu. Bisa bisanya dia membongkar aibnya, harus jaga image ini.

"Lo nangis—"

"Lo diem atau gue usir," ancam Ara sebelum Ade menyelesaikan perkataannya.

"Yaudah lah gas aja Mabar, nanti keburu malem," usul Laskar yang sudah tidak sabar.

"Okelah gaskeun!" Sahut Azmi.

"JOIN GUEE!"

"GAUSAH TERIAK ARA!" Tegur Mahesa. Namun dirinya juga teriak, gaada bedanya. Yah begitulah, namanya juga adik Kaka.

"BIARIN!"

Varel yang sedari tadi sudah tidak bisa menahan gejolak di dalam hatinya itu langsung menggeser posisi Kavin yang berada tepat di samping Ara. Cowok itu mendaratkan kepalanya di pundak Ara seperti biasa.

"Izin pinjem adek nya bang," ucap Varel tertuju untuk Mahesa. Cowok itu hanya tersenyum melihat tingkah remaja yang berada di samping adik nya. Izin kok pas udah nempel gitu.

"Iya pake aja, sekalian bawa pulang."

"Belum halal."

Yang lain langsung bersorak mendengar ucapan Varel yang entah dia sadar atau tidak saat mengucapkan nya, karna anak itu sekarang sudah memejamkan mata. Hobi si Varel kayaknya tidur di pundak Ara deh.

"Kutub cair ini mah," kata Ade yang masih senyum senyum tidak jelas.

"Jakarta panas mungkin, jadinya cair," timpal Kavin. Cowok itu sedikit kesal karna Varel yang menggesernya secara tiba-tiba, hampir aja kejengkang.

"Login buru ah elah malah pada bahas cair cair," kesal Ara. Gadis itu tidak mempermasalahkan Varel yang sudah nemplok, biarkan saja asal tidak mengganggunya.

"Iya nyai ini mau login, sabar elah," sahut Sardan.

Setelah semuanya masuk ke lobi yang Ara buat, para anak remaja itu langsung tanjab gas untuk adu skill milik mereka masing-masing. Posisinya pun sekarang sudah tidak beraturan. Mahesa yang merasa tidak mengerti langsung mengambil laptop milik Arion guna mengusir rasa gabut nya.

Varel ingin join, tapi kata Ara sudah tidak muat. Apanya yang tidak muat? Varel tidak mengerti. Ah baiklah, dirinya akan bermain game sendiri saja.

Kepala cowok itu masih setia menempel pada pundak Ara. Sekarang fokus Varel beralih pada ponselnya, jika terus menatap gadis di sampingnya bisa bisa si Varel mimisan di tempat.

Suasana berubah menjadi ricuh, banyak umpatan serta teriakan yang mengisi ruang keluarga itu. Ara, Gibran, Kavin, Ade dan Danu yang berada pada satu kubu duduk di atas sofa. Sedangkan Sardan, Azril, Azmi, Adam dan Laskar berada di bawah seperti biasa.

Mereka sangat asik bermain. Tak di sangka skill anak binjay sekarang ada peningkatan, Ara yang biasanya langsung bisa mengalahkan mereka namun saat ini sedikit kesusahan. Bahkan Kavin hampir saja membanting ponsel mahalnya itu karna kena tembak oleh Sardan.

Sedangkan disisi lain, seperti biasa Kaisar anteng duduk manis bersama Mahesa. Entah apa yang kedua nya lakukan tapi sepertinya sedang menonton lewat laptop milik Arion. Tapi, tunggu dulu, kenapa bisa keduanya akrab? Ah biarlah, anak anak sedang asik menonton.

Varel? Ya bocah itu masih setia menempel pada induknya. Dia tidak terganggu meskipun Ara beberapa kali berteriak dan mengumpat, bagi Varel itu seperti lantunan lagu.

Anin datang dari arah dapur bersama Arion dan juga bi Nai, ke 3 nya masing-masing membawa nampan yang berisi makanan ringan dan jus alpukat madu. Itu kesukaan Ara.

Di hidangkan lah cemilan itu di atas meja. Anin menggeleng melihat para anak muda yang sangat semangat bermain game, sebenarnya apa yang menarik dari game? Anin juga penasaran. Namun wanita itu lebih memilih menghampiri Arion yang sudah duduk manis di salah satu sofa yang masih kosong.

"Hentikan permainan mereka. Makanan nya harus di makan. Sepertinya mereka tidak menyadari kita membawa makanan, ya? Se fokus itu pada game? Haduhh anak muda jaman sekarang," ucap Anin bersandar pada pundak suaminya.

"Biarlah, kita tunggu sampai mereka selesai. Game itu pasti ada ujungnya, mereka pasti juga akan lapar. Kamu tidak usah khawatir, anak jaman sekarang memang seperti itu. Ara juga jika suka terfokus pada Spongebob dia bahkan melupakan semuanya," Arion terkekeh kecil di akhir kata.

"Yah kamu benar. Ara akan lupa jika sudah dengan Ling-ling juga. Ngomong ngomong Ling-ling, kemana dia? Aku belum melihatnya," tanya Anin saat dia belum melihat hewan berbulu itu.

"Sudah pasti ada di atas kulkas, dimana lagi?" Jawab Arion yang sudah hafal tempat nongkrong si Ling-ling.

Entahlah, kucing itu senang sekali di atas kulkas. Dan juga, pasti selalu ada boneka ikan pemberian dari Ara yang menemani nya.

"YEAYYYY MENANG!!"

"WUUUU BOT LU DASAR BOT!"

"BEDA 3 DOANG ANJIR AH DAHLAH!"

"YAUDAH SI WIR KALAH MAH KALAH AJA!"

"BEDA TIPIS!"

"SAMA AJA KALAH!"

Akhirnya yang di tunggu tunggu. Mereka sudah menyelesaikan game tembak tembakan tersebut. Dan ya, kubu Ara yang pastinya selalu menang. Mereka ber 5 bersorak dan langsung meledek kubu Azril habis habisan. Meskipun beda 3, tetap saja kubu Ara pemenang nya.

Seperti biasa, yang tersulut emosi hanya Azril seorang. Yang lainnya hanya tersenyum tipis, mereka kalah namun ada rasa senang bisa membuat satu gadis di antara para lelaki itu tersenyum bahagia.

"Tuh gue aneh sama lo pada, kalah kok malah senyum senyum? Kaya si Azril noh tantrum," celetuk Ara.

"Gapapa, namanya juga permainan," jawab Laskar.

"Kapan kapan main lagi ya, Ra?" Tanya Azmi.

"Widih nantangin lagi nih. Boleh lah atur aja waktunya," jawab Ara.

Azril sedari tadi menahan rasa kesal karna terus di ledek oleh teman temannya. Dia memukul satu persatu para remaja yang sangat mengesalkan itu menggunakan bantal.

"Cieee ada yang kalah nih."

"Aduh di headsot sama si Ara gimana rasanya, bang?"

"Kena kepala tuh."

"Ututu dede nya ngambek nih."

"Berapa berapa sih?"

"Sepuluh, tujuh."

"BEDA 3 DOANG!" Murka Azril.

"Tetep kita yang menang, wlee."

Untuk saat ini Azril masih bisa bersabar. Ayolah, dirinya sebagai bapak tiri dari remaja remaja ini sudah tidak ada harga dirinya lagi. Anjlok sudah di injak injak anaknya sendiri. Dasar laknat.

"Sudah sudah jangan ribut. Ini ayo dimakan cemilan nya, kalian pasti pada lapar," ucap Anin.

"Aduh makasih ya mamah tercinta," kata Kavin dengan senyuman mautnya.

"Iya sama sama, Kavin."

"Esa, kamu lagi liat apa sama Kai? Daritadi anteng banget," tanya Anin kepada anak sulung nya yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara. Dan ya, Kaisar sepertinya sangat menyukai tontonan tersebut.

"Liat Nadia omara, mah," jawab Mahesa. Oh pantas saja, ternyata lagi nonton si wawak.

"Gabung sini makan dulu, kamu juga Kai jangan sendiri terus, sesekali kamu juga harus berinteraksi ya? Kadang kadang mama gak sadar kalo kamu ada disini."

"Anjir, saking senyap nya si Kai, mama, jadi anggep tu bocah transparan," celetuk Ade tidak ada dosa.

"Heh! Di bogem si Kaisar mampus lo," timpal Danu sedikit menoyor kepala sahabatnya itu.

"Iya nanti, ma," jawab Mahesa. Kaisar hanya mengangguk lalu kembali fokus pada layar laptop.

"Kai emang gitu, ma, sukanya menyendiri aja. Kadang dia nimbrung kalo di rasa penting. Varel juga gitu," kata Azril menjelaskan.

Varel yang sedang santai memakan piscok buatan Anin langsung menoleh saat namanya di lantunkan. "Apa?" Tanya nya dengan mulut yang asik mengunyah.

"Kaga, itu tadi kuda poni nyusruk di sawah," kilah Azril. Malas dia kalo si Varel ikut ikutan, pasti ga nyambung.

"Haha, baiklah. Kayaknya emang sifat kalian berbeda beda ya? Nikmati yang ada mama mau duluan ke kamar sama papa. Besok harus ke butik pagi-pagi," pamit Anin.

"Ma, disini lebih lama. Ran, mau disuapin aja ah, males ngambil nya," kata Gibran membuka suara. Cowok itu sedang tiduran di atas sofa, tidak sopan memang saat yang lain berada di bawah sedangkan dirinya di atas. Tapi, baiklah tidak apa-apa.

"Gausah manja, Ran. Gak malu kamu sama temen-temen mu ini? Dasar udah bangkotan suka nya di suapin," sahut Arion.

"Dih?! Papa gausah ikut ikutan ya. Ini urusan pribadi, hak Ran mau manja kapan aja sama mama," jawab Gibran kesal.

"Udah kamu minta suapin aja itu ke si Ade, mama sama papa mau tidur duluan, nanti kalo udah selesai panggil bi Nai aja," ucap Arion dan pria itu langsung menarik istrinya menuju kamar. Menghiraukan omelan Gibran yang tidak rela mama nya di bawa oleh sang papa. Dasar anak mama.

"Aki aki dasar," gumam Gibran. Ara yang mendengar itu langsung menggaplok abang nya. Posisi Ara berada tepat di bawah Gibran dengan tubuh yang menyender pada sofa, jadi dengan jelas Ara bisa mendengar celetukan abang nya. "Aki aki gitu bapak lo, pea."

"Iya iya, maaf. Suapin dong, Ra, gue males nih ambil makanan nya," kata Gibran memainkan rambut Ara yang sedikit berantakan.

"Sini sama gue aja, Gib, tadi papah ion kan nyuruh nya lo minta ke gue. Sini sini gue suapin, aaaaa buka mulut lo," Ade mengambil pisang goreng lalu ia arahkan ke mulut Gibran membuat cowok itu langsung bangkit.

"Hih apaan?! Kaga kaga, ogah gue," katanya bergidik ngeri. Lantas itu langsung menjadi bahan nistaan yang lainnya.

"Manja nya anak mama ini, ututututu," goda Sardan diiringi dengan tawa.

"Jangan gitu, Dan, kasian anak curut nya nanti ngambek," ledek Azam. Cowok itu juga masih tergelak, tidak menyangka jika Gibran bisa manja.

"Nistain aja gue terossss," frustasi Gibran.

Mahesa dan Kaisar menyelesaikan tontonan mereka lalu langsung bergabung dengan yang lain. Si sulung melirik adik bungsunya yang tengah menyuapi Varel dengan telaten. Bahkan minum pun Ara yang mengambilnya.

Apakah adiknya itu mulai membuka hatinya kembali? Apakah Ara sudah bisa menerima seseorang di hatinya lagi? Di dalam hati Mahesa terbesit rasa khawatir terhadap Ara, bagaimana jika dia sudah jatuh hati maka yang dulu akan terulang kembali? Mahesa hanya takut.

"Varel bukan anak brengsek." Seakan paham tatapan mata Mahesa terhadap kedua sejoli itu Kaisar berucap demikian. Mahesa diam tidak menanggapi. Cowok itu kembali fokus pada makanan nya.

"Ara, makan lah. Kamu juga harus mengisi perut, jangan urusi orang lain, dahulukan dirimu dulu. Abang selesai, kalian jangan terlalu malam, abang pamit ke kamar."

Para remaja itu langsung menatap Mahesa dengan penuh tanya. Ada apa dengan pemuda itu? Apakah suasana hatinya sedikit buruk?

"Bang Esa kenapa, dek?" Tanya Gibran.

"Gatau gue, dia badmood kali," jawab Ara, mulutnya terbuka menerima suapan dari Varel.

Disini yang lainnya membiarkan Ara dan Varel berinteraksi sesuka mereka. Dari awal, semuanya seakan tutup mata melihat keromantisan diantara keduanya. Lebih baik diam dan menikmati daripada ricuh menggoda sejoli itu lalu berakhir di amuk si Ara.

Gibran juga tidak mempermasalahkan Varel yang merebut perhatian Ara, biasanya gadis itu akan selalu memberikan perhatian lebih kepadanya namun sekarang malah kepada sahabat nya. Gibran sih it's oke, dia fine fine aja. Tidak ada rasa khawatir atau semacamnya seperti pemikiran Mahesa. Mungkin cowok itu hanya khawatir dan tidak mau adiknya tersakiti kembali. Tapi, tidak ada salahnya Ara kembali membuka pintu hatinya dan menerima orang baru bukan? 

Mereka bingung, kenapa Ara tidak tantrum jika di tempeli oleh Varel. Biasanya udah teriak teriak kaya menang uang kaget. Yah, mungkin gadis itu sudah terbiasa. Tapi cuy, ini si Ara mau nyuapin Varel lohh, bahkan di wajahnya gaada komuk kesel, gedek, atau semacamnya. Kaya real murni keinginan Ara suapin si Varel.

Pake pelet kali ya itu ketos?

Tapi biarlah, syukur syukur keduanya bisa langsung menyadari perasaan mereka masing-masing.

Ara pamit untuk mengangkat telpon dari seseorang. Dia pergi ke depan, jika di dalam takut ada yang mendengarkan. Soalnya ini yang nelpon kakeknya.

"Hallo, apa kabar cucuku tersayang."

"Hallo, kek. Bella baik."

"Minggu depan ada lomba pidato sama puisi kan? Ikuti itu, jadikan dirimu juara. 4 Minggu lagi kakek akan pulang, yang harus kau sodorkan kepada ku adalah piala kemenangan mu. Mengerti?"

"I-iya, kek. Ara—"

"Bella! Not Ara."

"Iya, Bella ngerti."

"Good gril."

Sambungan telpon langsung terputus. Ara mendudukkan dirinya di teras rumah yang dingin, gadis itu merenung. Pikirannya kali ini kacau. Harus ya? Harus dirinya? Kenapa tidak yang lain saja?

Gadis itu menunduk, merasa air mata akan jatuh lantas dirinya langsung mendongak. Tidak, dia tidak boleh terlihat lemah, seorang Ara tidak boleh cengeng.

"Cucu mu bukan aku saja bukan? Tapi kenapa semuanya kau letakkan kepada ku?" Gumam gadis itu. Suaranya samar. Hampir hilang.

Hai para makhluk tuhan, vote yok bang

————————————————

Tertanda milik
R༊

Continue Reading

You'll Also Like

6.5K 1.6K 15
Tidak ada yang tau mengenai garis takdir yang sudah di tentukan oleh Tuhan.Bulan seorang wanita karir yang sampai saat ini belum menikah juga semenj...
803K 22.5K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
878K 6.2K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
2K 94 5
Theresia Vania William anak dari ke 2 dari keluarga William yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA . Alvino Kenzo James Laki laki coolboy yang ding...