The Future Diaries Of Audrey

By Chocomellow26

1.5K 80 0

Audrey sangat mencintai romantisme. Dia penulis. Dan impiannya adalah mendapatkan kesempatan merasakan romant... More

Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Satu
Bab Dua Puluh Dua
Bab Dua Puluh Tiga
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam - END

Bab Dua Puluh Empat

18 1 0
By Chocomellow26

Jangan lupa vote and comment nya ya

Terima kasih

###

Arkan

I thought love was Shakespearean (Julia Michaels).

***

Arkan terbangun karena rasa kaku di lengannya. Ia mendapati tubuh hangat Audrey tepat di sebelahnya. Bergelung mencari kehangatan. Arkan menatap langit kamarnya. Masih gelap, mungkin subuh.

Aku mencintaimu, Arkan.

Aku mencintaimu, Arkan.

Aku mencintaimu, Arkan.

Kalimat yang sama, yang berputar di kepalanya sejak kata-kata itu meluncur dari mulut Audrey. Apa Audrey tahu, bagaimana paniknya ia saat mendengar pengakuan itu. Arkan merasakan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia merasa cemas, khawatir dan penuh kebingungan. Arkan sangat mengenal Audrey, wanita itu tulus. Menyadari ketulusannya tidak membuatnya lebih takut. Ia tak berfikir tidur akan membuatnya lebih baik, jadi Arkan turun dengan hati-hati dari tempat tidur, dan melangkah ke dapur.

Arkan duduk di depan meja bar. Di atas meja masih tersisa dua mug sisa coklat panas, saksi kegiatan mereka semalam. Arkan menarik nafas resah. Dari jendela dapur, Arkan bisa melihat lampu taman berpendar diantara kabut pagi. Biasanya Arkan akan menyambut akhir pekan dengan melakukan berbagai kegiatan bersama Audrey. Mereka jogging, berbelanja, atau menonton wanita itu memasak di dapur.

Ia sadar, semestinya ia menjelaskan segala yang sedang terjadi pada Audrey. Tapi ia tak sanggup. Dia takut akan membuat Audrey kecewa dan membencinya. Tapi ia juga bisa memberikan apa yang diinginkan wanita itu.

Apa pun itu.

Dengan perasaan terperangkap oleh dilema yang ia buat sendiri, Arkan melangkah membuka pintu belakang. Udara menusuk kulitnya, membuat tubuhnya lebih segar, tapi pikirannya tetap terasa kacau.

Arkan mengerti perasaan Audrey. Ia tak menyalahkan wanita itu menangkap sinyal yang salah dari hubungan mereka dan mengartikan apa yang terjadi diantara mereka lebih dari uji coba kencan. Arkan tak merasa yang mereka lakukan semalam hanya percintaan semalam. Tidak, tentu saja itu lebih. Ia menikmatinya dan itu malam yang berarti baginya. Namun hanya sampai disitu, Arkan tak bisa menafsirkan apa yang ia rasakan sebagai perasaan suka, apa lagi cinta. Gagasan itu mengusiknya dari pada yang seharusnya.

Bagi Arkan, Audrey penting. Audrey membuatnya nyaman, hingga ditahap ia bisa menceritaka semua hal yang tak pernah ia ceritakan pada orang lain.

Lalu apa yang akan terjadi setelah itu?

Perasaan nyaman bisa hilang, pudar, dan hilang seiring berjalannya waktu. Arkan takut. Dia tahu Audrey mencintainya dengan tulus. Dan bobot ketulusan dan hati yang Audrey serahkan padanya terasa menyeramkan. Tanggung jawab untuk menerima hati itu membuatnya ketakutan. Jika hubungan mereka hancur, itu artinya dia akan membuat Audrey terluka. Lebih terluka dari pada apa yang ia lakukan malam ini. Memangnya pengalaman apa yang ia punya untuk menjamin hubungan mereka akan baik-baik saja?

Tidak ada.

Dia tak punya sedikitpun pengalaman yang bagus sebagai soorang laki-laki. Pengalaman satu-satunya menjalin hubungan berakhir lebih tragis dari pada kisah romeo dan juliet. Arkan menatap udara kosong, merasa dirinya menjadi bajingan berhati dingin.

***

Audrey bangun dengan perasaan sesak. Ia kelelahan karena hampir tak tidur semalam memikirkan apa yang akan ia lakukan setelah pengakuannya semalam. Sepertinya keberanian yang terkumpul di hatinya lenyap saat Arkan memilih diam dan tak bersuara. Seluruh keintiman yang mereka bagi hingga hari ini menguap seperti embun pagi. Setiap denyar dan kenikmatan yang tersisa dari kegiatan mereka semalam seolah mengolok-oloknya. Audrey tak ingin menemui Arkan sekarang. Ia tak sanggup menerima kenyataan cintanya ditolak. Audrey makin bergelung di dalam selimut, menatap kamar Arkan yang gelap diselimuti udara dingin. Ia menatap tempat dimana Arkan tertidur semalam, dan itu kosong. Artinya Arkan sudah lama bangun. Mungkin laki-laki itu juga tak ingin melihatnya lagi.

Memikirkan itu, dada Audrey terasa pedih. Ia mulai menangis dan memukul dadanya yang sesak dengan segala emosi yang sudah ia tahan sejak semalam. Ia terisak dan meratap. Cukup lama Audrey berusaha menghentikan tangisannya.

Jangan menangis, Audrey. Kamu sudah melakukan hal yang benar.

Ia sudah berjanji tak akan menyakiti dirinya sendiri. Bagaimana pun bentuknya. Audrey mengambil nafas dalam, dan menghembuskannya perlahan. Dia bangkit, dan merapikan tempat tidur. Tak ada tanda kehadiran Arkan dirumah. Itu artinya pria itu ingin menghindarinya. Audrey menutup matanya, menguatkan diri untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Walaupun Arkan menghindarinya sekarang, ia masih perlu memperjelas apa yang terjadi. Mereka butuh waktu untuk menyesuaikan diri, dan menata kembali pikiran mereka.

Audrey akhirnya melangkah ke paviliun, mandi dan bersiap memasak sarapan untuk mereka berdua. Dia tak tahu Arkan pergi kemana, tapi laki-laki itu tak mungkin pergi untuk waktu yang lama. Ketika Audrey sibuk di dapur, ia mendengar suara pintu gerbang depan terbuka. Dan tak berapa lama, Arkan muncul dengan pakaian olah raganya. Bersimbah keringat, masih terlihat tampan dan segar seperti biasa. Seakan apa yang terjadi pada Audrey tak mempengaruhinya sedikit pun.

Audrey menghitung satu hingga sepuluh, sebelum berbalik dan tersenyum seperti biasa, "pagi, kau jogging?" sapa Audrey dengan senyum. Senyum yang biasa ia perlihatkan. Arkan sadar Audrey memaksakan senyum yang rapuh itu padanya.

Arkan menatap Audrey, dia bisa melihat mata sembab wanita itu. Audrey menangis. Dan itu karena dirinya. Arkan mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras dan tenggerokannya terasa kering seolah menelan gumpalan pasir. Dadanya bergemuruh. Arkan ingin memeluk Audey, tapi ia juga ingin memperjelas hubungan mereka.

Audrey menatap Arkan. Kehangatan, keintiman, kedekatan Arkan lenyap. Dia bisa melihat laki-laki itu ragu dan kecanggungan semakin mengganggunya.

"Aku mandi dulu," Arkan berbalik, melangkah ke kamarnya. Reaksi Arkan terasa nyaris sopan. Audrey menggenggam tangannya di dada, hatinya terasa mencelus seperti lift yang turun karena kesalahan teknis. Itu terasa begitu cepat dan mengguncangnya. Ia merasa berada di ketinggian tapi terjatuh tanpa sempat berpegangan.

Audrey gamang.

Sepertinya Arkan menganggap apa yang terjadi pada mereka tak lebih dari cinta satu malam. Laki-laki itu penuh luka. Hubungan yang pernah ia miliki hancur dan ia tak memiliki kepercayaan diri untuk membangun hubungan baru. Audrey sangat memahami rasa takut Arkan. Ia merasa tak cocok untuk menjalin hubungan jangka panjang. Ia merasa takut Audrey akan tersakiti, tapi Arkan tak pernah tahu bahwa yang membuat Audrey merasa lebih tersakiti adalah cara laki-laki itu menolaknya tanpa memberikannya sedikitpun kesempatan.

Arkan memotongnya tanpa memberinya kesempatan untuk mencoba meyakinkan bahwa cintanya dan cintanya Renata berbeda. Dia tak ingin Arkan merasa terbelenggu dalam sebuah hubungan. Dia tak ingin Arkan menyalahkan diri sendiri dan merasa bertanggung jawab atas dirinya. Audrey bukan wanita polos yang tak tahu konsekuensi tindakannya. Tentu saja ia sadar apa yang akan terjadi, tapi bukan berarti ia ingin Arkan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan. Bukan seperti itu hubungan yang ia inginkan. Dia ingin hubungan dengan perasaan, tindakan dan komitmen yang seimbang.

Itulah yang Audrey inginkan.

Tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang? Ia tak bisa memaksakan Arkan mencintainya. Bukan begitu cara kerjanya. Jika Arkan tak pernah merasakan ketertarikan lebih padanya. Jika selama ini ia yang salah paham dengan kedekatan mereka. Maka sudah waktunya untuk dia berhenti. Ia menolak membangun hubungan tanpa fondasi yang kuat. Perasaannya pada Arkan tidaklah penting. Tak penting seberapa besar rasa cintanya pada Arkan jika itu hanya membuat mereka melukai satu sama lain.

Seumur hidup, ia menginginkan cinta. Mencintai dan dicintai. Saat ia mendapatkannya, ia menemukan proses itu tak semudah yang ia impikan. Rasa sakitnya sungguh tak tertahankan.

Arkan keluar dari kamarnya begitu Audrey selesai memasak. Dia sudah menaruh menu sarapan mereka di atas meja. Namun, Audrey ragu untuk bergabung dengan Arkan.

Arkan duduk di depan meja bar. Ia menatap Audrey yang masih sibuk membersihkan dapur. "Apa yang terjadi semalam –" Arkan memperhatikan Audrey berbalik dan menatap matanya, "– aku merasa hubungan kita sudah bergeser kearah yang salah. Aku tak bisa memulai hubungan serius denganmu, Audrey. Kau wanita baik. Aku menyukaimu. Dan aku tak ingin membuatmu terluka lebih dari pada ini. Aku takut jika kita menjalin hubungan dan aku berakhir mengacaukannya. Kau akan terluka lebih parah dari ini."

Audrey menatap Arkan dengan frustasi. Ia sadar pria itu tak berani untuk menjangkaunya karena masa lalunya. "Kau tahu apa yang membuatku lebih terluka lagi." Audrey menyugar rambutnya, dadanya sesak dengan emosi yang bergejolak. Audrey dilanda kengerian, "kau tak memberiku sedikit pun kesempatan, Arkan. Tidak, sedikit pun terpikirkan olehmu untuk memberiku kesempatan. Kau sadar kenapa aku mengatakan perasaanku semalam, alih-alih menyimpannya dan menghindari bentrokan seperti ini. Itu karena aku ingin memberikan kesempatan pada diriku, padamu, pada perasaan dan keitiman yang kita rasakan. Aku percaya apa yang kita rasakan lebih dari sekedar uji coba kencan. Aku tak pernah menyesal mengambil kesempatan uji coba yang kau tawarkan. Aku tahu betul konsekuensinya, dan aku menerima itu. Tapi aku kecewa karena kau tak memberiku kesepatan yang sama untuk rasa cintaku padamu. Kau mendorongku menjauh begitu mendengar pengakuanku."

Arkan kaget, dia merasa tercekat, "Kita baru kenal dua bulan Audrey, dan itu tak cukup untuk membuatku yakin aku laki-laki yang tepat untuk kau pertaruhkan hatimu. Hubunganku bertahun-tahun dengan Renata berakhir berantakan. Aku tak punya cukup keyakinan untuk hubungan kita."

Ia menatap Arkan dengan penuh kebingungan. Audrey merasakan kesedihan dan kekecewaan karena Arkan masih tidak mengerti dirinya. Begitu banyak yang ia ceritakan pada Arkan, dia berharap Arkan mengerti dirinya lebih banyak lagi. "Aku tak meminta hubungan sepihak Arkan. Aku tak pernah memaksamu untuk menerima cintaku. Benar aku mengutarakannya. Karena ku pikir akan ada kesempatan untuk hubungan kita. Tapi itu hanya pendapat sepihakku. Aku tak akan memaksamu untuk membalas perasaanku. Aku juga tak ingin kau merasa bersalah apalagi bertanggung jawab atas perasaanku. Emosi-emosi ku bukan bebanmu Arkan, itu tanggung jawabku. Aku tak ingin membuatmu merasa bersalah dan terbelenggu. Aku ingin hubungan yang bebas dan seimbang. Aku mengerti penjelasanmu." Oh, terserah. Sekalian saja ia mengatakan semuanya. Tak ada ruginya. Ia sudah mengatakan perasaannya pada Arkan ditengah hubungan percintaan mereka. Memangnya ia akan rugi apa lagi?

"Hubunganmu dengan Renata membuatmu takut untuk memulai lagi. Dan kau tak ingin membuatku terluka. Aku menghargai itu. Tapi kau harus tahu, hubunganmu dengan Renata diawali dengan keraguan. Kau berusaha meyakinkan diri, tapi gagal. Aku turut menyesal dengan itu. Tapi bukan berarti itu kesalahanmu, Renata juga punya andil dalam hubungan kalian. Kalian memiliki bobot kesalahan yang sama. Kau tak bisa hanya menyalahkan diri sendiri. Dan kau sudah berusaha untuk memperbaikinya. Lalu sekarang, denganku, kau menolak bahkan sebelum mencobanya. Kau menutup mata atas kedekatan dan kenyaman kita selama dua bulan ini. Aku tahu kau juga merasakannya. Perasaan yang membutakan ini. Alih-alih jujur dengan dirimu sendiri, kau malah mendorongku. Kau mendorongku menjauh sebelum aku bahkan melangkah. Dan itu lebih menyakitkan, Arkan."

Arkan menatap Audrey, ia tak punya gagasan apapun untuk meyakinkan Audrey bahwa mereka melangkah terlalu cepat, dia butuh waktu. Dia melihat gurat kesedihan dimata Audrey. Arkan seharusnya menghiburnya, tapi ia kesulitan melontarkan apa yang ada dipikirannya. "Perasaan bisa berubah kapan saja Audrey." Jelas Arkan perlahan, "kedekatan, keintiman, kenyamanan yang kita rasakan bisa jadi hanya sesaat. Kau baru mengenalku, dan aku baru mengenalmu. Ini baru awal, dan kita mungkin terbuai situasi dan keadaan. Ini baru pertama kali bagimu, begitu juga denganku. Aku menyukaimu, dan kau penting bagiku. Tapi aku takut mengambil keputusan yang salah. Kita bisa saja menangkap sinyal dan menyimpulkannya dengan salah. Ini terlalu cepat."

Alis Audrey berkerut dalam, "itukah yang kau pikirkan? Kau berfikir mungkin aku salah menyimpulkan perasaanku padamu? Aku mencintaimu dan aku tahu ini terlalu cepat. Tapi aku tak ingin berbohong tentang perasaanku. Hubungan kita memang singkat Arkan, tapi ini adalah hubungan paling jujur dan nyata yang pernah aku alami." Audrey tak mengira ia akan bisa setenang ini, "aku tak mungkin salah menafasirkan perasaanku sendiri, Arkan. Kita cocok, itu yang aku rasakan."

Arkan mengusap tengkuknya, gusar dengan semua percakapan mereka. "Aku mungkin akan merusaknya. Setiap hubungan yang aku jalani berakhir dengan cepat Audrey. Dengan Renata bahkan lebih tragis dan menyakitkan." Arkan medesah frustasi, "mari kita membahas ini setelah novelmu selesai."

Audrey mengharapkan Arkan mengatakan hal lain. Hatinya terasa diinjak-injak. Dan itu sudah cukup.

"Tidak, aku tahu kau tak akan merusaknya Arkan. Kau hanya takut untuk memulainya." Audrey menarik nafas, menatap Arkan cukup lama. Berharap laki-laki itu akan mengatakan sesuatu padanya. Lagi-lagi Arkan hanya terdiam. "Apa kau juga menyesal dengan yang terjadi semalam?"

Arkan mengerutkan wajahnya, sedih karena tahu Audrey bertanya seperti itu dipicu rasa kecewa padanya. "Tidak, aku tak pernah berfikir seperti itu." Arkan panik, ia turun dari kursi dan menatap Audrey. "Kau penting bagiku, dan apa yang terjadi bukan cinta satu malam Audrey. Itu sama berartinya bagiku. Tapi aku tak pernah berfikir apa yang terjadi karena aku mencintaimu."

Audrey menarik nafas, "aku mengerti." Kata Audrey dengan lembut. Dia memahami jalan pikiran Arkan. Inilah akhir dari segalanya. Dia menatap Arkan. "Apa kau bisa bersikap seolah tak terjadi apa pun setiap kita bertemu? Aku tidak bisa, aku tak bisa berpura pura baik-baik saja Arkan." Audrey melangkah, "Ku harap kita tak perlu bertemu lagi."

Arkan tampak terkejut, melihat Audrey melangkah melewatinya, Arkan menarik lengan Audrey, "Kamu mau kemana?"

"Pulang," Audrey melepaskan tangan Arkan dengan tegas, "Mbo Darmi akan datang lusa, ku harap kau baik-baik saja sampai saat itu."

"Kau ingin pergi sekarang?" Suara Arkan terdengar sedih. "Kau bilang kau mencintaiku,"

"Aku memang bilang mencintaimu Arkan, tapi kau tak menginginkannya. Tak ada lagi alasan untukku tetap dirumah ini. Uji coba kencan kita akan berakhir besok. Tak ada bedanya jika aku pergi hari ini atau besok."

"Tunggu," Arkan tampak terkejut, "Kau ingin mengakhirinya seperti ini? Bukan itu yang ingin aku lakukan. Aku masih ingin menemuimu –"

"Aku tak bisa, aku tak bisa berpura baik-baik saja dan terus bertemu denganmu Arkan. Aku tak ingin menyakiti diriku sendiri dengan membiarkan diriku semakin berangan-angan dan membuatmu semakin merasa berasalah karena tak membalas perasaanku. Aku tak akan menjadi orang yang tetap didekatmu, lalu berharap kau membalas cintaku suatu hari nanti. Aku tak ingin memperjuangkan cinta yang dari awal tak mungkin aku dapatkan."

Audre berbalik, dan Arkan sekali lagi menangkap tangannya. "Audrey –"

"Tak apa, sungguh." Audrey berhasil melepaskan tangan Arkan, dan tersenyum lemah. "Lebih baik seperti ini. Ini akhir yang jelas untuk kita berdua. Aku mengerti perasaanmu. Kau tak perlu menjelaskannya lagi. Kau tak bisa memaksa orang memiliki perasaan yang sama denganmu. Banyak hal yang terjadi selama dua bulan ini. Aku bersenang-senang denganmu. Dirumah ini. Itu cukup. Aku menyelesaikan tugasku, dan kau juga menyelesaikan tugasmu. Kau tak perlu merasa bersalah karena aku tak menyesalinya. Aku merasa menjadi Audrey yang baru setelah bertemu denganmu. Seharusnya aku berterima kasih karena kau menjagaku. Jadi mari ucapkan salam perpisahan disini, Arkan."

Audrey melangkah ke paviliun. Mengemasi semua barangnya. Pagi ini ia harus mengucapkan selamat tinggal pada Arkan. Dia memeluknya sesaat sebelum memasuki taksi. Dia pikir ia akan mati karena melepaskan Arkan. Tapi ia tidak mati, karena ia berhasil melepaskan diri dan masih disini. Hidup. Masih bernafas. Dengan susah payah.

***

Continue Reading

You'll Also Like

425 120 64
Judul : K.U.N Penulis : Gerimis Senja Bab : 257 Sinopsis : Berawal dari Agam, seorang murid baru yang mendapat tantangan dari Maxim untuk...
1.1M 16.5K 36
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.5M 270K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
473K 18.4K 200
#2 in poetry (3-7-18) #13 in poetry (11-05-18) #15 in poetry (9-10-18) 📍 follow dulu sebelum baca Yang lagi cari quotes buat update status, atau bua...