The Future Diaries Of Audrey

By Chocomellow26

1.5K 80 0

Audrey sangat mencintai romantisme. Dia penulis. Dan impiannya adalah mendapatkan kesempatan merasakan romant... More

Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Satu
Bab Dua Puluh Dua
Bab Dua Puluh Empat
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam - END

Bab Dua Puluh Tiga

18 1 0
By Chocomellow26

Jangan lupa vote and comment nya ya.

Terima kasih

###

Audrey

Our journey isn't perfect. But it's ours. And I'll stick with you till the end.

***

Arkan duduk di depan meja bar dapur. Laki-laki itu memperhatikan Audrey yang sedang membuat coklat panas yang sepertinya harus ia terima apapun alasannya. Mereka pulang ke rumah setelah ciuman yang getir dan pelukan hangat di dapur Eyang. Audrey menoleh, membawa dua mug coklat panas yang aromanya tentu membuatnya ingin langsung mencobanya.

"Aromanya enak." Arkan memperhatikan senyum Audrey atas komentarnya. Lesung pipinya semakin dalam saat ia menyodorkan mug itu pada Arkan.

"Cobalah, kau akan merasa lebih dari aroma yang enak." Perempuan itu duduk disebelahnya, menyesap minumannya sambil memperhatikan Arkan.

Arkan tak ragu dengan rasa percaya diri Audrey. Dia telah mencoba beragam macam makanan yang awalnya ia kira itu biasa, tapi bisa jadi luar biasa jika Audrey yang memasaknya. Bibi-bibinya juga menyukai brownis yang Audrey bawa saat makan malam. Buktinya, wanita itu langsung diseret ke dapur begitu makan malam selesai.

Arkan menikmati aroma coklat dengan campuran kayu manis. Kemudian menyesapnya sedikit demi sedikit. "Ini lebih pahit dari yang aku kira." Celoteh Arkan, "tapi rasanya creamy, kau mencampurkan apa kedalamnya?"

"Susu, dan heavy cream." Jawab Audrey, "aku memasukan dark coklat ke dalamnya, tanpa gula, makanya sedikit pahit." Audrey kembali menyesap coklat panasnya. "Tapi coklat yang ini lebih baik dari pada coklat belgia, harum kayu manisnya tak tertelan aroma coklatnya."

"Ini enak untuk menenangkan anak-anak yang menangis ditengah malam." Kekeh Arkan, "aku jadi ingat saat kecil, Emily sering menangis di tengah malam karena papa sering pulang terlambat."

"Benarkah? Ku kira Emily cukup dewasa dibandingkan teman-teman seusianya. Kecuali sifatnya yang selalu mem-fotokopi segala hal."

"Yah, aku juga cukup khawtir dengan sikapnya yang itu. Tapi dulu dia cukup cengeng. Jevan sering cerita Sonya sempat kewalahan. Aku juga sering melihat Emily menangis ketika acara keluarga."

"Itu benar-benar informasi yang tak terduga."

Arkan menatap Audrey, "kau tau apa yang lebih tak terduga?" Arkan menyesap lagi minumannya. Dia melihat Audrey menunggu dengan penuh perhitungan. "Aku menikmati makan malam hari ini." Aku Arkan, "tak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Bisa dibilang kehadiranku dalam acara keluarga sangat langka."

Audrey terdiam, dia juga menikmatinya. Tapi ada yang mengganjal setiap kali ia ingat bagaimana reaksi Arkan terhadap Renata. Dia hanya tak menyangka Arkan akan begitu terpengaruh oleh kedatangan Renata. Dan perasaan Arkan sungguh tak bisa ia baca.

"Aku juga." Audrey menggenggam erat mug nya. Rasa hangat yang menyebar dari tangannya meresap ke dalam tubuhnya. Membuatnya santai. Ia kembali memutar momen hangat keluarga Arkan, dan ia teringat makan malam keluarganya sendiri, saat keluarganya masih lengkap. Kenangan itu terasa utuh dan nyaman seperti malam ini. "Ini malam yang menyenangkan."

"Aku bisa melihat kau menikmatinya."

Audrey membelalakan matanya. "Apa terlihat jelas?"

Arkan mengangguk, dan ia tersenyum dengan mempesona. Satu detak jantung, satu detak jantung, dan itu berdetak dengan lebih kuat dibandingkan sebelumnya. "Kau tertawa lebih banyak malam ini."

Audrey tersipu, sedikit mengibaskan rambutnya, membuat gerakan yang tak akan membuatnya terlihat terganggu dengan senyum Arkan beberapa saat yang lalu.

"Canggung ku juga hilang ketika pertama kali mengobrol dengan bibi Julia. Dengan sekejap mata aku bisa berinteraksi dengan semua orang tanpa perlu takut." Lanjut Audrey, "Bibimu orang-orang yang–" Audrey berhenti untuk memilih padanan kata yang tepat, "–penuh semangat."

"Bibi Julia ibu rumah tangga, jadi ia punya energi yang terlalu banyak untuk disalurkan. Anak-anaknya juga sudah besar. Dua bibikku yang lain tertular semangatnya bibi Julia."

Audrey mengangguk setuju, Julia seperti pencerah suasana. Tapi dia tak mengerti kenapa Arkan sangat jarang ikut acara keluarga. Laki-laki itu akrab dengan semua keluarganya kecuali, Tomie dan Sonya. Saat Renata datang ke taman, Arkan seperti tak ingin berada di tempat yang sama dengan wanita itu. Renata gadis yang cantik. Dia ramah, tapi Audrey tak mengerti kenapa Arkan berusaha menjauh dari Renata. Apa mungkin karena putusnya hubungan mereka bukan dengan cara baik-baik?

Audrey meneyesap minumannya, melihat Arkan menatap undangan pernikahan Renata diatas meja bar. Laki-laki itu membukanya, dan mendesah sesaat sebelum meletakan undangan kembali.

"Kau akan pergi?" Audrey mengambil undangan itu, dan melihat tanggal yang tercantum disana tepat satu minggu lagi. Saat itu terjadi, dia sudah harus pergi dari rumah ini. Sisa waktu yang mereka janjikan tinggal beberapa hari lagi.

Arkan hanya diam, menggenggam erat mugnya, mencoba mencari ketenangan dari secangkir coklat panas. "Aku masih belum tahu. Aku hanya masih belum percaya ini terjadi."

Audrey menelan gumpalan nafasnya saat ia melihat Arkan menatap undangan itu dengan nanar. Mungkinkah dia menyesal karena meninggalkan Renata dan membiarkan perempuan itu beralih ke laki-laki lain? Jika itu yang terjadi, tidak ada tempat untuknya. Tidak, dari awal memang tidak ada tempat untuk Audrey. Perasaannya hanya cinta tak berbalas. Mereka hanya berkenalan dan dekat selama dua bulan. Dua bulan yang singkat, yang tentunya memiliki jangka waktu dan time limmit. Dua bulan yang terasa lebih nyata dari tahun-tahun yang pernah di jalaninya. Walaupun begitu, di sudut hatinya, Audrey masih berharap. Berharap dipukul keberuntungan. Bahwa apa yang selama ini mereka bagi juga berarti bagi Arkan.

"Kau menyesal soal Renata menikah?" Audrey bersyukur suaranya tidak bergetar.

"Tidak, aku tidak menyesal karena dia menikah. Aku menyesal karena membiarkannya meninggalkanku seperti itu." Arkan membantah tegas. Ia bisa melihat Arkan menatap undangan dengan warna hijau tua bercampur taburan emas itu dengan mata kosong. Undangan yang terkesan elegan dan mewah. Kedua alisnya berkerut dalam, "hanya saja aku merasa dikhianati. Setelah mengatakan aku sama dengan papaku, seperti mama dulu, dia tidak merasa bersalah dan tetap menghadiri acara keluarga. Tanpa sedikitpun mempertimbangkan bagaimana perasaanku. Audrey– " Arkan menatap Audrey, menatapnya dengan mata penuh campuran emosi, "aku kira aku baik-baik saja, tapi ternyata tidak."

Audrey menggenggam tangan Arkan yang ada di atas meja bar. Dia tak menduga ternyata Arkan merasa sakit hati karena perkataan Renata. "It's okey. Tidak baik-baik saja, juga tidak apa-apa, Arkan." Audrey menatap Arkan, menaruh tanggannya yang lain ke rambut pria itu, mengusapnya dengan pelan. Seperti bagaimana Joe menenangkannya saat ia mulai ketakutan akan guntur dan petir. Seperti nenek yang sering menasehatinya, tulus itu hal yang penting untuk memulai sebuah hubungan. Seperti semua cara yang dilakukan keluarganya untuk menyerap semua kesedihannya. Dia juga ingin melakukan hal yang sama dengan Arkan. Dia juga ingin menyerap kesedihan pria itu. Dia juga ingin menjadi bantalan hangat untuk Arkan ketika ia merasa gundah. Audrey ingin berada disamping Arkan dan mendengarkan kisahnya lalu berbagi kisah yang sama. Dia ingin menjadi seseoarang yang seperti itu bagi Arkan.

"Bagus sekali, jujur dengan dirimu sendiri itu hal yang bagus. Tidak perlu menyembunyikannya." Audrey menggenggam erat tangan Arkan, dia turun dari kursinya dan mendekap Arkan dalam pelukannya. Mungkin pria besar ini butuh banyak bercerita. Semua hal yang disimpan Arkan sendiri terlalu membebaninya. Dia kesakitan karena menyimpan kesedihan sendirian. Audrey mengusap punggung Arkan, menepuk-nepuknya beberapa kali. "Kau mau bercerita? Aku siap mendengar." Audrey melepaskan pelukan singkat mereka. Menatap pria itu yang sedikit lebih rapuh dari pada sebelumnya. Mungkin pelukan singkat darinya membuat perasaannya mengalir dari celah-celah pintu yang dia kira sudah tertutup rapat, ternyata masih bisa merembes keluar untuk membebaskan diri. Perasaan yang sangat familiar bagi Audrey. Karena ia juga merasakannya saat bertemu kembali dengan papanya.

Arkan mengusap wajahnya. Dia tak yakin bercerita dengan Audrey adalah tindakan yang tepat. Sejujurnya, Arkan tak ingin Audrey melihat sisinya yang rapuh dan menyedihkan ini lebih banyak lagi. Tapi bola mata coklat yang jernih itu menatapnya dalam, memancarkan secercah harapan dalam ketegangan di diri Arkan. Dia merasa tercekat saat Audrey mengusap kepalanya, tapi saat mata wanita itu menatapnya dan suara jernih itu seperti suara iblis yang membujuknya untuk mau bercerita.

"Kau tak ingin bicara? Karena ini soal Renata?"

"Aku tak ingin merusak malammu. Ini malam yang sempurna untukmu. Aku tak ingin merusaknya dengan ceritaku."

Kenapa Arkan berfikir ia tak ingin mendengarnya? Jika ia bisa mengabaikan rasa ketertarikannya pada Arkan, mungkin ia akan melakukannya. Sebagian dari dirinya ingin menghentikan Arkan membicarakan Renata, tapi sebagian lain dirinya ingin menghibur pria itu. "Apa yang kau takutkan Arkan? Jika kau ingin membicarakannya, mungkin aku bisa mengerti."

"Aku hanya tak ingin meruntuhkan impianmu, Audrey."

Jantung Audrey melonjak, seperti membuka kotak pandora. Ia takut membukanya karena itu akan membuatnya terluka, tapi ia juga penasaran. Adrenalin berpacu di seluruh tubuhnya. "Kenapa kau bisa berfikir seperti itu?" dan rasa penasaran itu selalu menang.

Arkan menatap mata Audrey sesaat, mata Audrey berkilat-kilat diterangi lampu gantung dapur. "Karena kau orang yang idealis dan pemimpi. Jatuh cinta tak seperti yang kau bayangkan Audrey. Kau hanya menipu dirimu sendiri dengan mengatakan cinta seperti negeri dongeng. Tapi cinta tak seperti itu. Itu perasaan yang rumit dan kacau. Kau akan merasakannya sangat menyakitkan dan membutakan."

Audrey tercekat. Dia sadar perasaan itu rumit dan sulit. Dia juga sudah dibutakan karena cinta. Apa lagi yang akan mengacaukan hidupnya selain perasaan tak terbalas dari pria yang pertama kali dicintainya. Audrey mengerti perasaan itu. Sejauh ini, dia sudah mengalami sedikit rasa sakitnya. Jika Audrey bisa, dia ingin berlari menjauh. Tapi kenangan yang ia bagi dengan Arkan terasa jauh lebih berarti.

"Aku tahu, orang tuaku bercerai dan bertengkar karena rasa tidak percaya satu sama lain. Aku bisa mengerti sejauh itu. Aku tak bisa selamanya mengatakan jatuh cinta itu bagus, Arkan. Hanya saja, aku selalu memilih sisi positifnya."

Arkan meneguk coklat panasnya, berhenti sejenak, meneguk lagi, dan mengerutkan wajahnya. "Renata, dia bilang aku mirip dengan papaku. Bahwa aku tidak bisa jatuh cinta dan hanya seseorang yang akan merusak segalanya." Dia menatap Audrey, wanita itu tidak bergeming, dia mendengarkan dengan penuh perhatian. "Kami bertengkar hebat. Itu terjadi sebelum kami berpisah karena aku tak mau membangun komitmen dan hubungan serius dengan Renata. Dia ingin hubungan kami lebih jelas. Dia ingin kami menikah. Dan aku menolak. Dia bilang, mamaku pernah mengatakan padanya bahwa aku sama dengan papa. Awalnya dia tak percaya, tapi setelah aku mengatakan aku tak ingin melangkah lebih jauh, saat itu dia sadar mungkin saja perkataan mamaku benar. Bahwa aku orang yang tak akan pernah jatuh cinta. Dan lebih baik seperti itu, karena aku hanya akan menghancurkan segalanya."

"Dan kau terluka sekali lagi dengan kata yang sama," gumam Audrey, "dari orang yang kau percayai."

Arkan mengangguk, "Dari orang yang berbeda. Aku hanya tak menyangka. Renata yang mengenalku lebih baik dari pada adik-adikku akan mengatakan itu tepat di depan wajahku. Tanpa berkedip. Tanpa merasa bersalah. Aku lebih suka dia marah dan memakiku semaunya, atau memukulku hingga babak belur dari pada ia harus mengatakan hal yang sama dengan mamaku. Padahal, Renata tau bagaimana aku mencoba bangkit dari ketakutan –" Arkan terdiam, dia tak yakin bagaimana menjelaskannya pada Audrey tentang perasaannya yang kacau karena kehadiran Renata malam ini. "Ku kira, aku mengenalnya dengan baik. Kami berteman sejak SMP. Rumah keluarganya dan rumah nenekku berdekatan. Keluarga kami juga saling kenal. Jadi kami sering bermain bersama. Saat SMA Renata pindah, dan kami bisa sekolah dilingkungan yang sama. Kami semakin dekat, dan aku merasa Renata sama denganku. Terkekang, dituntut banyak hal, dari keluarga yang tak harmonis. Kami sering menghibur satu sama lain. Tahun-tahun beratku, kulewatkan bersama Renata. Begitu juga dengannya. Ketika aku mulai kuliah, kami mulai putus kontak. Kami bertemu lagi di acara keluarga. Kami bersama saat Renata memutuskan untuk menjadi dokter kandungan. Dia semakin dekat dengan mamaku. Ku rasa aku cukup was-was saat itu. "

"Karena kau takut ia akan berfikir seperti mamamu?"

"Hampir, aku takut ia dituntut ini itu oleh mamaku. Saat itu aku takut ia tertekan. Aku tak ingin dia merasakan itu karena mamaku. Pada saat itu, mamakulah senior di rumah sakit tempat ia bekerja." Arkan menghabiskan coklat panasnya yang sudah dingin. Dia melirik Audrey saat meletakkan mug itu dengan hati yang seberat batu. "Aku menyukai sifatnya yang lembut dan ramah. Sangat berbeda dengan mamaku yang tegas dan keras. Aku merasa Renata akan sangat berbeda dengan mamaku. Tidak. Aku yakin dia berbeda dari awal. Karena itu aku sangat mudah dekat dengannya. Karena itu, saat tahun awal aku diangkat menjadi direktur Hamura. Aku kembali dekat dengan Renata. Dia tahu aku sering gonta ganti perempuan. Ia tidak mempermasaalahkannya. Satu poin lagi yang membuatku yakin dia tak seperti mama. Dimana ia tak mempermasaalahkan masa laluku. Kami akhirnya memperbaharui pertemanan kami. Sesaat aku merasa enggan untuk melangkah lebih jauh. Tapi Renata meyakinkanku. Lebih tepatnya aku merasa harus mengambil keputusan itu. Oleh karena itu, aku mencoba menjalin hubungan kami untuk tetap lurus. Berada dijalur yang tepat, sesuai keinginan Renata. Dan kau tau Audrey –" Arkan menyugar rambutnya, mulai merasa resah.

"Ternyata aku tak bisa menjaga aliran hubungan kami agar tetap dijalur yang tepat. Setiap saat aku ragu. Aku mengenalnya dengan baik, tapi aku seperti kehilangan sesuatu. Aku seperti kehilangan diriku dalam hubungan kami. Dia mulai menuntutku untuk selalu menghubunginya. Mengabarinya dimanapun dan kapanpun. Kami mulai bertengkar tentang segala hal yang sebelumnya tak pernah menjadi persoalan. Ketika dia keluar kota dan semua orang membawa pasangan, aku harus mengikutinya. Walaupun aku punya tugas yang penting untuk kutangani. Bagi Renata, memperlihatkan betapa bahagianya dia dari pasangan lain suatu keharusan. Karena itu, di saat kami bertengkar dia selalu bertingkah seakan kami baik-baik saja didepan orang banyak. Saat itu aku mulai muak, dan mempertanyakan keyakinanku. Kami sering menghabiskan malam bersama, bercinta –" Arkan melirik Audrey. "Aku tak yakin kau bisa mendengar ini"

Audrey terseyum dengan lembut, "Aku bisa mendengar yang lebih vulgar dari itu. Mba Anjani bahkan sering bercerita tentang malam panasnya denganku. Jadi kau tak perlu mempertimbangkan kepolosanku Arkan." Ujar Audrey sambil mengedikkan bahunya.

"Aku tak tahu sejak kapan. Tapi Renata memiliki laki-laki lain. Kekasihnya saat masih kuliah. Masa kami putus kontak karena memilih kuliah di jalur yang berbeda ternyata mengubah Renata. Lebih dari yang aku duga. Tidak hanya jalan fikirannya, tapi juga gaya berpacarannya. Aku tak mengerti waktu itu, tapi ternyata Renata merasa aku meninggalkannya saat aku memutuskan kuliah di luar negeri. Dia merasa ditinggalkan. Jadi saat aku memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Renata, dia tak bisa mempercayaiku sepenuhnya. Akhirnya dia tetap menjalin hubungan diam-diam dengan laki-laki lain. Karena dia tak ingin ditinggalkan sendirian."

"Jadi Renata memepermainkanmu," Audrey terlihat kaget, "Apa Renata mengungkit perempuan-perempuan yang kau kencani sebelumnya? Itukah alasan dia berselingkuh seperti itu?"

"Kurasa tidak. Aku sudah berjanji untuk menjalin hubungan yang lurus dan jujur bersama Renata. Dan sejak itu aku berhenti menjalin hubungan lain. Alasan Renata melakukan itu karena dia terobsesi dengan kasih sayang. Itu wajar karena latar belakang keluarganya yang kurang memberinya perhatian. Aku mengetahui hubungan mereka berdua ketika kami mulai bertengkar. Aku masih mencoba mempertahankan keyakinanku bahwa mungkin saja ini terjadi karena aku yang salah. Sejak kapan aku bisa berkomitmen? Tidak pernah. Karena kurangnya pengalamku, aku yakin Renata melakukkannya karena kebodohanku. Aku payah menjaga perasaannya karena itu Renata berbuat seperti itu."

"Dan kau mulai menyalahkan dirimu sendiri. Lalu berusaha merubah dirimu sendiri, sesuai dengan tuntutan Renata."

Arkan mengangguk, dan tersenyum dengan mata meremehkan. Meremehkan dirinya yang sangat mudah terbuai suasana hingga akhirnya bercerita masa lalunya pada Audrey. Dia terkekeh geli dengan dirinya sendiri. Apa yang ia harapkan? Kenapa sekarang ia mulai bercerita lagi tentang Renata. Kenapa Renata harus muncul dan mengacaukan malam sempurnanya bersama Audrey? Entah sejak kapan ini di mulai, tapi bercerita seperti ini bersama Audrey menjadi hal yang sudah seharusnya dia lakukan. Bisa jadi ini berkat keintiman yang mereka bagi belakangan ini. Ikatan dan kedekatan yang selalu bisa membuatnya nyaman saat bercerita dengan Audrey. Bisakah ini bertahan selamanya? Dia juga merasakan kedekatan yang sama dengan Renata. Tapi akhirnya tak seperti yang ia bayangkan. Bersama Renata ia merasa menggenggam batu di tangannya. Keras dan dingin. Dengan Audrey ia seperti menggenggam pasir. Itu membuatnya ragu dan lebih berhati-hati lagi. Ia takut pasir itu akan jatuh melewati sela jari-jarinya, lalu menghilang tak tersisa. Ia merasa cemas. Arkan tak tahu bagaimana cara mengatasinya.

"Apa keluarga mu tau?"

"Tentang Renata? Tidak, kurasa tidak. Aku hanya menceritakannya pada Deo. Tapi dari awal, Gavin memang tidak menyukai Renata. Karena dia pernah bilang, Renata sangat mirip dengan sikap Mama. Dia juga mengetahui hubungan Renata dengan mantan pacarnya. Gavin, Jevan, dan Renata kuliah di fakultas kedokteran di kampus yang sama. Saat aku putus dengan Renata, dia sudah menduga alasannya."

Jadi inilah alasan Arkan merasa tak betah untuk datang ke pertemuan keluarga. Pria itu menyembunyikan begitu banyak hal dari mereka. Begitu juga dengan Audrey, dia juga menyembunyikan lukanya dan memilih menjauh dari memem dan Joe. Bagi Arkan itu mungkin karena rasa tak nyaman yang ditimbulkan Renata. Bagi Audrey itu adalah rasa bersalah karena selalu menerima begitu banyak hal dari memem dan Joe. Karena itu juga Audrey tak ingin mewarisi toko roti.

Audrey menyibak rambut dari wajahnya. "Apa karena ini juga akhirnya kau tak lagi pernah jatuh cinta? Aku juga tahu kau tak lagi menjalin hubungan apapun dengan perempuan. Pantas kau kapok menjalin hubungan." Audrey berfikir sesaat, lalu ekspresi wajahnya berubah, "kau tak kapok percaya dengan orang lain kan? Maksudku tidak hanya dalam konteks hubungan antara pria dan wanita, tapi secara sosial. Karena kau dikhianati orang yang dekat dengamu, inikah alasanmu menjaga jarak dan hubungan dengan orang disekitarmu?"

Arkan membalas tatapan Audrey, "Pernahkah kau salah menilai seseorang, Audrey?" dadanya terasa tertekan. Ia merasa sesak, seakan-akan ia berlari kencang diatas treadmill. "Aku melakukannya. Dengan Renata. Aku kira aku mengenalnya. Tapi aku menyadari bahwa aku sama sekali tidak mengenal dirinya. Aku tak tahu gadis SMP yang aku temui adalah Renata atau Renata adalah wanita yang beberapa jam yang lalu kau temui di taman rumah Eyang. Semua fakta dan kenangan yang aku bagikan bersama Renata tiba-tiba terasa kabur. Aku tak tahu apakah dulu aku memang pernah dekat dengan Renata atau itu hanya ilusiku saja. Jika orang yang dekat denganmu saja bisa mengkhianatimu, siapa yang bisa kau percaya? Aku bahkan tak bisa mempercayai diriku sendiri."

Arkan terdengar terguncang. Akibatnya tak terlalu bagus untuk Audrey. Rasa iba bergejolak di dadanya."Kau bisa mempercayai dirimu sendiri Arkan. Tak ada salahnya mendengarkan kata hatimu. Berhati-hati itu bagus. Tapi jangan sampai itu membuatmu memiliki trust issue." Mata wanita itu sudah berkaca-kaca sejak ia mendengar pengakuan Arkan. Cara Arkan bercerita, dan menggenggam tangannya dengan penuh rasa cemas membuat hati Audrey pilu. Belum pernah Audrey melihat Arkan terluka dari pada eksrepsi wajah Arkan yang sekarang.

"Kau tak ingin menguliahiku tentang cinta?" Arkan menyelipkan anak rambut Audrey ke balik telinganya. "Aku sudah menghancurkan fantasimu tentang cinta abadi, bahagia selamanya seperti negeri dongeng itu mustahil, Audrey."

"Sayangnya, ini bukan kali pertama orang-orang bercerita tentang dunia nyata yang jauh berbeda dari negeri dongeng yang aku impikan." Kau tak pernah tau Arkan, dongeng yang aku harapkan bukan pangeran tampan dengan kuda putihnya menawarkanku bahagia selamanya, tapi cintaku dibalas oleh orang yang aku sukai. Itu cukup untuk membuatku bahagia seperti putri di negeri dongeng.

Pikiran itu adalah rahasia terbesarnya. Sebab itu, Audrey hanya diam. Arkan sudah cukup tersakiti untuk percaya perkataannya. Ingin rasanya Audrey bertanya pada Sonya, bagaimana cara dia meyakinkan Tomie dan mendapatkan cintanya? Dia ingin Arkan seperti papanya. Terbebas dari belenggu luka dan mantra kejam itu. Audrey ingin Arkan melihat dirinya sendiri dengan cara yang berbeda dari yang dikatakan dua orang itu padanya.

"Ini memang malam yang panjang, tapi aku menyukainya." Audrey mengusap wajah Arkan. Gurat cemas masih ada disana. Dimata hitam yang biasa membawanya tenggelam dalam pesona mistis yang Arkan miliki. Tapi malam ini, mata itu terlihat lebih gelap dan lebih kosong dari pada yang ia duga. Ia ingin Arkan dapat mencari cara untuk mengisi kehampaan itu. "Kau akan baik-baik saja seringin berjalannya waktu Arkan. Ku harap kau akan menyadari, bahwa kata-kata itu tak berarti sama sekali."

Arkan duduk disebelahnya, mengawasinya dengan intens. Jantung Audrey berdetak lebih cepat karena mata hitam itu memancarkan sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Seketika, Audrey lupa dengan kalimat yang akan dia utarakan. Lidahnya kelu dan kepalanya terasa ringan karena tatapan Arkan membuatnya semakin pusing. Entah sejak kapan, Arkan sudah berdiri di depan Audrey.

Arkan mengusap pipinya yang terasa hangat dengan punggung tangannya. Debar jantung dan napas tersengal Arkan bisa ia rasakan dari jarak mereka saat ini. Audrey menikmati setiap sentuhan yang Arkan berikan padanya. Kesadaran bahwa kebersamaan itu akan berakhir dalam beberapa hari lagi menghantamnya dengan beragam gelombang emosi. Ia merasakan dorongan untuk bersama Arkan lebih lama malam ini.

Arkan menyelipkan sebelah tangannya di pinggang Audrey, menariknya merapat sementara sebelah tangannya terselip di tengkuk Audrey. Gelombang listrik mengalir di seluruh tubuh Audrey saat Arkan mulai menciumnya. Ciuman yang biasa ia terima dari laki-laki itu, terasa lebih nikmat, intens, dan dalam dari biasanya. Audrey terkesima dengan ciuman Arkan di seluruh bibir dan mulutnya. Jemari Arkan merambah keseluruh wajahnya, menelusuri garis leher, rahang dan telinga Audrey. Tangan Arkan semakin menariknya, merapatkan tubuh mereka. Dia bisa merasakan hangat tubuh Arkan menembus kaos putihnya, lengan tegas yang menopang tubuhnya yang terasa lemas karena belaian lidah Arkan di gusinya.

"Audrey." Suara itu dalam dan lembut, memberikan getaran samar ke tubuhnya. Menimbulkan riak dan sensasi tengang di perut Audrey. Arkan menatapnya sesaat, mata itu penuh dengan hasrat, Arkan terbakar gairah, begitu juga dengannya. Arkan mengusap pinggangnya. Ia merasakan tangan hangat Arkan menyentuh kulit telanjangnya di balik kaos. Sentuhan yang mengisyaratkannya untuk melangkah lebih jauh.

Dan Audrey tak ragu untuk menunjukan persetujuannya. Dengan tangannya di bahu Arkan. Audrey menarik laki-laki itu mendekat, dan menciumnya terlebih dahulu. Bibir mereka bertautan. Gagasan bahwa kebersamaan mereka mungkin akan berakhir menambah keputusasaan dalam setiap gerakan mereka. Audrey sadar bahwa waktu yang tersisa tinggal sedikit. Dan ketika itu berakhir, dia tak akan bisa melihat Arkan lagi. Karena ia ragu dengan dirinya sendiri. Audrey tak yakin bisa mengendalikan perasaannya jika terus menerus berpapasan dengan Arkan di Hamura. Dia tak ingin menemui Arkan dengan perasaannya yang masih kacau.

Arkan berhenti, dan mulai menarik tangan Audrey. "Kita mau kemana?" Audrey nyaris tergelincir dari undakan dapur saat Arkan menariknya. Audrey jelas belum bisa bertindak dengan benar ketika tubuhnya terasa melayang dan pusing akibat ciuman mereka barusan.

"Surga," Arkan menarik Audrey lebih dekat dengannya. Memeluknya dengan lebih erat untuk mencegahnya tersandung untuk kedua kalinya. "Kau tahu, Audrey. Biasanya aku sangat membanggakan karakterku yang bisa mengendalikan diri, tapi malam ini kendali itu lenyap." Arkan terlihat frustasi, dan Audrey tahu betul penyebabnya.

Dia mengikuti Arkan ke kamar pria itu. Arkan menarik Audrey, menatapnya saat wanita itu terkesiap dengan ruangan yang tiba-tiba terang. Detik-detik yang menunjukan keraguan dimata Arkan. Keraguan yang mendebarkan, tapi kemudian Arkan kembali menciumnya. Menggairahkan dan memabukkan. Ia merasakan tangan hangat Arkan di kulit telanjangnya, sementara paha dan lengan kekar serta kuat pria itu menempel rapat di pinggang dan pahanya sendiri. Dan rasanya sungguh luar biasa. Dia sadar tak satupun novel romance yang bisa menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang. Meski ia seorang penulis, Audrey tak bisa menggambarkan bagaimana luar biasanya sentuhan Arkan. Ia tak menemukan kata yang tepat untuk dapat memberikan makna yang lebih jelas untuk apa yang ia alami. Setiap kali Arkan menjelajahi tubuhnya dengan tangannya, ia menemukan sensasi dan sengatan yang berbeda. Tubuhnya terasa meleleh, dan ia berpegang di pundak Arkan. Mencari kekuatan untuk mendukung tubuhnya agar berdiri tegak.

Rasanya seperti mimpi.

Arkan semakin mengeratkan pelukannya. Semua indranya terbang dan hanya bisa memikirkan tubuh indah Audrey, tubuh yang molek dan berbau manis. Dorongan untuk melepaskan seluruh pakaian perempuan itu semakin kuat ketika ia mencium lehernya. Turun hingga ke pundak wanita itu. Ia tak sabar untuk mencicipi lebih. Sesaat Arkan menatap Audrey, dan ia bisa melihat nafas wanita itu memburu dengan mata kabur penuh gairah. Arkan mengusap pipinya yang merona. Lalu mengangkat Audrey dengan bridal style, "aku yakin seperti inilah cara pangeran menggendong putri di negeri dongeng." Arkan mendengar tawa wanita itu di kamar yang luas. Kamar yang menghadap ke taman depan. Yang memperlihatkan hutan dan air mancur, karya sang maestro – Pak Doni – mengingat Audrey sangat menyukai pohon. Tapi kali ini, Arkan tak berminat menatap rangkaian pohon itu. Ia hanya tertarik pada Audrey.

Arkan mulai melepaskan atasan Audrey, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia bisa melihat wanita itu ragu sesaat, sebelum ia kembali mengambil alih bibirnya. Arkan mencium setiap lekuk tubuh Audrey. Dan ia bisa merasakan Audrey bergetar setiap kali ia menyentuhnya. Arkan memperhatikan setiap gerakan, erangan dan sentuhan Audrey.

Audrey menutup mata, takut jika ia menatap Arkan. Dia takut Arkan akan menyadari perasaannya. Sangat sulit bagi Audrey untuk menyembunyikan perasaannya terhadap Arkan. Arkan terus menciumi tubuhnya, menemukan titik rahasia. Membuatnya dipenuhi gelombang euforia. Ia menggeliat, tetapi tangan dan bibir Arkan ada dimana-mana. Terpikir oleh Audrey, apa yang akan ia lakukan jika ia bertemu dengan Arkan di Hamura. Setelah melalui ini bersama Arkan.

Bagaimana ia bisa bersikap tak terjadi apa-apa, ketika ia bercinta seperti ini dengan Arkan. Ia merasakan sesuatu yang magis terjadi pada mereka. Pria itu menyuguhinya dengan kenikmatan hingga gairah menggetarkan dan menggucang tubuhnya. Dia bisa merasakan Arkan mendorongnya dengan tempo lambat, seolah menyadari ia tak terbiasa dengan kegiatan mereka malam ini.

Arkan menatapnya, mengamati semua reaksinya. Dahi Arkan di dahinya. Ia bisa merasakan nafas kasar Arkan. Saat itulah Audrey sadar setelah ini berlalu, Arkan tak akan pernah mengetahui perasaannya. Tapi apakah itu yang Audrey inginkan? Tidak, dia ingin mengatakan perasaannya pada Arkan. Meskipun dia menyadari konsekuensinya. Audrey tak ingin meninggalkan Arkan tanpa mengusahakan hubungan mereka. Pada kenyataannya, tak ada masa depan dari hubungan yang di impikan Audrey. Meski begitu ia ingin mencoba. Walaupun artinya ia melemparkan dadu pada peluang yang sangat kecil sekalipun. Audrey ingin mencobanya, dengan mempertaruhkan hatinya.

Dalam kabut gairah, Audrey memberanikan diri menatap Arkan. Ketika laki-laki itu mendorong lebih jauh kedalam dirinya. Arkan menuntut semua darinya. Dan Audrey menyerahkan segalanya. Belaian erotis lidah Arkan membuat kepalanya pening. Diambang rasa sadarnya karena belaian Arkan, Audrey mengangkat tangannya. Menyentuh rahang Arkan, dan mengecup sudut bibir pria itu. Arkan sedikit tegang, tetapi ia menerimanya dengan mendesaknya lagi, dan lagi. Audrey bisa melihat Arkan rileks, dan senyum mengembang di bibirnya. Dengan perasaan yang membuncah karena respon Arkan. Audrey memeluknya. Ia tak ingin menyesalinya tanpa mengatakan perasaannya pada Arkan.

"Aku mencintaimu." Audrey membisikan kata itu tepat di telinga Arkan. Dia memeluk Arkan lebih erat, "aku mencintaimu, Arkan."

Audrey merasakan Arkan merengkuhnya, mendesak dengan setiap dorongan. Dan mereka mencapai pelepasan bersama. Audrey menunggu Arkan mengucapkan sesuatu atas kalimatnya. Tapi laki-laki itu tak melepaskan pelukan mereka. Dia bisa merasakan laki-laki itu menegang, dan merengkuhnya semakin erat seiring suara nafasnya. Setelah menunggu begitu lama, Arkan tetap diam. Saat itulah Audrey sadar akan harapan apapun yang sempat ia punya, bahwa Arkan memiliki sedikit perasaan untuknya, bahwa perasaannya tak bertepuk sebelah tangan, bahwa hubungan mereka berarti bagi Arkan, langsung padam seketika itu juga.

Audrye memejamkan mata, menikmati setiap detik kecanggungan mereka. Memeriksa sekali lagi hatinya yang jatuh berkeping-keping. Arkan, cinta pertamanya dan ia ingin Arkan menjadi yang terkahir baginya. Tapi jika perasaannya membuat Arkan tak nyaman, maka inilah yang bisa ia miliki, ia tak akan meminta lagi.

Audrey akan menerimanya.

Cinta ternyata tak semudah yang ia duga. Juga tak seindah yang pernah ia dengar. Ternyata memem dan ibunya salah.

***

Yuk  follow dulu akun chocomellow26 untuk dapat update cerita terbarunya.

Continue Reading

You'll Also Like

177 62 11
"Jika takdir di dunia ini bisa ku putuskan dengan tanganku. Maka aku akan memilih jalan takdir ku sendiri." Azellia Warning!! Cerita ini hanya fikti...
6.5M 330K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
89.2K 4.9K 39
Ini tentang seorang gadis penyuka Fisika namun tidak suka dengan Bhs. Inggris. dia adalah Aileen Aurelia Griselda. Ini tentang Cakra Aryasatya Sapu...
2.4M 20K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...