Cinta yang Sederhana

Galing kay teru_teru_bozu

188K 23.4K 1.9K

Bukan tentang siapa yang kita kenal paling lama, Yang datang pertama, atau yang paling perhatian. Tapi tentan... Higit pa

Pada Sebuah Kisah
Cinta yang Sederhana
satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Cinta Yang Sederhana
Menjelang Pre Order Cinta Yang Sederhana
Open Pre Order Cinta Yang Sederhana

Lima Belas

3.9K 1K 92
Galing kay teru_teru_bozu

"Aku nggak kayak gitu, Tan ...," suara Jerini bergetar sambil menatap nanar pada Intan yang berdiri di dekat kubikelnya. Wajahnya pucat pasi saat semua orang yang berada di ruangan ini memandangnya dengan iba. "Kamu tahu kan, Tan? Kamu percaya kan, kalau itu semua nggak benar?"

Intan mengangguk lemah. "Maaf, Rin. Andai semalam aku temenin kamu, kejadiannya nggak bakal kayak gini," Intan menggeleng penuh penyesalan. "Padahal kamu sudah mengantisipasi biar nggak jadi fitnah dan menolak tawaran Mas Budi."

"Bukan salahmu, Tan," sahut Jerini masih seperti orang linglung.

"Intan tahu kejadiannya?" tanya salah seorang senior perempuan di ruangan itu.

"Tahu, Bu. Jerini sudah berusaha menolak Mas Budi," jawab Intan sedih.

"Mas Budi juga nggak salah. Dia baik dan polos. Saking polosnya sampai bego. Dan apa yang kelihatan di foto itu nggak kayak gitu kejadiannya. Itu nggak sengaja—"

"Oalah ... apes tenan awakmu, Rin!" potong sang senior sambil menggeleng-geleng masygul.

"Mungkin memang pengapesanku kayak gini, Bu," lanjutnya sambil mengempaskan diri ke kursi. "Semalam itu, motor Mas Budi goncang hebat banget. Motor tua itu. Lagi di jalan raya yang ramai. Jadi refleks aku pegangan—"

"Sudah, Rin. Jangan dibahas kalau itu bikin kamu tambah sakit hati," cegah Intan sambil membungkuk untuk mengambil HP Jerini dari lantai.

Kini Jerini dikelilingi teman-teman seruangan yang mayoritas perempuan. Yang memberinya dukungan karena ternyata di antara mereka juga banyak yang menjadi janda. Baik hidup sendiri maupun menjadi single parent yang berjibaku dengan pekerjaan karena harus membesarkan anak seorang diri.

Makasih ya, Cak. Keputusan lo mindahin gue ke sini adalah keputusan paling tepat buat gue. Karena gue merasa jauh lebih baik di sini, di antara perempuan yang support gue.

"Dewi sebenarnya nggak punya hak untuk menyebar berita seperti itu secara sembrono, Rin. Apalagi dengan menambahkan keterangan yang menggiring opini dan berpotensi jadi fitnah," ucap seorang senior bernama Bu Hesti. "Dia bisa ditegur kalau tuduhannya tidak terbukti."

"Saya belum tahu apa maksud Dewi. Saya memang janda. Namun—"

"Kami, insyaallah, paham kok, Rin. Emang jadi janda itu fitnahnya besar, dan semua itu harus dihadapi sebagai salah satu risiko. Pokoke awakmu kudu kuat!"

Jerini mengangguk.

"Ada apa ini?" tanya Bu Ida yang tiba-tiba muncul. "Waktunya istirahat kok malah ngumpul di—"

"Ini, Bu," potong Bu Hesti yang secara usia senioritasnya setara Bu Ida meskipun beda strata. Dengan singkat Bu Hesty menjelaskan apa yang terjadi dan Bu Ida menanggapinya dengan anggukan tanda mengerti.

"Ini bisa diproses kalau terbukti tuduhannya nggak benar. Karena termasuk dalam tindakan ngisruh," kata Bu Ida lugas. "Sayang Cakra lagi pergi. Nunggu dia balik saja, baru nanti coba aku hubungi Cakra."

"Langsung sama Pak Cakra, Bu?" tanya salah seorang staf dengan heran.

"Lha sopo maneh?" Bu Ida membelalak. Berbicara dengan logat Surabayanya yang khas. "Bos e Dewi iku Cakra. Bos e Jerini aku. Yo wes, aku ketemu Cakra ben jelas karepe opo." (Lha siapa lagi? Bosnya Dewi itu Cakra. Bosnya Jerini aku. Ya sudah, aku ketemu Cakra biar jelas maunya apa).

Seketika mereka manggut-manggut.

"Sekarang kalian makan aja. Ntar lemes lho. Soalnya kerjaan masih banyak. Sudah, nggak usah ditanggapi si Dewi iku. Simpan saja bukti kelakuan dia biar nanti bisa aku tunjukin sama Cakra."

Bu Ida yang selalu tegas dan to the point memang cocok menjadi pemimpin staf perempuan dengan segala sifat serta karakternya yang unik ini. Dalam waktu singkat semua pun bubar untuk pergi makan siang.

"Ke kantin, Rin?" Intan menawarkan.

Jerini menggeleng. "Nggak sanggup ke sana aku, Tan. Nggak bisa bayangin gimana kalau ntar semua orang merhatiin aku. Bisa-bisa aku susah telan makananannya."

"Ya sudah, kalau begitu aku ntar mbungkus dari kantin dan kita makan di sini."

"Makasih ya, Tan."

Intan mengangguk sambil bergegas keluar. Selama dia punya teman-teman yang cukup mempercayainya, Jerini bisa merasa baik-baik saja. Apalagi dia juga memiliki pekerjaan yang menuntutnya untuk sibuk sepanjang waktu. Selain diberi banyak tugas analisis yang membuatnya tenggelam di depan layar laptop, Bu Ida juga sudah menyusun jadwal pertemuan dengan beberapa pihak, dan meminta Jerini mendampinginya.

Khusus hari ini, Bu Ida beberapa kali menghampiri. Meskipun wanita itu tidak mengakui, Jerini tetap percaya kalau sebenarnya atasannya itu peduli kepadanya dan ingin memantaunya. Frekuensi kemunculannya yang lebih kerap dari biasanya adalah indikasi kalau wanita itu ingin memastikan Jerini baik-baik saja, meski dengan kedok mengajaknya mengobrol ini dan itu.

"Ini, Rin. Aku tambahi pekerjaan lagi khusus buat awakmu. Biar sekalian banyak. Biar emosimu tersalur dengan positif. Lumayan kan, kamu nggak perlu sewa sasana tinju untuk melampiaskan kemarahan? Cukup gelut dengan pekerjaan saja," ucapnya berkelakar.

Beberapa orang yang mendengarnya ikut tertawa oleh lelucon itu.

"Namanya juga apes. Jerini ini berusaha menghindari fitnah karena sering pergi berdua saja sama Cakra. Sampai nginep-nginep segala. Jebule malah difitnah sama Budi. Itu beneran yang namanya apes," lanjut Bu Ida.

Kali ini orang-orang tertawa lebih keras. Karena memang selucu itu kejadiannya kalau dipikir-pikir lagi.

Pukul lima lewat 30 menit. Sebagian besar pegawai sudah meninggalkan tempat. Jerini mengambil waktu istirahat sejenak sambil menunggu waktu salat Magrib, sebelum melanjutkan rencananya untuk lembur sampai jam tujuh malam nanti. Jerini dikejutkan oleh kemunculan Mas Budi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan kubikelnya. Pria itu terlihat kucel dan dengan menunduk-nunduk menyampaikan permintaan maaf.

"Mestinya kemarin aku nurut kamu, Rin. Padahal kamu sudah nolak," ucapnya penuh penyesalan.

"Sudahlah, Mas. Mau gimana lagi? Aku yo nggak paham kok bisa sampai kayak gini gosipnya."

Jerini menepis ingatan ketika tadi siang beberapa orang beda divisi yang sebelumnya sama sekali tidak pernah berinteraksi dengannya, terlihat mondar-mandir di lorong depan ruangan marketing. Katakan dia paranoid. Namun menjadi objek tontonan dan sasaran rasa penasaran itu sama sekali tidak mengenakkan! Dewi sukses sekali membuat hidupnya bagai di neraka hari ini.

"Bisa-bisanya Dewi itu ...," Mas Budi menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal. "Aku jadi curiga. Jangan-jangan dia sengaja membuntuti kita dan mengintai. Menunggu kesempatan kita berbuat salah. Niat banget sih, dia pengin menjatuhkan kamu sama aku, Rin?"

"Memang Mas Budi punya masalah sama Dewi?" tanya Jerini dengan tatapan menyelidik.

"Ya ... dibilang ada masalah, memang ada. Sebelum pindah divisi kan, dia di perlengkapan, Rin."

"Lah, aku baru tahu, Mas." Jerini mengernyit dengan tertarik. Karena kalau cuma masalah dia mempermalukan diri di depan Cakra minggu lalu, mestinya nggak sampai se-effort ini balas dendamnya. Kecuali Dewi memang orang nganggur kurang kerjaan.

"Dia ada main sama supplier barang. Aku yang menemukan kecurangannya dan melaporkan ke Pak Pras." Mas Budi menyebut nama atasannya. "Jadi Dewi memang ditindak dengan cara dikeluarkan dari bagian perlengkapan dan dikasih waktu satu bulan sampai dia nemu divisi yang mau tampung dia. Makanya dia parkir agak lama di personalia."

"Kok aku nggak tahu ya, Mas? Gosip lama—"

"Awakmu sibuk dhewe sama Pak Cakra, Rin. Mana nengok sama isu-isu di lantai sini?" Mas Budi menaikkan alis.

"Emang bisa kayak gitu sanksinya? Kok aneh?"

"Yo embuh, Rin. Aku nggak paham koyok opo. Karena yang jelas selama hampir dua bulan Dewi luntang-luntung nggak punya job karena nggak ada divisi yang mau sama dia. Lha wong orang-orang juga sudah gerah sama dia yang suka ngisruh itu."

"Ternyata memang kayak yang dibilang orang-orang itu ya, Mas? Dewi biang onar."

"Yo ancen! Dewi ngincer banget jadi staf Mbak Ratna menjadi staf sekretaris perusahaan. Tapi Mbak Ratna nggak mau. Terus aku yo nggak ngerti ceritanya gimana kok bisa-bisanya dia masuk ke timnya Pak Cakra."

Jerini manggut-manggut mendengar cerita Mas Budi. Tiba-tiba dia seperti menemukan benang merah tentang karakter Dewi. Kalau dia ada main dengan penyuplai barang ketika di bagian perlengkapan, wajar kalau dia membidik posisi staf Mbak Ratna. Karena salah satu job Mbak Ratna dan timnya adalah mengurus segala tiket pesawat, hotel, serta kebutuhan bos-bos yang rata-rata bernilai besar. Mungkin Dewi melihat peluang untuk main di situ juga.

Jadi masuk akal kenapa dia ngotot banget pengin ikutan business trip. Karena tunjangan perjalanan dinas itu cukup lumayan. Selain peluang memainkan harga tiket serta hotel. Ih! Dasar licik! Nggak tahu saja dia gimana Cakra!

"Ya wes, Mas. Kalau emang gitu kejadiannya, mau gimana lagi?" Jerini akhirnya memutuskan untuk membiarkan saja kasus ini. "Yang jelas, sampeyan harus segera memberi tahu Mbak Anggi—"

"Rin, aku nggak berani," tolak Mas Budi enggan.

"Harus, Mas. Harus terima risikonya. Mending Mbak Anggi dengar dari mulut sampeyan sendiri daripada dengar dari orang lain."

"Terus aku harus ngomong opo, Rin?"

"Bilang aja apa adanya aja. Tunjukin obrolan di grup."

"Kalau dia nggak percaya?" Mas Budi terlihat sangat memelas.

"Ya nggak apa-apa. Mau gimana lagi? Yang penting sampeyan ngomong jujur. Perkara Mbak Anggi mau percaya apa enggak, dipikir nanti."

"Ya ampun, Rin. Apes kok ya kayak gini," Mas Budi mengerang pasrah. "Terus gimana?"

"Turuti yang aku bilang tadi, Mas. Terus terima risikonya." Jerini berusaha meyakinkan pria itu meskipun dirinya sendiri tidak yakin 100% dengan ide ini.

"Rin," Mas Budi masih mematung di tempat, kebingungan mau bicara apa lagi.

"Mas—"

"Masalahe Rin, aku dan Mbak Anggi ini baru ngerti lek kamu ini janda lho."

Jerini tertegun sesaat. Meskipun dia sudah tahu akan risiko ini, tak urung hatinya sakit karena omongan tersebut. "Yo wes, risiko iku, Mas," katanya, gantian yang pasrah. "Nggak apa-apa kalau geger sekarang. Daripada nanti. Sama aja ntar gempar juga."

"Yo wes, yo opo maneh?" ucap Mas Budi ikutan menyerah. (Ya sudah, gimana lagi?).

Sepeninggal Mas Budi, Jerini masih bertahan beberapa lama. Bahkan setelah keluar kantor pun dia tidak langsung pulang. Melainkan jalan ke salah satu mal besar di Surabaya untuk membunuh waktu sekaligus cari tempat untuk makan malam. Baru pada pukul sepuluh malam, meski enggan, Jerini memaksa dirinya untuk pulang.

Sepertinya ujian terbesarnya untuk hari ini memang disimpan untuk saat terakhir. Yaitu malam ini, dalam bentuk Mbak Anggi yang menunggunya di teras berpenerangan redup rumah kontrakannya. Wanita itu menatapnya tajam dan mengawasi dengan penuh kemarahan saat Jerini turun dari boncengan ojek online.

Jerini mendekati wanita itu dengan jantung berdebar. Semua keberanian yang tadi dia tunjukkan di depan Mas Budi musnah di hadapan sang istri yang menatapnya dengan geram. "Mbak—"

Belum sempat Jerini melanjutkan ucapannya, tamparan Mbak Anggi telah bersarang di wajahnya.

"Tega kamu, Rin!" seru Mbak Anggi dengan suara tertahan. "Tega kamu!"

"Mbak, aku bisa jelasin—"

"Jelasin opo?" Mbak Anggi meradang di hadapannya. "Padahal kurang opo aku karo awakmu—kurang apa aku sama kamu—, Rin? Kamu sudah aku anggap adik sendiri. Tega-teganya kamu nusuk aku dari belakang!"

"Mbak, tunggu. Aku bisa jelasin kalau sebenarnya—"

"Rin, aku nggak buta. Aku bisa lihat fotonya seperti apa!" seru Mbak Anggi yang menolak penjelasan Jerini dengan keras kepala. Napasnya tersengal karena kemarahan yang tak terbendung.

Bahkan hanya dengan menyaksikan Mbak Anggi saja dia sudah ikut merasakan sakitnya. Karena dia pernah berada di posisi sesakit ini. Meskipun bedanya apa yang terjadi padanya adalah perselingkuhan nyata, dan bukan karena kesalahpahaman.

"Kamu sama Mas Budi, Rin. Tega-teganya—" Mbak Anggi terlihat sesak menahan sakit hati. Dan wanita itu terlihat susah payah menghela napas panjang untuk menenangkan diri.

Iblis jalang setan sialan yang terkutuk kamu, Dewi! Maki Jerini penuh dendam meskipun hanya di dalam hati. Jerini sungguh tak rela kalau Dewi si medusa ini tidak mendapat balasan yang setimpal karena perbuatannya!

"Rin—"

Jerini menunduk. Dia tidak sanggup membantah karena sadar kalau telah kalah satu set dengan foto berisi fitnah yang disebar oleh Dewi. Tadi, setelah lama menahan diri, akhirnya Jerini memberanikan diri untuk melihat unggahan Dewi yang telah menyebar ke mana-mana itu. Andai tidak mengalaminya sendiri, dia pasti percaya akan kebenaran yang ditampilkan di foto itu.

Kini, untuk menyangkal pun tak ada guna karena Mbak Anggi sudah seemosi ini.

"Kamu nggak pernah bilang kalau kamu janda, Rin," suara Mbak Anggi mulai melunak.

Jerini menggeleng. "Iya, aku salah," katanya untuk memangkas drama lanjutan yang memang tidak diperlukan.

"Kenapa?" tanya Mbak Anggi dengan tatapan menuntut. "Dan sejak kapan kalian ... kalian ...." Suara Mbak Anggi gemetar oleh rasa sakit hati.

Jerini menghela napas panjang. "Maaf," ucapnya pelan. "Maafkan aku sudah bikin Mbak Anggi sakit hati karena kesalahpahaman ini."

"Mas Budi terkesan bela kamu—"

Jerini menggeleng. "Mas Budi hanya takut Mbak Anggi salah paham dan marah."

"Aku memang marah, Rin!" bentak wanita itu. "Kamu pikir gimana rasanya—"

"Aku tahu, Mbak," potong Jerini. "Aku tahu gimana rasanya. Dan aku bisa yakinkan Mbak Anggi, Demi Allah Mas Budi benar. Dia tidak memiliki tendensi apa pun ketika memberi aku tumpangan pulang. Aku yang salah karena nggak peka—"

"Karepmu iki opo, Rin?" tanya Mbak Anggi dengan suara pilu. "Lha wong Mas Budi iku jelek, miskin, punya anak, cicilannya banyak. Buat apa kamu deketin dia?"

"Mbak, Demi Allah, nggak kayak gitu. Mas Budi nggak salah—"

"Lha terus? Maumu apa?" tanya Mbak Anggi dengan mengiba. "Mas Budi itu bapaknya Menik, Rin. Masa iya kamu tega? Kalau pun kamu janda, nggak selayaknya—"

Mbak Anggi terlihat semakin kesulitan menahan emosi. Dan Jerini sungguh kasihan pada wanita ini. Sehingga lagi-lagi dia mengutuk Dewi atas perbuatannya yang sungguh teramat jahat. Di sisi lain Jerini juga tidak tahu pertanyaan seperti ini harus dijawab bagaimana. Karena dia tidak punya pengalaman melabrak Putri. Karena setelah tahu kejadiannya, Jerini lebih memilih tidak mau tahu tentang Putri dan segala berita tentang perempuan itu demi menghindari rasa sakit hati.

"Aku bisa memahami perasaanmu, Mbak," kata Jerini akhirnya.

Jerini sangat berempati pada seorang istri yang sedang sakit hati. Entah benar apa salah, entah terbukti atau tidak, merasakan ancaman dari wanita lain kepada suami itu tetap terasa menyakitkan.

"Mbak Anggi mungkin perlu waktu untuk tahu kalau sebenarnya apa yang terlihat di foto itu tidaklah seperti itu. Aku siap menerima kemarahanmu, Mbak."

Mbak Anggi masih menatapnya tajam meskipun kini sudah tidak lagi memuntahkan kata-kata penuh kemarahan.

"Demi Allah aku nggak seperti yang di foto itu, Mbak—" Jerini benar-benar sulit untuk menjelaskan semuanya. "Demi Allah aku nggak melakukan apa yang disebut di grup itu, Mbak. Itu fitnah. Karena apa yang terjadi semalam waktu aku nebeng Mas Budi benar-benar tak disengaja ketika aku harus berpegangan pada—"

Bahkan melanjutkan ucapannya pun terasa sungguh sulit. Karena semua sulit untuk dijelaskan. Terkutuklah Dewi yang seperti mencari-cari celah untuk menunggunya melakukan kesalahan. Jerini memejamkan mata.

"Kalau Mbak Anggi memang keberatan melihat aku di sini, aku akan pindah, Mbak. Aku akan cari tempat lain. Aku akan menghilang dari dunia Mbak dan Menik. Aku akan pergi," katanya. "Tapi tolong kasih aku waktu untuk mencari tempat baru."

"Jangan harap kamu bisa minta bantuan Mas Budi lagi—"

"Enggak, Mbak. Mbak Anggi bisa pegang kata-kataku. Allah saksinya aku nggak pernah ganggu suami Mbak, maupun pria yang lainnya." Jerini menatap wanita itu dalam-dalam. "Jangan khawatir Mbak, aku tahu perasaanmu. Mantan suamiku selingkuh dan menghamili perempuan lain. Aku tahu bagaimana rasanya sakit hati karena pelakor. Jadi aku bersumpah lebih baik jadi perempuan kesepian seumur hidup daripada merebut suami orang."

Keduanya berdiri saling berhadapan dan sama-sama diam.

"Nggi!" terdengar suara Mas Budi memanggil istrinya.

"Mbak Anggi bisa pulang. Mas Budi khawatirin kamu banget, Mbak. Dia adalah pria yang baik. Jangan khawatir, aku nggak bakal nongol lagi di depan kalian."

Jerini menunggu sampai Mbak Anggi akhirnya mau meninggalkan teras rumahnya sebelum dia akhirnya mengeluarkan kunci dari tas dan membuka pintu untuk masuk ke dalam kontrakan kecil yang gelap gulita itu.

Hingga jauh malam, Jerini tak beranjak dari sofa sederhana di ruang tamu. Bahkan dia tidak juga menyalakan lampu. Tubuhnya seperti mati rasa. Bahkan untuk menangis pun sudah tak bisa. Rasanya begitu hampa.

Dan entah pada pukul berapa saat akhirnya Jerini bergerak untuk meraih tas yang tadi dia geletakkan di atas meja. Lalu mengambil ponsel yang tersimpan di sana. Seperti robot, perempuan itu membuka aplikasi perpesanan dan mengetikkan sebuah nama.

Apa ada unit kosong di tempat Pak Cakra?

Lalu tanpa berpikir lagi Jerini menekan tombol send. Mungkin Cakra baru bisa membacanya besok pagi. Mungkin Cakra tidak akan membalas pesannya. Jerini tak peduli.

Namun bunyi notif yang muncul di detik kesekian mengagetkan Jerini. Cakra!

Tumben lo inget gue. Kirain lo udah nggak mau kenal gue lagi J.

Jerini tertegun membaca balasan yang dikirim secepat ini. Di waktu selarut ini pula.

Kalau lo nanya unit kosong di gedung yang gue tinggali. pastiin dulu lo nggak keberatan hidup berdampingan sama gue. Karena unit kosong tinggal yang ada di depan unit gue.

Jerini membaca balasan Cakra dua kali. Lalu entah dari mana asalnya tekad itu, dia mengetikkan balasan yang mungkin akan membuat Cakra jantungan.

Oke. Gw ambil.

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

525K 75.3K 35
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
2.2M 309K 42
(Cerita Pilihan @WattpadChicklitID Bulan Januari 2023) Afif Akelio Ramaza Hi, Sherina. Saya udah lihat profil kamu. Bisa datang wawancara ke kantor d...
183K 12.5K 55
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
1.3M 70.5K 58
Takdir itu emang kocak. Perasaan cerita tentang perjodohan itu hanya ada di film atau novel, tapi sekarang apa? Cecilia Janelle terjebak dalam sebuah...