Deep Talk Before Married [TAM...

By LalunaKia

100K 11.5K 706

Setelah kegagalan hubungannya dengan laki-laki yang tidak ingin menikah, Alma punya prinsip untuk tidak membu... More

1. Alma dan Bara
2. Perkenalan
3. Tentang Pernikahan & Perceraian
4. Masa Lalu & Love Language
5. Cinta atau Obsesi?
6. Masa Lalu 2
7. Mau Tinggal di mana Setelah Menikah?
8. First Date
9. Cara Mengelola Emosi
10. Finansial
11. R for Radit?
12. I'm Terribly Sorry
13. Privasi
14. Ingin Pasangan Seperti Apa?
15. Mengelola Keuangan
16. Bagaimana Menangani Perbedaan Pendapat
17. Break
18. Ayra Renata
19. Tulips
20. Seks
21. Mau Punya Anak atau Childfree?
22. Sebab-Akibat
23. Melepaskan
24. Jealous
26. You're Rude
27. I Wanna Fix it
28. Break Someone's Heart
29. PTSD
30. Menyederhanakan Masalah
31. Parenting Style
32. Perjanjian Pranikah
33. Marriage Rules (END)

25. Frustrasi

2.5K 339 30
By LalunaKia

"Nggak bisa, Sa. Gue nggak bisa kayak gini." Bara mondar-mandir di depan Mahesa. Ia terlihat uring-uringan. Sesekali ia meremas rambutnya sendiri. Ini masih pagi. Matahari masih mengintip malu-malu.

Mahesa menguap. Ia melipat kedua tangannya di depan dada lalu menyandarkan kepalanya ke lengan sofa. Ia mengantuk. Ia baru tidur lewat tengah malam dan adiknya sudah mengganggunya sepagi ini.

Saat matanya baru saja hendak terpejam, ia terlonjak kaget saat sebuah bantal menghantam kepalanya.

"Lo dengerin gue nggak, sih?" Bara mengomel. Ia menjatuhkan bobotnya di samping Mahesa yang kini mengusap-usap wajahnya.

"Nggak usah ngelihat dia dekat sama cowok lain. Ngelihat penampilannya menarik perhatian orang lain aja gue rasanya mau marah." Bara mengacak-acak rambutnya.

"Wajar itu. Cewek kalau udah jadi mantan memang cantiknya naik berkali-kali lipat." Mahesa menutup mulutnya saat menguap lagi. "lagian biarin aja apa. Mungkin tujuannya memang langsung mau cari pengganti lo."

Bara langsung menatap Mahesa dan mendelik tajam.

"Lo tahu videografer gue yang namanya Mario?"

Bara mengangguk. Tidak mengerti apa hubungannya ini dengan Mario.

"Dia katanya lagi nyari perempuan yang siap diajak serius. Gue kenalin sama Alma aja kali, ya. Kali aja cocok."

"Sialan." Bara memukul Mahesa dengan bantal, "awas aja."

Mahesa terkekeh, "hidup lo ribet banget deh, Bar." katanya, "kalau lo merasa nggak bisa hidup tanpa Alma, ya udah kejar. Kalau lo lebih takut sama trauma lo, yang biarin Alma bahagia sama yang lain." Ia menatap Bara, "jangan egois. Jangan mentang-mentang lo nggak bahagia, lo mau Alma nggak bahagia juga. Jahat itu namanya."

Bara menghela napas berat. Ia menatap meja seperti menatap kepingan puzzle yang sedang ia kerjakan. Benaknya berkecambuk. Terlontar dari satu pemikiran ke pemikiran lainnya.

"Gue kayaknya nggak bisa deh tanpa Alma." Bara melirih, "tapi membayangkan semua ketakutan gue..." Bara menggantungkan kalimatnya. Ia menelan ludah, lalu menatap Mahesa dengan tatapan sulit diartikan.

"Bar, ingat semua kata-kata gue malam itu. Itu semua jawaban atas ketakutan lo." ujar Mahesa, "lo bisa atasi semuanya. Cuma masalahnya lo terlalu bebal."

Bara tidak suka pemilihan kata Mahesa, tapi ia diam saja.

"Lo pikir deh, lo mungkin bisa ketemu cewek lain yang lebih baik dari Alma, lebih cantik, lebih kaya. Tapi yang bisa ngertiin ego lo yang setinggi gunung merbabu? Belum tentu." jelas Mahesa, "lo mungkin perlu reinkarnasi berkali-kali dulu baru nemuin yang bisa nerima lo sebaik Alma."

Bara menyandarkan punggungnya ke sofa.

"Satu aja cukup, Bar. Punya satu anak aja." kata Mahesa. Ia menatap Bara yang masih terlihat bingung, "yakin nanti lo nggak iri kalau anak gue lahir."

Bara tampak berpikir.

"Lo pikir gue nggak punya kekhawatiran yang sama? Gue juga awalnya takut. Gue bingung harus menerapkan parenting apa buat anak gue nantinya, karena gue punya contoh yang sangat minim." kata Mahesa, "tapi gue percaya sama Ciara. Meski sama-sama dibesarkan sama orangtua tunggal, buktinya Ciara bisa kok jadi anak baik, sukses lagi." tambahnya, "gue cuma tahu gue harus jadi orangtua yang lebih baik dari Papa."

Bara mengacak-acak rambutnya. Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya dari sana. Ia kembali mengecek keberadaan Alma. Gadis itu masih ada di hotel. Entah apa yang dia lakukan di sana sementara ini masih hari kerja.

Ibu jarinya menggulir layar, kali ini ia membuka aplikasi Instagram. Story Alma berada paling depan. Dengan ibu jarinya, ia menekan bulatan dan melihat update story gadis itu.

"What the..." Kalimatnya terhenti karena Mahesa menutup mulutnya dengan tangan.

"Jangan mengumpat di rumah gue. Nanti calon anak gue dengar." katanya.

Mahesa belum resmi jadi ayah, tapi dia sudah mulai protektif. Ia merasa perlu memulai semua kebiasaan baik di rumahnya.

Bara menggigit bibirnya kuat-kuat. Dilihatnya foto Alma di kolam renang. Bukan, bukan tempatnya, tapi apa yang gadis itu kenakan. Gadis itu memakai bikini berwarna hitam yang terlihat kontras dengan kulitnya yang putih. Dia melilitkan kain di pinggangnya yang belahannya terlihat hingga pahanya. Bahunya, perutnya terekspos sempurna.

"Shi..." Umpatannya terhenti lagi karena tangan Mahesa menutup mulutnya. Kepala Bara mendadak pusing. Bagaimana bisa gadis itu berpakaian seperti itu dan menguploadnya di story instagram. Bagaimana bisa dia membiarkan ribuan orang melihatnya dalam balutan pakaian yang hanya menutupi payudaranya.

"Wow..." Mahesa berseru saat melihat isi ponsel Bara.

"Ish..." Bara mendorong bahu Kakaknya hingga dia menjauh. Lelaki itu terkekeh ringan.

"Nggak ada yang salah pakai bikini di kolam renang." kata Mahesa.

"Nggak... nggak... nggak bisa... nggak boleh." Bara berdiri lagi, lalu berjalan mondar-mandir.

Mahesa meraih ponselnya di atas meja, "IGnya Alma apa?" Ia bertanya sambil mengutak-atik benda pipih itu.

"Mau ngapain lo?" Bara melotot, lalu melempar lagi bantal sofa hingga tepat mengenai wajah Mahesa. Tawa lelaki itu meledak. "Ra, suami lo ganjen, nih." Ia sedikit berteriak.

***

Seharian ini pikiran Bara tidak tenang. Ia mengecek keberadaan Alma berkali-kali dan tahu jika gadis itu hari ini cuti. Dia, mungkin bersama Gia, pergi ke mall, restoran, spa, nail art, dan masih banyak lagi. Gadis itu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Gadis itu seperti burung yang baru saja lepas dari sangkar emas. Dia sepertinya sedang menikmati hari-hari selepas kandasnya hubungan mereka.

Bara tahu ia hanya perlu satu hal untuk membuat hati dan pikirannya tenang, yaitu mematikan aplikasi yang terpasang di ponselnya hingga ia tidak bisa lagi melacak keberadaan Alma. Tapi ia tidak bisa melakukan itu. Ia yakin akan lebih gila lagi jika tidak tahu apapun tentang gadis itu. Ia hanya bersyukur Alma tidak mematikan GPSnya. Gadis itu pasti lupa kalau GPS itu masih tersambung ke ponselnya.

Bara menaruh kantong plastik di atas meja, tepat di depan Aneth.

"Mau jenguk siapa lo?" Aneth bertanya saat melihat plastik itu berisi buah-buahan.

"Buat Ciara." Bara menjatuhkan bobotnya di salah satu kursi kosong dan melirik Ciara yang sedang fokus menatap layar komputernya. Tangannya mengambil buah jeruk dan mengupasnya. Ia mengupas dua buah dan menaruhnya di piring kecil yang ia ambil dari salah satu laci di ruangan itu.

Aneth mengulurkan sebelah tangannya untuk mengambil jeruk itu saat tangannya ditepis dengan kasar oleh Bara.

"Buat Ciara." kata lelaki itu.

"Ya ampun, pelit banget lo." Aneth berdecak sebal.

"Kupas sendiri. Jangan manja." Bara mendorong plastik ke arah Aneth yang mencebik kesal.

"Bisa-bisanya ada cewek yang mau sama lo." Aneth mencibir.

Ciara memutar kursi, lalu menggesernya mendekati meja. "Bara mah sama orang lain doang kasar, kalau sama ceweknya mah manis."

"Masa?" Aneth menatap tak percaya. Bara adalah orang paling tidak bersahabat di rumah sakit itu. Jika bukan diskusi mengenai pasien, laki-laki itu benar-benar tidak merasa perlu berbasa-basi dengan rekan sejawatnya.

Ciara mengangguk. Ia mengambil satu potong jeruk dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Mau apel nggak? Atau pir?" Bara menawarkan.

"Udah kayak punya suami dua lo, Ra. Satu di rumah, satu di kantor." kata Aneth.

"Sembarangan." Ciara memukul pundak teman satu ruangannya.

Aneth terkekeh, "balik ah gue." katanya. Ia berdiri dari duduknya, mengambil tas di mejanya dan berpamitan dengan keduanya.

Bara menatap Ciara yang sibuk mengunyah, "Ra, telepon Diana dong." pintanya.

"Buat apa?"

"Tanyain Alma cuti berapa hari. Terus cowok yang kemarin sama dia itu siapa?"

"Telepon aja sendiri."

"Tolong..." katanya dengan nada memohon.

"Aneh banget kali kalau gue nanyain Alma."

"Alasan apaan kek gitu." kata Bara, "please..."

"Lo mau ngapain lagi, sih?"

"Gue cuma mau tahu doang." Bara melirik pada ponsel Ciara di atas meja.

Ciara mendesah. Ia menyambar benda pipih miliknya di atas meja. Ia membuka kontak dan mencari nama Diana. Setelah menemukannya, ia menekan ikon call dan menyalakan pengeras suara.

Tak butuh waktu lama untuk panggilannya terjawab. Setelah mengucapkan salam, ia bertanya, "masih di kantor, Di?"

"Masih, nih. Kenapa?"

"Oh. Nggak apa-apa." kata Ciara. Ia melirik Bara di depannya, lalu memutar otak untuk membuka pembicaraan mengenai Alma.

"Eh, Ra, lo udah tahu kalau Bara sama Alma putus?"

Ciara bersyukur ia tidak perlu membuka topik.

"Iya, udah."

"Adik lo kebangetan banget, sumpah." kata Diana di ujung sambungan.

"Iya. Memang udah gila dia." Ciara mendukung.

Decakan terdengar.

"Tapi Alma baik-baik aja, kan?" Ciara bertanya.

"Iya, lah." kata Diana langsung, "ogah banget dia nangisin cowok kayak Bara. Rugi."

Bara melotot kesal ke arah ponsel.

"Dia katanya mau lanjut sekolah." Diana memberitahu, "kayaknya di luar negeri. Baru rencana, sih."

Bara menegakkan bahunya dan menajamkan indera pendengarannya.

"Oh, ya?"

"Iya. Dia lagi staycation sama Gia sekarang. Mereka ambil cuti dua hari."

"Lo kenapa nggak ikut?"

"Mana bisa cuti berdua. Iras bisa ngomel-ngomel kalau suruh jaga kandang sendirian." Diana bercerita.

"Jadi, Alma berdua aja sama Gia?"

"Iya. Kakak sepupu Gia yang di luar kota datang dan nginep di hotel itu. Tadinya Gia cuma mau nyamperin Kakak sepupunya. Tapi Alma sekalian ngajak staycation. Jadi mereka cuti mendadak."

"Oh..."

"Kakak sepupunya Gia tuh, ya, udah lama naksir sama Alma." kata Diana, "tapi ditolak mulu karena Alma nggak bisa LDR." ada sedikit jeda, "kalau Alma mau kasih kesempatan, dia katanya akan minta dimutasi ke Jakarta."

Raut wajah Bara berubah tak suka. Rasa cemburu mengurungnya lagi. Tak sadar, ia mengepalkan jarinya kuat-kuat.

"Oh. Ya mudah-mudahan cocok deh."

Dari ponsel, tatapan Bara melesat ke arah Ciara. Ia melotot pada wanita itu.

Nggak... nggak.... ngak bisa. 

Ia tidak bisa membiarkan gadis itu melanjutkan study ke luar negeri, apalagi memberi kesempatan pada lelaki lain.

Setelah Ciara mematikan ponselnya, gantian Bara yang fokus pada ponselnya. Ia mencari kontak Ayra dan menghubunginya.

"Ay, aku mau tahu Alma ada di kamar nomor berapa?" Bara tidak berbasa-basi.

"Jangan gila. Kamu pikir ini hotel melati apa." Suara di ujung sambungan terdengar jengkel.

"Tolong. Aku perlu ngomong sama dia."

"Kamu minta nomor kamar, lalu dia akan tahu kalau ada yang bocorin keberadaannya disini padahal dia request incognito guest. Kalau sampai dia komplain, masalahnya bisa ke mana-mana." omelnya.

Saat tahu satu-satunya jalan sudah buntu, Bara memutus sambungan setelah mengucapkan terima kasih. Ia melemparkan ponselnya sedikit kasar ke atas meja dan menjambak rambutnya sendiri dengan frustrasi.

"Pulang, gih. Lebih enak galau di rumah." kata Ciara.

Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 45.2K 31
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
221K 13.1K 50
Hanya dalam tiga hari, hidup Oceana berubah total. Ia yang awalnya merupakan seorang wanita dengan prinsip tidak akan pernah menikah tiba-tiba diharu...
240K 15.1K 54
END Ziya si tukang stalker sekaligus Mak comblang kena karma Omayyygattttt !!!! Dunia Percomblangan dalam bahaya dan semua itu karna Ketua Osis palin...
378K 20.3K 25
"Jadi Mas harus gimana sekarang? Mas bingung, Dek!" tegas pria di depanku. Aku menarik napasku dalam. Sebenarnya aku tidak mampu mengatakan ini padan...