Sebelum 365 Hari (End)

By thedreamwriter13

34.4K 2.6K 7.8K

"Bagaimana bisa aku terus mengingatnya, jika aku saja, tak bisa mengenali diriku sendiri?" - Thea. ... More

0. PROLOG
1. TRAUMA MILIK THEA
2. GALANG DAN SHELLA
3. PENGAKUAN RASA
4. PATAH HATI GALANG
5. KEBINGUNGAN
6. CUPCAKE DI CAFE MENTARI
7. BERTEMU DENGAN ALI
PEMBERITAHUAN • JADWAL UPDATE!
8. GALANG PUNYA PACAR?
9. CEWEK POPULAR
10. BUKAN PACAR NYA
11. MEMBERIKAN RASA AMAN
12. LO, AKAN TETAP JADI THEA
13. SI MATA INDAH
14. KEVIN?
15. SPOILER PERASAAN
16. PROSOPAGNOSIA
17. MAAF, GUE GAK SENGAJA
18. CINTA ATAU KASIHAN?
19. GALANG KENAPA?
20. DUNIA DAN RASA KECEWA
21. KHAWATIR
22. PUNYA GEBETAN
23. THEA SAYANG BUNDA
24. KENA HUKUMAN
25. NIGHT WITH YOU
26. DIA PEMBUNUH
27. SWEET DAY
28. ROOFTOP SEKOLAH
29. PENGAKUAN SHIRA
30. MENYESAL
31. SETENGAH KEPERCAYAAN
32. GRAVITASI CINTA
33. HARUS RELA
34. SEJUTA LUKA
35. RUMAH BARU
36. LIBRARY DATE
37. KESAYANGAN
38. KALIAN SIAPA?
39. ACQUIRED PROSOPAGNOSIA
41. DANCING IN THE RAIN
42. YANG BELUM USAI
43. MAAF, THEA
44. KITA TERLALU SINGKAT
45. RAIN WITH MEMORIES
46. BERDAMAI
47. KEPERGIANNYA
48. JIKA DIA KEMBALI, LAGI
49. NYATA YANG SEPERTI MIMPI
50. KITA SELAMANYA

40. IZIN DARI ALI

452 39 326
By thedreamwriter13

Selamat membaca kisah milik Galang Reynandika dan Calithea Zevanya Aurora di "Sebelum 365 Hari."

Don't forget to tap the star and comment 🌟

Tandai kalau ada typo ya, love!

Note: Cerita ini hanya fiksi belaka, ambil baiknya, tinggalkan buruknya.

Happy Reading, enjoy love 💗

Sabtu, 5 Agustus 2023 -

40. IZIN DARI ALI

🌻🌻🌻

"Jadi Thea itu sakit?" tanya Xavi.

Galang, bersama Xavi, Toya, Shira, dan Ilona kini berada di depan kelas XII IPS 3. Mereka duduk di kursi panjang yang berada di sana.

Galang baru saja menjelaskan apa yang terjadi sama Thea. Karena sejak tadi, mereka sudah sangat tidak sabar untuk mendengar penjelasannya.

"Berarti bukan sakit jiwa ya, Lang." Toya berucap lirih. Tatapan tajam Galang mengintimidasi nya.

"Lo mau gue pukul?"

"Nggak dong. Ya maaf, ini nanya doang."

"Gue baru denger loh soal penyakit ini. Ternyata bisa ya lupa sama wajah orang," kata Shira. Gadis itu terdiam dan berfikir sejak tadi.

"Pantesan Thea waktu itu sampai salah manggil kita. Gue juga ngerasa kalau akhir-akhir ini Thea itu agak aneh. Gue jadi ingat, dulu waktu awal-awal gue kenal dia, dia pernah lupa sama gue, mana jadi sinis gitu, ngatain gue sok kenal," oceh Ilona.

"Hahahaha pantes sih, muka-muka lo kan tipe yang sok kenal sok deket gitu," ledek Toya dengan tawanya. Ilona yang kesal langsung menatapnya tajam.

"Enak aja, gue cakar lo!"

"Berarti Thea sakitnya udah lama ya, Lang?" tanya Shira.

"Kalau soal jelas nya gak tau. Tapi, gue ada di kali pertama Thea tau dia sakit. Satu bulan ini. Kalau kata dokter sih, semua gara-gara kecelakaan yang pernah Thea alami," jelas Galang.

Wajah keempat orang ini tambah keheranan. Tadi sakit? Sekarang kecelakaan. Sebenarnya sebanyak apa hal yang menimpa Thea?

"Kecelakaan? Thea pernah kecelakaan?" Kini Ilona yang mengajukan pertanyaan.

Galang mengangguk. "Kalian tau kenapa Theo lebih dulu sekolah di sini dibanding Thea? Semua karena, Thea koma selama enam bulan."

Mereka sampai hampir tak percaya, jika Thea mempunyai kejadian besar yang tak pernah dia ceritakan kemanapun. Thea sekuat itu?

"Biar kita-kita aja yang tau soal ini, orang lain gak perlu. Dan gue mau minta tolong bisa?" ucap Galang sembari menelisik kearah sekitar mereka.

Mereka berempat mengangguk, seakan menyanggupi apa yang ingin Galang katakan. "Jagain Thea, gimanapun itu, kita gak boleh bikin kondisi mental nya makin drop. Apalagi sama ucapan anak-anak yang nggak-nggak itu. Kita emang gak bisa nutup mulut mereka, tapi tolong bantu untuk tutup telinga Thea. Yang paling penting, support dia," jelas Galang.

"Gue siap, Lang. Siap banget. Kalau garda terdepan Thea itu lo, gue ada dibelakang lo," ucap Xavi dengan tegas.

"Kita juga, Lang," kata Shira, Ilona, dan Toya tak mau kalah.

"Tapi gue bagian yang di paling belakang deh, Lang. Gue dibelakang Thea aja," kata Toya.

"Kenapa? Cemen amat lo," ujar Galang sewot.

"Bukan gitu. Kan jaga-jaga. Kalau semuanya di depan, nanti kalau musuhnya dari belakang gimana? Mending gue di belakang, jadi kalau ada yang mau nyakitin Thea bisa jatuh duluan."

Galang mengerutkan keningnya bingung. "Kenapa bisa jatuh?"

"Kan nabrak gue. Membel."

Gelak tawa lagi-lagi muncul dari mereka karena candaan Toya. "Bisa aje lo gendut," ledek Galang.

Tanpa disadari, sejak tadi seseorang berdiri dibalik tembok kelas. Semua hal yang mereka bicarakan sudah terekam jelas di memori ingatannya. Wajahnya sedikit berfikir.

Prosopagnosia. Jadi bukan gangguan jiwa? Tapi kata Galang ini bisa ganggu mental Thea. Intinya sama aja, Thea bermasalah, batinnya.

"Shella," panggil seseorang dengan suara pelan. Shella sedikit kaget karena saat menoleh seorang lelaki dengan poni mangkoknya itu berdiri dibelakangnya.

"Kenapa?"

Sebuah coklat dia sodorkan kehadapan Shella. "Ini buat lo."

Shella menatapnya dengan wajah ngeri. Hal biasa, cantiknya Shella memang di idam-idam kan banyak lelaki di sekolah ini, termasuk Galang kala itu. Tak jarang Shella mendapat hadiah seperti ini. "Oke, Makasih."

Shella selalu menerima semua hadiah yang diberikan, namun setelah itu Shella selalu memberikannya kepada orang lain, biasanya dia kasih ke teman-teman dekatnya.

🌻🌻🌻

Bel pulang sekolah berbunyi lebih cepat hari ini. Yang biasanya di pukul tiga, menjadi pukul dua. Karena adik kelas mereka sedang ada pelatihan.

Galang dan yang lainnya sudah sibuk membereskan barang-barang nya.

"Lang, gue pikir lo beruntung karena bisa dapetin anak baru itu, eh tau nya nggak," ucap seorang lelaki, teman sekelasnya.

Galang hanya menatap nya sinis tanpa membalas apapun, buatnya, ini adalah hal yang tak perlu dia ladeni.

"Gue juga bingung sih awalnya, kok bisa ya ada cewek yang mau sama Galang? Padahal, dulu ngeliat Shella bisa sahabatan sama dia aja aneh."

"Cowok udik gini, kere, wajahnya juga standar, kok bisa gitu dapetin cewek cantik kayak kembarannya Theo itu," ucapnya semakin menjadi.

"Mulut lo mau gue jejelin kaos kaki?" Xavi yang tak terima, langsung mendekati lelaki itu.

"Wih santai bro. Kita kan ngomongin Galang, gak ada urusannya sama lo."

"Galang sahabat gue, lo nyenggol dia, sama kayak nyenggol gue," tegas Xavi.

"Tau lo semua, sekate-kate aje ngatain Galang. Lo pada gak sadar apa, muka lo semua mirip pantat panci, lebih jelek lagi," kata Toya tak mau kalah.

"Halah, Toya, Xavi, masih aja lo belain dia. Lagian gue setuju, apa coba bagus nya si Galang ini. Tapi gak heran sih, kalau Thea mau sama dia." Salah satu lelaki itu kembali berucap, dengan wajah meledek.

Kemudian temannya ikut melanjutkan. "Iya cocok, cowok udik sama cewek yang punya gangguan jiwa."

Brak ....

Lelaki yang baru saja selesai berbicara, tersungkur dan menghantam beberapa meja di belakangnya.

"JAGA MULUT LO ANJING!"

Galang sejak tadi diam, namun, kini tidak lagi, perkataan temannya tentang Thea tak bisa membuat sabarnya menetap.

Satu kelas ini tampak terkejut dengan apa yang baru saja Galang perbuat. Selama ini, mereka tak pernah melihat Galang semarah ini. Selayaknya serigala pada malam bulan purnama.

"Lo boleh kata-katain gue seenak jidat lo. Lo bilang gue udik, gue kere, gue apapun itu, gue gak peduli. Tapi jangan pernah lo hina cewek gue kayak gitu!" marah Galang.

"Berani lo ya sekarang?"

"Lo pikir, kalian semua pikir, selama ini gue diem karena gue takut? Nggak, nggak sama sekali. Gue cuma gak mau buang-buang waktu gue buat ribut sama kalian. Tapi kali ini, gue gak bisa diem, kalau kalian berani nyenggol orang yang gue sayang," jelas Galang dengan menatap seluruh teman sekelasnya.

Lelaki yang tadi tersungkur bangkit, membereskan pakaian nya yang berantakan, lalu menatap Galang dengan sinis.

Katakanlah jika Theo ada di sini, mungkin saja ambulance sudah datang ke sekolah untuk menjemput lelaki ini.

"Kenapa? Mau mukul gue? Satu lawan satu, atau lo semua juga mau? Satu-satu, gue habisin lo semua." Amarah Galang sudah tak dapat dibendung lagi.

Bagaimana bisa dia diam, saat Thea diberikan julukan cewek dengan gangguan jiwa?

Mereka semua terdiam karena perkataan dan sikap Galang saat ini. Benar, marahnya orang sabar sangat menakutkan.

Di sisi lain, Shella, gadis itu hanya menatap Galang. Shella benar-benar tak mengira jika Galang akan membela Thea sehebat ini. Hanya Thea yang bisa membuat Galang bisa semarah ini saat ada orang lain yang melukainya.

"Kalian pacaran?"

"Iya, Shell. Maaf gue baru cerita."

"Jadi— lo gak bisa nunggu gue—"

"Nunggu hal yang gak pasti terlalu melelahkan, Shella."

Shella terdiam. "Apa sekarang di mata lo, Thea lebih dari gue?" Pertanyaan konyol itu tiba-tiba keluar dari mulut Shella.

Galang sempat bingung mendengar nya. "Gue gak pernah membandingkan itu. Yang jelas, gak ada yang pernah mengganti dan tergantikan, Shell. Karena posisi kalian beda."

"Tapi, bukannya waktu itu buat lo, Kevin lebih dari gue? Kekasih, status nya lebih tinggi kan dari persahabatan kata lo waktu itu?"

Shella tertohok mendengar nya. Shella kini paham, ini adalah apa yang Galang rasakan saat itu. Saat dirinya meletakkan Galang di posisi kedua, setelah Kevin.

Shella menyadari lamunannya. Saat lagi-lagi suara Galang menggema.

Galang menelisik seluruh kelasnya. "Gue kasih tau sama lo semua. Kalau sampai gue dengar lagi ada yang bilang kalimat kayak tadi ke Thea, lo semua berurusan sama gue."

"Otak lo semua terlalu dangkal untuk nyimpulin sesuatu yang bahkan lo gak tau kebenarannya." Galang langsung meraih tas ranselnya dan berjalan keluar kelas.

Toya lebih dulu menyusul Galang.

"Denger tuh, dengerin pake telinga, masukin ke otak, di cerna baik-baik. Percuma sekolah mahal kalau otak lo semua kosong," kata Xavi sebelum akhirnya pergi menyusul Galang dan Toya.

Toya dan Xavi mengejar langkah kaki Galang yang kian cepat. Mereka kini bertemu di parkiran sekolah.

"Lang, sabar brother," ucap Xavi sembari menepuk pundak kanan Galang.

"Astaghfirullah, gue kebawa emosi," kata Galang yang kini mengusap wajahnya pelan.

"Gue cuma gak terima mereka ngatain Thea. Gue cuma takut kalau mereka akan terus kayak gitu, itu bakalan nyakitin banget buat Thea. Semuanya udah terlalu berat buat dia, Xav, Ya. Gak perlu ditambah sama hal kayak gini," ucap Galang dengan wajah gelisah nya.

"Kita paham, Lang. Lagian siapa sih yang terima kalau orang yang kita sayang di katain kayak gitu? Kita berdua juga marah, Lang. Thea temen kita juga," ucap Xavi.

Xavi kembali berucap. "Lo harus bisa tahan emosi. Inget, lo bisa sekolah di sini karena bantuan, gue takut bantuan itu di cabut kalau sampai lo ngelakuin hal yang nggak-nggak."

"Bener, Lang. Kita berdua sih berharap setelah kejadian ini, mereka bisa ngerti. Lagian, tadi lo serem banget, gue yakin mereka bakalan takut," lanjut Toya menimpali.

Galang mengangguk pelan. "Iya, semoga aja."

"Ya udah, gue duluan. Tadi gue udah janjian sama Thea mau ketemu. Mumpung jam kerja gue masih agak sore."

"Lo hati-hati. Yang fokus bawa motornya. Kalau ada kabar lain soal Thea, jangan lupa kabarin kita-kita ya."

Galang mengangguk. "Iya."

🌻🌻🌻

Thea sekarang berada di sebuah taman komplek perumahan. Tadi, Galang mengajaknya bertemu, karena katanya sekolah pulang lebih cepat hari ini. Jadi, Galang bisa menemuinya sebelum pergi ke coffee shop.

"Galang mana ya? Lama banget," gumam Thea.

Matanya tertuju pada sebuah kursi taman berwarna putih. Thea berjalan mendekat dan mengistirahatkan tubuh nya di sana. Bersandar pada sisi lain kursi, sembari menikmati angin siang menuju sore ini.

Pandangannya tiba-tiba gelap. Padahal, tadi langit biru itu sedang menjadi objek utama matanya. Semua karena, sebuah telapak tangan menutupi kacamata Thea.

"Siapa ya?" tanya Thea sedikit kesal.

Tak ada jawaban sama sekali dari pertanyaannya.

"Ini pencuri," ucap seseorang dengan suara yang mirip dengan bapak-bapak bertubuh besar.

"Ih jangan bercanda, gak lucu tau. Lepasin ah!" kesal Thea lagi.

Thea terdiam sejenak, hidungnya mencoba menelisik wangi didekatnya ini.

"Galang?" ucap Thea pelan.

Telapak tangan itu menjauhi matanya. "Ih kok tau sih? Gak asik lo, The," kesal lelaki yang Thea panggil dengan nama Galang itu.

Galang, tadi dia berdiri di belakang kursi taman, kini pindah untuk duduk di sebelah Thea.

"Rese banget sih, pakai tutup-tutup mata gue. Mana bilang nya pencuri lagi," kesal Thea.

"Kan bener Thea. Gue tuh pencuri, pencuri hati lo." Gombalan maut Galang kembali dia lontarkan.

"Lang," rengek Thea, gadis itu tertawa kecil setelahnya.

"Untung gue kenal wangi lo. Kalau nggak, mungkin wajah lo udah gue pukulin, Lang," kata Thea.

"Ih jangan dong. Nanti kalau bonyok jadi jelek gue. Makin ilfeel lo sama gue," ucap Galang dengan wajahnya yang tertekuk.

Thea menggeleng pelan. "Nggak."

Galang tersenyum salah tingkah mendengarnya. Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Galang menyodorkan sebuah buket bunga Daisy pada Thea. Senyum gadis itu timbul dibuatnya. "Tadi gue beli ini. Bunga kesukaan lo, kan?"

"Buat gue?"

"Iya. Buat siapa lagi."

Thea meraih buket bunga itu dari tangan Galang. Gadis itu tersenyum manis dengan pandang mata yang berbinar.

"Lo— romantis juga ya," lirih Thea dengan nada malu-malu.

Galang sedikit salah tingkah, lelaki itu menahan senyumnya. "Iya dong. Gue kan paket lengkap, ganteng, baik hati, tidak sombong, romantis, konyol, apalagi ya? Banyak banget, The."

"Bisa aja lo, Lang."

"Bisa dong. Buat lo selalu bisa."

Thea mencubit perut bagian kanan Galang pelan. "Gombal!"

Thea menatap bunga pemberian Galang, terdapat sebuah gulungan kertas kecil di sana. Tangan Thea meraihnya. "Ini apa, Lang?"

"Coba aja baca."

"Oke."

Thea membuka gulungan kertas tersebut, membaca apa yang sudah Galang tulis di sana.

Sebuah puisi yang sama yang pernah Thea baca di buku puisi karya Kahlil Gibran.

Aku akan tetap di sekitarmu dan dekat.
Kamu tidak perlu takut.
Kamu dibuat khusus.
Oleh Mahakuasa untuk keberuntunganku.

Aku akan menyentuh tubuhmu, sebagai seseorang yang mencinta.
Menginformasikan angin dan membuatmu menyerah.
Dengan mantra sihir, aku akan muncul di pagi hari.
Dalam suara ayam yang menyambutmu.

Dan mendengar panggilanku.
Kamu tidak bisa merangkul.
Karena aku tidak punya wajah.
Aku ada di mana-mana.
Dan masih kamu menemukanku ada di mana-mana.

Kamu seorang wanita sempurna dan baik hati.
Aku akan merangkulmu dengan cinta.
Pegang aku dalam iman dan percaya.

Seulas senyuman manis terpancar dari bibir merah muda itu. Thea menatap Galang yang masih melihatnya.

"Lo suka baca puisi-puisinya?"

"Baru mulai baca sih. Soalnya kata Ilona, lo suka banget sama puisi-puisinya. Makannya, kemarin gue beli buku puisi ini di toko buku, gue baca deh, eh nemu yang ini, kayaknya cocok untuk lo."

"Kenapa lo harus baca juga?"

"Kan gue udah pernah bilang, Thenyu. Kalau gue akan menyukai semua hal yang lo suka," kata Galang dengan senyuman manisnya.

Thea menarik nafasnya dalam. Mimpi apa dia bisa memiliki kekasih seperti lelaki di hadapannya ini? Sampai sekarang Thea hanya terus bertanya, apa kurang nya Galang? Bahkan setiap kekurangan yang orang lain lihat, Thea tak bisa melihat itu sebagai kekurangan.

"Lang," lirih Thea.

"Kenapa?"

"Gue....gue boleh...."

"Boleh apa, Thenyu? Bilang aja."

"Boleh peluk lo?"

Wajah Galang senang bukan main. Thea memang aneh, kenapa harus menanyakan hal seperti ini padanya? Justru Galang sangat senang, bahkan jika dipeluk setiap saat.

"Lo bercanda? Pake nanya lagi. Peluk tinggal peluk, The."

"Sini!" Galang mendekat, meraih gadis itu ke pelukannya. Entah, Thea sangat nyaman seperti ini. Saat bersama Galang semua takut itu sejenak pergi. Meski tak bisa lama.

"Apa lo akan pergi?" tanya Thea.

"Nggak."

"Prosopagnosia gue sekarang ada ditingkat yang lebih parah, Lang."

"Lalu, Dokter Elis bilang apa lagi?" tanya Galang.

"Akan ada pemeriksaan ulang soal penyebab penyakit ini. Gue takut, kalau sebenarnya bukan karena kecelakaan itu."

"Semoga lo gak apa-apa. Gue selalu berharap lo baik-baik aja, Thea. Gue berharap semua akan secepatnya punya jalan keluar. Gue gak bisa ngeliat lo lama-lama sedih kayak gini."

Thea menjauhkan tubuhnya dari Galang. Galang menatap wajah Thea dengan sendu. Masalahnya sudah seberat ini.

"Lagian gue setuju, apa coba bagus nya di Galang ini. Tapi gak heran sih, kalau Thea mau sama dia."

"Iya cocok, cowok udik sama cewek yang punya gangguan jiwa."

Sekilas ucapan teman sekelasnya tadi, terngiang di ingatan Galang. Galang takut besok, semuanya masih seperti hari ini. Bagaimana kalau kejadian yang sama terjadi di kelas Thea juga?

Kasihan, Thea. Semuanya udah terlalu berat buat dia. Gue takut mental nya gak kuat, apalagi keadaan di sekolah setelah kejadian pagi tadi. Gue takut kata-kata itu bakalan Thea dengar langsung, batin Galang.

Thea melambaikan tangannya di depan wajah Galang, saat dia menyadari lelaki itu melamun. "Galang? Kok bengong?"

"Ah nggak. Gak apa-apa, The."

Galang meraih tangan kiri Thea. "The, dengerin ya. Semuanya akan berlalu, cepat atau lambat. Tuhan tau, lo yang kuat untuk nerima ini. Dia gak pernah salah pundak. Lo fokus aja sama ini, fokus untuk mikirin bagaimana caranya bisa tetap baik-baik aja, ya?"

"Gue minta tolong, kalau ada omongan gak enak dari orang lain soal lo, jangan di dengar. Anggap, lo beneran gak pernah kenal sama mereka. Lo harus bersikap bodoamat, semua untuk menjaga lo," jelas Galang.

Thea mengangguk. Sebisa mungkin akan menjalankannya.

"Gak perlu takut. Gue ada sama lo," tegas Galang sekali lagi.

Kedua anak manusia ini saling melemparkan senyum manisnya. Thea bersyukur memiliki Galang di hidupnya. Begitupula Galang.

Gue gak bisa bayangin, Lang. Kalau gue akan ngelupain wajah lo juga. Gue takut. Gue udah lupa wajah bunda, dan Abang gue. Tapi tolong, jangan lo juga. Gue takut, Galang, batin Thea.

🌻🌻🌻

Setelah bertemu dengan Thea tadi, Galang langsung pergi ke coffee shop untuk menjalankan kerja nya hari ini.

Sebenarnya, semua lumayan melelahkan, namun, ini adalah jalan yang harus dia tempuh. Semua untuk Ibunya.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Galang kini sedang membantu membereskan coffee shop yang baru saja tutup. Mengelap meja-meja yang kotor, serta membantu untuk membawa sampah-sampah di plastik besar kearah belakang.

Sebenarnya ini bukan bagian Galang. Namun sengaja membantu saja.

"Mas Galang, tumben belum pulang? Biasanya kan cuma sampai setengah sembilan. Mentok-mentok juga jam sembilan. Emangnya besok gak sekolah?" tanya Pak Ridwan, salah satu karyawan yang usianya lebih tua dari Galang.

"Iya, Pak, sengaja pulang malam. Besok mau izin soalnya."

Galang memang biasanya pulang paling malam di jam sembilan. Itu semua adalah peraturan dari Ali. Karena Ali tak mau Galang pulang terlalu larut, mengingat lelaki ini masih harus sekolah di pagi hari.

Galang, Pak Ridwan, dan Seno kini tengah duduk di lantai dapur yang sudah bersih. Mereka bersantai dan menetralkan nafasnya sekejap sebelum pulang.

"Capek juga ya ternyata. Kalian kuat banget sampai malam-malam gini tiap hari, udah mana dari pagi," ucap Galang.

"Di kuat-kuat in, Mas Galang. Kalau nggak gitu anak istri saya mau makan apa? Ini aja saya bersyukur banget bisa kerja di sini, gaji nya lumayan, bos nya baik banget lagi. Jadi ya, jangan sampe ngecewain Pak Ali," jelas Pak Ridwan dengan kekehan kecil.

Galang mengangguk. "Iya sih, Pak."

"Lang, adek nya Pak Ali itu pacar lo?" tanya Seno tiba-tiba, lelaki yang umurnya dua tahun di atas Galang.

"Hehehe, iya, Bang."

"Wah hebat juga lo. Adeknya cantik loh."

Galang tertawa kecil. "Bersyukur banget gue juga, jarang-jarang ada cewek cantik, anak dari keluarga berada, mau nerima yang kayak gue gini. Ya tau lah, mau makan aja harus ikut banting tulang," jelas Galang, disertai senyuman tipis.

Seno menepuk pundak Galang. "Kalau gitu jangan di sia-sia in, Lang. Belum tentu ada yang bisa nerima lo sebesar itu lagi."

Ditengah percakapan mereka, pintu dapur tiba-tiba terbuka, menampakkan sosok lelaki tampan beralis tebal yang kini sudah merubah penampilannya dengan kaos polo berwarna hitam dan celana bahan panjang.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Galang, Seno, dan Pak Ridwan berdiri bersamaan.

"Galang? Kok lo belum pulang?"

"Bang, Ali. Iya maaf, Bang, gue lupa ngabarin dulu tadi."

"Sebentar, Lang." Ali mendekati Pak Ridwan, memberikan sebuah amplop yang seharusnya dia berikan sejak tadi.

"Pak Ridwan, maaf ya saya baru ngasih. Padahal saya udah janji dari sore. Makannya pas keinget langsung kesini lagi," ujar Ali.

"Gak apa-apa, Pak Ali. Padahal besok juga gak apa-apa. Makasih banyak ya."

"Sama-sama, Pak."

"Ya sudah kalian pada pulang sana, udah malam loh. Jangan lupa kunci pintu. Kuncinya kamu bawa seperti biasa ya, Seno."

"Iya, baik, Pak."

Galang kini kembali mendekati Ali. Lelaki itu menggendong tas ranselnya lebih dulu.

"Bang, mau ngomong sebentar boleh?" tanya Galang.

"Boleh, Lang. Di luar aja ya."

Galang mengangguk.

"Pak Ridwan, Bang Seno, Galang duluan ya. Assalamu'alaikum."

"Iya, Lang. Wa'alaikumsalam," sahut mereka bersamaan.

Galang dan Ali kini berjalan bersama kearah luar coffee shop. Mereka berdiri tepat di halaman.

"Sebelum ngomong, gue mau nanya dulu. Kenapa sampai malam-malam gini? Besok lo masih sekolah loh," ucap Ali dengan nada agak kesal.

Sebab, Ali tak pernah ingin Galang bekerja melebihi seharusnya. Karena diusia nya sekarang Galang hanya perlu belajar dan sekolah. Namun karena keharusan, Ali membantunya, tapi tetap tak melebihi batas normal.

"Maaf ya, Bang. Harusnya gue izin dulu. Ini juga gue mau ngomong karena itu," sahut Galang.

"Ya udah, mau ngomong apa?"

Galang sedikit gugup, takut Ali tak memberikannya izin. "Jadi, besok gue mau izin gak kerja boleh? Sehari aja, Bang."

"Emangnya lo mau kemana?"

"Ini— jadi kan besok Thea ulang tahun. Lo inget, kan? Nah, pulang sekolah, gue punya rencana buat ngajak dia jalan. Akhir-akhir ini Thea lagi banyak masalah, gue gak bisa ngeliat dia sedih terus. Karena besok adalah hari ulang tahunnya, gue pengen kalau dia ngerasa satu hari adalah miliknya, gue pengen buat Thea senang. Makannya hari ini gue kerja sampai malam, anggap aja gantiin besok. Tapi, kalau masih kurang, gak apa-apa, Bang, lusa gue bisa kerja sampai tutup lagi. Tolong banget izinin gue libur besok," jelas Galang dengan rengekan kecil diakhir.

Ali diam, tertegun dengan apa yang barusan anak muda di depannya ini katakan. Galang rela melakukan ini untuk adiknya?

Galang menatap Ali takut. Aduh, gak boleh kali ya? Muka nya Bang Ali kayak serius banget gitu, batin Galang.

"Bang? Gak boleh ya?"

Ali menghela nafasnya. Bibirnya tiba-tiba tersenyum. "Jadi karena Thea?"

"Iya."

"Manusia kalau lagi jatuh cinta emang kadang konyol ya? Rela bonyok demi orang yang dia cintai," ledek Ali setelahnya.

Galang kini kembali dengan wajah dongo nya itu.

Pundak Galang ditepuk pelan oleh Ali. "Lang, lo boleh izin gak kerja. Jangankan untuk Thea. Kalau lo ngerasa lagi cape banget hari itu, lo boleh izin tanpa harus gantiin jam kayak gini. Ini malem banget dan besok lo harus sekolah pagi. Santai aja kalau sama gue."

"Yah jangan gitu lah, Bang. Lo kan bayar gue, gak enak dong kalo izin terus gitu. Besok lusa gue ganti lagi, gue kerja sampai jam segini gak apa-apa, kok," ujar Galang.

Ali menggeleng. "Nggak. Sekali ini aja lo sampai malam. Kalau besok-besok gitu lagi, mending gak usah kerja di sini."

"Jangan dong, Bang!" rengek Galang.

"Makannya nurut aja."

Senyum merekah lebar di sudut bibir Galang. "Jadi boleh nih, Bang?"

"Iya. Lo boleh izin gak kerja, dan ngajak Thea pergi. Tapi— jagain adek gue, anterin dia sampai depan pintu rumah, awas lo!" ucap Ali yang diakhiri kalimat peringat.

"Iya-iya, kalau itu pasti, selalu, dan akan seperti itu terus. Makasih ya, Bang."

Galang yang terlampau senang, kini memeluk tubuh lelaki di hadapannya. Membuat Ali mendelikkan matanya, sebab Galang memeluk terlalu erat dan mengguncangkan tubuhnya kuat-kuat.

"Makasih Bang, makasih banget!"

"Iya, iya, sama-sama. Udah ah, sesek nafas nih gue," kesal Ali, menjauhkan tubuh Galang darinya.

"Hehehe, maaf ya, Bang. Terlalu senang ini. Jangan blacklist gue dari daftar calon adek ipar lo ya." Galang mengucapkan kalimat tersebut dengan cengiran andalannya.

Ali hanya menggeleng pelan. "Ada-ada aja lo. Udah sana pulang. Langsung pulang loh, kalau aneh-aneh besok jalan sama Thea nya batal."

"Oh jangan dong. Iya ini gue langsung pulang."

Galang mengambil kunci motornya. "Oh iya, Bang. Salam ya buat adek lo yang paling unyu itu. Gue pulang dulu, assalamu'alaikum."

"Iya, wa'alaikumsalam."

Ali menggelengkan kepalanya dan tertawa. "Ada-ada aja Galang."

To Be Continued ....

🌻🌻🌻

Hallo, gimana bab 40 nya?

I hope you like it, yaa!

Gak nyangka udah 40 bab, in syaa Allah 10 bab lagi hehe. Tetap di sini karena akan semakin seru!

Kalian tim happy atau sad ending?

Belom ada gambaran kan sejauh ini? Ya udah ikutin aja dulu alurnya.

Bab kemarin lumayan sepi dari biasanya. Aku harap bab ini ramai ya, udah aku panjangin loh hehe.

Sebelum back, pencet bintang dulu yukk!

Kasih aku semangat untuk lanjut yaa!

See you hari Selasa!

Follow:

Wattpad : @thedreamwriter13

Instagram : @thedreamwriter13

Twitter : @worldofjingga13

Tiktok: @blueskyitsyouuu

Makasih love 💗

Continue Reading

You'll Also Like

1M 90.7K 39
𝙏𝙪𝙣𝙚 𝙠𝙮𝙖 𝙠𝙖𝙧 𝙙𝙖𝙡𝙖 , 𝙈𝙖𝙧 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙢𝙞𝙩 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙃𝙤 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞...... ♡ 𝙏𝙀𝙍𝙄 𝘿𝙀𝙀𝙒𝘼𝙉𝙄 ♡ Shashwat Rajva...
2.9M 180K 127
Throughout her life, Diana Greengrass was raised to hate all Muggles and Muggleborns, fear half-breeds such as werewolves, believe that Divination wa...
521K 15K 53
what happened when the biggest mafia in the world hid his real identity and married an innocent, sweet girl?
10.5K 1K 45
"I'm just no one. He is the famous student in this school meanwhile me, a new student that just a nerd and silent girl." - Kim Taeyeon ...