The Future Diaries Of Audrey

By Chocomellow26

1.5K 80 0

Audrey sangat mencintai romantisme. Dia penulis. Dan impiannya adalah mendapatkan kesempatan merasakan romant... More

Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Satu
Bab Dua Puluh Tiga
Bab Dua Puluh Empat
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam - END

Bab Dua Puluh Dua

21 1 0
By Chocomellow26

Jangan lupa vote and comment nya ya.

Terima kasih.

###

Audrey

Stars can't shine without darkness.

***

Audrey keluar dari mobil mengikuti Arkan. Laki-laki itu mengambil empat box brownis yang sudah di tata Audrey dalam paper bag. Sebagai seorang yang terakhir datang, Arkan harus pasrah mobilnya parkir di luar pagar rumah. Rumah eyang Arkan berada di tanggerang selatan. Audrey bisa melihat garasi dipenuhi mobil. Laki-laki itu membimbing Audrey masuk, melangkah menuju rumah. Rumah keluarga Arkan terlihat asri, lingkungannya sejuk, dengan taman yang luas. Rumah itu sendiri seperti rumah klasik modern pada umumnya, dua lantai, dan terlihat megah.

"Tempat ini sangat indah," Audrey masih tercenung dengan gazebo unik berbentuk saung di samping taman. Kolam di depannya diterangi dengan lampu taman. Sehingga Audrey bisa melihat ikan emas berenang di dalam kolam.

"Taman belakang lebih bagus, kau akan menyukainya." Arakan mengikuti arah pandangan Audrey. Melihat wanita itu berhenti di tengah taman dan meneliti bunga-bunga yang mulai layu karena kehilangan sinar matahari. Bunga yang sama yang Arkan lihat di depan halaman rumahnya. Bunga itu mekar dengan penuh semangat menerima matahari pagi dan mulai layu ketika matahari terbenam.

Audrey mendengar suara dehaman, dan ketika ia berbalik, wanita itu melihat Gavin bersidekap di depan pintu.

"Aku tak tahu kau begitu menyukai acara keluarga. Kukira kau tak akan datang malam ini," kata Gavin menyapa Arkan dengan cengiran, "Hai, Audrey. Bagaimana kabarmu?" Gavin melambaikan tangannya ketika mata mereka bertemu. Pria itu melangkah mendekati mereka di tengah taman. "Kau terlihat cantik dengan sweater mu."

Arkan mendengus, "tebar pesona. Jangan hiraukan dia, dia hanya ingin tebar pesona padamu Audrey."

Audrey mengabaikan Arkan dan terseyum ramah pada Gavin. "Terima kasih," tutur Audrey, ia menyelipkan anak rambutnya yang diterbangi angin. "Kau terlihat lebih lelah dari biasanya."

"Aku baru pulang kerja," Gavin mengusap wajahnya, kemeja yang ia gunakan terlihat kusut. Lengannya sudah terlipat hingga ke siku. Kantung mata Gavin menghitam. Pria itu menarik nafas ketika Audrey mengerinyit iba menatapnya. "Apa aku semengerikan itu?"

Audrey mengangguk simpati, "Kau terlihat sekarat."

Dan Gavin tertawa, "sepertinya aku butuh penghiburan. Kau mau membantuku?"

"Jangan macam-macam, kau selalu menggodanya. Dia bukan wanita yang bisa kau permainkan. Kau butuh tidur, bukan penghiburan dari Audrey," kata Arkan dan mengajak Audrey melangkah masuk melewati Gavin.

Gavin mengekor di belakang, "hei, siapa yang bilang aku akan mempermainkannya. Aku hanya bilang aku kebosanan disini, dan butuh penghiburan. Aku tak pernah bilang penghiburan yang seperti itu. Aku ini pria yang-"

"- menyebabkan wanita memutuskan untuk melajang." Serobot Arkan sambil mengarah ke dapur. "Ya, dan kau pria yang membuat wanita patah hati." Sambung Gavin bersilat lidah dengan Arkan. "Kau sepertinya lupa dengan siapa dirimu, mungkin aku lebih aman." Arkan menatap Gavin marah, tapi adiknya malah menampakan senyum kemenangan. Lalu melirik Audrey, "kau harus hati-hati Au, dia bukan pria yang jinak. Kau lebih aman bersama singa dari pada bersama Arkan." Gavin menepuk pundak kakaknya yang terlihat mulai emosi menghadapi adiknya.

"Arkan pria yang baik kok, dia menghormati wanita." Audrey berusaha mendamaikan keduanya. "Tetap saja kau harus berhati-hati." Balas Gavin lalu pergi ke tamam belakang setelah puas membuat Arkan meledak.

Arkan membawa Audrey ke taman belakang. Acara makan malam diadakan disana. Gazebo taman belakang tak kalah mewah dibandingkan gazebo depan. Gazebo dengan bentuk hexagon itu di hiasi tirai di setiap sisinya. Tirai putih itu diikat ke setiap tiang kayu, memberikan akses ke semilar angin malam masuk. Di tengah gazebo terdapat meja makan yang bisa menampung seluruh tamu malam ini. Dengan penerangan dari lampu lampu kecil disekitarnya, cahaya yang dihasilkannya seperti kumpulan kunang-kunang yang berterbangan.

"Arkan, kau datang." Seorang perempuan paruh baya menyapa Arkan ketika kami melangkah ke taman belakang.

"Bibi Julia." Arkan memeluk wanita itu lalu dengan hangat. "Oh, dan kenalkan ini Audrey."

Julia melirik wanita manis di samping Arkan. Dan tersenyum lebar sambil memeluk Audrey dengan alami seperti dia memeluk Arkan sesaat yang lalu, "Hallo bibi, saya Audrey."

Julia menatap Audrey. "Salam kenal Audrey." Julia lalu menyeret Audrey sedikit ke tengah taman. "Oh, dan kenalkan ini suamiku Tristan. Dan dua preman di sana anak anakku, mereka kembar, Ryan dan Rayka. Oh, dan wanita yang sedang menyiapkan hidangan disana kakak-kakakku, Marisa dan Sabrina dengan suami mereka Alliot dan Dylan, kakek-nenek Arkan, pemeran utama malam ini, Akram dan Kirana..."

Perkenalan itu terasa tak ada habisnya. Keluarga papa Arkan cukup besar. Sebagian besar anggota keluarga berkumpul malam ini. Ada sekitar lima belas orang ditaman, atau mungkin enam belas? Audrey kesulitan menghafal mereka. Dia berharap mereka semua memakai papan nama atau name tag. Dan dia berharap mereka semua tidak menatapnya. Dengan penuh rasa penasararan.

"Au, kau datang." Emily menghampirinya, dan ia bersyukur gadis itu mau repot-repot mengajaknya bergabung ke arah api unggun dan berkenalan dengan semua sepupu Arkan. Arkan disisi lain melirik Audrey dari gazebo, dia sibuk dengan Jevan dan Om Haris membahas pekerjaan.

Makan malam berlangsung dengan hangat. Sebagian membahas pekerjaan, atau membahas Jehan yang baru masuk sekolah kedokteran. Dia lupa apakah Jehan anak bungsu tante Marisa atau Sabrina. Oh, dan dua laki-laki didepannya adalah anak kembar tante Julia, Ryan dan Rayka. Kembar lainnya selain Gavin dan Jevan. Audrey baru sadar, hampir semua keluarga Arkan berprofesi sebagai dokter. Kecuali Arkan, bibi Julia dan Neira, anaknya Om Haris yang baru saja masuk sekolah seni.

"Ku dengar, Emily ikut kelas yoga, bagaimana kau bisa berfikir untuk yoga dengan tubuhmu yang kecil itu..." Gavin mengulurkan tangannya untuk mengambil brownis tapi neneknya menampik tangannya.

"Desert setelah makanan utama, Gav." Peringat Kirana. Nenek Arkan duduk di kursi rodanya, dengan nyaman. Sang kakek, berada disampingnya menemani dengan penuh senyuman, "Biarkan dia Ana, Gavin baru pulang kerja, dia kelaparan dan kelelahan..." laki-laki tua itu menatap Gavin, "liat wajah lelahnya, dia kelaparan." Akram menyodorkan sedikit lebih dekat box brownis ke arah Gavin.

"Kau selalu saja membela cucu cucumu, kau tak lihat, dia semakin lama semakin nakal."

"Oh, aku tak membela, mereka bekerja keras untuk mengurus pasien. Tentu aku sadar betapa melelahkannya itu.."

Sementara dua orang sepuh berdebat, Gavin berhasil mencomot potongan lainnya dari brownis di atas meja. "Ini sangat enak. Eyang kakung harus coba. Brownis dari Audrey ini enak." Gavin menyuapkan sepotong brownis ke Eyang kakungnya saat keduanya masih berdebat. Audrey menonton percakapan hangat keluarga itu sambil mengedarkan sendok dan garpu di meja makan. Membantu sebisanya setelah melihat tiga bibi dan paman Arkan memanggang berbaque di taman.

"Kau hanya menyuapi Eyang kakungmu?" kali ini Eyang putri geleng-geleng kepala dengan Gavin.

"Kalau aku menyuap Eyang Putri, aku akan disembur nafas naga. Lebih baik aku diam." Canda Gavin sambil nyengir dengan menyuap sekali lagi brownis diatas meja. Eyang putri mendesah putus asa. Dan mengabaikan Gavin.

"Abaikan saja dia," kata Eyang putri ketika ia menerima mangkuk yang berisi sup cream dari Bibi Julia. "Dia salah satu laki-laki berdarah panas dikeluarga ini."

Audrey tersenyum memaklumi, "tidak masalah Eyang," dan menyerahkan sendok dan garpu pada Eyang Kakung dan Eyang Putri.

Diantara perbincangan itu, Gavin tersedak karena masih sibuk mengunyah brownis.

"Aku tak akan melakukan manuver Heimlich padamu, Vin. Keluarkan sendiri bongkahan itu dari kerongkonganmu." Kuap Jevan yang berada disebelahnya. Pria itu kembali sibuk melipat serbet, tak menghiraukan kembarannya yang berusaha menyelamatkan diri. Sambil lalu Emily menyodorkan minuman ke Gavin, lalu melangkah mengambil serbet dan menyuplainya ke seluruh meja.

"Apa kau tak perlu menolongnya?" tanyaku khawatir pada Arkan.

"Biarkan mereka, dia tahu cara mengurus dirinya sendiri," Arkan malah tak melihat adikya, dan kembali mengobrol melanjutkan obrolan dengan Om Haris. Audrey melirik Gavin yang sedang berusaha. Dengan bantuan sandaran kursinya, dia melakukan abdominal thrust mandiri.

"Apa yang membuatmu berfikir aku bakal memintamu melakukan manuver Heimlich padaku?" balas Gavin dan menghabiskan minumannya dengan santai. Pria itu mengabil satu potong brownis lagi dan mengunyahnya dengan penuh semangat seperti tak terjadi apapun. "Tidak ada yang mengharapkan simpatimu." Gavin memberenguti Jevan, "kau dokter yang paling tidak simpatik yang pernah ku lihat. Aku heran kenapa kau mengambil dokter bedah anak jika kau tak bisa besimpati."

"Aku hanya tak bersimpati padamu," jawab Jevan, "simpatiku sia-sia jika ku gunakan padamu."

Audrey melirik yang lain, tampak santai dan nyaman. Nenek dan kakek Arkan mulai menyuap makanannya. Mengabaikan celoten dua cucunya. Dibantu Ryan, kedua sepuh itu terlihat menikmati potongan demi potongan daging yang disajikan. Emily kembali duduk di sebelahnya, saat Jevan dan Gavin masih berdebat. "Kau akan terbiasa dengan suasana ribut ini, Au." Jelas Emily, dan mulai sibuk dengan ponselnya.

"Apa makanannya enak?" Arkan berbisik kearahnya saat Audrey mulai menyuap steaknya.

"Ini enak," sahut Audrey, Arkan memindahkan beberapa sayur ke piringnya dan menerima keramahan Arkan seperti biasanya. Seperti mengisi kembali gelas minumnya, menambah saus atau mengisi piringnya dengan beragam makanan.

"Kau mau tambahan daging?"

"Tidak, ini cukup. Aku takut tak bisa menghabiskannya." Audrey kembali menyuap dengan dan mengunyahnya dengan pelan. Suasana makan malam semakin hangat. Kasih sayang dan rasa hormat menyebar di udara. Suara canda, tawa, dan kesediaan mereka mendengarkan terasa begitu menawan.

Audrey tak lagi merasa tegang. Ia merasakan kedekatan mendengar obrolan keluarga Arkan, perasaan yang sama saat ia berbicara dengan Arkan setiap malam di dapur.

"Em, apa papamu masih dijalan?" tanya Om Haris.

"Kata mama mereka baru saja berangkat," Emily kembali menyuap makannya. "Mungkin sebentar lagi sampai."

Om Haris mengangguk, dan kembali berdiskusi dengan Gavin mengenai perekembangan medis. Gavin juga bercerita tentang pasien yang datang hari ini di rumah sakit, lalu menceritakan cerita sedih si pasien. Sementara tante Julia melirik penuh peringatan pada mereka berdua.

"Tidak boleh membahas pasien disini Gav, itu peraturannya."

"Aku hanya ingin bilang bahwa dia akhirnya butuh..."

"Peraturan tetap peraturan, bicarakan itu di luar." Kata tante Julia tegas.

Gavin disisi lain memberengut kesal, lalu mengganti topiknya pada peralatan medis baru yang mungkin siap digunakan di rumah sakit.

Pintu ke arah taman dibuka, dan Audrey melihat dua orang berjalan ke arah gazebo. Dia mengenal satu diantaranya. Papa Arkan, wajah pria paruh baya itu sering ia lihat di ruang kerja Arkan. Di foto-foto keluarga yang tergantung di ruang kerja. Sedangkan yang satu lagi, Audrey yakin itu adalah mamanya Emily, karena mereka terlihat begitu mirip.

"Kalian terlambat," sergah Eyang Kakung sebelum dua orang itu sempat duduk. "Bagaimana bisa kau terlambat di acara seperti ini."

"Sorri, pa. Jalanan macet." Jawab papa Arkan dan melangkah ke arah Eyang kakung, lalu merengkuhnya dengan pelukan. Begitu juga dengan mama Emily, melakukan hal yang sama untuk Eyang Kakung dan Eyang Putri.

"Jika itu pasien gawat darurat, pastinya sudah tak terselamatkan karena kau terlambat." Jawab Om Haris. Melirik Adiknya yang duduk di seberang meja diikuti istrinya.

"Beruntungnya itu bukan pasien gawat darurat." Kilah papa Arkan. Audrey menatap mereka berdua yang mulai saling berkomentar. Setelah itu Audrey sadar, dalam keluarga ini. Berdebat dan berargumen seperti ini merupakan cara mereka menunjukan kasih sayang. Audrey juga merasa kehangatan saat mereka sibuk bersilat lidah dengan fasih. Seolah sudah biasa.

"Oh, dan kenalkan ini Audrey." Bibi Julia mengenalkan Audrey ke kedua orang tua Arkan.

"Ah, yang mengajarkan yoga ke Emily?" tanya mama Emily penuh semangat. "Aku Sonya, dan ini Tomie, papa Arkan. Tom, kau ingat Au yang sering diceritakan Emily, dia lebih manis dari bayanganku." Ujar Sonya ke arah papa Arkan. Sonya tipe perempuan yang memiliki suara yang besar dan jernih. Laki-laki itu tersenyum, dan menatap Sonya dengan penuh pengertian. "Tentu saja aku ingat, kau selalu membicarakannya."

Audrey melihat tatapan yang terjalin pada kedua orang tua Arkan. Dia pernah melihat tatapan itu pada kedua orang tuanya. Mereka menatap seolah tak ada orang lain di ruangan itu. Nada suara yang lembut dan penuh perhatian dari papa Arkan dan juga gestur tubuh yang melindungi istrinya dari angin malam, jelas menandakan laki-laki itu menghargai dan mencintai istrinya.

Mungkinkah Arkan tak pernah menyadari bahwa papanya jatuh cinta dengan Sonya. Artinya kutukan mamanya tidaklah benar. Papanya bukanlah seorang pria yang tak memiliki darah dan air mata. Dia juga punya cinta kasih. Dan Sonya berhasil menaklukannya. Audrey berharap suatu hari nanti Arkan juga akan menatapnya seperti itu. Dia berharap Arkan juga akan mencintainya seperti papa Arkan menemukan Sonya sebagai seorang yang di cintainya.

Dada Audrey terasa sesak. Tenggorokannya tersekat. Dia merasakan adrenalin terpompa keseluruh tubuhnya. Harapan melambung menjadi antisipasi. Audrey mengerjap, mengembalikan kesadaran dirinya kembali ke obrolan di meja makan.

"Selamat malam tante, Om. Saya Audrey." Audrey berdiri, dan menyalami keduanya. "Emily bilang ingin olah raga, jadi saya ajarkan yoga sebagai alternatif." Beruntungnya suara Audrey tidak bergetar atau serak karena emosinya yang meluap sesaat yang lalu.

"Aku bersyukur karena kau mau merawat Emily di rumah Arkan." Gelak Sonya. "Dia jadi lebih terorganisir dan mudah di atur. Aku terharu karena kau bisa menjinakannya." Dan semua orang tertawa mendengar komentar Sonya, "Dia terkenal berantakan."

"Ku perhatikan kau juga tambah kurus, Em." Jevan menyuap makanannya. "Kau terlihat lebih segar dari terakhir kali aku melihatmu. Bagus untukmu, kau harus berterima kasih pada Audrey." Jevan melirik Audrey, "pasti sulit mengurus dua Prasaja di rumah, Au."

"Tidak sama sekali, Emily cukup penurut." Audrey meminum airnya. Sementara Arkan kembali mengisi gelasnya begitu Audrey meletekannya diatas meja. "Terimaksih." Dia melirik Arkan sesaat, "Sepertinya kelas yoga cocok untuk Emily" sambung Audrey.

"Aku juga menyukainya." Celoteh Emily.

Oborolan pun berlanjut. Emily mulai pamer dengan kegiatannya di kelas. Dia sempat bercerita tentang pose yoga dan manfaatnya. Atau betapa sulitnya karena dia tak selentur yang dipikirkannya. Lalu kesibukannya di rumah Arkan dan betapa cerewetnya Arkan. Ditengah itu, Audrey bisa mendengar papa Arkan membicarakan seminar yang dihadirinya kepada Om Haris. Makan malam itu semakin matang saling ditampli dengan canda tawa, obrolan yang saling berganti topik, dan diselingi dengan tawa sepupu-sepupu Arkan yang masih kecil.

Bibi-bibi Arkan mengajaknya mengobrol tentang novel yang sedang ditulis Audrey, tentang Cecil dan Joe yang akan segera menikah, tentang Memem dan toko rotinya. Mereka baru sadar jika brownis yang Audrey bawa dibuat sendiri olehnya. Akhirnya, Audrey berjanji akan mengajarkan tiga bibi Arkan dan Sonya membuat brownis sehabis makan malam.

***

"Oh semua orang disini?" Renata memasuki taman. Makan malam telah usai, dan sekarang keluarga Arkan mengadakan pesta dansa di tengah taman. Para sepepu laki-laki bermain gitar, sedangkan yang perempuan bernyanyi dengan sedikit sumbang dimana-mana. Tapi itu tak apa, karena momen hangat dan tawa yang menyertainya terasa lebih romantis dari pada nyanyian orkestra manapun.

Audrey sedang berdansa dengan Arkan saat ia melihat laki-laki itu menoleh ke arah suara yang akrab. Disana, berdiri Renata. Dengan rambut tergerai, senyum lembut nan memikat, dan suara tawa yang terasa damai. Wanita itu sedang mengobrol dengan Eyang Putri dan Eyang Kakung. Renata melirik kearah mereka. Diantara banyaknya pasangan dansa di tengah taman, Audrey dapat melihat tatapan Arkan dan Renata bertemu. Dia benci mengakui rasa kehilangan sesaat yang lalu tumbuh di hatinya karena tatapan Arkan dan Renata. Meski perasaannya melambung ketika melihat Sonya dan Tomie, tapi Audrey sadar ia tak memiliki Arkan seperti yang dia bayangkan. Laki-laki itu bukan milik siapa-siapa, tapi kenapa dia merasa kehilangan karena kehadiran Renata?

Audrey tak bisa menerjemahkan perasaannya saat Renata tersenyum kearah mereka. Desiran panas menghantam dadanya hingga ke tulang punggung. Dan ia tak menyukai perasaan itu. Renata melangkah kearah mereka. Sebelum Audrey dapat mengolah perasaannya lebih lanjut. Audrey merasa harus melepaskan pelukan Arkan saat itu, tapi laki-laki itu malah mengeratkan lengannya di pinggang Audrey.

"Kenapa? Sepertinya Renata ingin bicara denganmu." Audrey melirik Arkan. Tapi laki-laki itu masih bergeming. Arkan menatapnya sesaat, sebelum mengambil nafas dan melepaskan Audrey.

"Hai," sapa Renata. Wanita itu menatap Arkan lama sebelum pindah melihat Audrey yang tepat berada disebelah Arkan. "Oh, kau bukannya penulis Hamura?" alis Renata terangkat dan ia tersenyum dengan ramah. "Aku pernah melihatmu di pesta Hamura. Kau menarik perhatian karena tinggimu. Oh, omong-omong.." Renata melirik Arkan, "Aku Renata."

Audrey merenung sesaat, melihat reaksi Arkan yang tak biasa. Dia mengambil uluran tangan Renata, "Hai, aku Audrey. Aku juga sering melihatmu di pesta Hamura. Wajah yang tak asing."

"Oh, benar. Itu cerita lama." Jawab Renata dengan canggung. Dia beralih menatap Arkan, "aku kesini ingin menyerahkan ini." Renata menyodorkan undangan pernikahannya pada Arkan. Dan laki laki itu menerimanya, masih tidak bersuara.

"Ku harap kau datang," Renata melirik Audrey, "ajak juga pacarmu." Sambungnya dan mengedipkan sebelah matanya ke arah Audrey.

Renata berbalik, dan kembali bergabung dengan Eyang Putri, Eyang Kakung dan Bibi Julia. Audrey menyentuh lengan Arkan, wajah laki-laki itu terlihat tegang dari biasanya.

"Kau tak apa-apa?"

Arkan mengambil nafas dalam, "Mm, aku baik-baik saja."

"Mau pergi dari sini? Aku mau ke dapur," Arkan melirik Renata sesaat, "kalau sulit rasanya disini, kau bisa bergabung denganku."

Arkan mengangguk, dan Audrey menarik Arkan dengan penuh keberanian menyeberangi taman yang dipenuhi lirikan heran dari orang-orang disekitar kami. Tapi aku, maupun Arkan tak peduli. Kami memasuki dapur, dan aroma brownis menyebar di udara. Brownis yang ia buat beberapa waktu yang lalu bersama tiga bibi Arkan dan Sonya.

"Kau aman sekarang." Audrey berbalik dan melepaskan tangan Arkan. "Kau terlihat tak nyaman tadi. Mau coklat panas?" tawar Audrey dan mengarah ke meja bar didapur untuk mengambil coklat dan susu UHT.

"Aku bukan anak kecil," kekeh Arkan ketika ia melihat Audrey benar-benar berniat membuat coklat panas untuknya. Arkan melangkah ke arah Audrey, "Au, dari pada coklat panas, aku lebih butuh ini..." Arkan menarik Audrey sedikit, dan mempertemukan bibir mereka. Ciuman itu lembut, menuntut dan terasa rapuh. Perasaan Arkan mengalir, dan Audrey tak yakin apakah Arkan ketakutan atau kegirangan.

Begitu ciuman itu selesai, Arkan menatap Audrey sesaat, lalu memeluknya erat. Debar jantung Arkan terasa begitu kuat. Audrey mengusap lembut punggung Arkan dan merengkuhnya sebanyak mungkin. Arkan mempererat pelukannya. Audrey merasa nyaman dengan posisi mereka. Mungkin inilah awal mulai ia menyukai Arkan. Kenyamanan yang ditawarkan laki-laki itu padanya seperti halnya pelukan nenek saat ia demam. Atau usapan kepala dari Joe saat ia menangis. Perasaan itu tumbuh semakin bertahap, tanpa ia sadari, dirinya sendiri sudah jatuh cinta pada Arkan. Kelembutan, pesona Arkan, sikap bertanggung jawabnya, atau yang lebih parah tipe pria gila kerja yang sering menjadi perbincangan di Hamura.

Arkan penuh dengan tipe pria idamannya.

Ibunya dan neneknya menanamkan cinta dan kasih sayang. Meski seperti cerita dari negeri dongeng. Audrey sering membayangkan bahwa cinta itu seperti kasih sayang ibu. Ia membayangkan perasaan yang lembut, menentramkan seperti mandi air hangat atau terbungkus selimut disaat hujan. Perasaan yang membuat hatinya tentram seperti sup ayam disaat demam. Audrey tak menduga cinta bakalan seperti ini. Ia tak menduga sensasi mabuk kepayang. Membuatnya pening. Ia ingin tersenyum sepanjang hari meski tak ada hal yang membuatnya tersenyum. Inilah kenapa orang mengatakan jatuh cinta membutakan.

Bukan seperti ini yang ia bayangkan. Ia jatuh cinta pada Arkan sedikit demi sedikit. Sentuhan demi sentuhan. Lirikan demi lirikan. Setiap desiran hangat yang mereka bagi. Setiap kali detakan jantung terjadi. Dari setiap obrolan, tawa dan air mata yang mereka bagi. Ia tak yakin apakah dirinya senang, gelisah, atau takut dengan keadaan sekarang.

Tapi Audrey tahu Arkan tak akan menyukai ini. Dia akan lari, kabur dan bersembunyi. Audrey tak ingin itu terjadi. Tidak untuk sekarang. Dia takut menyaksikan perubahan Arkan. Dia belum siap untuk itu. Tantangan itu terlalu berat untuknya. Karena itu, Audrey berdiam diri. Menyimpan rahasia di hatinya. Cukup lama, mungkin akan sangat lama. Audrey tak mengira ternyata cinta tak semudah yang ia pikirkan. Mungkin ini tak mudah karena dia tak mencintai orang yang menginginkan cintanya.

***

Yuk follow dulu akun Chocomellow26, biar dapat update cerita terbaru dari Choco, terima kasih. 

Continue Reading

You'll Also Like

17.5K 323 35
Hacker adalah orang yang mempelajari, menganalisis, memodifikasi, menerobos masuk ke dalam komputer dan jaringan komputer, baik untuk keuntungan atau...
1.2M 17.4K 37
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
426 120 64
Judul : K.U.N Penulis : Gerimis Senja Bab : 257 Sinopsis : Berawal dari Agam, seorang murid baru yang mendapat tantangan dari Maxim untuk...
1.2K 105 19
"Kamu tahu, tidak, Ellena, di sini berkembang mitos tentang daun maple." "Apa?" "Katanya, kalau sepasang pria dan wanita kejatuhan daun ini saat musi...