Alina's Love Story [TAMAT]

By fmoonab

306K 20.1K 2.7K

Mengisahkan perjalanan hidup Alina yang penyabar nan baik hati, dengan sang anak yang bernama Putra. Putra ad... More

1. Nangis.🌹
2. Sayang mamah.❤
3. Siapa Alina?
4. Peluk mamah.
5. Jalan-jalan.
6. Peluk?
7. Jahat.
8. Papah.❤
9. Setuju
10. Kiss.
11. Miss me?
12. Paulina?
13. Abuela. ❤
14. Cry..
15. Menikah. 💔
16. Malam pertama.💔
17. Putra.. ❤
18. Uang.
19. Hadiah.
20. Alina🔥
21. Tersinggung
22. Rangga tak ada
23. Talak.
24. Jangan ganggu
25. Jadi talak?
26. Bulan madu
27. Putra marah
28. Honeymoon.❤
29. Pulang honeymoon.
30. Lea.
31. Lea🚩
32. Mulai romantis.
33. Baju olahraga.
34. Terbongkar?!
35. Hug.🩷
36. Diantar papah.
37. Tahu.
38. Berusaha tegar.
39. Sulit.
40. Alina pergi.
41. Merana.
42. Spanduk
43. Coba cari lagi
44. Bertemu?
45. Cerai?
46. Minta cerai!
47. Putra menangis.
49. Ngidam
50. Tak mau berpisah.
51. Tidak
52. Ulang Tahun❤️
53. Tembak
54. Putra berulah.
55. Kabar buruk
55. Hore!!
56. Kado apa?
57. Ikhlas.
58. Liburan
59. Jalan-jalan.
60. Farhan kurang ajar.
61. Ada adek❤️
62. Mengejutkan
63. Masuk Penjara?
65. Bayi❤️
65. Cordellia Iswara
66. True Love ❤️
67. "Tolong jaga suami hamba."
68. Lili cute.😙
69. ALINA❤️

48. Saran Jaya

1.1K 105 18
By fmoonab


Mata itu menutup, namun telinganya mendengar dengan jelas. Di luar ruangan sedang terjadi keributan antara Paulina, Jaya, dan Rangga. Sementara itu, ketiga adik Rangga duduk mengelilingi di ranjang. Bayangkan betapa Alina trauma.

Tak bergerak sedikitpun dalam tidurnya. Alina mendengar jelas teriakan Paulina yang sudah frustasi.

"Alina, jangan bohong. Kita tahu kamu ga tidur," ucap Lea berdiri melipat tangan.

"Kita kesini mau minta maaf. Sedikit banyaknya alesan kamu minta cerai itu karena kita." Lea tak terlalu menyesal, namun berharap banyak.

"Maafin aku. Mamih bilang ke kita, kamu pasti berat banget jalanin semua." Lucia angkat suara.

"Mungkin ada kata-kata aku yang pernah nyakitin kamu, Alina. Semoga kamu bisa maafin kita." Teressa sangat bijak menghadapi Alina yang masih enggan membuka mata.

"Kita bakal berubah, Alina. Aku minta maaf."

"Seperti yang mamih bilang ke kita, kita juga seorang menantu, seorang ipar buat adik-kakak suami kita," ungkapnya menangkup punggung tangan itu.

"Kalo kamu keras kepala terus, sana tangannya sendiri! Cari sendiri solusinya! Ga akan ada yang benerin tindakan kamu! Cuma orang gila yang bakal ngebela!!" teriak Paulina sangat nyaring hingga Alina mendengar seluruhnya.

"Mih, Rangga bener-bener bodoh dulu, miih! Rangga fikir Alina ga bakal kabur!"

"Waktu hari itu, jam empat dini hari, banyak miss call dari semua. Aku telepon balik, ternyata mamih koma!"

Mendengar teriakan suaminya, Alina tak lagi mau berpura-pura menutup mata. Ia begitu fokus mendengarkan, mengabaikan ketiga adik ipar.

"Orang bilang, wanita Timur itu jaga keperawanannya. Kalo udah gitu, dia pasti mau diajak nikah, meskipun terpaksa!"

Seketika Alina bangkit. Ia berusaha menuruni ranjang.

"Al-alinaa! Alina, kamu ngapain?"

"Alina, jangan! Heii!"

Seluruh adik Rangga mencegah, namun Alina abaikan. Ditatapnya mereka satu persatu dengan tatapan lemah, namun berani.

"Oke, oke. Tapi harus kita bantu! Kamu bisa sakit parah lagi!"

"Aku minta kalian diem aja," ucap Alina mendongak setelah dibantu duduk di kursi roda.

"Oke, fine! Kita ga keberatan."

"Ssuut." Alina terpejam ingin mendengar pembicaraan diluar. Ia gerakkan kursi rodanya dengan remote.

"Udah, udah, kak. Turutin aja! Kita juga kepo, kan, sama targedinya?" cegah Lucia merentangkan tangan di depan dada Lea.

"Ssut! Ayo!" ajak Teressa sangat fokus.

"Rangga emang gila, mih! Rangga ga mau ngulur waktu biarin Alina digoda cowok lain, Rangga selalu ditantang, tapi buat deketin Alina rasanya segan."

"Haha! Segan? Ngelawak, kamu? Segan dari sebelah mana?! Segan, kok, dilecehin! Cih!" sahut Jaya menatap sinis pada anaknya.

"Iya! Lama-lama kamu tuh gila, tahu, ga?!" sambung Paulina berkacak pinggang.

"Kamu itu anak pertama, kamu pinter, kamu jenius di sekolah. Bisnis papih lancar, jaya, berkembang beratus-ratus persen. Kita bebasin kamu bikin keputusan sedari muda! Karena apa? Kita sebagai orang tua yakin kamu bisa diamanati!"

"Papih, mamih, kakek nenek kamu, semua ga ada yang suka ngatur kamu! Kita biarin!"

"Kita percaya sama kamu! Kamu ga bakal ngelakuin hal-hal nyeleneh! Tapi apa?!! Pergaulan kamu! Gila!!" bentak Paulina tuk kesekian kali. Urat-urat di lehernya tercetak sempurna. 

"Kamu suka mabuk, that's fine. Kamu narkoba, ga kita hukum,.. semuaa! Itu karena apa? Karena kita percaya kamu ga bakal ngelakuin hal diluar kontrol."

"Ga semua wanita bisa kamu bayar dan beli. Alina itu wanita terhormat, makanya kamu mau dia, kan?"

Rangga terus menggaruk tengkuk kala frustasi.

"Rangga udah jelasin, Rangga cari Alina. Rangga kerahin banyak ajudan buat jaga Alina di hutan!" geram Rangga frutasi ibunya tak kunjung paham.

"Ya tapi buktinya gini!!" teriak Paulina jauh lebih menakutkan.

"Terus Rangga harus apa?"

"Kamu harus tahu perasaan Alina. Kamu harus tahu kalo perbuatan kamu itu ga mudah dimaafin."

"Rangga, tahu!"

"Aku tahu!"

"Dulu aku emang bejat! Aku bejat! Tapi itu murni karena aku mau dia, tapi aku ga tahu harus gimana!"

"Buat pertamakalinya Rangga jatuh cinta sedalam dan sebesar itu. Sampe-sampe aku ga berani godain Alina." Rangga duduk di sofa. Ia merenung penuh penyesalan.

"Kalo bahas masa lalu, seabad pun ga bakal selesai." Jaya menengahi.

"Ya, tapi Alina trauma, pih! Kita bisa lupain, karena kita ga ngerasain!"

"Ga mungkin kalo semua orang harus rasain. Ini gunanya kita, bantu Alina maafin apa yang udah terjadi," jawab Jaya terdengar kejam untuk Alina, namun ini faktanya.

"Kalo memang kita semua harus ngalamin dulu, kapan selesai? Ga usah dibulak-balik alesannya."

Paulina dan Rangga mengangguk setuju.

"Udah, kita ke Alina lagi sekarang."

"Aku ga mau cerai." Rangga bergeming. Ia tak mau beranjak sedikitpun.

"Sampai kapan pun aku ga bakal talak dia."

"Aku bisa bahagiain dia. Aku pernah nyakitin dia bukan berarti dia bakal ga bahagia sama aku."

Rangga mendecih, menyeringai penuh percaya diri di hadapan orangtuanya.

Tiga wanita bule tinggi langsing itu buru-buru mendorong kursi roda Alina. Lucia berlari mendahului. Ia gendong Alina yang sudah di samping ranjang, ia daratkan tubuh itu dengan hati-hati.

'Ctlek.'

Teressa melotot memberi kode agar Alina menutup mata. Alina pun segera patuh.

"Kalian jangan teriak-teriak. Alina dari tadi ngerimang terus, dia ga nyaman."

"Iya." Rangga mengabaikan adiknya.

"Udah jam makan. Dia harus bangun."

"Babe, honey, waktunya makan." Rangga sangat lembut membangunkan istrinya.

Menatap pada satu perawat yang berdiri di luar pintu, Rangga memerintahnya masuk dan menyiapkan makanan khusus.

Lea pamit terlebih dahulu dengan alasan pekerjaannya harus dikerjakan. Sementara itu, Teressa ikut menyajikan bubur dengan perawat.

"Banyakin kaldunya aja. Biar cepet sehat," uca Teressa merebut mangkok dari tangan perawat.

"Alina udah boleh makan merica?"

"Boleh." Rangga mengangguk.

"Aku pakein dikit, ya. Biar anget. Dagingnya tolong dihancurin. Biar saya yang bikin bubur."

"Untung aja udah bisa makan bubur, ga air doang. Bahaya banget buat janin, kasian."

Rangga tak menggubris. Ia mengusap kaki istrinya dari atas hingga bawah, memberi pijatan lembut menggunakan minyak oles.

"Sayang, hei. Waktunya makan, sayang," bisik Rangga tepat di sisi telinga istrinya, mengusap kepala itu.

"Sayaang,.. babee,.. Honey,"

"Trimeseter emang banyak yang parah-parahnya, kak. Apalagi ini Alina punya asam lambung, ditambah maag kronis," ucap Teressa mengaduk bubur.

"Sayaang, bangun, sayaang. Babee,.. waktunya makan, babe."

Begitu sabar Rangga menunggu. Ia usap perut istrinya dengan hati-hati. Ia tersenyum ditengah keresahan hati.

Perlahan Alina membuka mata.

"Hai. Waktunya makan siang." Rangga tersenyum lembut mengangkat mangkok di tangan.

"Sekarang duduk dulu, okay?"

"Iya, mas."

"Aku seneng kamu tidur nyenyak." Rangga tersenyum membantu istrinya duduk.

Alina masih Alina yang datar, tak ingin banyak bicara, bahkan selalu menghindari kontak mata.

Dengan begitu telaten Rangga menyuapi. Ia puji istrinya yang mampu makan lebih dari lima sendok. Hebat! Ia tak berhenti tersenyum kala menyaksikan istrinya yang tak banyak menolak.

"Bagus! Kalo gini bakal cepet sembuh," ucap Rangga membersihkan permukaan bibir istrinya.

'Cuup.'

'Cuup.'

Alina tak berkutik menyaksikan tangannya digenggam, diberi kecupan bertubi.

"Ah? Iya! Belum minum. Haha. Wait!"

"Teressa, tolong isi botol itu."

"Iya, kak. Bentar." Teressa begitu patuh. Teressa memang tidak seperti adik-adiknya yang sering meledak-ledak. Teressa cenderung mengamati keadaan, lalu bicara seperlunya.

"Minum. Hati-hati."

"Sepuluh menit abis ini, waktunya makan obat." 

Ucapan Rangga dijawab anggaran patuh oleh istrinya yang menyedot air menggunakan sedotan.

"Cepet sembuh. Aamin," ucap Rangga menunduk menatap perut istrinya yang ia usap.

"Aamiin, mas." Alina ikut mengusap perutnya. Tangannya menangkup tangan besar itu.

"Please leave us, Teressa."

"Umm,.. iya, kak. Alina, aku pamit. Ayo, Lucia."

"Kak Rangga, kak Alina, Lucy pamit dulu. Cepet sembuh." Lucia tak lupa berpamitan.

Laptop dan iPad dikeluarkan oleh Rangga. Satu persatu perangkat miliknya dinyalakan, termasuk ponsel yang hanya dimainkan di waktu-waktu tertentu.

Tiba-tiba Rangga bertanya apakah istrinya ingin menghirup udara segar. Alina menggeleng.

"Hai. Katanya udah bisa makan bubur, ya, sekarang?" sambut Paulina berlagak sudah tak terjadi apapun.

"Ini, mamih bawa minuman. Kalo bahasa indonesianya jamu, kali, ya. Cuman ini ga pekat. Ini bantu banget! Mamih udah pernah."

"Mamih apa kabar?" tanya Alina lembut.

"Ya? Mamih baik-baik aja."

"Pih, bukain."

Alina mendengus menyaksikan Paulina yang duduk menyerahkan botol pada Jaya.

"Papih apa kabar? Papih sehat?" tanya Alina tak mengada-ngada. Jaya mengedip lembut, memberitahu kalau ia kondisinya baik.

Perut Alina tiba-tiba ditimpa sesuatu. Ternyata suaminya fokus bekerja, mengetik dengan lima jari. Tangan kiri suaminya tak mau beralih dari perut.

"Besok-besok harus keluar, kena mata hari."

"Iya, mih. Makasih."

"Tadi udah diajak. Tunggu lebih baikan lagi. Alina lemes."

"Malem ada rapat, kamu mau hadir?"

"Lewat sini aja." Rangga menatap sesaat pada ayahnya, lalu kembali fokus.

'Cuup.'

Pria yang duduk di kursi dengan meja yang ia sengaja simpan di samping ranjang istrinya tiba-tiba mengecup pada perut yang ada di dekatnya. Entah, ia melakukannya tanpa maksud apapun. Ia hanya ingin calon anaknya nyaman.

Jaya menyicikkan minuman sesuai perintah istrinya. Ternyata itu untuk Alina.

"Diminum sekarang, mih? Ini ga papa?"

"Nggak, nggak papa. Justru bakal cepet sehat! Kasian cucu mamih kekurangan nutrisi nanti."

Alina meminum isi gelas itu sampai habis. Tangannya dengan tangan sang suami sesekali saling mengusap diatas perut. Mereka sama-sama melindungi calon anak mereka.

Dengan sigap Rangga meraih gelas kosong di tangan istrinya, lalu kembali bekerja.

"Semuanya bakal baik-baik aja," ucap Paulina pada menantunya yang membeku menelisik wajah tampan Rangga.

"Mending kamu kerja yang fokus di luar. Biarin mamah sama Alina ngobrol."

"Aku ga ma–. Oke."

"Makasih, mas," ucap Alina tepat sebelum suaminya hilang dibalik pintu.

"Maaf papih desek kamu, Alina. Papih mau nanya, keputusan cerai kamu udah sebulat itu," tanya Jaya tak mau belama-lama.

Alina bergeming sangat lama. Mata indahnya menerawang berat. Ia biarkan ibu dan ayah mertuanya menunggu.

Semua kenangan manis nan indah terngiang jelas dalam ingatan. Betapa Rangga memperlakukannya dengan baik

"Ada yang harus aku perjelas, mih. Kejadian pemaksaan di dalam pernikahan ga aku permasalahin. Karena aku tahu disana mas Rangga lagi emosi, atau akunya bikin ulah, terus sampe kejadian hal kayak gitu. Akuu,.. maklumin itu. Meski memang itu salah." Alina gemetar kala bicara. Ia bicara apa adanya.

"Yang akuu permasalahin itu perlakuan mas Rangga sepuluh tahu yang lalu. Yang mana kita ga sempat saling kenal. Aku ngerasa ga ada perlakuan aku yang memberi celah mas Rangga lakuin itu."

"Apalagi aku masih remaja, ga tahu apa-apa, bahkan hampir ga kenal siapa mas Rangga." Alina menitikkan airmata.

"Alinaa,.." lirih Paulina meraih tangan menantunya, mengusap disana.

"Disanalah aku kecewa berat. Andaii,.. andaii aja aku pernah bikin salah. Mungkin, mungkin! Hiks. Mungkin bisa ada sedikit pemakluman."

"Tapi ini nggak." Alina mencebik.

Paulina duduk di sisi ranjang. Ia usap airmata Alina dengan tisu.

"Aku manusia biasa, begitu pula mas Rangga. Aku bisa sulit maafin orang, mas Rangga juga bisa jahatin orang."

"Seperti itulah manusia, mih."

"Tapii,.. hiks. Hiks. Aku kayak gini karena aku jatuh cinta sama mas Rangga, miiih," lirih Alina menutup wajah. Ia terisak pedih.

"Aku jatuh cinta sama mas Rangga. Hiks. Hiks."

"Huuuuu. Huuuu."

Paulina dan Jaya terkesiap. Keduanya bertatap mata satu sama lain. Pasti anaknya belum tahu fakta ini.

Spontan Jaya menarik bahu Alina, membuat bahu menantunya bersandar.

"Hiks. Hiks. Hati aku hancur! Cinta aku yang dengan susah payah tumbuh, malah dibayar fakta menyakitkan!" tukas Alina memukul dada dengan lemah.

Paulina mengangguk tak bisa bicara. Ia paham  paham betul apa yang menantunya rasa.

"Mungkin, kalo fakta itu diketahui sebelum kita nikah, bisa aja pernikahan kita bahagia, ga ada yang dipermasalahin sekarang. Semua akan selesai dari dulu."

"Tapi ini? Aku bahkan baru tahu fakta itu sekarang. Akuu,.. aku berhak sakit hati. Hiks. Hiks."

"Jangan nangis, Alinaa. Mamih ga mau kalian kenapa-napa lagi." Paulina menarik tubuh sang menantu, ia mendekap erat.

"Hiks. Hiks. Aku masih ga percaya, miih."

"Yang bikin aku sengsara itu suami aku sendiri."

"Tapii,.. sayangnya aku jatuh cinta sama dia sekarang. Hiks. Hiks." Alina berusaha menyembunyikan wajah.

Tangan Paulina terus memberi temukan dan usapan. Ia iyakan seluruh ucapan menantunya.

"Mas Rangga ayah yang baiik. Mas Rangga suami yang baiik. Hiks."

"Mas Rangga emang emosional, mas Rangga sensitif banget orangnya, harus selalu dikabulin semua kemauannya. Dan aku ga terlalu masalah sama itu, mih, pih. Aku pikir, itu kewajiban aku sebagai istri, bikin suami aku bahagia dengan adanya kehadiran aku."

"Aku coba terima apapun yang mas Rangga lakuin ke aku dulu, segala hal yang suami istri lakuin. Bahkan sebelum aku ikhlas, karena memang belum jatuh cinta."

"Karena aku tahu, aku udah jadi istri mas Rangga. Ikhlas ga ikhlas, mau ga mau, aku harus bersedia," terangnya sangat rinci dan mudah dipahami.

Paulina terus mengangguk, tak bisa mendebat. Alina memang wanita berhati lembut.

"Yang aku permasalahin tu kejadian di luar nikah. Itu! Ga ada lagi!"

"Mas Rangga kasar? Bikin aku sedih? Iya! Itu bener. Tapi ga papa, mih, ga papa. Mas Rangga ga pernah pukul aku, ga tampar aku, ga siksa aku."

"Alinaa, kamu wanita baik. Kamu terlalu baik. Hiks. Hiks. Mamih ga tahu harus gimana sekarang. Hiks. Hiks. Mamih emang mau kamu bertahan. Tapi kalo emang terlalu berat buat kamu, mamih mana tega. Hiks. Hiks." Paulina mendongak mengusap kepala Alina yang bersembunyi di ceruk leher.

"Hati kamu pasti hancur. Kamu pasti ga nyangka Rangga pernah sebejat dan sejahat itu."

"Perilakunya memang bajingan! Hiks. Mamih gagal jadi orangtua. Hiks."

"Nggak, mamih, nggaak." Alina merengek membantah. Paulina tidak bersalah.

"Mamih udah bijak, mamih jadi penengah yang baik disini, miih," ungkapnya menangkup wajah cantik sang mertua dengan satu tangan.

"Tadinya,.. mamih mikirin gimana gilanya Rangga tanpa kamu. Tapi kalo kamu gila karena anak mamih, mamih ga mau."

"Hiks. Hiks."

Alina mengangguk. Kini ia tak mau menangis lagi. Dirinya harus bijak, dirinya harus berbaik hati.

Jaya mengusap kepala Alina dan Paulina bergantian. Sebijak mungkin ia membahas kondisi Putra dan calon bayi. Dengan sangat terbuka Alina menyambut. Memang pembahasan tidak sampai di dirinya saja, tapi merambah ke kedua anaknya.

Jaya bilang kalau alangkah lebih baik memperbaiki semua dengan membangun masa depan yang indah. Waktu memang tak akan bisa diputar. Manusia bisa apa.

"Papih yakin Rangga udah berubah. Itu dulu. Lagi pula, kalian sekarang suami istri, dan kamu istri yang baik."

"Pikirin Putra, janin di perut kamu juga. Papih orangtua papih dulu cerai, dan rasa sakit sampai sekarang, sampai papih setua ini. Andai yang satu tidak selingkuh. Sementara, mana bisa ibu papih bertahan sama tukang selingkuh, kan?"

"Apalagi ini, Alina. Rangga ga pernah selingkuh, ga mungkin selingkuh. Apa yang kamu kejar dari perceraian kalo seandainya terjadi?" ucap Jaya sangat tegas dan lembut.

"Apa dengan cerai, kamu akan bahagia begitu saja? Apakah kamu akan mencari cinta baru? Berbahagia dengan pasangan baru? Hmm?"

Alina bergeming. Ia mencerna seluruh kalimat saran yang mertuanya ucap. Semuanya benar adanya.

"Kalo kamu cerai, apakabar Putra? Anak kedua kalian? Hmm? Mereka mau dioper dua hari di rumah ibu, dua hari sama ayahnya. Gitu terus?"

"Nggak, pih. Hiks. Alina ga mau gitu." Alina gemetar. Ia menggeleng dengan tatapan kosong tak terima.

"Atau mereka bakal dipisah? Yang satu sama ayah, yang satu sama ibu? Ketemu cuma beberapa hari dalam seminggu. Gitu?"

"Kalian mau biarin anak kalian ga bisa seperti anak lain yang hidup bahagia serumah sama saudaranya, tumbuh bersama? Hmm?"

"Nggaak, piiih, miih, enggaak. Huuuu." Alina menangis lagi. Itu menyayat hati. Kasihan anak-anaknya.

"Fokus kalian itu memperbaiki masalah, membangun masa depan yang lebih indah."

"Ga bakal ada ujungnya kalau perceraian dinormalisasi. Mau diapakan anak-anak korban perceraian?"

Alina terpejam meneguhkan hati. Kedua tangannya saling menggenggam dengan Jaya dan Paulina.

Kembali Jaya berucap. Ia bilang kalau selagi bukan KDRT, tidak membuat mental anak rusak, tidak menjadi suami lalai yang bertanggung jawab, lebih baik semuanya dipertahankan.

"Apalagi ini kisah lalu, sepuluh tahun yang lalu. Ada banyak pelajaran yang Rangga ambil. Dan asal kamu tahu, Rangga ga pernah lakuin itu ke siapapun. Rangga bukan penjahat kelamin, predator, bukan!"

"Papih berani sumpah! Rangga seperti ini karena memang terobsesi sama kamu. Dia terlalu cinta sama kamu, mau kamu selalu sama dia,.. dan semua itu berujung dia ambil langkah yang salah." Jaya mengusap punggung tangan Alina yang begitu erat menggenggam.

"Iya, iya, betul, salah lagi. Cara rangga mencintai kamu memang salah! Memang!" tukasnya mengangguk dengan suara besar yang gemetar.

"Cuma itu yang mau papih jelasin. Semoga kamu bisa berbesar hati."

Tinggal lah Alina sendiri di kamar inapnya. Ia bergeming sejak satu jam yang lalu di tengah kesendiriannya.

Kepala itu mengangguk lemah. Kejadian itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Sudah banyak hal yang suaminya lalui selama mencari keberadaannya. Justru suaminya ingin membayar segala kesalahan padanya.

Meski sulit, Alina harus tetap waras. Membahagiakan kedua anak-anaknya adalah sebuah kewajiban baginya. Membuat anaknya kecewa akan membuatnya jauh kecewa.

Bersambung,....

Ayo, ayo, ayooo! Mana suaranyaa?
Komen komen komeen! 💯💯💯
Utarakan keluh kesah kalian. 💣💣

Ramein kolom komentarnya yaa. Hehe. Biar aku mood dan makin semangat update. Mmwah!🤞😘😘

Makasih banyak udah mau vote, komen, dan follow aku🤗🤗😍😆🥰😋😘

Continue Reading

You'll Also Like

53K 4.4K 13
Christy anak badung, keras kepala yang selalu kesepian karena orang tua nya membuangnya sedari kecil, dia tinggal sendiri dan mencari nafkah sendiri...
My sekretaris (21+) By L

General Fiction

267K 2.6K 20
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
49K 1.6K 33
Jangan pernah jatuh cinta pada seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya. Karena pada kenyataannya, setulus apapun kamu, jika orang lama kemb...
114K 3.5K 55
Bisa nggak masa lalu itu terikat? Apakah mungkin seorang yang kita temui pertama kali akan menjadi yang terakhir untuk kita? Apakah tidak ada yang le...