Letter For God [COMPLETE]

By inimipanzuzu

2.4K 372 209

Maaf kak.. More

Letter For God (1)
Letter For God - End

Letter For God (2)

538 119 43
By inimipanzuzu

Satu hari setelah kejadian dimana si jago merah melalap seluruh rumah kecil beserta kedua orang tua nya pun Digta terlihat masih berdiam diri di puskesmas untuk menemani sang adik yang sempat shock akibat kejadian tersebut sehingga mengharuskan si kecil Acel di rawat beberapa hari di puskesmas, itu pun hanya di rawat seadanya karena Digta tak punya uang untuk membayar biaya pengobatan sang adik di puskesmas ini, untuk membeli obat sang adik pun Digta tidak sanggup, ia hanya mengandalkan belas kasihan para tetangga dan orang-orang di sekitarnya. Beruntunglah puskesmas tersebut masih mau menampung adiknya.

Lalu bagaimana dengan rumah kecil dan kedua orang tuanya? Rumah satu-satunya tempat bernaung untuk Digta dan Arsel terbakar habis, begitu juga dengan orang tua mereka yang tak selamat. Warga bilang kedua orang tuanya sudah di makam kan dengan layak kemarin dan sekarang ini Digta hanya perlu fokus untuk kesembuhan adik kecilnya, begitulah kata orang-orang.

"Adik bangun, kita harus pergi dari sini secepatnya.." gumam Digta lirih seraya tak melepaskan genggaman tangannya dari tangan yang lebih kecil darinya.

Ya saat ini Digta sedang was-was, orang-orang yang bersimpati padanya dan juga sang adik nyatanya akan membawa Digta dan juga Arsel ke panti asuhan agar ada yang bisa merawat mereka. Sebenarnya itu merupakan hal yang bagus, namun sayangnya mereka akan di kirimkan ke panti asuhan yang berbeda, jelas saja Digta menolak hal tersebut lantaran ia enggan berpisah dengan sang adik. Digta ingat, dulu ia pernah berjanji pada ayah dan ibunya bahwa ia akan menjaga Arsel dengan baik, Digta berjanji akan menjaga dan melindungi Arsel, ia juga janji tidak akan pernah meninggalkan Arsel sendirian, dan tentu Digta tak ingin mengingkari janjinya pada mendiang ayah dan juga ibunya. Digta tak ingin kedua orang tuanya kecewa dan juga Digta terlalu menyayangi adik kecilnya lebih dari dirinya sendiri.

"Adik bangun.. adik gapapa 'kan? Kenapa adik bobonya lama, bangun adik kakak takut, adik jangan tinggalin kakak juga.." air mata mengalir begitu saja di kedua pipi Digta, ia takut adiknya ini kenapa-napa padahal dokter sudah mengatakan bahwa Arsel baik-baik saja tetapi tetap saja Digta belum bisa bernapas lega karena adiknya belum bangun juga.

Hingga tak lama dari itu akhirnya kedua netra fox Arsel pun perlahan mulai terbuka.

"K-kakak.." panggil Arsel pelan.

Mendengar suara adiknya, Digta buru-buru menyeka air matanya.

"Adik bangun! Kakak disini adik!" seru Digta seraya menunjukan senyum lebarnya.

"Kakak hiks.. ayah sama ibu di dalam kak, api nya besar, Acel takut hiks.." isak Arsel yang kembali teringat kejadian tragis kemarin. Buru-buru Digta pun membawa tubuh sang adik ke dalam dekapannya.

"Stttt adik jangan takut, ada kakak disini. Ayah sama ibu emang udah ga ada, Allah udah panggil mereka. Tapi adik tenang aja ada kak Digta disini, kakak janji akan selalu menjaga dan melindungi adik, jadi adik jangan takut ya," ucap Digta bak orang dewasa yang pada nyatanya ia hanya bocah 10 thn yang juga sama takutnya dengan sang adik juga masih butuh perlindungan orang dewasa.

"Kakak jangan pergi ya, jangan tinggalin Acel hiks.."

"Kakak janji, kakak ga akan ninggalin Acel. Sekarang lebih baik kita pergi dari sini, Acel udah ga apa-apa kan?"

Arsel menggeleng pelan, "pergi kemana kak?"

"Kemana aja yang penting ga disini, orang-orang mau misahin adik sama kakak jadi kita harus pergi dari sini ya.."



Hari semakin larut namun hujan masih senantiasa mengguyur kota besar ini. Terlihat ada dua anak kecil yang masih berkeliaran menyusuri jalan di bawah kolong jembatan. Kedua kaki mungil mereka terus melangkah tanpa arah dan tujuan yang jelas. Ya, siapa lagi kedua anak tersebut kalau bukan Digta dan sang adik Arsel.

"Kak kita mau kemana lagi? Acel capek, kaki Acel sakit kak, Acel juga laper," tanya Arsel.

Digta tak menjawab ia mengedarkan pandangannya menatap sekitar.

"Ayo duduk dulu disana, kita istirahat dulu disana ya," ucap Digta seraya menuntun sang adik untuk duduk di salah satu bangku yang ada di bawa kolong jembatan tersebut.

"Dingin kak.." lirih Arsel saat sang kakak mendudukan tubuhnya di bangku tersebut.

"Adik sabar ya.. sini kakinya kakak pijat dulu biar ga sakit lagi," Digta mengangkat kedua kaki mungil sang adik untuk di pijatnya.

"Masih sakit?" tanya Digta.

Arsel menggeleng lalu menunjukan senyum lebarnya pada sang kakak, "udah ga sakit kak!"

Digta tersenyum lega, lalu membawa tubuh sang adik ke dalam pelukan hangatnya.

"Ayah.. ibu.." lirih Digta diiringi dengan air mata yang menetes di kedua pipinya.

"Kak abis ini kita kemana? Acel ngantuk mau bobo, biasanya ibu selalu bacain Acel dongeng sebelum bobo," ucap polos Arsel namun mampu menohok hati sang kakak.

"Ya udah adik bobo aja dulu, nanti biar kakak yang ceritain adik dongeng," sahut Digta.

Si kecil Arsel hanya mengangguk seraya menyandarkan kepalanya pada bahu sang kakak. Sedangkan Digta sendiri mulai bercerita seraya mengusap-ngusap kepala sang adik.

"Raja pun tak tinggal diam, ia punya banyak cara untuk kembali merebut tahtanya, hingga–" Digta yang tengah mendongengkan cerita pada sang adik pun tiba-tiba terhenti saat ada seseorang yang melangkah ke arahnya dan hal itu membuat Digta langsung memeluk erat tubuh adik kecilnya.

"Hai adek-adek," sapa seseorang tersebut seraya menunjukan senyumnya.

"O-om siapa?" tanya Digta takut dan masih memeluk tubuh sang adik.

"Jangan takut, kenalin saya Santoso.." jawab seseorang itu yang ternyata bernama Santoso.

"..." Digta terdiam menatap takut pada seseorang di depannya.

"Kamu jangan takut, saya ini orang baik saya punya rumah penampungan khusus anak-anak jalanan yang udah ga punya orang tua," ucapnya.

"Om tau dari mana kalau kita udah ga punya orang tua?" tanya Digta dengan polosnya.

Santoso tersenyum tipis, "kalau kalian masih ada orang tua, ngapain malam-malam begini masih berkeliaran di kolong jembatan? Ini udah jam 11 malam lho," jawab Santoso.

"K-kak laper.." lenguh Acel dalam tidurnya.

"Dia adik kamu?" tanya Santoso seraya mengusap pipi gembil Acel.

"Iya dia adik aku om," jawab Digta.

"Kasian adik kamu kedinginan dan kelaparan, kamu juga kan? Gimana kalau kamu ikut saya aja ke rumah penampungan? Disana kalian bisa makan, disana juga banyak anak-anak seumuran kalian nanti kalian bisa main sama-sama."

Digta tak langsung menjawab, ia menatap penuh selidik pada seseorang yang bernama Santoso itu.

"L-laper kak.. s-sakit.." Arsel kembali bergumam.

"Kasian adik kamu, kalau lama-lama di luar dalam kondisi hujan begini sakitnya bisa bisa tambah parah," ucap Santoso kembali membujuk.

Digta lagi lagi tak menjawab, ia menatap lekat pada adik kecilnya.

"Gimana?"



"Kak Digta Acel laper, Acel belum mam dari pagi," keluh Arsel pada sang kakak.

"Sabar ya dek, nanti kakak coba tanya pak Santoso kapan kita bisa makan," sahut Digta seraya mengusap surai sang adik.

Ya, kemarin malam Digta dan Arsel akhirnya setuju untuk ikut bersama dengan orang yang bernama Santoso itu atau kini keduanya memanggilnya dengan sebutan 'Pak Santoso'. Memang saat Digta dan Arsel datang ke rumah penampungan, keduanya langsung di beri makan oleh Santoso, Digta dan Arsel juga melihat ada beberapa anak-anak yang hampir seumuran dengan mereka. Namun semua anak-anak itu menatap Digta dan Arsel dengan tatapan yang sulit di artikan. Setelah kekenyangan akhirnya Digta dan Arsel pun tertidur di salah satu kamar yang ada disana bersama dengan anak-anak yang lainnya.

Saat pagi menjelang, Digta di buat heran dengan anak-anak lainnya yang sudah pergi entah kemana. Sepertinya baik Digta maupun sang adik bangun kesiangan, karena sudah siang dan mereka belum makan apapun jadilah si kecil Arsel mengeluh lapar.

"Acel mau mam.."

"Ya udah Acel tunggu disini dulu ya, kakak mau samperin pak santoso dulu."

"Um!"

Setelah itu Digta beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju ruang kerja pak Santoso.

Tok, tok, tok.. Digta mengetuk pelan pintu tersebut.

"Masuk."

Setelah mendapat izin dari sang pemilik ruangan, Digta membuka pintu dengan perlahan terlihat di dalam sana ada Santoso yang tengah duduk di kursi kerjanya. Digta mengernyit heran saat melihat raut wajah Santoso jauh berbeda dengan kemarin malam, raut wajah itu terlihat dingin dan datar membuat nyali Digta menciut. Bukan hanya ada Santoso saja, Joko sang kaki tangan dari Santoso pun ada disana.

"Ada apa?" tanya Santoso dengan nada bicaranya yang dingin juga datar.

"P-pak, aku sama adik aku laper, kita mau makan.." jawab Digta pelan dengan polosnya dan itu berhasil mengundang tawa sinis dari Santoso maupun Joko.

"Kalau lo mau makan ya kerja tolol jangan minta minta!" bukan Santoso yang menyahut melainkan Joko seraya memukul pelan kepala Digta.

"M-maksudnya.."

"Ya sana lo ngamen bareng anak-anak yang lainnya! Enak banget lo bangun siang-siang begini, anak-anak yang lain bangun dari pagi buat ngamen! Dan karena lo sama adik lo itu tadi pagi masih tidur jadi lo berdua ga kebagian roti! Dah dah jangan ganggu bang Santoso, sana lo ngamen dulu! Nanti hasil ngamennya setorin ke kita, kalau setorannya kurang, siap-siap lo sama adik lo dapat hukuman!"

Deg!



"Aaaaaaaaa sakit hiks.. jangan pukul lagi sakit hiks.. ampun pak maafin Acel hiks.." isak pilu Arsel yang kakinya tengah di cambuk oleh pak Santoso.

"Pak Santoso lepasin adik aku pak, maafin Acel, biar aku aja yang terima hukumannya," seru Digta yang tengah di pegangi oleh Joko.

"Ampun hiks.. maafin Acel pak.."

CTAR!

Namun Santoso seolah-olah tuli, ia tak menghiraukan isakan pilu Arsel dan seruan dari Digta yang memintanya untuk berhenti.

"ARGHHHHHHHH SAKIT hiks.." teriak Arsel kesakitan.

Digta yang melihat sang adik di siksa pun hanya bisa menangis. Ia tak bisa melakukan apapun karena tubuhnya di pegang erat oleh si Joko. Sedangkan disana adiknya meronta-ronta agar terbebas dari siksaan Santoso.

"Pak cukup pak, adik aku udah keskita– mphhhh~" ucapan Digta harus terhenti saat Joko membekap mulutnya.

"Sakit kan?!" tanya Santoso galak pada Arsel.

Si kecil hanya mengangguk pasrah dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.

"Makanya kalau ga mau di cambuk atau di pukul lo jangan nakal! Seenaknya uang hasil ngamen lo pake jajan!"

Ya alasan Santoso mencambuk kaki si kecil sangatlah simple. Setoran yang di berikan oleh Arsel tak sesuai, dan dengan polosnya si kecil menjawab jika uang hasil ngamennya ia pake jajan.

"I-iya pak maafin Acel hiks.."

"Awas kalau lo ngulangin kesalahan ini lagi, gue gorok kepala lo sampe putus!" ancam Santoso setelah itu ia pun berlalu begitu saja.

"Jangan kasih anak itu makan!" titahnya pada Joko sebelum benar-benar pergi.

"Siap bang!" sahut Joko seraya melepaskan Digta dan ikut berlalu bersama Santoso.

"ADIK!!!" seru Digta seraya berlari menghampiri adiknya yang sudah terkapar lemah.

"K-kakak hiks.. sakit kak.." isak Arsel.

"Iya adik sakit ya? Maafin kakak ya," Digta membawa tubuh sang adik ke dalam pelukannya dan ya ia juga menangis.

"S-sakit kak hiks.. ga mau di cambuk lagi, kaki Acel sakit hiks.."

"Iya nanti kakak obatin kaki adik ya, adik jangan nangis nanti dadanya sakit lagi," Digta menyeka air mata di pipi gembil adiknya dengan lembut.

Keduanya tidak menyadari jika ada seseorang yang melangkahkan tungkainya menghampiri mereka.

"Bawa adik kamu, kita obatin lukanya," ucap seseorang tersebut membuat Digta dan adiknya langsung menoleh.

"Kamu siapa?" tanya Digta.

"Kenalin aku Hanan," jawab seseorang tersebut yang bernama Hanan.

"Kak Hanan?" Hanan mengangguk.

"Yuk bawa adik kamu, kita obatin luka adik kamu di kamar aku."

"Emangnya gapapa kak?" tanya Digta.

"Gapapa, kita diem-diem aja biar pak Santoso sama om Joko ga tau," jawab Hanan.

Digta mengangguk paham. Lantas dengan perlahan ia menggendong tubuh kecil Acel.

"Sakit kak Digta hiks.. kaki Acel sakit hiks.."

























"Sakit kak.. kaki Acel sakit.."




























"Kak Digta.. Acel sakit kak.."




























"Kak Digta!" lagi dan lagi Arsel tersentak dari tidurnya setelah mimpi itu datang lagi.

"Acel mimpi kak Digta lagi.." gumamnya seraya bangun dari tidurnya, dapat Arsel lihat bantalnya yang sudah basah oleh keringat dan juga air matanya.

"Sebenernya kak Digta itu siapa? Apa bener dia itu kakak kandung Acel? Kalau emang kak Digta itu kakak kandung Acel terus dimana dia sekarang? Arghhhhhhh mikirin hal ini kepala Acel jadi pusing!"

Arsel mengusap wajahnya kasar. Setelah itu ia mengedarkan pandangannya menatap sekitar dan ia di buat mengernyit heran saat tak mendapati sang kakak di ranjangnya padahal jelas jelas seingat Arsel semalam kakaknya itu tidur bersamanya.

"Kak Shaka kemana?" tanyanya entah pada siapa.

"Ah mungkin kak Shaka udah bangun, aku juga harus siap-siap sekolah sekarang."



•••


Pagi ini, Arsel terlihat sudah rapih dan tampan dengan seragam sekolah yang dikenakannya. Ia berjalan menyusuri tangga untuk menuju ke area ruang makan dengan penuh semangat. Beberapa maid yang berpapasan dengan Arsel pun tak lupa menyapa hangat sang tuan muda mereka.

"Selamat pagi ayah, selamat pagi ibu," sapa Arsel penuh semangat saat memasuki ruang makan.

"Ah selamat pagi bayi kecil ibu," sang ibu rumah tangga yang bernama Yura pun mengecup pipi Arsel dengan lembut begitu juga dengan sang suami.

"Good morning jagoan," balas sang kepala suku di rumah ini yang bernama Jefri.

"Ehem," Shaka yang merasa di abaikan pun berdehem pelan.

"Itu tandanya kakak minta di sapa juga sayang," bisik Yura seraya terkekeh pelan.

"Gak! Adek masih marah sama kakak!" ucap Arsel seraya mendelik malas.

"Lah? Kok gitu? Emang kak Shaka salah apa sama adik?" sahut Shaka tak terima.

"Kakak lupa? Semalem kakak peluk Acel erat banget tau! Acel kan jadi susah gerak, mana tidurnya ngorok lagi berisik ih Acel jadi ga bisa tidur!" celoteh Arsel.

"Adik juga lupa? Yang semalem nangis siapa? Yang minta di nina boboin siapa? Yang kam–"

Chu~

"Iya selamat pagi kakaku tersayang!" Arsel buru-buru mengecup pipi sang kakak agar Shaka menghentikan ucapannya.

"Hm bisa banget ngelesnya," balas Shaka.

"Ish ayaaaaaaaaah!" rengek Arsel.

"Kenapa adik?" sahut Jefri yang nampak fokus pada iPadnya.

"Kak Shaka tuh nyebelin yah! Ayah marahin kak Shaka dong!"

"Ck aduan," decak Shaka pelan.

"Kakak," tegur Jefri halus.

"Udah udah jangan berantem ah, mending sekarang kita sarapan dulu," lerai wanita cantik satu-satunya yang ada di rumah ini.

"Yeaaaay mau susu kesukaan Acel, bu!"

Arsel bersiap meraih gelas yang berisikan susu favoritnya namun dengan cepat Shaka mengambil gelas itu.

"Makan nasi dulu setelah itu minum susu, adik kalau minum susu dulu nanti ga makan nasi," ucap Shaka membuat bibir Arsel mengerucut lucu.

"Ayaaaaaaaaah~" rengek Arsel lagi pada sang ayah.

"Bener apa kata kakak sayang, adik kalau minum susu dulu nanti ga makan nasi, makan nasi dulu ya nak," ucap Jefri membuat Shaka menyeringai penuh kemenangan.

"Ishhhhh ayah sama kakak sama aja!" Arsel melipat kedua tangan nya di depan dada, lucu sekali.

"Udah udah adik makan dulu ya abis itu minum obat, kakak juga. Ohiya, adik jangan lupa pulang sekolah nanti adik ga boleh kemana-mana nanti ayah sama ibu yang jemput," ucap Yura seraya mengusap surai Arsel dengan lembut.

"Lho emangnya kita mau kemana? Mau piknik ya?" tanya Arsel dengan polosnya ia tak melihat jika kakaknya sudah mendengus sebal.

"Tuh kan belum apa-apa adik udah lupa," celetuk Shaka yang lebih tepatnya sedikit merajuk.

"Eh? Emangnya kita mau kemana sih? Ada acara ya hari ini?" tanya Arsel lagi seraya melihat kedua orang tuanya dan sang kakak bergantian.

"Tau ah, ga ada apa-apa, udah biarin aja nanti adik ga usah di bawa yah, bu," nampaknya Shaka benar-benar meranjuk kkkkkk~

"Adik beneran lupa? Nanti siang kan kakak ada pertandingan ice skating, kita mau kesana buat support kakak, adik lho yang kemarin semangat menggebu-gebu buat dukung kakak. Katanya mau duduk paling depan terus sorakin nama kakak paling keras," jelas Jefri.

Tanpa menyahut lagi Arsel menunjukan senyum lebarnya lalu memeluk tubuh sang kakak yang ada di sampingnya yang terlihat masih dongkol.

"ACEL GA LUPA KOK! ACEL TADI BERCANDA! KAKAK JANGAN CEMBERUT IH JELEK BANGET! ACEL PASTI DATENG! ACEL BAKAL DUKUNG KAK SHAKA POKOKNYA ACEL MAU DUDUK PALING DEPAN TERUS BAWA BANNER SHAKA I LOP U!" seru Arsel heboh.

"Dasar nyebelin!" Shaka terkekeh seraya memukul pelan kepala sang adik namun di akhiri dengan usapan lembut.

Jefri dan Yura yang melihat tingkah kedua anaknya pun tertawa pelan. Sungguh bahagia bukan keluarga Agnibrata ini?

'Lalu bagaimana dengan kak Digta, Sel?'

Sarapan pagi pun berjalan dengan khidmat diiringi dengan celotehan kecil dari si bungsu maupun si sulung. Jefri dan Yura memang tak melarang anak-anaknya untuk mengobrol disaat makan, malahan itulah yang membuat suasana menghangat saat makan bersama. Hanya saja hal itu berlaku ketika keluarga kecil mereka makan bersama, jika makan dengan keluarga besar, atau makan di acara-acara tertentu baik Shaka maupun Arsel tetap tau etika makan yang mana mereka akan lebih banyak diam.

"Eh iya yah, bu.. boleh ga kalau Acel tanya sesuatu sama kalian?" tanya Arsel setelah selesai dengan makanannya begitu juga dengan kedua orang tuanya dan sang kakak.

"Boleh, adik mau tanya apa hm?" sahut Yura dengan lembut.

"Ayah sama ibu tau siapa itu Digta?"

Deg! Pertanyaan Arsel berhasil membuat suasana di ruang makan ini jadi menegang seketika. Ayah Jefri dan ibu Yura terlihat diam sejenak seraya beradu tatap satu sama lain. Sedangkan Shaka hanya diam dengan tubuhnya yang kian menegang dan jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.

"Digta ya?" Jefri mencoba mengeluarkan suaranya setenang mungkin.

"Iya kak Digta, ayah sama ibu tau?"

"Adik sendiri tau siapa itu Digta?" bukannya menjawab sang ibu malah balik bertanya membuat Arsel mengernyit heran.

"Kak Shaka bilang, kak D-digta itu kakak kandung Acel, apa itu bener bu? Ayah?" sahut Arsel seraya menatap ayah dan ibunya bergantian sedangkan Shaka masih diam dengan menundukan kepalanya.

"D-digta.. apa yang di bilang kak Shaka memang benar dik, Digta itu kakak kandung adik."

Deg! Kali ini bergantian, tubuh Arsel yang menengang saat mendengar ucapan sang ayah.

"J-jadi kak Shaka ga bohong yah?" tanya Arsel lagi yang kali ini hanya diangguki oleh sang ayah sebagai jawabannya.

"Kakak ga pernah bohongin adik.." lirih Shaka sangat sangat pelan seraya mengusap area dada kirinya yang detakannya mulai terasa tidak nyaman.

"Kalau kak Digta emang kakak kandung Acel, terus kemana dia sekarang? Ayah sama ibu tau dimana kak Digta?" cecar Arsel dan lagi ayah maupun ibunya terdiam.

"Yah.. bu.." panggil Arsel saat kedua orang tua asuhnya itu tak kunjung menjawab pertanyannya hingga gelengan pelan dari sang ibu membuat hati Arsel mencelos seketika.

"Ibu ga tau dimana Digta sekarang, yang ibu dan ayah tau terakhir kali kita ketemu Digta dia bilang dia mau di adopsi.."


Flashback on

Saat ini Jefri dan Yura tengah menunggu kedatangan sang anak di area lounge rumah sakit. Sudah hampir satu jam menunggu namun sang anak dan supir pribadinya masih belum datang juga membuat Yura di rundung rasa gelisah dan khawatir.

"Aduh ini pak Agus mana sih, kok belum nyampe-nyampe," guman Yura.

"Sabar sayang, mungkin di jalan lagi macet makanya pak Agus datangnya lama," ucap Jefri seraya merangkul bahu sang istri mencoba menenangkan istrinya.

"Tapi ini tuh lebih lama dari biasanya mas, ke rumah sakit kan ga lebih dari 20 menit. Aku takut anak kita kenapa-kenapa, dokter bilang Shaka semakin rentan," sahut Yura yang masih sangat khawatir.

"Bentar lagi sayang– tuh liat anak kita dateng."

Dapat Jefri dan Yura lihat sang anak yang duduk di kursi roda dengan pak supir yang mendorong kursi rodanya tengah berjalan dengan perlahan menuju Jefri dan Yura.

"Adek! Ya ampun adek dari mana aja kenapa baru nyampe sekarang," Yura yang panik buru-buru menghampiri sang anak begitu juga dengan Jefri.

"Hehe maaf ya ibu tadi Shaka ketemu temen dulu," ucap Shaka seraya menunjukan senyum di wajah pucatnya.

Jefri tersenyum kecil lantas membawa tubuh kurus sang anak ke dalam gendongannya.

"Temen? Temen yang mana? Ayah boleh tau?" tanya Jefri seraya merapihkan surai sang anak dengan lembut.

"Boleh! Mereka temen baru Shaka, tadi ketemu di lampu merah–"

"Lho pak Agus biarin Shaka turun dari mobil?!" seru Yura pada sang supir memotong pembicaraan anaknya.

"Eh a-anu Nya.. mohon maaf tadi kami sempat berhenti dulu di sekitaran lampu merah, tuan muda Shaka bilang mau ketemu sama anak-anak jalanan yang sekarang udah jadi teman barunya," ucap sang supir seraya menunduk.

"Ibu jangan marahin pak Agus, pak Agus ga salah, Shaka yang mau.. uhuk.." sahut Shaka lalu terbatuk setelahnya.

"Iya sayang ibu ga marahin pak Agus," tangan Yura terangkat lalu mengusap-ngusap dada sang anak yang naik turun tak teratur dengan penuh kelembutan.

"Pak Agus nanti jelasin sama saya," bisik Jefri pada sang supir.

"Nggeh tuan.."

"Yaudah kalau gitu pak Agus boleh pulang dan istirahat, Shaka akan pulang bersama saya dan istri saya," ucap Jefri.

"Baik tuan Jefri."

Setelah itu sang supir pribadi pun berlalu.

"So? Adek cerita dong sama ayah sama ibu siapa temen-temen baru adek itu?" tanya Jefri seraya mendudukan tubuhnya di sofa yang ada di lounge tersebut begitu juga dengan Yura.

"Mereka anak-anak jalanan yah, kasian tau anak yang seumuran sama Shaka harus ngamen, terus adiknya cuma diem di trotoar t-terus hh..hah.." Shaka terlihat mulai kesulitan bernapas.

"Adek ceritanya pelan-pelan aja gapapa kok ayah sama ibu dengerin, kalau adek capek ceritanya lain kali aja hm," ucap Jefri seraya mengusap-ngusap dada sang anak sedangkan Yura sudah memalingkan wajahnya karena air matanya yang mengalir begitu saja.

Sungguh ibu mana yang tega melihat kondisi sang anak sakit keras seperti ini? Lihat bahkan hidung mancung Shaka sudah tersumpal selang oksigen, tapi anak sematawayangnya itu masih kesulitan bernapas.

"Adik kecilnya mau main ayah tapi kasian ga ada temennya sama kaya Shaka.. terus Shaka kasih mobil-mobilan punya Shaka dia seneng banget, Shaka juga seneng," Shaka mulai kembali bercerita dan kedua orang tuanya pun mendengarkan dengan seksama.

"S-shaka juga foto sama mereka.." ucapan Shaka kian melirih diiringi dengan rasa sakit yang mulai menjalar di area dadanya.

Namun anak itu nampaknya masih semangat untuk menunjukan fotonya bersama teman-teman barunya pada ayah dan ibu nya.

"Y-yang seumuran Shaka namanya Digta, t-terus yang kecil ini namanya Acel," Shaka memperlihat foto tersebut pada orang tuanya.

Jefri dan Yura yang melihat foto itu pun tersenyum manis.

"Digta ganteng ya, Acel ugh kenapa lucu banget sih," komentar Yura.

"Mereka juga keliatannya anak baik-baik ya bu," timpal Jefri.

"A-ayah.. ibu.. kalau S-shaka udah sembuh nanti, hah..hhh.. b-boleh kan hhh.. Shaka main sama Digta sama A-acel?" tanya Shaka dengan susah payah lantaran rasa sakit yang menghujam dadanya semakin menjadi.

"Boleh sayang, nanti kalau adek udah sembuh bawa Digta sama Acel main ke rumah– YA TUHAN SHAKA!" pekik Yura saat melihat sang anak semakin menggerang kesakitan seraya meremat area dadanya.

"Eungh.. s-sakit yah, b-bu.."

"Nurse, help us!"

..

Dari bayi hingga saat ini umur Shaka sudah menginjak 10 tahun, anak sematawayang Jefri dan Yura nyatanya tidak pernah baik-baik saja. Setelah Shaka collapse kemarin, dokter pribadi yang menangani anak mereka pun mengatakan bahwa anak mereka sudah tidak bisa menunggu lama lagi, kondisi Shaka saat ini sedang dalam keadaan kritis dan kemungkinan Shaka bertahan hidup sangat kecil. Shaka, anak itu membutuhkan  jantung baru secepatnya.

"Mas hiks.. aku ga mau kehilangan Shaka mas," isak Yura yang kini ada di pelukan Jefri.

"Siapa sih orang tua yang mau kehilangan anaknya, Ra? Ga ada, begitu juga dengan aku," sahut Jefri.

"Kita harus gimana mas, aku bener-bener belum siap kehilangan Shaka hiks.. Shaka satu-satunya anugrah dari Tuhan yang kita miliki, kalau Shaka pergi gimana mas? Ga hiks.. aku ga mau.."

"Akan aku usahakan agar Shaka tetap bersama kita Ra, apapun caranya."

"Shaka hiks.. anak ibu, jangan tinggalin ibu Shaka.."

Jefri tak menyahut lagi, ia semakin erat memeluk tubuh sang istri, beberapa kali Jefri juga mengecup pucuk kepala Yura agar istrinya bisa lebih tenang.

Saat ini keduanya tengah berada di area lounge rumah sakit, sedangkan sang anak Shaka masih berjuang di ruang ICCU. Mereka sengaja berdiam diri sejenak di lounge hanya untuk sekedar mengisi perut sekaligus menangis untuk Yura meratapi kondisi sang anak yang tengah dalam kondisi kritis.

Lalu tak lama dari itu Jefri yang memang tengah mengedarkan pandangannya pun tak sengaja menatap sosok anak kecil yang seumuran dengan anaknya tengah memasuki area rumah sakit.

"Lho itu bukannya Digta?" guman Jefri yang masih dapat di dengar oleh Yura.

"Digta?" Yuran mengikuti arah pandang sang suami.

"Mas itu kan Digta? Temen barunya Shaka kan? Ngapain dia disini? Apa dia mau jenguk anak kita?" cecar Yura.

"Aku juga ga tau sayang, kita samperin aja ya siapa tau dia kesini emang mau jenguk anak kita," sahut Jefri.

Setelah mendapat persetujuan dari sang istri, keduanya lantas beranjak dari duduknya lalu berjalan cepat untuk menghampiri seorang anak kecil yang mereka lihat tadi.

"Digta!" panggil Jefri sedikit keras berhasil membuat anak itu langsung menoleh dan menghentikan langkahnya.

Ah ternyata anak itu tak sendiri, ia datang bersama anak lainnya yang mungkin hanya berbeda satu atau dua tahun, yang jelas anak itu jauh lebih besar ketimbang anak yang Jefri panggil tadi.

"K-kalian siapa?" tanya anak itu yang memang tak lain dan tak bukan adalah Digta.

"Saya Jefri dan ini istri saya Yura, kami orang tua Digta," jawab Jefri.

"Kamu ngapain disini, nak? Kamu mau jenguk Shaka?" kali ini Yura yang bertanya.

"Lho Shaka sakit?!" bukannya menjawab Digta malah bertanya dengan tatapan terkejutnya.

"Iya Shaka sakit, kondisinya lagi kurang baik. Kalau kamu ga tau Shaka sakit, terus kamu kesini mau apa?" tanya Yura lagi.

Tak langsung menjawab, Digta menundukan kepalanya saat dirasa ada air mata yang menetes begitu saja di kedua pipinya.

"A-aku mau jenguk adik tante, om.." jawab Digta kembali menatap Jefri dan Yura bergantian.

"Lho Acel sakit?" raut wajah Jefri terlihat terkejut.

"Om tau adik aku?"

Jefri mengangguk, "Shaka sempat kenalin kamu dan adik kamu lewat foto pada kami kemarin, jadi saya tau kalau kamu Digta dan adik kamu Acel," jelas Jefri.

Digta mengangguk paham.

"Nak, Acel sakit apa?" Yura kembali bertanya.

"Kemarin malam Acel kecelakaan tante, orang-orang bawa Acel ke rumah sakit ini karena rumah sakit ini yang paling deket," jawab Digta.

"Ya tuhan.." Yura menutup mulutnya terkejut dengan jawaban Digta lalu menatap sejenak pada sang suami.

"Terus kondisi Acel sekarang gimana? Acel baik-baik aja 'kan?"

Digta menggeleng pelan, "kata dokter kondisi Acel kritis, Acel harus di operasi tapi aku ga punya uang hiks.."

Tanpa mengatakan apapun lagi, Yura pun membawa tubuh Digta ke dalam pelukannya.

"Sabar ya nak, tante yakin Acel pasti baik-baik aja," bisik Yura lembut.

"Kalau gitu dimana Acel sekarang? Boleh om sama tante jenguk Acel?"

.


Kini Yura dan Jefri sudah berada di depan ruang ICU tempat dimana Arsel berada sekarang. Jefri juga sempat berbincang-bincang kecil bersama dokter yang menangani Arsel. Dan benar saja apa yang di ucapkan Digta, kondisi Arsel memang jauh dari kata baik dan harus segera di lakukan tindak operasi.

Terlihat Yura yang tengah duduk bersama dengan Digta yang masih ada di dalam pelukan hangatnya.

"Adik hiks.." isak Digta di pelukan Yura.

"Sabar ya nak, semoga Acel baik-baik aja," ucap Yura.

Setelah selesai berbincang, Jefri lantas melangkahkan tungkainya menghampiri sang istri dan Digta. Ia berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Digta.

"Digta.." panggil Jefri lembut.

"Om hiks.. adik gapapa kan om?"

"Adik kamu gapapa, kamu tenang ya. Ohiya om boleh tanya sesuatu?"

Digta mengangguk tanda setuju jika Jefri mengajukan pertanyaan.

"Om boleh tau siapa wali Acel? Maksudnya yang pertanggung jawab atas Acel di rumah sakit ini?" tanya Jefri.

"Ada om, pak Santoso.." jawab Digta dengan polosnya yang diangguki paham oleh Jefri.

"Digta jangan nangis terus ya, kalau Digta nangis terus nanti Acel jadi ikutan sedih. Om udah ngobrol sama dokter tadi, Acel gapapa kok Digta ga perlu khawatir. Selain itu katanya pak Santoso sudah menandatangani surat operasi untuk Acel jadi setelah kondisi Acel mulai stabil operasinya baru bisa dilakukan," jelas Jefri, dan hal itu membuat anak yang sedari tadi hanya diam yang ada di samping mereka pun menatap Digta sendu.

"I-iya om hiks.."

"Kalau Digta perlu sesuatu, Digta bilang aja sama om sama tante, insha allah kami bisa bantu Digta," ucap Jefri lagi seraya menyeka air mata di pipi Digta.

"Aku boleh minta tolong om? Tante?" sahut Digta.

Jefri dan Yuri pun saling pandang sejenak lalu keduanya mengangguk bersamaan.

"Apa itu?"

"Shaka kan di rawat disini, Acel juga ada disini, Digta minta tolong om sama tante jagain Acel, sering-sering jenguk Acel ya," ucap Digta membuat Yura dan Jefri mengernyit heran.

"Pasti sayang, besok tante pasti bakal jenguk Acel lagi, besok tante bakalan bawa baju buat Digta juga terus sama makanan yang enak," sahut Yura namun Digta menggeleng.

"Besok.. Digta ga tau apa besok masih bisa kesini atau engga.." lirihnya.

"Lho kenapa nak?" tanya Jefri.

"Soalnya mulai besok Digta mau di adopsi, kata pak Santoso Digta punya orang tua asuh. Jadi besok om Joko mau anterin Digta ke rumah baru Digta kemungkinan Digta ga bisa jenguk adik dulu jadi Digta mohon, om sama tante jagain Acel ya selagi Digta ga ada.. Digta ga tau harus minta tolong sama siapa lagi hiks.." jawaban Digta berhasil membuat Yura dan Jefri tertegun.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Yura semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Digta.

"Om dan tante janji akan jaga Acel selagi Digta ga ada.."














.

.

.


To Be Continue..


Gimana temen-temen? Masih mau lanjut? Kalau masih penasaran sama keberadaan Digta dimana ayo ramaikan vote dan comment nya hehe^^

Agnibrata Family✨

Jefri Agnibrata

Yura Agnibrata

Shaka Agnibrata


Acel / Arsel (Agnibrata)

Digta.. dimana kamu?




Kamis, 27 Juli 2023.

Continue Reading

You'll Also Like

3.6K 421 11
ruangan khusus? jangan menyesal karena memasukinya. atau kau akan terbangun di masa yang belum kau kenal. Tapi sepertinya Ni-ki tidak menyesal setela...
61.6K 10.7K 54
Tuhan tahu itu, semua rasa yang terbalut asa yang tak utuh. Bahkan sejumlah angin meresap nyaman melewati celah kalbu yang ada dan selalu membantu da...
12.9K 1.2K 13
Sequel of Cross The Line Kisah kehidupan dalam buku harian seorang Lee Riki dengan ke-enam saudaranya yang lain. Kisah tentang keseharian tujuh bersa...
1.7K 252 16
Gimana sih jadi nya kalau orang galak macem Jay harus ngurus dua bocil yang berisik nya minta ampun tanpa bantuan sedikit pun? Dan ini lah kisah per...