CATATAN PRESMA

By nawanday

7.5K 410 14

Waktu itu, Naela pikir keputusannya menerima tanggung jawab sebagai seorang Presiden Mahasiswa adalah suatu h... More

PRAKATA
PERKENALAN
1. Informasi Mengerikan
2. Janji Temu
3. Berbicara Tentang Keputusan
4. Memikirkan Keputusan
5. Sudut Paling Kanan, Ruang Penuh Ke-dilema-an
6. Musyawarah Kurang Sepakat
7. Sebuah Bantuan Dari Hisyam Danuraksa
8. Perihal Pelantikan
9. Diantara Faradina dan Abibayu
10. Sekelumit Pesan Dari Sang Koordinator
11. Naeka Adhyaksa Pangalila
12. Sinyal Rasa
13. Rapat Besar Perdana
14. Jeda
15. Dialog Koalisi
16. Konsolidasi (Daring)
17. Lampu Merah
18. Alter(n)atif
20. Pelantikan
21. Kongres
22. Resmi
23. Raker
24. Tiga Frekuensi Rasa
25. Menuju Konferensi Nasional
26. H-7

19. Persiapan Kongres

175 7 2
By nawanday

Note : chapter ini panjang. Kucek mata dulu sebelum membaca🙏🏻

Seakan menyapa, hembusan angin menerpa wajah tampan seorang pemuda yang tengah berdiri memandang sebuah gedung bertingkat. Rambutnya tersibak, kian menampilkan pesona yang membuat banyak perempuan praktis menatapnya penuh kekaguman. Netranya menyipit dengan alis yang bertaut kala debu-debu yang terbawa angin memaksa masuk melewati jendela matanya.

Cuaca yang tak menentu belakangan ini, cukup menguras kesabaran Naeka Adhyaksa Pangalila. Ia yang menghabiskan hari-harinya di luar rumah, seringkali terkena dampak pergantian cuaca yang berubah tiba-tiba. Pernah suatu waktu--dia enggan membawa mantel sebab yakin jika hari itu hujan tak akan turun karena langit tampak sangat cerah. Alhasil, dia harus menelan pahitnya spekulasi dan membiarkan diri terjebak di sekretariat BEM hingga jam 9 malam.

Demi tak ingin mengulang kejadian serupa, kali ini ia membawa dua mantel sekaligus. Bukan karena Naeka serakah, melainkan ada manusia lain yang harus ia pastikan keamanan dan kenyamanan-nya saat berkendara dengan dirinya. Manusia itulah yang menjadi sebab dia menunggu belasan menit lamanya.

Menyadari gerak angin tak sekencang tadi, Naeka mulai memperbaiki rambutnya. Hal itu kontan membuat atensi banyak insan lagi-lagi terpusat padanya. Beragam bentuk pujian tercetus dari lisan mereka. Walau ada beberapa cibiran yang keluar dari mulut para lelaki yang merasa tersaingi akan keberadaan Naeka.

Usai menata surai legam miliknya, pemuda itu melirik dua bangku kosong tak jauh dari dirinya berdiri sekarang. Namun, saat hendak melangkah menuju kursi itu, suara seseorang menahan kakinya. Naeka berbalik dan menemukan seorang perempuan tengah memandangnya dengan raut tak terbaca.

"Mahasiswa sini?" tanya perempuan itu. Nada bicaranya terdengar ramah, kontras dengan wajahnya yang tampak galak.

"Bukan. Saya dari Universitas Harsa Bentala." jawab Naeka singkat. Dia enggan memperpanjang percakapan.

Mendengar itu, kedua alis si perempuan terangkat. "Anak UHB ke kampus kecil kayak gini, ngapain, Mas? Ada temennya disini?"

"Saya sedang menunggu Pres Naela. Kami ada janji."

"Naela?"

"Iya. Mbak-nya kenal sama Naela?"

Mimik muka perempuan itu berubah. Kentara sekali kalau dia tidak menyukai pertanyaan Naeka.

"Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya sama Naela? Setahu saya--dia hari ini ada rapat penting BEM."

Baru ingin membuka mulut lagi, Naeka mendengar suara gadis lain dari arah gedung. Dia menoleh, lalu mendapati sosok gadis yang ia tunggu--sedang berlari mendekat dengan pandangan lurus ke arahnya.

"Maaf, saya lama, yaa?" katanya, begitu berada di antara dua orang yang semula berbincang. Naela belum menyadari jika perempuan yang berdiri sejajar dengan posisi Naeka adalah Faradina.

"Nggak juga. Saya baru disini sekitar 15 menit yang lalu."

Dihinggapi rasa bersalah, membuat Naela bertingkah sembarangan. Tanpa sengaja ia membelakangi Faradina, menyebabkan perempuan itu praktis melipat tangan di depan dada seraya menatap punggungnya penuh kekesalan.

"15 menit itu lama." Naela melirik arloji warna putih yang melingkar di pergelangan tangannya, "pertemuannya sekitar 10 menit lagi. Kalau telat, gimana?"

"Kalau telat, ya minta maaf!" jawab Naeka asal yang sialnya berhasil mendatangkan gelisah untuk si gadis.

Naela berdecak. "Saya serius, Pres!" keluhnya.

"Anda kira saya bercanda?"

"Ehem." Keduanya spontan menoleh ke sumber dehaman. Naela yang berbalik sontak terkejut ketika melihat Faradina berdiri di belakangnya-lengkap dengan raut wajah yang tak sedap dipandang.

"Loh, Bu Ketum? Sejak kapan di situ?" celetuk Naela seperti orang bodoh. Sebetulnya, sejak awal dia tahu bahwa ada orang lain disana. Tapi Naela mengira kalau perempuan itu hanya mahasiswa biasa yang juga menunggu seseorang.

"Udah dari tadi." Sama seperti air muka yang ia suguhkan sekarang, intonasi suaranya pun terdengar tak bersahabat. Naela sampai menghela napas pasrah menyikapi pertemuan yang tidak ia inginkan ini.

"Bisa kita berangkat sekarang?" Ucapan Naeka mengembalikan perhatian si gadis padanya. "Saya nggak yakin kita bisa sampai di Universitas Satya Surabaya dalam waktu 10 menit," timpal pemuda itu.

"Mau ngapain ke Unsaya?" Mendengar salah satu nama kampus besar di kota ini disebut, Faradina tak bisa menyembunyikan keingintahuannya. Dalam hati kecilnya--sebersit rasa tak terima mendadak hadir tatkala menemukan fakta bahwa ada orang lain yang memiliki relasi dengan mahasiswa kampus ternama--selain dirinya.

"Ada pertemuan penting Presma kampus swasta se-Surabaya. Saya duluan yaa, Bu Ketum!" Naela tersenyum saat berkata demikian. Ia kemudian menoleh lagi pada pemuda yang sejak tadi diam disampingnya. "Ayo, Pres!" ajaknya, lantas mereka berdua beranjak pergi meninggalkan Faradina tanpa mau menunggu responnya.

"Tunggu dulu!" ujar Fara tiba-tiba. Dia berhasil menghentikan langkah dua insan yang nyaris melewatinya. "Hari Kamis agendakan pertemuan lagi. Ada informasi serius yang ingin DPM sampaikan."

"Kamis?" Dahi Naela berkerut. "Berarti sekitar tiga hari lagi?"

"Iya. Dan nggak boleh diundur!"

Naela diam sejenak. Setiap kali dia bersua dengan Faradina, selalu saja ada sesuatu yang sukses membawa dirinya terperosok ke jurang kedongkolan. Beruntung eksistensi Naeka mampu membuatnya menahan diri. Kalau tidak, mungkin Naela hanya akan melengos sebagai bentuk luapan kekesalan, alih-alih mengangguk dengan sebuah senyum tak ikhlas yang ia tunjukkan--seperti sekarang.

Sayangnya, gadis itu tak benar-benar bisa menahan diri. Usai menanggapi ucapan Faradina, dia justru bertindak ceroboh dengan meraih telapak tangan Naeka kemudian menariknya pergi dari sana. Siapa sangka hal itu membuat jantung si pemuda berdebar tak karuan. Apalagi saat puluhan pasang mata mengarah pada mereka. Naeka mendadak gugup sampai berpamitan pun ia tak sempat.

Faradina sama sekali tak mengalihkan pandang dari dua manusia yang mulai menjauh darinya. Selagi netra itu mengikuti langkah mereka, satu sudut bibirnya terangkat. Sebuah pikiran busuk menyembul di benaknya. Dia cukup yakin bahwa Naeka bukan orang sembarangan. Ia juga memahami bagaimana pengaruh kesatuan BEM PTS Surabaya terhadap kemaslahatan BEM di kampus-nya. Faradina ngin menggunakan keduanya untuk menjatuhkan pamor Naela. Sebisa mungkin ia akan berusaha membuat integritas Naela dipertanyakan. Seperti apapun dampak yang akan gadis itu terima nanti, Fara hanya peduli pada satu hal--tidak ada lagi rival baginya, yang akan mengancam posisinya sebagai mahasiswa pemilik kemampuan terbaik dalam menjalin hubungan dengan pihak luar kampus.

Sedangkan di tempat yang tak jauh dari perempuan itu berada, seorang pemuda mulai memahami situasi yang ia saksikan barusan. Hisyam tertawa sumbang saat akhirnya mengetahui alasan Naela tergesa-gesa keluar ruangan selepas diskusi pengurus inti ditutup. Mengamati tingkah gadis itu di depan lelaki lain yang baru dia lihat, membuat sudut hatinya berantakan. Kedua tangannya mengepal erat sebagai pelampiasan amarah dalam dirinya.

Kalau waktu bisa diulang, Hisyam akan berupaya menetralisir rasa cemburunya kala itu, sehingga tidak sembrono mencetuskan saran yang sungguh merugikannya sekarang. Pemuda itu lupa. Lupa jika Naela bisa saja dekat dengan pria lain--selain Abibayu. Berniat mengantisipasi sang pujaan hati akan jatuh ke pelukan Bayu, Hisyam justru terkena dampak lebih besar sebab harus menanggung penyesalan atas keputusan yang ia ambil saat rapat perdana beberapa bulan yang lalu.

Di samping itu, belakangan ini hubungan mereka tak serekat dulu. Sudah lama Hisyam tak mendengar celoteh aneh dari bibir si gadis. Bahkan ketika rapat tadi, Naela hanya menyapa singkat lalu bersikap seolah mereka tak pernah dekat.

Hisyam lekas menggeleng kala menyadari bahwa mungkin dirinya yang terlalu sensitif hari ini.

Menit berikutnya, kepalan tangannya perlahan merenggang. Membiarkan nyeri di dada berangsur memudar. Hisyam perlu memberi ruang untuk dirinya berpikir tanpa terpengaruh perasaan yang dominan. Seandainya dia harus bergerak mencari peluang demi mendapatkan si gadis kesayangan, akan ia usahakan. Namun, jika kesempatan itu telah tertutup bahkan sebelum dia berhasil mengutarakan rasa, Hisyam akan memikirkannya nanti saja. Sekarang, dia butuh segelas minuman dingin untuk melepas dahaga, sekaligus mengguyur rongga dadanya-yang masih terasa panas.

Meninggalkan Hisyam yang mulai mengayunkan tungkai menuju kantin, di depan gerbang kampus--pemuda yang lain menghentikan motor tiba-tiba. Bayu memandang nanar punggung seorang gadis yang mulai menjauh. Hatinya memanas menyaksikan Naela tertawa diatas motor dengan lelaki lain ketika mereka berpapasan tadi. Lebih-lebih saat melihat tangan si gadis memegang sisi jaket pria yang bahkan belum pernah ia temui itu.

Di mata Bayu, mereka nampak mesra. Sebab, hingga sekarang, dirinya tak kunjung mendapatkan momen menyusuri jalanan Surabaya bersama tambatan hati menggunakan kendaraan roda dua. Kalau saja aturan larangan cinta lokasi itu tidak ada, dia pasti melancarkan aksi pendekatan secara ugal-ugalan, tanpa perlu menahan diri seperti sekarang.

°°°°°°

Motor Naeka melaju pelan membelah keramaian jalan kota Surabaya. Matahari perlahan-lahan menyingsing seolah mengikuti gerak kendaraan miliknya. Sebelum mereka meninggalkan kampus tadi, Naela memberinya peringatan agar berkendara dengan kecepatan sedang. Beruntung hari ini pemuda itu membawa skuter matic abu-abu favoritnya, alih-alih motor gede seperti saat pertama bertemu Naela sekian minggu yang lalu.

Berbicara tentang perjumpaan mereka kala itu, keduanya sering bertukar kabar setelahnya. Pernah suatu malam Naeka tiba-tiba menelepon Naela. Pemuda itu hendak memastikan kehadiran si gadis pada rapat yang terlaksana hari ini. Namun, siapa sangka keduanya justru terlibat dalam obrolan jarak jauh nyaris sejam lamanya. Kendati memiliki berbagai hal untuk dibicarakan, mereka sepakat bahwa peristiwa pencegatan yang dilakukan Sarimin and the genk adalah yang paling menarik untuk diceritakan berulang-ulang.

Ketika mengantar Naela pulang dari kafe, Naeka harus menghadapi segerombol manusia penghuni pos ronda di gang rumah si gadis. Bagai diinterogasi, pemuda itu disuguhi beragam pertanyaan tak penting. Tidak berhenti disitu, anak buah Sarimin bahkan menantangnya bertanding karambol. Hal itu membuat Naela yang semula berada di tempat yang sedikit berjarak, lekas mendekat sambil bersungut-sungut. Gadis itu mengomel panjang lebar, tapi malah dipersilahkan duduk menyaksikan pertandingan itu.

Suasana menjadi heboh saat warga gang melati mulai berdatangan akibat mendengar kebisingan dari arah gardu. Alih-alih menghentikan ulah kelompok penunggu pos ronda itu, mereka justru bersemangat menonton kontes karambol dadakan. Naela semakin jengah kala mendapati Ayah ada diantara mereka. Pun dengan adiknya yang berada di barisan paling depan.

Kejadian ini seperti dejavu bagi Naela. Sebab, peristiwa serupa pernah terjadi juga pada Hisyam saat kali pertama dia berkunjung ke rumahnya. Bedanya, situasi tetap kondusif karena udara dingin yang ditinggalkan hujan membuat orang-orang enggan keluar rumah. Sayang beribu sayang, kemenangan Hisyam waktu itu hanya disaksikan oleh Naela dan anak buah Sarimin saja. Hadiah yang pemuda itu dapatkan--sebatas terjalinnya hubungan akrab dengan komplotan cecunguk itu-yang sampai sekarang hobi mengajaknya nangkring di pos ronda. Walau Hisyam tampak menyukainya, Naela tetap bersikeras melindungi teman dekatnya agar tak terkontaminasi virus-virus alay yang biasa Sarimin gunakan untuk menggoda gadis-gadis gang melati.

"Jujur, setelah sekian lama saya tinggal di Surabaya, baru hari itu saya mengalami hal unik yang nggak bisa saya lupakan." Sorak gembira disertai tepuk tangan serentak yang Naeka terima kala itu--masih menggema jelas di benaknya. Pemuda itu memandang lurus ke depan sambil sesekali mendongak memeriksa lampu lalu lintas, "apa karena saya tinggal di perumahan, ya? Makanya, saya hampir nggak pernah mendapatkan momen seperti itu."

Naela kembali memajukan wajah. Kepalanya nyaris sejajar dengan kepala Naeka. Dia melakukannya sebab khawatir kalau-kalau si lelaki tak dapat mendengar jelas responnya.

"Bapak-bapak di gang rumah saya memang unik-unik, Pres. Andai Pres Nana tahu--tiap hari Minggu mereka mengadakan senam bersama. Khusus bapak-bapak."

"Iya, saya tahu soal itu. Ayah Pres Naela yang cerita."

Bersamaan dengan kendaraan yang kembali berjalan, kini giliran Naela membawa pikirannya berkelana menembus memori yang berisi interaksi dua laki-laki beda usia.

Setelah Ayah mengetahui kalau pemuda yang berhasil mengalahkan Sarimin and the gank adalah teman anak gadis-nya, pria paruh baya itu membujuk Naeka agar singgah ke rumah. Di teras, keduanya duduk berinteraksi seolah telah mengenal lama. Mungkin karena Ayah pernah dinas di Bandung--makanya mereka mudah membangun obrolan yang  nyambung. Naela yang berada di ruang tamu, mencuri dengar pujian yang Ayah lontarkan berulang-ulang. Ayah juga tampak takjub saat mendengar rentetan kesibukan pemuda itu.

Bagian yang selalu berhasil menggelitik hati Naela--saat si koordinator BEM PTS Surabaya itu mendadak kehilangan kecakapan dalam berbicara ketika hendak berpamitan pulang. Alhasil, ia terjebak di rumah hingga larut malam. Wajah bantalnya masih terekam jelas dalam ingatan Naela.

Dia tak habis pikir, kenapa pemuda itu memaksakan diri memenuhi permintaan Ayah untuk berlama-lama di rumah, sementara sejak awal niatnya hanya ingin memastikan dirinya pulang dengan aman?

"Kapan-kapan Pres Naeka bisa main lagi ke rumah. Tapi kalau Ayah ada di rumah, ya!"

"Kalau nggak ada beliau, berarti saya nggak boleh main kesana?" Naeka menahan senyum, lantas menoleh ke arah spion dan mendapati ekspresi terkejut Naela.

"Ya nggak papa, sih. Cuma, kan, kita belum kenal lama."

"Saya kan nggak bilang kalau mau berkunjung dalam waktu dekat."

"Berarti sekitar tiga bulan lagi aja ke rumah!"

"Kenapa harus tiga bulan lagi?"

"Biar lebih afdol aja."

Naeka spontan terkekeh. Dia kehabisan kata-kata untuk membalas perkataan gadis yang kini memperhatikan wajahnya sendiri di kaca spion sambil menunjukkan mimik menggemaskan. Daripada terperangkap ke dalam obrolan yang akan membuatnya kehilangan jawaban lagi, pemuda itu memilih fokus membawa motornya agar lekas sampai ke tempat tujuan.

Mendekati kampus yang dituju, Naela mendadak kisut. Ia mengatupkan bibir rapat-rapat sebab dasar-dasar kecemasan mulai datang menghantam. Gadis itu khawatir bila kehadirannya tak disambut dengan baik. Jejak sikapnya selama ini cukup menjadi alasan kuat munculnya perasaan sangsi mengenai respon orang-orang nanti.

"Kita sudah sampai!" kata Naeka begitu mereka melewati gerbang Universitas Satya Surabaya.

Naela geming. Dia sedikit sibuk menetralkan debaran jantung, hingga tak sempat membuka suara untuk sekadar berbasa-basi membahas lingkungan kampus yang jauh lebih besar dari kampus-nya.

"Pres?" panggil Naeka. Menyadari jika gadis di belakangnya tetap diam setelah motornya berhenti di parkiran, dia menoleh. "Nggak mau turun?" tanyanya.

"E, eh." Naela gelagapan sendiri, kemudian buru-buru turun dari motor. "Maaf, Pres!"

"Nggak masalah!" Lalu Naeka melepas helm. Kulit kepalanya terasa dingin saat angin yang bertiup secara perlahan--sekali lagi menyapa surai legam miliknya. Pemuda itu bergegas turun dan mencari ponsel di dalam tas kecil yang ia bawa. Naeka hendak memeriksa isi pesan yang pasti dipenuhi oleh rekan-rekan Presma yang telah menunggunya sejak tadi.

Baru menyalakan ponsel, panggilan dari Gilang memenuhi layar. Naeka segera menggeser icon telepon warna hijau lantas menempelkannya di telinga.

"Ha-"

"Pres, ada dimana?" ujar Gilang tanpa sabar.

"Saya ada di parkiran. Musyawarah nya sudah dimulai?"

"Parkiran mana? Jangan bilang parkiran rumah?"

Naeka menghela napas. "Saya nggak se-malas itu, Pres!"

Terdengar tawa ringan dari ujung panggilan. "Oke oke. Jangan lama-lama ya, Pres! Kasihan Wapres Ari ... dia sampai ketiduran. Ilernya kemana-mana."

Namun, banyolan Gilang itu terabaikan sebab perhatian Naeka jatuh pada gadis yang tengah menunduk dengan gelagat gelisah yang sangat kentara. Tanpa menghiraukan si penelepon yang kini bersenda gurau entah dengan siapa, Naeka mengakhiri panggilan sebelah pihak. Pemuda itu mengulurkan tangan setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

"Pres Naela mau jadi bahan tertawaan orang-orang--jalan dan masuk ruangan pakai ini?" celetuknya tanpa permisi melepas kaitan helm yang masih membalut kepala si gadis.

Diperlakukan seperti itu, membuat Naela berjengit kaget. Dia berusaha menarik sendiri helm-nya, tapi kalah cepat dari Naeka.

"Pres Naela kenapa?" Usai meletakkan helm di atas motor, pemuda itu menatap Naela lagi.

"Nggak papa." Bibir Naela menipis. Kalaupun ia memberitahu, belum tentu Naeka bisa memahami. Sebab apapun yang terjadi, ia bertekad untuk menghadapi alih-alih menyembunyikan diri seperti kemarin-kemarin. Melihat Naeka yang terus memandangnya tanpa henti, gadis itu terpaksa melenggang pergi meski tak mengerti ruang mana yang akan mereka datangi. Hal itu dia lakukan sebagai bentuk upaya melindungi diri dari serbuan pertanyaan yang mungkin dapat mendesaknya agar mengakui apa yang mengganggu suasana hati.

Sementara itu, tanpa si gadis ketahui, Naeka bahkan tak punya niat untuk bertanya lagi. Justru keputusan Naela meninggalkannya seperti ini, membuat dia yakin bahwa perempuan itu sedang tidak baik-baik saja.

Cukup lama membiarkan Naela melangkah sendiri, Naeka pun menyusul. Ia berjalan di belakang dengan maksud memberi ruang pada Naela yang sedang menatap kagum gedung-gedung kampus di sekelilingnya.

"Keren, ya, kampusnya!" Naela bermonolog.

"Biasa aja!" Sedetik setelah mengatakannya, Naeka mengatupkan bibir. Barusan, dia refleks menyahut ucapan Naela. Ketika gadis itu menghentikan langkah dan membalik badan, langkahnya jadi ikut tertahan.

"Pres," Naela memperhatikan pemuda yang malah mengalihkan pandang ke sembarang arah. "Pres Nana bisa jalan lebih dulu? Saya, kan, nggak tahu di mana letak ruang pertemuan diadakan! Ini juga kali pertama saya ke kampus ini."

Naeka kira gadis ini akan menegurnya. Pemuda itu berdeham sebentar, kemudian mengambil satu langkah besar agar sejajar dengan Naela. "Ayo!" katanya, lalu keduanya mulai berjalan beriringan menuju salah satu gedung dengan pintu kaca--tak jauh dari tempat mereka berada.

°°°°°°

Suara pintu yang didorong dari luar, menarik atensi belasan orang yang ada di dalam ruang. Sekian insan yang semula saling melempar candaan, tiba-tiba membisu sebab kedatangan salah satu rekan yang memang mereka tunggu kehadirannya.

"Woy, Pres!" Gilang melambaikan sebelah tangan. Lelaki itu beranjak dari duduk--hendak menghampiri Naeka dan seorang gadis yang berdiri di sampingnya.

"Maaf, saya terlambat," ujar Naeka saat mereka berjabat tangan.

"Baru setengah jam, kok!" jawab Gilang santai. Bola matanya melirik Naela singkat. "Pacar?" Dia bertanya pada Naeka.

Netra dua insan di hadapan Gilang praktis melebar. Suara nyaring itu memaksa Naeka mengedarkan pandangan sebentar. Yang ia temukan adalah raut-raut penasaran dari tiap wajah disana. Pemuda itu menduga--jika rekan-rekannya pasti berpikir bahwa gadis yang bersamanya saat ini adalah Nabila. Mengingat dirinya yang tak pernah mempublikasi foto kekasihnya selama ini, bisa saja menjadi sebab orang-orang mudah salah paham tentang perkara yang satu itu.

"Bukan!" Naela menjawab tegas. Detik berikutnya, ia mengulurkan satu tangan. "Saya Naela. Presma Universitas Taruna Jaya," ujarnya tersenyum manis.

"Loh," Gilang melongo. Tak ayal ia lekas menerima uluran tangan gadis itu. "Maaf, ya, Bu Pres ... soalnya Pres Yaksa nggak bilang kalau mau hadir bareng Presma lain. Hehe."

Sesi perkenalan tak berlangsung lama. Selesai menyapa satu per satu orang yang nyaris memenuhi kursi disana, Naela memilih duduk dekat Naeka. Menempati posisi sebagai koordinator aliansi, otomatis Naeka menjadi pemilik sebuah kursi di salah satu sisi meja kayu panjang itu.

Seiring jalannya musyawarah, Naela lebih banyak menyimak daripada mengeluarkan argumen seperti yang lain. Menyaksikan manusia-manusia cakap saling adu pendapat, membuat gadis itu tak henti-hentinya menggaungkan ketakjuban dalam diam.

"Sebelum kita mulai membahas tentang anggaran, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan sesuatu. Sebaiknya, biaya registrasi tiap organisasi yang tergabung--jangan terlalu besar. Menimbang tujuan awal kita mengadakan kongres adalah untuk merekatkan kembali hubungan BEM PTS Surabaya yang sempat merenggang sebelumnya, juga sebagai bentuk deklarasi bahwa koalisi ini ada dan siap aktif mengawal berbagai permasalahan yang membutuhkan peran mahasiswa untuk mewakili suara rakyat," ucap Naeka panjang lebar.

"Lima ratus ribu, kebanyakan, nggak?" celetuk Ari--Wakil Presiden Mahasiswa kampus swasta terbesar kelima di Surabaya.

"Standar, sih," jawab Gilang.

Tanggapan dua pemuda itu membawa atensi Naeka pada gadis yang duduk di samping kiri. Dia menemukan Naela sedang menatapnya dengan wajah meredup. Sorot matanya menyiratkan penolakan, tapi ia justru memaksa bibirnya menampilkan seulas senyum simpul.

Mengingat lagi cerita si gadis, Naeka memang tak tahu sedalam apa kesulitannya dalam urusan anggaran organisasi. Waktu itu, Naela hanya mengungkap sebatas kendala penerimaan diri terhadap tanggung jawab sebagai Presiden Mahasiswa. Memergoki gelagat keberatan darinya seperti saat ini, entah mengapa Naeka menjadi tak enak hati.

"Tapi kita nggak bisa langsung mematok jumlah kayak gitu!" Samara menanggapi. "Semua orang yang hadir di sini-harus sepakat tanpa ada yang membawa penyesalan sepulang musyawarah nanti."

Naela sungguh ingin berterimakasih pada perempuan cantik berkacamata itu. Pundaknya kini terasa lebih ringan. Semangat mengikuti rangkaian diskusi pun telah kembali.

"Izin berpendapat, Pres-ku sekalian!" Seorang pemuda yang duduk berhadapan dengan Naela, bersuara. Namanya Randi, Presiden Mahasiswa kampus swasta yang menempati urutan ke-delapan di Surabaya.

"Untuk urusan uang, alangkah baiknya kita menyusun detail dulu hal-hal yang kita butuhkan nanti. Perkara gedung, kan, sudah tidak perlu kita pikirkan lagi karena Universitas Harsa Bentala siap menjadi tuan rumah." Sejenak, ia menoleh pada Naeka. Randi ingin memastikan--jika tak ada koreksi dalam pernyataannya barusan. "Jadi, selain dialokasikan dalam bentuk konsumsi yang sudah jelas nggak bisa kita pasrahkan sepenuhnya pada tuan rumah, uang sumbangan tiap organisasi atau yang kita sebut biaya registrasi--harus terdistribusi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan lain yang pasti. Dengan begitu, jumlah dana yang kita sepakati jelas arah pemakaiannya untuk apa saja. Apalagi rencananya kongres akan diselenggarakan selama dua hari."

Opini panjang Randi seolah mengantar seluruh orang ke bagian paling serius dalam diskusi hari ini. Sebagian orang mudah menangkap maksud dari gagasan pemuda itu. Sebagian lagi membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Sejak dulu, segala sesuatu yang berkaitan dengan uang nyaris selalu mampu menyumbat daya pikir seseorang.

"Saya mengerti," respon Samara mengangguk. "Saya juga ingin mengingatkan sekali lagi--kalau kita juga akan mengajukan proposal ke beberapa pihak guna mencari pendukung kegiatan kongres nanti. Ini saran dari para senior. Katanya, dari sana-peluang kita mendapat suntikan dana--cukup besar."

"Menurut saya, kita harus antisipasi terhadap kemungkinan paling buruk." Lama membiarkan dirinya menjadi pengamat interaksi, akhirnya Naela memberanikan diri. Walau degup jantungnya tak karuan saat tatapan semua orang berpindah padanya, gadis itu tak punya pilihan lain-selain meneruskan kalimatnya.

"Saya setuju dengan pendapat Pres Randi. Demi terhindarnya penentuan jumlah biaya registrasi yang bisa memberatkan beberapa pihak, kita memang harus benar-benar memperhitungkan kebutuhan yang jelas untuk kongres nanti."

Tanpa Naela ketahui, Naeka mengulum senyum di tempatnya. Dia lega saat si gadis mau mengutarakan keresahannya alih-alih memilih bungkam sendiri. Sayangnya, gerak-gerik tak biasa koordinator BEM PTS Surabaya itu disadari oleh Gilang. Pemuda itu mesam-mesem sambil terus menatap Naeka dan Naela-bergantian.

"Saya juga setuju dengan ide pengajuan proposal. Tapi, hasil yang akan kita dapatkan, kan, masih belum tentu. Maksud saya, kita boleh mengandalkan suntikan dana hasil proposal, tapi jangan terlalu menggantungkan pada itu. Begitu pula dengan penentuan anggaran berdasarkan jumlah kebutuhan yang kita hitung nanti. Misal total kebutuhan adalah tiga juta, untuk berjaga-jaga, bukankah lebih baik melebihkan anggaran untuk meminimalisir kekurangan dana nantinya?"

Naela tahu, yang ia sampaikan merupakan hal wajar--yang pasti juga terlintas di benak rekan-rekannya. Bukan masukan timpang yang dapat memicu timbulnya pertikaian persepsi antar anggota diskusi. Kesan yang orang-orang berikan setelah gadis itu menyelesaikan kalimatnya, menjadi satu dari sekian alasan dia betah berlama-lama di tempat itu.

Naela suka saat pendapatnya didengarkan. Naela nyaman terlibat dalam obrolan panjang yang mengindahkan eksistensi-nya. Dia bersyukur, walau harus membayar momen berharga ini dengan omelan ibu karena lagi-lagi pulang malam dan diantar si koordinator BEM PTS Surabaya.

......

Meski agak mumet saat menulisnya, uring-uringan karena otak tiba-tiba mentok, aku harap apresiasi para pembaca bisa menjadi pelipur bagi diriku yang sedang susah payah menemukan kembali motivasi menulis, wkwk.

Semoga kalian suka chapter ini.

Continue Reading

You'll Also Like

5.9K 496 6
Apa jadinya jika seorang wanita karir yang diberi julukan perawan tua karena sampai sekarang masih belum menikah, harus bertransmigrasi kedalam tubuh...
64.9K 5.9K 48
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
498K 37.1K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
100K 14.7K 43
Ketika pilihanmu hanya mencintai seseorang, dicintai seseorang, atau kembali pada seseorang. Started: Feb, 2019 Finished: Jun, 2019 Highest rank: 1...