Through the Lens [END]

Por dindaarula

83.9K 9.2K 831

I found you through the lens, then I'm falling right away. --- Ketika bertugas sebagai seksi dokumentasi dala... Mรกs

๐Ÿ“ท chapter o n e
๐Ÿ“ท chapter t w o
๐Ÿ“ท chapter t h r e e
๐Ÿ“ท chapter f o u r
๐Ÿ“ท chapter f i v e
๐Ÿ“ท chapter s i x
๐Ÿ“ท chapter s e v e n
๐Ÿ“ท chapter e i g h t
๐Ÿ“ท chapter n i n e
๐Ÿ“ท chapter t e n
๐Ÿ“ท chapter e l e v e n
๐Ÿ“ท chapter t w e l v e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t e e n
๐Ÿ“ท chapter f o u r t e e n
๐Ÿ“ท chapter f i f t e e n
๐Ÿ“ท chapter s i x t e e n
๐Ÿ“ท chapter s e v e n t e e n
๐Ÿ“ท chapter e i g h t e e n
๐Ÿ“ท chapter n i n e t e e n
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y o n e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y t w o
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y f o u r
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y f i v e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y s i x
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y s e v e n
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y e i g h t
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y n i n e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y o n e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y t w o
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y f o u r
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y f i v e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y s i x
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y s e v e n
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y e i g h t
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y n i n e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y
๐Ÿ“ท chapter f o r t y o n e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y t w o
๐Ÿ“ท chapter f o r t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y f o u r

๐Ÿ“ท f i n a l chapter

3.4K 202 36
Por dindaarula

Empat bulan setelahnya.

Selepas turun dari mobil, Radya berlari kecil menuju sebuah kafe lantaran gerimis tengah turun membasahi bumi. Sesampainya di beranda kafe, laki-laki itu sejenak mengacak-acak pelan rambut hitamnya--yang kini telah dipangkas hingga menjadi sedikit lebih pendek dari sebelumnya. Lantas tanpa perlu menunggu lagi, ia segera masuk ke dalam tempat tersebut dan langsung saja disambut dengan hawa sejuk dari pendingin ruangan serta aroma kopi yang begitu memanjakan penciuman. Langkah kakinya kemudian membawa ia menuju antrean panjang di kasir untuk memesan.

Sambil menunggu, Radya pun mengecek ponsel tanpa peduli dengan keadaan sekitar selain antrean di depan. Namun, kedatangan beberapa pelanggan baru berikutnya nyatanya mampu menarik perhatian Radya dalam sekejap. Pasalnya, salah satu dari empat orang perempuan yang datang tiba-tiba menyapa laki-laki itu kendati terdengar agak ragu-ragu.

"Hai ... Rad?"

Di saat itu Radya pun seketika menoleh. Sesaat ia mematung sebab mendapati Karen bersama tiga temannya di sana. Perlahan, Radya pun mengembuskan napas panjang seiring dengan rautnya yang lambat laut berubah dingin. Kemudian, tanpa merespons, Radya kembali lagi pada ponselnya seolah Karen tidak ada. Kendati demikian, dalam hati Radya bertanya-tanya, apa lagi yang sebenarnya direncanakan semesta dalam pertemuan mereka kali ini setelah berbulan-bulan terlewati?

Walaupun tidak mendapat balasan, Karen tetap maju mengambil langkah hingga ia kini mengantre persis di samping Radya alih-alih berdiri di barisan paling belakang. Pelanggan-pelanggan lain tidak memprotes sebab mengira Karen memang mengenal Radya. Sementara itu, ketiga teman yang datang bersama Karen lekas mencari meja kosong sembari diam-diam memerhatikan dari kejauhan.

"Rad," panggil Karen, mencoba memulakan percakapan dengan laki-laki di sebelahnya. "Gue denger-denger dari Ojan, lo ambil cuti di semester ini buat pemulihan gara-gara kecelakaan beberapa bulan lalu?"

"Hm," Radya hanya bergumam dengan malas.

Walaupun begitu, Karen cukup senang bahwa Radya tak benar-benar mengabaikan kehadirannya. Alhasil ia pun lanjut bertanya, "Terus, kegiatan lo apa sekarang? Kayaknya lo udah bener-bener sehat. Gue liat-liat juga penampilan lo rapi banget hari ini." Karen tampak takjub sebab saat masih bersamanya dulu, Radya tak pernah menunjukkan sisinya yang seperti itu.

Sejenak Radya pun perhatikan setelan serba hitamnya: kemeja panjang yang lengannya digulung sampai siku, celana bahan, serta sepatu pantofel mengkilap. "Ah, gue habis datang ke acara anniversary hotel." Radya lantas menoleh, menarik tipis kedua sudut bibirnya. "Hotel bokap gue."

Karen terhenyak. Radya dengan sengaja memperjelasnya sebab ia masih tak lupa dengan kejadian yang sudah lalu.

"Oh, I see," balas Karen pelan. "Tapi, Rad ... kenapa dulu lo nggak pernah kasih tau apa pun soal itu ke gue?"

Radya mendesah malas seraya memasukkan ponsel ke dalam saku celana. "Buat apa? Biar lo bisa mikir dua kali dulu buat bersikap seenaknya sama gue? Atau biar gue sama lo nggak perlu stay private demi jaga image lo, takut gue bikin lo malu?"

"Rad, apaan sih lo?" Tentu saja Karen tak senang mendengarnya, tanpa sadar bahwa Radya hanya berbicara fakta. "Nggak kayak gitu. Gue cuma bingung aja kenapa lo segala harus nutupin hal itu sama gue sampe akhirnya gue jadi salah paham sendirian. Apa gue kurang bisa dipercaya? Gue bikin lo nggak nyaman, makanya lo nggak bilang?"

Kini Radya memandang Karen lelah, benar-benar tak habis pikir karenanya. "Sebenernya lo berharap apa dengan ngomong kayak gitu sama gue? Berharap gue bakal ngerasa bersalah karena udah bikin lo mikir kayak gitu? Berharap gue ujung-ujungnya bakalan minta maaf ke lo?" Jeda sesaat. "Tapi sori, lo berharap sama orang yang salah. Trik murahan yang sering lo gunain ke orang banyak itu nggak akan pernah mempan di gue."

Untuk yang kedua kali, Karen berhasil dibuat kehilangan kata. Radya tak terlalu memerhatikan perubahan ekspresinya sebab sudah tiba giliran ia untuk memesan. Namun, pada saat itu Karen turut maju karena sejak tadi mereka memang mengantre bersama walaupun Radya tidak memedulikannya.

"Mas, hot cappuccino satu, sama hot green tea latte satu juga," Radya menyebutkan pesanannya pada pegawai pria yang berdiri di balik kasir.

Karen yang mendengar itu tertegun sejenak. Senyum kecilnya terukir. Kemudian ia sedikit mendekat pada Radya untuk berkata, "Rad ... lo masih inget minuman kesukaan gue?"

Radya pun tergeming sejenak seraya menelengkan kepala dengan sorot penuh keheranan. "Gue rasa emang ada yang nggak beres sama otak lo. Lo pikir di dunia ini cuma lo doang yang suka minuman itu?" ujarnya serampangan. "Minimal lo tanya dululah gue beli buat siapa biar nggak malu-maluin."

Kedua bibir Karen kontan terkatup rapat. Wajahnya memerah lantaran jengah. Terlebih lagi karena sang pegawai yang tengah melayani Radya tampak mengulum senyum sementara tawa-tawa tertahan terdengar dari antrean belakang. Karen benar-benar sudah mempermalukan dirinya sendiri di tempat umum meski Radya tidak berbuat banyak.

"Kakaknya nggak pesan apa-apa?" Pegawai tersebut lantas bertanya kepada Karen.

Dan, sebagai serangan pamungkas, Radya mendahului Karen dengan menjawab, "Pesannya misah, Mas. Dia cuma malas ngantri makanya seenaknya ngintilin saya." Sejenak Radya mengeluarkan kartu debit dari dalam dompetnya. "Tapi nggak masalah kalau mau dibarengin. Siapa tau dia nggak mau bayar sendiri juga. Nggak papa, biar saya yang bayar semuanya, Mas, sekalian sama punya teman-temannya juga."

Kemudian Radya menoleh pada Karen, menatapnya acuh tak acuh seraya memberi isyarat agar ia segera memesan. Namun, akibat pandangan-pandangan tak mengenakan yang diterima, Karen dengan wajah kesalnya sekonyong-konyong beranjak dari tempatnya berdiri dan berujung meninggalkan kafe begitu saja--dengan diikuti oleh ketiga temannya yang terlihat kebingungan sekaligus menahan malu.

-

Pemandangan pertama yang Radya dapati setelah ia kembali ke mobil adalah Alsa yang masih tertidur pulas dengan selimut tebal menyelimuti tubuhnya sampai leher. Merupakan selimut milik Radya yang sudah beberapa hari ini berada di dalam sana sebab Alsa tengah terserang flu berat akibat perubahan cuaca.

Gadisnya itu tetap saja masuk kuliah kendati Radya sudah memintanya agar ia beristirahat di rumah, bahkan di hari Minggu ini ia tetap datang ke kampus demi mengerjakan salah satu proyek tugas kelompoknya. Beruntung acara yang Radya hadiri tidak berlangsung sampai malam sehingga ia bisa menjemput Alsa dan tak perlu khawatir bagaimana jadinya jika gadis itu pulang sendirian dalam keadaan seperti ini.

Ketika Radya sudah duduk di jok dan menutup pintu mobil, bunyi yang ditimbulkan kali ini rupanya mampu menarik Alsa dari alam mimpi dengan cepat. Gadis bertubuh mungil itu menggeliat di balik selimut dengan kedua mata yang perlahan terbuka. Radya yang melihatnya pun lekas mendekat sembari menyunggingkan senyum kecil. "Maaf, lo jadi kebangun," ujar Radya seraya merapikan poni tipis Alsa dengan gerakan lembut. Suhu hangat langsung terasa kala jarinya menyentuh dahi sang gadis. "Tidur lagi aja kalau masih ngantuk."

Alsa menggeleng pelan seraya meregangkan tubuh. Ia kemudian menegakkan badan kendati kepalanya terasa sedikit pusing. "Ngantuknya ilang," balasnya dengan suara yang terdengar sengau. Gadis itu lantas baru menyadari bahwa mobil tengah berhenti, dan ia pun segera melihat ke sekitarnya. "Loh, kenapa berhenti di sini, Bang? Kita mau mampir ke kafe dulu emangnya?"

"Udah, tadi gue turun sebentar buat take away, sengaja nggak bangunin karena lo tidurnya pules banget," jelas Radya, kemudian ia mengeluarkan satu cup kertas dari packaging khusus dan diserahkannya kepada Alsa. "Green tea, buat lo. Gue inget lo pernah bilang green tea paling enak yang pernah lo cobain ada di kafe ini."

Kedua mata Alsa langsung berbinar. Dengan senyum cerah ia pun meraih pemberian Radya. "Makasih, Bang," tuturnya dengan tulus. "Tapi, kenapa lo belinya yang panas?"

"Ya sengaja, buat angetin badan. Mana lagi hujan begini."

"Tapi gue kan sukanya yang dingin. Kenapa lo nggak beli yang dingin aja?"

"Apa?"

"Gue maunya yang dingin."

Mendengar itu Radya pun lekas menelengkan kepala, memandang Alsa tak habis pikir. "Coba ngomong sekali lagi," ujarnya dengan serius.

Pada saat itu Alsa segera mengatupkan bibirnya rapat-rapat, sadar bahwa perkataannya sudah memancing amarah Radya lantaran ia sempat lupa dengan keadaannya sendiri. Lantas sebagai balasan, Alsa hanya menggelengkan kepalanya takut-takut tanpa berani berkata-kata.

Radya menghela napas dalam sejenak. "Lo kalau kayak gini terus lama-lama bisa bikin gue marah beneran, tau nggak? Bisa nggak sih, nurut sekali aja? Kemarin-kemarin disuruh nggak masuk kuliah dulu nggak mau, sampe akhirnya lo jadi kelimpungan sendiri. Disuruh izin dulu dari kerja kelompok juga nggak mau, padahal temen-temen lo nggak sejahat itu buat depak lo dari kelompok gitu aja. Terus sekarang maksudnya apa bilang pengen minum yang dingin? Lo beneran nggak pengen sembuh? Iya? Pengen bikin gue khawatir terus-terusan?"

Alsa kian menciut di tempat duduknya. Ingin rasanya berkata bahwa, "Ini cuma flu." Namun, andai kata Alsa benar-benar melakukan hal tersebut, ia cukup yakin dirinya justru malah akan terjebak lebih lama lagi di sana. Sebab apa yang pernah Risha katakan pada Alsa ternyata benar adanya.

Jika sedang khawatir, terkadang cerewetnya Radya bisa menyamai para orangtua, entah ia sendiri sadar atau tidak.

Kalau bisa dibandingkan, tampaknya kala itu Alsa tidak sampai secerewet ini meski kenyataannya kondisi Radya lebih mengkhawatirkan ketimbang sakitnya kini. Namun, Alsa dapat langsung menemukan di mana letak pembedanya, yakni di mana Radya begitu patuh mengikuti setiap prosedur yang harus dilaluinya saat menjalani fisioterapi hingga akhirnya ia berhasil pulih sepenuhnya. Kendati demikian, Alsa pernah sempat marah pada Radya sebab laki-laki itu dengan sengaja menyembunyikan fakta soal trauma pasca kecelakaan yang mengganggunya. Alsa masih mengingat jelas saat ia melihat Radya terbangun dari tidur dalam keadaan seperti habis dikejar-kejar oleh sesuatu yang menyeramkan. Alsa juga pernah mendapati Radya yang tampak begitu gemetaran saat berada di tempat tinggi. Dan, di saat itulah Radya tak punya pilihan lain selain berkata yang sejujurnya.

Alsa bahkan langsung menyuruh Radya untuk mendatangi psikiater. Namun, laki-laki itu malah melontarkan sebuah pertanyaan bodoh, "Nanti kalau orang-orang anggapnya pacar lo kena gangguan jiwa, gimana?" Entah ia serius atau tidak, yang jelas Alsa jadi kesal mendengarnya. Tapi setelahnya Radya berusaha keras meyakinkan Alsa bahwa ia tidak butuh bantuan ahli kejiwaan dan bisa mengatasi traumanya sendiri. Mulanya Alsa tidak percaya, tetapi seiring dengan jalannya waktu, Radya mengaku bahwa ia sudah tak sering mengalami hal seperti itu lagi. Alsa pun tidak punya pilihan lain selain memercayainya. Toh, Radya memang tampak benar-benar sudah baik-baik saja sekarang, baik fisik maupun psikisnya.

"Kenapa diem aja? Lo dengerin gue ngomong atau malah langsung keluar telinga kiri?" Radya kembali bersuara karena Alsa tak kunjung mengatakan apa pun.

"Dengerin, kok ...," Alsa mencicit sambil tertunduk, tak ingin menatap langsung pacarnya. Kedua tangannya membungkus cup kertas dengan erat.

Radya lantas mengembuskan napas panjang-panjang. Tatapannya masih mengunci Alsa dengan raut yang perlahan melunak. "Besok-besok bakal diulangi lagi, nggak?" tanyanya dengan intonasi yang lebih lembut dari sebelumnya.

Alsa lekas menggeleng singkat.

"Nanti kalau nyokap lo nyuruh lo istirahat di rumah, turutin. Kalau lo mau tau, malah gue yang ikutan kena omel karena nggak berhasil bujuk lo."

"Hah ... beneran, Bang?"

"Ngapain juga gue bohong. Lo tanya aja sendiri sama nyokap lo." Sebelum Alsa sempat membalas, Radya meraih cup dari tangan sang gadis seraya berkata, "Ini kalau lo nggak mau, ya udah, biar gue yang minum nanti."

Alsa kontan melebarkan mata. Lantas cepat-cepat ia kembali mengambil minumannya, layaknya seorang bocah yang ingin kembali merebut mainannya dari tangan orang dewasa. "Ih, jangan diambil. Gue tetep mau minumnya, tau."

Radya membuang napas pelan sebelum mengacak gemas puncak kepala Alsa. Sebuah senyum geli terukir di bibirnya, lalu ia bergumam, "Dasar." Sejenak laki-laki itu pun mengambil cup minumannya sendiri untuk ia sesap. Lalu setelahnya ia berujar, "Padahal sebentar lagi lo ulang tahun, tapi lo malah lama sembuhnya. Gue udah terlanjur siapin kado, tapi kayaknya percuma, akhirnya bakal hangus. Terpaksa harus batal karena lo aja masih sakit begini."

Seketika rasa penasaran pun menghinggapi Alsa. "Hangus? Batal? Maksudnya apa, Bang? Emangnya lo nyiapin kado apaan?" tanyanya secara beruntun.

"Kepo, deh."

"Ish, sengaja banget bikin gue penasaran. Kasih tau, nggak?"

"Hmm ...." Sejenak Radya tampak menimbang-nimbang. "Asalkan lo beneran janji, besok-besok lo nggak bakal bebal kayak gini lagi sampe lo bener-bener sembuh. Gimana?"

Tanpa disangka, Alsa langsung mengangguk tanpa ragu. "Janji," katanya.

Radya lekas menggeleng-geleng heran. Namun,  pada akhirnya ia pun tak punya pilihan lain. Lantas yang laki-laki itu lakukan setelahnya adalah mengeluarkan ponsel dari saku celana untuk mengirimkan sesuatu pada Alsa agar gadis itu dapat melihat sendiri hadiah seperti apa yang sudah Radya siapkan untuknya. "Coba cek HP lo," ujarnya usai pesan berhasil terkirim. Kurva di bibirnya lantas terukir, siap menunggu reaksi dari sang gadis.

Untuk sesaat Alsa terlihat bingung, tetapi karena sudah kepalang penasaran, ia pun lekas menaruh cup minuman pada cerukan berbentuk tabung pada pintu mobil, lantas ia menyibak selimut untuk merogoh ponsel dari dalam tote bag di pangkuan. Tanpa menunggu lama lagi, Alsa segera mengecek notifikasi berisi pesan dari Radya. Dan ... sepasang netranya pun sontak melebar, satu tangannya terangkat untuk menutupi mulut yang menganga, betul-betul tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

Ada sebuah e-ticket.

Tiket untuk konser.

Konser tunggal Baswara Chandra yang diselenggarakan tiga hari setelah ulang tahun Alsa!

"Bang ... i-ini, ini, lo nggak lagi ngeprank gue, 'kan?" tanya Alsa dengan keterkejutan yang masih menyertai.

Radya mendengkus pelan. "Ya menurut lo aja, cil. Lo pikir gue segabut itu, ngedit tiket palsu cuma buat ngerjain lo?"

Alsa kontan termangu beberapa saat. "Ini ... lo beneran ngasih ini buat gue?" tanyanya lagi, ingin memastikan.

"Iya, beneran."

"Lo nggak bercanda 'kan, Bang?"

"Iya, astaga. Ngapain juga gue bercanda dalam hal kayak gini, sih?"

"Gue masih nggak percaya soalnya ...."

Radya tertawa pelan mendengarnya. "Kenapa nggak percaya? Itu beneran nyata, kok," ujarnya. Ia lantas sedikit memajukan tubuhnya pada Alsa dan bertanya, "Gimana kado dari gue? Lo seneng, nggak?"

Dengan kedua matanya yang berbinar bahagia, Alsa berseru begitu antusias, "Seneng ... seneng banget banget banget!"

Melihat itu, Radya tentu turut merasa senang sebab ia sama sekali tidak salah memilih hadiah. Namun, ada satu hal yang membuat senyum kecut sekonyong-konyong terbit di wajahnya. "Obat yang paling manjur ternyata emang Baswara, ya? Gue mah apa ...."

Kendati Radya mengucapkannya secara pelan, Alsa masih dapat mendengar hal tersebut dengan jelas. Sejenak ia tergeming sebelum sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman geli. Lantas, sebelum Radya kembali menjauhkan tubuh, Alsa buru-buru mengalungkan kedua lengannya pada leher Radya, menariknya kian dekat agar lebih mudah bagi sang gadis untuk mendaratkan sebuah kecupan kilat di pipi laki-laki itu.

"Makasih banyak, Sayaaang," ujar Alsa dengan manja yang ditutup oleh sebuah tawa kecil.

Apa yang Alsa lakukan benar-benar seperti kejutan besar bagi Radya hingga ia berakhir membeku di tempat. Dan Alsa berani bersumpah bahwa ia mendapati Radya tampak linglung selama beberapa saat.

-

Pada suatu hari, pertama kalinya Alsa mengetahui informasi perihal diadakannya konser tunggal Baswara Chandra adalah ketika ia dan Radya berada di bioskop, tengah menunggu film dimulai. Alsa cukup yakin bahwa saat itu ia sudah menyembunyikan reaksinya dengan seapik mungkin, tetapi nyatanya Radya tetap saja tahu segalanya. Dan, dari sanalah awal mula munculnya ide untuk menjadikannya sebagai hadiah ulang tahun Alsa sebab hari pelaksanaannya sangat berdekatan.

Hal itu saja sudah cukup mengejutkan Alsa. Namun, gadis itu lebih dibuat terkejut lagi dengan fakta bahwa Radya bersedia menemaninya kendati ia selalu menganggap seolah Baswara adalah saingan terberatnya. Alsa betul-betul senang sebab di awal ia mengira dirinya akan datang ke konser sendirian. Yah, walaupun Radya masih sempat-sempatnya membuat Alsa kesal lantaran telat bercerita soal pertemuannya dengan Karen saat di kafe, tetapi kini ia sudah tidak peduli, bahkan menganggap seolah itu tak pernah terjadi.

Momen saat ini adalah yang terpenting, di mana  Alsa akhirnya berkesempatan untuk menonton konser tunggal perdana sang idola secara langsung dan dekat--sebab ia berada di jajaran paling depan, dengan ditemani oleh salah satu lelaki paling berarti dalam hidupnya.

Selama Baswara melantunkan lagu-lagunya dengan suara indahnya yang khas, Radya hanya bersedekap dengan tampang bosan, bahkan sesekali Alsa mendapatinya menguap. Karya Baswara Chandra kebanyakan memanglah tipe-tipe menenangkan, hingga berhasil menciptakan atmosfer yang sukses membuat Radya mengantuk sebab tidak cocok dengan selera musiknya. Namun, Radya sama sekali tidak mengeluh atau berkomentar dan tetap setia berada di samping Alsa sementara sang gadis sibuk bernyanyi bersama dengan penonton yang lain.

"Lo ngapain bawa kamera kalau dari tadi nggak dipake-pake?" Radya tiba-tiba melontarkan tanya di tengah-tengah lagu, sedikit menunduk agar suaranya sampai ke rungu gadis di sampingnya.

Di leher Alsa saat ini memang terkalung sebuah kamera. Kamera miliknya sendiri yang mulai ia bawa-bawa ke mana pun setelah adanya mata kuliah fotografi di semester kedua ini. Dan persis seperti kata Radya, Alsa sama sekali tidak menggunakannya sejak tadi.

"Ternyata gue nggak bisa fokus nikmatin konser kalau harus sambil foto-foto juga," jawab Alsa sekenanya seraya menoleh. "Mungkin emang bener kata orang, nggak semua hal harus diabadikan lewat lensa kamera. Cukup direkam pake mata, otomatis bakal kesimpen di otak selamanya."

"Ah, sama kayak di acara Festival Musik FEB waktu itu? Lo juga cuma fokus nontonin Baswara tanpa sibuk foto-foto segala macem." Radya menarik napas sejenak. Membahas soal festival musik tersebut nyatanya mampu memunculkan segala ingatan yang sudah lalu dalam benaknya. "Kalau dipikir-pikir, gue bisa ketemu sama lo gara-gara Baswara Chandra juga. Bedanya saat itu masih di acara kampus, gue panitia sementara elo penonton. Gue sibuk foto ke sana-kemari buat dokumentasi, sementara fokus lo cuma buat Baswara. Sampe akhirnya gue nemu lo di antara penonton lewat lensa kamera gue, mata lo masih dan cuma tertuju ke Baswara.

"Dan sekarang," lanjut Radya sementara satu sudut bibirnya terangkat, "siapa yang bakal nyangka kalau ending-nya gue bakal nemenin lo buat nonton si nomor satu?" Laki-laki itu kemudian mengambil kamera milik Alsa seraya berkata, "Sini, biar nggak nganggur nggak jelas."

Penuturan panjang Radya membuat Alsa tergeming sesaat dengan fokus yang hanya tertuju pada laki-laki itu--kendati Baswara di atas panggung masih bernyanyi. Alsa kemudian menyunggingkan senyum kecil mendapati Radya yang mulai sibuk mengambil beberapa potret Baswara Chandra. Rasanya sudah lama sekali ia tak melihat perpaduan yang begitu cocok antara Radya dengan kamera.

"Walaupun lo bilang nggak harus diabadikan, tapi pasti ada masanya lo pengen inget-inget lagi momen kayak gini, dan udah jelas foto atau video bakal bantu lo buat memvisualisasikan semua yang ada dalam kepala lo sampe akhirnya kerasa kayak nyata, seolah lo lagi ngalamin hal yang sama buat yang kedua kali." Setelah berhasil mendapatkan beberapa gambar, Radya pun mengembalikan kamera kepada si empunya. "Nih, udah gue bantu ambil beberapa."

Usai kembali mengalungkan kamera di lehernya seraya berterima kasih, lagi-lagi pandangan Alsa hanya lekat tertuju pada Radya seolah Baswara tidak lagi menarik di matanya. Kemudian, ketika satu pemikiran tiba-tiba muncul dalam benak, diam-diam Alsa mengangkat kameranya dan ia arahkan kepada Radya di saat laki-laki itu fokus melihat ke depan.

Lantas Alsa menekan tombol shutter, dan satu potret Radya pun tersimpan dalam kameranya.

Suara yang ditimbulkan lekas menarik atensi Radya sebelum Alsa sempat menurunkan kamera di tangannya. "Lo ngefoto gue?" tanya laki-laki itu dengan kening berkerut samar.

Alsa mengangguk kecil. Kedua sudut bibirnya terangkat dengan sewajarnya. "Buat kenang-kenangan," kata sang gadis, "kali aja ini bakal jadi terakhir kalinya lo nemenin gue nonton konser Baswara."

"Apa sih, kenapa mikirnya gitu, hm?" Radya menaruh satu tangan di bahu Alsa, lalu didorongnya perlahan hingga tubuh mereka tak berjarak.

"Habisnya lo keliatan ngantuk gitu. Emangnya lo mau maksain diri lagi buat konser selanjutnya?"

"Why not? Selama lo seneng, gue nggak masalah. Seenggaknya itu lebih baik daripada lo nonton sendirian dan gue malah berakhir kepikiran."

Alsa tertegun, sebelum senyumnya tertarik kian lebar lagi. "Omong-omong, foto lo ini mau gue debutin di feeds Instagram gue, ya."

"Hm? Tiba-tiba? Kenapa?"

"Biar lo tau, biar semua orang tau, siapa si nomor satu yang sebenarnya."[]

📷

author's note:

setelah hampir satu tahun, finallyyy TTL tamat jugaa huaaa monangisss 😭😭😭

perjalanan cerita ini tuh cukup panjanggg pembaca lama pasti tau deh kayaknya wkwk. dimulai dari aku yang bikinnya pas masa-masa nyusun proposal, bahkan sampe aku skripsian juga masih sempet-sempetnya nulis ini karena stress wkwk. terus aku sempet hiatus juga 2 bulanan karena sidang+yudisium+wisuda, eh pas mau lanjut lagi malah kena wb makanya update-nya jadi jarang-jarang bisa nyampe sebulan sekali hehe mian 🥲🙏🏻

sooo aku mau bilang makasih banyakkk yaa buat yang udah menemani perjalananku menulis kisahnya radya-alsa sampe tamat, mau itu pembaca lama ataupun baru, yang udah kasih apresiasi berupa vote dan komen di setiap chapter-nya, yang nggak pernah bosen kasih semangat ... makasih banyak pokoknyaaa!! 💗💗💗

coba komen di sini dong gimana kesan pesan kalian setelah baca chapter terakhir ini hehe ayooo ga usah malu-malu yahh! siapa tau akhirnya bakal muncul niat buatku bikin extra part dan nantinya bakal aku publish di sini bukan di pf lain 😁

oke deh cukup sekian. jangan lupa mampir ke cerita baruku yaa judulnya memories in the making hehe kali aja ada yang berkenan 😊 thank you so muchhh sekali lagiii dan sampe ketemu lagi di lain kesempatan! 🫶🏻💗

bandung, 28 juli 2023

love, dinda.

Seguir leyendo

Tambiรฉn te gustarรกn

414K 42.5K 44
Mantan playboy dan playgirl dipertemukan ketika keduanya sama-sama patah hati dan ingin bertaubat. Tampaknya, takdir sedang bermain dengan magic mome...
93.6K 9.1K 46
Natasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan be...
1.9M 93.1K 56
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
180K 21.2K 25
Namanya Raditya, pria paling cuek dan dingin yang Gena tau. Selain cuek dan dingin, Raditya yang biasa disapa Radit juga seorang pekerja keras yang s...