Paradise (Segera Terbit)

By ohhhpiiu

2.6M 141K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXII
Bab XXXIII
Bab XXXIV
Bab XXXV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XLII

43.6K 2.6K 76
By ohhhpiiu

Follow instagram @qiladumpict & @rreffitaatsp cunggg yang mau double up!

Maaf yaaa lama update, kemarin sakit ditambah digempur uas jadi gak bisa buka laptop. Kalau lupa sama alurnya bisa dibaca ulang yaaaa, timakaci cintaku 🥰

s e l a m a t - m e m b a c a

---

Hari ini adalah latihan perdana Qila dengan beberapa anak Osis untuk penampilan mereka di expo nanti. Dikarenakan bukan sebagai penampil inti, set list mereka hampir berada di akhir acara, karena hal itu lah sepertinya akan membuat Qila terlambat pulang.

Jemari Qila menari anggun diatas balok piano tanpa keraguan, membuat beberapa orang terkesima dan terpukau. Senyum manis yang jarang ia tunjukkan kini terpancar dengan cantik.

cekrek.

Angkasa menurunkan kamera setelah mengambil beberapa bidik foto. Ia tersenyum melihat hasilnya. Syukurlah ia menerima tawaran menjadi anggota publikasi sehingga dapat kesempatan untuk memotret momen di expo nanti, termasuk penampilan Qila.

"Sumringah amat." Ferdi-Ketua divisi publikasi menepuk pundak Angkasa. "Awas tuh memori cardnya ketuker, nanti gak bisa save fotonya lagi."

"Berisik lo." Angkasa menonjok bahu Ferdi. "Sana urusin bagian yang lain jangan ganggu gue."

"Yeuh kampret kalau bukan karena ajakan gue gak akan bisa lo foto-foto gini," ujar Ferdi kesal. "Yang bener motoinnya jangan ke arah sono mulu."

"Urusin kerjaan lo aja sono," sinis Angkasa.

"Iya deh si paling fokus awas ya kalau hasil fotonya blur semua gue kick lo dari publikasi."

Tak peduli ejekan yang Ferdi lontarkan untuknya, Angkasa tak terusik dan kembali memperhatikan penampilan Qila. Meskipun baru pertama kali latihan, keluwesan Qila bisa membius siapa saja. Dibalik sikap diam dan tertutupnya selama ini, Qila menyimpan banyak keistimewaan yang tak di duga-duga.

Ketika hampir selesai di nada terakhir, Angkasa memperhatikan perubahan ekspresi Qila yang terlihat samar, ia pun lantas mendekat ke arah panggung sambil menyampirkan tas hitam di sebelah tangan.

Suara tepuk tangan bersahutan, semua terlihat puas dan menatap kagum ke arah Qila. Melihat respon tersebut membuat Qila tersipu malu, ternyata memutuskan tampil tidak seburuk itu, padahal ia kira akan ditatap dengan tatapan sinis seperti biasanya.

"Lo gak apa-apa?" Angkasa menunggu dibawah panggung dengan air mineral yang langsung disodorkan untuk Qila. "Muka lo pucet."

Qila langsung memegang wajahnya untuk memastikan, sebetulnya sejak siang tadi ia merasa tubuhnya kelelahan, namun ia pikir semua masih bisa ditahan sebentar, ternyata malah berujung seperti ini.

Entah karena kemoterapi kedua atau memang kondisi tubuhnya yang sedang tidak baik, sejak pulang dari rumah sakit Qila merasa seperti ada yang salah dengan tubuhnya.

"Lo keringet dingin." Angkasa mengamit sebelah tangan Qila lalu menuntunnya ke sebuah bangku tak jauh dari panggung. "Minum dulu."

"Makasih." Qila tersenyum sambil menerima air dari Angkasa. "Kamu gak foto-foto lagi?"

"Enggak, gue mastiin lo aman dulu baru lanjut foto."

Padahal Angkasa berujar dengan begitu santai tapi jantung Qila memompa kencang mendengarnya. Ditambah tatapan khawatir Angkasa yang tidak disembunyikan itu membuat tubuh Qila semakin berdesir.

"Udah makan siang, kan?"

"Tadi belum sempet karena harus briefing."

Alis Angkasa tertekuk, "Kenapa gak bilang kalau belum makan."

"Aku gak kepikiran buat makan, tadi langsung latihan soalnya."

Decakan kasar terdengar sampai membuat Qila takut kalau Angkasa marah karenanya. "Harusnya tadi bilang gue dulu, jangan sampai telat makan, La, nanti sakit."

Takut. Qila merasa tatapan Angkasa seperti orang yang sedang marah. "Maaf. Tadi beneran kelupaan karena gak sabar buat latihan."

"Gue gak marah." Angkasa memejamkan mata sejenak sambil menarik napas. "Jangan pasang wajah ketakutan gitu."

pat pat. Angkasa menepuk ujung kepala Qila sekilas, "Gue beliin makan dulu, lo tunggu disini oke?"

"Aku bisa kok beli sendiri, habis ini-"

"-Gue aja," ujar Angkasa tak ingin dibantah. "Lo istirahat disini dan jangan kemana-mana." Perangai Angkasa yang seperti ini mengingatkan Qila pada Saka dan Daniel yang semakin protektif dari hari ke hari.

"Mana jawabannya?"

"Iyaaaaa." Qila memaksakan senyum sampai kedua matanya menyipit. "Makasih banyak, Asa."

"Anak pinter."

"Aku bukan anak kucing!" Qila mendelik karena lagi-lagi kepalanya ditepuk oleh Angkasa.

"Emang bukan, anak kucing gak ada yang seimut ini soalnya."

🍯🍯🍯

"Ih!" Qila membasuh wajahnya dengan air beberapa kali guna mengusir rasa panas di seluruh wajah. "Apa coba maksudnya ngomong gitu."

Ia kemudian mengangkat kepala sambil memperhatikan penampilannya di cermin. Wajahnya masih merah dan kalimat Angkasa tadi masih terputar di otaknya tak mau diam.

Namun senyumnya menjadi luntur ketika melihat Vega dan Wenda masuk ke toilet. Sudah beberapa minggu terakhir ini Qila tidak menampakkan diri dan ikut berlatih bersama teater.

"Oh liat bintang pertunjukan Osis ada disini, seru ya khianatin ekskul sendiri," sindir Wenda pedas tapi berbanding terbalik dengan ekspresinya yang tak berani menatap wajah Qila, dia justru mengalihkan pandangan ke arah sembarangan.

"Cukup, Wen." Vega melirik sinis meminta Wenda diam yang langsung dituruti oleh gadis itu.

Qila membalikan badan sepenuhnya berhadapan dengan Vega dan Wenda. Bilik toilet sepi hanya ada mereka bertiga saat ini. Mata Qila langsung terpejam begitu melihat Vega menggerakkan tangan.

"Lo berharap gue pukul?" tanya Vega ketus. "Lo pikir gue orang yang gampang main tangan?"

Itu hanya gerakan refleks Qila untuk melindungi diri. Namun Qila memilih bungkam sambil memundurkan badan hingga pinggangnya menyentuh westafle toilet.

"Sikap lo kayak gini yang buat lo makin ditindas sama yang lain." Vega berdecak sambil berkacak pinggang. "Lo gak bisa sesekali marah dan tonjok orang yang nindas lo? Dua tangan lo itu lo gunain buat pajangan doang?"

"Asal lo tau ya. Mereka bakal lebih suka ngerendahin lo karena gak ada penolakan sedikitpun yang lo lakuin buat mereka. Mental lo jadi ciut? Bukannya lo bisa jambak orang kayak yang lo lakuin di sekolah saudara lo waktu itu?"

Mendengar rentetan kalimat dari mulut Vega membuat Qila dilanda kebingungan. Nada bicara Vega memang selalu ketus, tidak berubah, tapi isi dari ucapannya barusan seolah bukan untuk mencaci Qila ... tapi ada siratan lain yang bisa Qila tangkap.

"Aduh percuma lo ngomong panjang kali lebar, anaknya dongo gini mana paham." Wenda yang melihat sedari tadi gregetan sendiri. "Heh cupu, maksud gue, Qila, lo sadar selama ini yang bikin mereka berani nindas lo karena lo gak ngelawan, kan? Contohnya sekarang ini, disaat gue terang-terangan bilang lo dongo aja gak ada ekspresi marah atau tersinggung yang lo kasih, lo manusia bukan sih?"

Kenapa ya? Kenapa mendadak dua orang ini seperti seorang kakak yang tengah memarahi adiknya seperti ini? Qila merasa aneh sekaligus canggung.

"Ck. Udahlah, Ga, mending lo kasih aja surat sama barangnya langsung." Wenda memutar bola matanya kesal. "Kelamaan kalau nunggu dia mikir, keburu nenek gue sd lagi."

Vega menurut dan merogoh saku roknya, mengeluarkan sebuah kertas HVS yang sudah ditulis beberapa nama beserta satu flashdisk berwarna hitam lalu ia memberikannya pada Qila.

Qila meneguk ludahnya sebelum berbicara. "Apa ... ini?"

"Kertas, buta lo?" sarkas Vega. "Cepet ambil tangan gue pegel."

Karena tak kunjung menerima pemberiannya Vega langsung menjejali kertas dan flashdisk tersebut ke tangan Qila.

"Disana semua bukti udah gue kumpulin mulai dari screenshot chat, video, dan beberapa foto orang orang yang udah ngebully lo disekolah. Lo bisa jadiin ini barang bukti buat laporin ke kepala sekolah."

Apa?

Saking terkejutnya Qila sampai tak bisa memproses ucapan yang baru saja Vega lontarkan. Bukti? Maksudnya bagaimana?

"... apa maksudnya? Kalian kasih aku ini? Kenapa?"

Vega dan Wenda tak menjawab pada awalnya, mereka diam dan saling bertatapan. Hingga akhirnya Wenda berdeham memutuskan menjawab, "Anggap aja sebagai ucapan maaf."

"Ya?"

"Beneran dongo ya lo," ujar Vega makin kesal.

Qila bukan tidak mendengar tapi ia kaget karena Wenda mengucapkan kalimat 'maaf' tanpa di duga-duga. Lagian hal apa yang membuat mereka melakukan tindakan ini? Atau jangan-jangan ini jebakan? Mereka berdua merencanakan hal buruk untuk membuat Qila semakin dibenci kedepannya?

"Gak usah mikir aneh-aneh." Decakan halus keluar dari bibir Vega. "Kalau gak percaya lihat dan perhatiin sendiri keaslian bukti yang gue kasih."

"Kenapa?" Qila butuh penjelasan.

"Kenapa lagi? Ya karena gue malu." Kini justru Vega yang mengalihkan pandangan. "Lo yang udah segitu banyaknya kena diskriminasi dari gue, anak teater, dan juga temen sekelas lo, tapi gak ada tindakan apapun yang lo lakuin buat bales kita. Lo malah dengan seenaknya bersikap baik sampe gue malu dan gak berani lagi buat sekedar papasan sama lo."

Tak harus dijelaskan secara gamblang, Vega dan Wenda sudah beberapa kali tertampar oleh kebaikan Qila, gadis yang selalu ia kucilkan saat pertemuan teater ini malah menganggap Wenda teman dan memperkenalkan dia pada keluarganya dengan begitu baik.

Baik Wenda maupun Vega merasa malu. Sulit untuk dijelaskan tapi kesadaran ini memang tiba-tiba datang. Tidak jelas asalnya dari mana namun mereka berdua secara tulus meminta maaf.

Sejujurnya tindakan ini diinisiasi oleh Vega beberapa hari yang lalu, awalnya Wenda sendiri menolak dengan alasan malu kalau harus meminta maaf kepada Qila, ia malu karena sadar bahwa dirinya bersalah, namun setelah mendengar alasan Vega melakukan hal ini membuat pintu hatinya ikut terketuk.

"Maaf," cicit Wenda. "Kalau selama ini gue udah ngebuat lo gak nyaman dan ngelontarin kata-kata kasar, gue minta maaf."

Dada Qila mendadak dipenuhi oksigen yang tersendat di tenggorokan. Bibirnya tak bisa ia gerakkan, hanya tatapan matanya yang bergerak membaca daftar nama-nama orang yang pernah terang-terangan membully dan bermain fisik dengannya, tak terkecuali nama Vega dan Wenda.

"Gue tahu ini gak senilai sama sakit hati yang udah lo rasain. Lo juga gak punya kewajiban buat terima permintaan maaf kita, tapi gue harap bukti ini tetap lo jadikan hukuman buat kita. Karena kalau bukan sekarang, gue yakin sampai lulus pun lo gak akan mau kasih pelajaran buat orang-orang kurang ajar kayak kita." Vega berujar panjang lebar tapi masih dengan wajah yang menatap bilik-bilik kamar mandi.

Bohong kalau Qila mengatakan ia tidak tersentuh. Sungguh. Demi apapun. Qila tidak pernah menyangka hari ini akan datang. Sejak dulu Qila terbiasa mengabaikan semua hal yang menyakiti perasaannya, membiarkannya berlalu tanpa tahu bahwa luka-luka itu mengendap di suatu sudut hatinya.

Ia hanya tak ingin membenci bukan karena tidak bisa. Melainkan butuh tenaga yang banyak untuk membenci seseorang, ia akan terjebak pada perasaan berat karena harus memikirkan semua kesalahan orang-orang padanya, dan Qila tidak menginginkan semua itu.

Baginya yang merasa hidup terlalu berat, tak ada waktu untuk membenci bahkan untuk satu orangpun.

"Terimakasih." Bola mata Qila berkaca-kaca.

"Ngapain sih terimakasih segala," decak Wenda. "Seharusnya lo nampar atau minimal jambak rambut kita, bukannya terimakasih kayak gini."

Tetap saja. Baginya yang pertama kali diperlakukan seperti ini tak ada kata lain selain terimakasih. Sebab sejak SMP hingga memasuki SMA Qila baru diperlakukan seperti manusia, baru dan itu terasa asing namun menyegarkan.

"Aku ... jujur aku sakit hati sama perlakuan kalian."

Tenggorokan Qila terasa tercekik. "Hari dimana kalian bisa ketawa sedangkan aku cuma pengamat bener-bener menyiksa. Kalian yang bahagia jalanin hari, latihan dengan hati riang sementara aku ... aku sendirian dan cuma bisa angkat-angkat barang, kalian gak pernah ajak aku latihan, gak pernah ajak aku main."

Mendengar suara Qila yang bergetar saat mengucapkannya membuat Wenda turut berkaca-kaca dan menitikkan air mata.

"Aku pikir satu hari nanti kalian pasti mau temenan sama aku, kalian pasti bakal anggap aku bagian dari ekskul dan ajak aku latihan kayak yang lain. Tapi aku capek nunggu hari itu, aku mutusin buat gak lagi berharap jadi temen kalian."

"Aku emang bodoh, banyak orang yang bilang bukan cuma kalian doang." Qila tersenyum sedih, ia meremat kertas dan flashdisk ditangannya. "Makasih banyak atas ucapan maafnya, ini pertama kalinya ada yang minta maaf."

Wenda menangis dan langsung merangsek maju memeluk Qila yang juga menangis. Wenda merengek seperti anak kecil sambil memeluk Qila, tangis mereka begitu kencang.

"Maafin gue pernah ngatain lo sampah, gue nyesel, maafin gue." Wenda menangis sejadi-jadinya, menumpahkan rasa bersalah dengan memeluk Qila lebih erat.

Sedangkan Vega ia hanya diam tak mau sama sekali menatap Qila dan Wenda yang tengah berpelukan. Namun dalam diamnya itu ia juga meneteskan air mata yang dengan cepat ia hapus.

"Makasih udah nolong adek gue kemarin." Vega bergumam namun masih bisa Qila dengar.

Apakah ini nyata? Qila tidak sedang bermimpi, kan? Kalau memang mimpi tolong jangan bangunkan Qila, ia mohon. Hari ini terlalu tak nyata untuk ia sadari.

Bolehkah Qila lebih egois lagi? Ia harap ini tidak berakhir begitu saja. Qila harap ia punya kesempatan untuk menikmati hal ini lebih lama lagi.

🍓🍓🍓

Mata Qila menyipit kala melihat Dirga dan Alya berdiri di depan gerbang masuk Sekolah. Ia sampai mengucek bola matanya beberapa kali untuk memastikan sedang tidak berhalusinasi. Seharusnya Saka yang menjemputnya pulang hari ini.

"Qi!" Dirga melambaikan tangan tanpa beban. "Akhirnya keluar juga."

Mata Qila beradu tatap dengan Alya yang sedang tersenyum juga kearahnya. Untuk apa datang? Bukankah terakhir kali Dirga sendiri yang bilang ingin memutus hubungan sebelum Qila meminta maaf pada Alya?

"Ngapain kesini?" tanya Qila ketus. "Buat paksa aku minta maaf?"

"Dengerin penjelasan abang dulu." Qila menjauh saat Dirga hendak meraih tangannya. "Qi? Abang cuma mau bicara baik-baik."

"Setelah ucapan kasar abang waktu itu?"

"Waktu itu kita sama-sama salah." Dirga tersenyum dan berjalan mendekat, ia sedikit membungkuk mensejajarkan tingginya dengan Qila. "Mau, kan, bicara sebentar sama abang?"

Qila menggeleng tak habis pikir, bahkan sampai saat ini pun Dirga masih menganggap Qila bersalah. Bodoh. Hampir saja Qila mengira alasan Dirga menemuinya adalah untuk meminta maaf.

"Aku gak salah apapun." Tekan Qila setengah kesal. "Lebih baik abang pergi, aku muak ngeliat muka abang."

Dirga tersentak mendengar nada ketus dan ucapan kasar Qila. Seumur hidupnya Qila tidak pernah berkata sekasar ini. Mendadak sudut hati Dirga terasa nyeri.

"Qila." Alya mengamit kedua lengan Qila. "Aku udah lupain kejadian kemarin, aku tahu kamu gak bermaksud buat nyakitin perasaan aku, dan kamu butuh waktu buat nerima keadaan, aku udah maafin kamu."

Apa-apaan! Bola mata Qila membulat karena tindakan tiba-tiba yang Alya lakukan. Tubuhnya gemetaran begitu di genggam oleh Alya. Dia langsung melepas tangan Alya dan mendorong badannya dengan tatapan ketakutan, itu bukan genggaman melainkan cengkraman.

"Gak apa-apa, aku gak akan lagi bahas perkara itu. Maksud kita datang hari ini cuma mau mastiin keadaan kamu."

Menjijikan. Qila mencekram tali tas guna menyalurkan kesal. Wajah gadis tidak tahu malu yang justru bertingkah seperti korban itu sungguh membuat Qila muak. Ditambah ekspresi Dirga yang seperti mendukung semua ucapan Alya.

"Abang datang kesini tulus buat perbaiki masalah kemarin." Dirga mendekat dan kini malah merangkul Alya dengan mesra. "Begitupun Alya, kita cuma mau dukung kesembuhan kamu sama-sama."

"Qila mau, kan, baikan sama abang?"

Kepala Qila terasa mau pecah saat ini juga. Berhadapan dengan Dirga yang terlalu buta juga iblis berwujud manusia di sampingnya. Entah pengaruh macam apa yang Alya beri sampai membuat Dirga bertekuk lutut seperti ini.

Yang jelas Dirga sudah benar-benar gila. Ia bukan lagi abang yang pernah Qila kenal. Dan ketika menyadarinya membuat Qila menjadi semakin sedih.

"Kalau aku bilang masalahnya belum selesai?" tanya Qila sedikit gemetar diujung kalimatnya. "Kalau aku bilang dia gak sebaik yang abang kira, abang bisa percaya?"

Senyum tulus di wajah Dirga perlahan menyusut. Melihat badan Qila yang gemetar saat berbicara sekarang membuat Dirga merasa ada hal ganjil yang telah terjadi.

"Qi?" Dirga mendekat untuk memastikan Qila yang kini sudah sangat pucat. "Kamu sakit? Kepalanya pusing?" tanya Dirga khawatir.

Qila menepis tangan Dirga dan menjauhkan tubuhnya. "Jawab aku."

"Kita harus ke rumah sakit dulu, muka kamu pucet."

"Gak butuh!" Qila mendorong badan Dirga. "Aku gak sudi satu mobil sama orang yang berharap aku buat mati."

Alis Dirga menekuk tak mengerti. "Apa maksudnya, Qi, siapa yang berharap kamu mati?"

"Dirga." Alya mencekal tangan Dirga yang hendak mendekati Qila lagi. "Aku gak ngerti apa maksud ucapan Qila."

"Terus kenapa panik?" tantang Qila. "Emang aku ada sebut nama kamu?"

Dirga turut melihat wajah Alya seolah minta penjelasan. Namun bukannya sadar Alya malah berkaca-kaca, wajahnya seolah tersakiti, "Kamu sebenci itu sama aku? Sampai tega fitnah gini."

"Dasar munafik," gumam Qila tak habis pikir. "Asal abang tahu orang ini, orang yang abang bela mati-matian ini justru yang doain keluarga kita buat hancur berantakan. Dia yang bilang kalau aku lebih baik mati daripada ngerepotin keluarga!"

Napas Qila memburu, ia menunjuk wajah Alya dengan pandangan benci sekaligus jijik. Lalu tatapannya pindah memperhatikan ekspresi Dirga yang terperangah.

"Apa maksudnya, Al?" Dirga terkejut tak percaya.

"Aku gak pernah bilang gitu, Ga." Alya menggeleng keras, ia lalu menatap Qila dengan tatapan tersakiti. "Padahal niatku baik buat memperbaiki hubungan kita, ternyata kamu malah fitnah aku terus-terusan."

"Aku pergi, Ga, terserah kamu mau percaya sama siapa." Alya berlari menuju mobil yang terparkir di seberang jalan meninggalkan Dirga yang masih terpaku.

Apa ia pernah menanyakan alasan kenapa Qila menyiram wajah Alya waktu itu? Ingatan Dirga menjadi kabur karena informasi mengejutkan yang baru saja ia dengar.

Alya tidak mungkin tega berkata hal sekejam itu terlebih pada keluarganya, lantas ... apakah maksudnya Qila berbohong mengenai ini? Kalau iya untuk apa? Qila bukan anak yang pandai berbohong, ia bukan adiknya yang seperti itu.

Sisi mana yang harus Dirga percayai?

"Kejar sana." Dirga menoleh cepat ke arah Qila yang wajahnya sudah semakin pucat. "Abang gak percaya sama apa yang aku bilang barusan, buat apa masih disini?"

Tidak. Dirga bukan seperti itu. Ia hanya bimbang. Hatinya mengatakan untuk percaya namun isi pikirannya dipenuhi oleh Alya yang baru saja pergi. Tubuhnya menjadi tak sejalan dengan isi hatinya.

Ia kembali menatap wajah Qila, adiknya itu selalu tersenyum manis menyambut kedatangan Dirga tapi kini senyum itu hilang berganti raut marah dan ketidaksukaan. Kalau ia memilih disini berarti ia telah meninggalkan Alya seorang diri, gadis itu tidak punya siapa-siapa lagi untuk dijadikan sandaran, sedangkan Qila ... adiknya ini masih memiliki ayah, Saka, dan Daniel, mungkin ia bisa datang lain kali dengan kondisi yang lebih baik.

Mau bagaimanapun Dirga hanya ingin Alya memiliki tempat baik di keluarganya. Ia hanya ingin Alya diterima seperti saat gadis itu menerima Dirga saat terpuruk dulu.

"Abang akan datang lagi, abang pastiin buat dengerin semua cerita Qila, tunggu abang ya." Lalu tanpa menunggu jawaban dari Qila, ia sudah berlari menyebrangi jalan dan mengejar Alya.

Qila tersenyum pahit. "Padahal aku akan selalu percaya abang apapun yang terjadi."

Kepalanya mendadak berputar saat dibawa berjalan. Samar ia menangkap siluet Saka yang baru saja keluar dari dalam mobil. Qila menggelengkan kepalanya sekali untuk mengusir pusing, sayangnya hal itu tak berguna.

Bukannya menghilang rasa pusing itu semakin kuat sampai terasa seluruh rambutnya seperti tengah dicabut paksa. Cairan kental dan hangat keluar dari hidungnya. Membuat Qila menangkupkan tangan untuk menghalau darah yang keluar lebih banyak.

Saka langsung berlari begitu melihat badan Qila yang terhuyung. Untungnya Angkasa datang lebih dulu menangkap tubuh Qila yang ambruk ke tanah. Hal terakhir yang Qila dengar sebelum kesadarannya hilang adalah suara panik Saka dan panggilan Angkasa.

Sakit. Tubuhnya terasa sakit sekarang. Ia hanya ingin tidur sebentar.

"Qila!"

"Qila!"









...
aku nemu kata-kata bagus katanya gini;

kalau orang yang kamu sakitin masih bisa berbuat baik sama kamu, bukan berarti dia bodoh atau naif, tapi karena nilai moral dia tinggi jadi dia nutupin rasa sakitnya pakai kasih sayang.

TAPI perlu digaris bawahi yaaa Bagaimanapun alasannya tindakan pembulian tidak bisa dibenarkan karena di dunia ini semua manusia harus bisa memanusiakan sesamanya.

Continue Reading

You'll Also Like

136K 5.3K 83
{FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA} "Karel, kamu sudah makan? "Peduli banget gue udah makan apa enggak," "Eh ... Dengar iya ... Lo di sini bukan berarti lo...
51.9K 5.8K 38
[SEKUEL DARI HANCUR!] (FOLLOW SEBELUM MEMBACA) {Fiksi Remaja, Romansa} Memecahkan permasalahan yang terjadi di sebelumnya, serta membongkar suatu kej...
161K 22.3K 35
[BTS Fanfiction : 1 of 2] Mereka dipertemukan oleh takdir yang semula terpisah kini menjadi satu kesatuan utuh. Relasi yang terbangun akhirnya sampai...
8.7K 1.5K 41
Azanna Salsabila telah memendam perasaannya pada Evan Aditama selama satu tahun. Cowok dingin yang irit ngomong dan nggak suka tertawa. Tapi di balik...