The Future Diaries Of Audrey

By Chocomellow26

1.5K 80 0

Audrey sangat mencintai romantisme. Dia penulis. Dan impiannya adalah mendapatkan kesempatan merasakan romant... More

Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Dua
Bab Dua Puluh Tiga
Bab Dua Puluh Empat
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam - END

Bab Dua Puluh Satu

27 1 0
By Chocomellow26

Jangan lupa vote and comment nya. 

Terima kasih

####

Audrey

I'd rather have a beast who treats me like princess, than a prince who doesn't.

***

Audrey dengan senang hati membuatkan sup ayam untuk Ema. Audrey melirik pintu rumah Ema. Rumah itu tertutup. Audrey membunyikan bel. Dan beberapa saat kemudian dia menemukan seorang pria yang membukakan pintu rumah. Audrey mengerinyit heran. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Faiz. Audrey kira Faiz seumuran dengan Gavin atau Jevan, ternyata dia lebih tua tiga tahun dari kakak beradik itu. Yang artinya pria itu sepantaran dengan Arkan. Ema muncul dibalik punggung Faiz, dia tersenyum ramah dan menanggapi sapaan Audrey dengan bersemangat.

"Aku tak tahu kau akan datang sore ini."

"Aku sengaja datang karena kau bilang ingin sup ayam kemarin." Audrey menyodorkan mangkuknya pada Ema. "Jika aku tahu kau berdua dengan Faiz aku akan memembuat lebih banyak."

"Tidak, aku juga tidak tahu dia akan datang semalam." Ema menerimanya dengan senyum yang mengembang sempurna. Audrey rasa dia sangat merindukan anak-anaknya. Ema cukup kesepian setelah ditinggal Margareth. "Kau mau masuk? Aku membuat kue."

"Tidak, tapi jika tidak keberatan apa aku boleh membawa jalan-jalan Mumu sore ini?"

"Tentu saja, Mumu akan senang jika kau mau membawanya jalan-jalan ditaman." Ema melirik Faiz yang menatap Audrey. "Sebentar aku ambilkan Mumu."

Ema berjalan tergopoh-gopoh ke dalam rumah. Selang beberapa saat, Ema membawa Mumu lengkap dangan bola anjingnya. Anjing Maltese itu berlari menghapiri Audrey dengan bersemangat. Mengibaskan ekornya dan menerjang kaki Audrey.

"Hai cantik, kau mau jalan-jalan romantis bersamaku? Kita bisa melihat matahari terbenam. Dan menikmati sunset bersama." Mumu mengibaskan ekornya menanggapi, menatap Audrey dengan sikap memuja. "Aku akan membawanya jalan-jalan sebentar."

Ema mengangguk, lalu melirik Faiz. "Biar Faiz temani. Dia sedari tadi ingin dekat dengan Mumu, tapi Mumu selalu was-was bersama Faiz." Ema mendekat, sedikit berbisik kearahnya. "Mereka bertengkar hebat semalam." Sambil menahan tawa, Audrey mengangguk mengerti.

"Ku kira mereka butuh waktu bersama, kau bisa menjadi penengah. Aku sudah kehabisan tenanga menengahi pertengkaran mereka." Tutur Ema, dan menyerahkan tali Mumu padanya.

Audrey menimbang sebentar sebelum melirik Mumu yang menyorotnya dengan tampang penuh harap. Audrey ragu, apakah ini salah satu cara Ema mendekatkan Faiz padanya. Karena dia sadar Ema masih belum menghilangkan niatnya menjodohkan mereka berdua. Meski risih, namun Audrey tak tega menolaknya. "Baiklah." Audrey melirik Faiz, "Ayo."

Audrey melangkah keluar perkarangan rumah Ema. Faiz mengekorinya di belakang.

"Kau biasa membawanya jalan-jalan?"

"Hampir setiap hari, bergantian dengan Ema." Audrey membelai ekor Mumu yang mengibas penuh semangat. "Dia cukup aktif, jadi Ema kewalahan menandingin energinya. Apa yang membuat Mumu tak ramah padamu?"

"Dia menerjangku begitu datang, hingga aku terpeleset. Aku marah-marah padanya. Kata Ema, Mumu sedikit sensitif setelah cacingan." Faiz melirik Mumu, "dan sepertinya dia marah." Faiz mencoba membelai ekor Mumu seperti yang Audrey lakukan, Mumu berjengit dan menggeram pada Faiz. "See, dia sensitif didekatku."

"Ku kira Mumu anjing yang ramah. Mungkin lain kali kau harus mendekatinya dengan lebih hati-hati."

"Aku tak yakin dengan keramahannya. Dia bahkan tak melirikku saat di panggil," ujar Faiz pelan, "ada saran?"

"Entahlah. Mungkin kau harus minta maaf terlebih dahulu." Kata Audrey dengan tidak pasti, "biarkan dia tenang sedikit, bisa jadi ini baru baginya. Ema terlalu lembut pada Mumu."

Faiz mengangguk, dan mengikuti Audrey ke taman. Mereka menghabiskan setengah jam ditaman. Faiz ternyata tidak seperti yang Audrey duga. Awalnya dia cukup takut didekat Faiz, tetapi Faiz bisa mengimbangi kekikukannya. Mereka berbicara tentang Ema, Margareth dan bagaimana pekerjaan masing-masing.

Audrey melihat mobil Arkan melintas begitu mereka berada didekat rumah. Mobil Arkan masuk garasi, laki-laki itu turun dan keluar mengecek Audrey yang sedang mengobrol bersama Faiz.

Arkan menghampiri mereka, sambil menatap Faiz kesal. "Aku tak menyangka akan melihatmu hari ini."

"Aku punya janji dengan mama." Faiz melirik Audrey. "Aku punya kesempatan berjalan-jalan dengan gadis manis ditaman."

Ekpresi Arkan menggelap. "Sepertinya pekerjaanmu tak berjalan lancar, Fa. Sehingga kau punya waktu untuk berjalan-jalan sore seperti ini."

Mumu mendekati Arkan. Anjing itu mencium kaki Arkan, lalu menggoyangkan ekornya. Faiz menatap Mumu dengan ekspresi tercengang. Ketika ia mendekatinya semalam, anjing itu menggonggong penuh amarah padanya. Tapi hari ini dia mendekati Akran dengan sukarela.

Arkan memperhatikan ekspresi Faiz, "Jadi ini yang namanya Mumu. Dia terlihat ganteng."

"Dia betina." Jelas Audrey. Dia menatap Faiz dengan tatapan sedih. Dan menoleh pada Arkan. "Dia menyukaimu. Padahal dia menjaga jarak dengan Faiz."

"Pantas dia terpikat padaku." Arkan mengelus kepala Mumu. Dia menjilat tangan Arkan dengan tertarik. "Semua wanita menyukaiku." Arkan mengedik pada Audrey. Audrey memutar bola matanya mendengar komentar Arkan.

"Sepertinya kalian sudah selesai jalan-jalan." Arkan menarik tali Mumu, lalu menyerahkannya pada Faiz. "Kau membutuhkan waktu lebih banyak dengan Mumu jika ingin menaklukannya. Ku doakan kau berhasil." Arkan menarik Audrey ke dalam rumah. Meski Audrey ingin memberontak dengan sikap tidak sopan Arkan, tapi ia tak melakukannya karena sadar laki-laki itu tengah kesal.

"Kau kesal padaku." Tanya Audrey begitu mereka sampai di dalam.

"Tidak, aku kesal dengan diriku sendiri." Arkan menyugar rambutnya. Menatap Audrey. "Dia sepertinya menyukaimu."

Audrey tersenyum. "Faiz? Tidak mungkin. Terakhir kali ku lihat kami hanya beramah tamah sebagai tetangga." Arkan menarik Audrey mendekat padanya. Memeluk pinggangnya posesif. Audrey mengerinyit, sadar isitilah itu berlebihan baginya. Karena dia baru saja mengenal Faiz. "Kenapa tidak mungkin?"

"Intuisiku mengatakan dia tidak menyukaiku."

"Menurutku intuisimu salah." Arkan mencium Audrey lama, panas dan membara. Audrey balas menatap Arkan. "Bagaimana jika ia menyukaimu? Apa yang akan kau lakukan."

"Entahlah, aku belum memikirkannya. Mungkin aku akan menawarinya versi uji coba kencan." Canda Audrey. Tapi Arkan tidak tertawa. Pria itu hanya menatapnya, menelisik jawaban Audrey. "Tapi aku rasa kau salah, intiusiku tak pernah meleset. Mungkin kau salah mengambil kesimpulan."

"Tidak, dia menatapmu terpesona."

Audrey tertawa mendengar penjelasan Arkan. "Ku rasa terpesona bukan berarti dia menyukaiku." Arkan tak tahu harus berbuat apa. Sebagai laki-laki dia dengan jelas menyadari bahwa Faiz tertarik dengan Audrey. Dia gemas dengan sikap masa bodoh Audrey. Disisi lain dia senang Audrey tak menggubris dengan serius ketertarikan Faiz padanya. "Dia terpesona karena aku dengan mudah dekat dengan Mumu. Sepertinya dia juga melongo dan terpesona denganmu. Kau berhasi memikat Mumu dengan mudah."

Arkan kembali mempertemukan bibir mereka. Audrey merasa konsetrasinya hilang. Dia kesulitan bernafas dan kepalanya terasa pusing. Arkan terlalu ahli menciumnya. Laki-laki itu sering menghabiskan waktu bertemu dengannya lewat kontak fisik. Seakan ingin memuaskan semua kebutuhannya dengan ciuman dan pelukkan. Audrey tak pernah merasakan ikatan intim dan obsesif seperti ini dengan pria lain, kecuali papa dan Joe.

"Aku yang akan memasak makan malam hari ini."

Audrey mabuk dengan ciuman dan suara dalam Arkan yang serak dan penuh gairah, Audrey baru bisa menjawab setelah mengambil jeda sesaat, "Jika aku tahu kau akan memasak, aku tak akan membuat sup ayam tadi."

"Kau membuat sup ayam?"

"Ema menyukainya, aku baru saja memberikan pada Ema sore ini," kata Audrey, "tapi tak apa kita bisa menikmati sup ayam untuk sarapan besok."

Alis Arkan mengerut. "Kau memberikan sup ayam pada Ema?" Audrey mengangguk, "Oh tidak, ku rasa sup ayam mu lah penyebab Ema mempertimbangkanmu sebagai calon menantunya." Arkan terdengar gusar, "Dan sekarang Faiz ada dirumah. Dia pasti akan berfikir melepas masa lajangnya saat mencicipi sup ayammu."

Audrey menutup mulutnya menahan tawa dengan candaan Arkan, "Kau mengucapkannya seolah aku menanamkan pelet dalam sup ayamku."

"Seingatku, sup ayammu sama dengan pelet itu sendiri." Audrey merona, Arkan menatap Audrey dengan geli, lalu memeluknya, "aku punya saingan."

"Berhenti bercanda." Audrey memisahkan pelukan mereka, "apa menu masakan yang ingin kau buat malam ini?"

"Sphagetti. Aku bisa membuat sphagetti yang enak."

"Aku menatikannya."

"Aku yakin kau menyukainya."

***

Audrey menonton Arkan memasak dari balik meja bar. Laki-laki itu dengan ahli memegang pisau, menggoyang-goyangkan teflon, mengaduk, memotong. Arkan menggunakan kaos hitam. Dengan tulisan'normal is boring' berwarna pink di punggungnya. Dan malah membuatnya terlihat lebih jantan. Audrey melirik celana santai Arkan berwarna hitam dengan garis ungu neon. Arkan sibuk dengan talenannya, dan Audrey bisa melihat otot punggungnya dengan lebih jelas. Sekarang dia tahu alasan pria itu selalu menontonnya memasak di dapur. Dia tak pernah menyangka scane memasak di dapur akan terlihat begitu keren. Audrey mengeluarkan notesnya. Mencatat beberapa hal. Lalu kembali fokus pada Arkan. Arkan tampak seperti model majalah. Dengan bentuk tubuhnya, Audrey yakin ia bisa mendapatkan posisi sebagai model dengan mudah. Mungkin Arkan bisa menjejal dunia modeling jika ia tak lagi berminat dengan pekerjaannya sekarang.

"Wanginya enak."

Audrey melirik Arkan yang tengah mengisi piring di meja konter.

"Aku yakin kau akan menyukainya."

"Aku mulai penasaran." Audrey menantikan dengan penuh harap. Arkan meletakan dua piring sphagetti di atas meja bar. Mengambil sendok dan gelas. Arkan menuangkan air di gelas Audrey, lalu menyodorkan garpu padanya.

Audrey menggulung sphagetti. "Mmm, ini enak. Kau memang ahli memasak sphagetti."

"Kau menyukainya?"

"Aku menyukainya." Audrey memberikan dua jempol sebagai pujian. Arkan terkekeh menerima pujian tulus Audrey. Lalu mengelus kepalanya dengan sayang. "Apa yang akan kau lakukan besok?"

Audrey mengedikkan bahunya menanggapi pertanyaan Arkan. "Tak ada jadwal khusus. Menulis, memasak, beres-beres."

Arkan ikut menyendok sphagettinya sambil memperhatikan Audrey menghabiskan isi piringnya. "Mau ikut denganku? Ke rumah Eyang. Besok peringatan 53 tahun pernikahan mereka."

Audrey mendongak dari piringnya. "Apa tidak apa-apa aku ikut?"

"Tak masalah, aku yakin mereka akan menyukaimu."

Audrey menatap Arkan, ragu apakah aman untuknya ikut acara se-intim itu. "Itu acara keluarga, aku hanya orang asing," kata Audrey lamat-lamat, "sebaiknya aku tidak ikut." Putusnya.

"Kau sudah kenal dengan Emily, Gavin dan Jevan. Kau bukan orang asing. Emily pasti sangat senang jika kau ikut. Aku juga." Bujuk Arkan, "Ayolah, eyang tak akan menerkammu atau mendudukanmu di kursi panas. Dia sangat ramah pada orang sepertimu."

Audrey mengerinyit heran, "memang orang seperti apa aku?"

"Orang yang ramah pada siapa saja. Kau sangat mudah dekat dengan orang tua. Belakangan ku lihat kau dengan mudah merayu Ema, dekat dengan pak Doni, bahkan akrab dengan pak Anwar. " Jawab Arkan datar sambil menghabiskan makanannya. "Kau mudah mengambil hati para tetua. Eyangku pasti lengket denganmu."

"Aku rasa itu bukan pujian," Audrey meneguk airnya, "Aku merasa kau baru saja mengatakan aku kuno."

"Itu pujian," kata Arkan datar, "itu termasuk keahlian, Audrey."

Audrey tersenyum, "Tapi aku belum menyiapkan hadiah apapun untuk Eyang putri dan Eyang kakung mu."

"Tidak perlu, kau cukup datang, tersenyum dan mengobrol dengan mereka."

Audrey menimbang dengan berat hati. Dia bukan siapa-siapa. Apa yang akan keluarga Arkan pikirkan jika dia pergi ke acara keluarga dengan Arkan. Sementara hubungan mereka tak jelas.

Sadar Audrey masih ragu, Arkan kembali berkata, "Kau tak perlu khawatir, mereka orang yang baik. Mereka ramah jadi kau tak perlu merasa tertekan disana. Dibandingkan keluarga mamaku, keluarga papa lebih bersahabat dan hangat. Dan akan aku pastikan tak ada sepupuku yang mendekatimu atau berbuat macam-macam denganmu. Sehingga kau tak perlu merasa tertekan." Arkan salah mengartikan tatapan ragu Audrey, yang ia cemaskan bukan itu. Dia tak yakin apakah datang ke acara keluarga Arkan adalah hal yang benar saat situasi mereka hanya 'kencan bohongan'.

Audrey berkata setelah menimbang cukup lama, "baiklah. Aku ikut." Audrey menatap Arkan. "Aku buatkan brownis kukus untuk dibawa kesana. Tidak apa-apa, kan?"

"Pertimbanganmu sudah cukup bagus. Mereka akan menyerbu brownismu begitu kau menyodorkannya. Mereka berubah mejadi bar-bar begitu mengendus masakanmu." Kata Arkan menggoda Audrey, "jangan kau bawa sup ayammu, aku tak ingin terjadi pertumpahan darah di keluargaku. Aku khawatir sepupu-sepupuku akan saling bacok karena sup ayam mu."

Audrey tertawa, "Banyak dokter yang siap sedia memberi pertolongan pertama. Ada Gavin yang bisa menyambungkan tulang-tulang mereka kembali."

"Benar," Arkan menyeringai, "jika Gavin masih waras dalam keadaan itu. Kau harus menempeliku terus jika ingin membawa salah satu masakanmu ke rumah nenekku."

"Itu terdengar mengerikan."

"Aku yakin kau akan melakukannya. Karena tante-tanteku foodies."

***

Arkan mendapati Audrey sedang menata brownis buatannya dalam box. Dia melangkah mendekati Audrey didapur, mencomot satu potong brownis buatan Audrey. Tak terlalu manis, lembut dan coklatnya terasa. Brownis Audrey sangat enak. Arkan menyukainya. Audrey ahli dalam banyak hal. Seperti ahli dalam membuat kue yang enak, ahli memasak, ahli yoga, dan Audrey juga ahli membuat Arkan mabuk kepayang.

Arkan memperhatikan Audrey yang memarut keju sebagai sentuhan akhir. Audrey terlihat bersemangat, Arkan memeluknya dari belakang.

"Apa yang kau lakukan?" Audrey tersentak, lalu mulai memisahkan tangan Arkan dari pinggangnya. "Aku kesulitan bergerak."

"Lanjutkan," kata Arkan, "Aku tidak akan mengganggumu." Arkan kembali memeluk pinggangnya dengan erat.

Audrey mendesah membiarkan Arkan. Dia kembali sibuk memarut keju, lalu menatanya potong demi potong brownis dalam tupperware. Wanita itu menggunakan Ruffle Trim Sweater Vest lengan panjang dipadukan jins biru tua. Audrey mengikat rambutnya sehingga Arkan dapat mengecup tengkuknya. Arkan berlama-lama menghirup aroma lembut rambut Audrey. Arkan menyadari ia kesulitan mengendalikan dirinya jika sudah menyentuh wanita itu. Dia ingin lebih. Arkan menutup matanya, mengendalikan nalurinya untuk melindungi Audrey. Dia melepaskan pelukannya, sebelum ia sempat melakukan sesuatu yang tidak pantas seperti mendorong dan mencumbu Audrey lalu melepas jins ketat itu dari kakinya yang indah. Dia ingin melindungi Audrey dan menghormati keputusannya. Selama Audrey tak berniat mekakuannya dengan Arkan, dia tak akan memaksa wanita itu.

"Selesai," Audrey berbalik setelah menutup box terakhir. "Kau ingin kita berangkat sekarang?"

"Kau siap?"

Audrey mengangguk, "Aku tinggal mengambil tas di paviliun."

"Kau begitu kita berangkat sekarang." Arkan menatap Audrey. "Jangan jauh-jauh dariku."

Audrey mengerutkan alisnya, "Aku merasakan urgensi dari kata-kata itu. Aku merasa masuki medan perang."

"Ini akan menjadi medan perang karena brownismu."

***

Yuk follow dulu akun chocomellow26, biar dapat update cerita terbarunya

Continue Reading

You'll Also Like

756 206 35
Menceritakan kehidupan seorang Y/n sebagai manusia yang terlampau biasa dengan teman sebangkunya Eve, siswa teladan dan multitalent dengan ribuan pre...
1M 49.5K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
1.2M 61.9K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
2.4M 19.9K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...