Tergenggam dalam Nyaris | ✓

By Crowdstroia

146K 17.9K 1.6K

Gautama Farhandi adalah pengacara untuk organisasi bisnis pasar gelap bernama "Balwana". Suatu hari, dia mene... More

PEMBUKA
1 || and, she eats
2 || and, she wakes (1)
3 || and, she wakes (2)
4 || and, he discloses
5 || and, she fought (1)
6 || and, she fought (2)
7 || and, he accepts (1)
8 || and, he accepts (2)
9 || and, he looks
10 || and, she took his hands
11 || and, they take pictures
12 || and, they take pictures (2)
13 || and, they visit their house
15 || and, she helps him doing plank
16 || and, they eat dinner together
17 || and, she goes with her friend
18 || and, she swims
19 || and, she meets the neighbors
20 || and, they go to a party
21 || and, they attend their daily meeting
22 || and, they confess [END]

14 || and, they clean their pool

4.4K 704 74
By Crowdstroia

| 14 |

and, they clean their pool



DEMI MENGENYAHKAN BAYANGAN soal kegiatan sore nanti, Bening pun memikirkan pekerjaannya, lalu bertanya-tanya apa pekerjaan yang dia lakukan sudah cukup. "Tama," panggil Bening. "Apa ada kerjaan lain yang bisa kulakukan?"

"Hari ini? Nggak ada. Kamu tinggal beresin barang-barangmu aja."

"Maksudku, untuk misi ini." Bening sekilas melirik Rendra dan Soma di belakang mereka. "Aku harus deketin Leoni dan mencari tahu soal suaminya. Tapi intinya, aku tinggal mengobrol dan jadi akrab sama dia. Sedangkan yang kamu lakukan kayaknya lebih berat. Jadi aku tanya, kira-kira, ada lagi nggak yang bisa kubantu?"

Tama terdiam. Dia tak bisa tak merasa senang dengan perhatian Bening, meski dia tahu Bening melakukannya untuk misi mereka. "Kamu sudah membantu banyak dengan menerima tawaran pekerjaan ini. Mungkin kamu memang sudah berteman dengan Leoni pas SMA. Tapi, mendekati dia setelah bertahun-tahun, setelah berbagai hal yang sudah kamu alami, pasti nggak mudah. Barangkali Leoni juga sudah berubah banyak sejak SMA. Saya butuh kamu untuk tidak menyerah saat mendekatkan diri dengan Leoni."

Bening mengangguk. "Kalau gitu untuk kegiatan harianmu, apa ada yang bisa kubantu?" dia bertanya, sebab untuk urusan membersihkan rumah dan mencuci, Tama akan menyerahkannya ke jasa laundry dan cleaning service.

Tama terlihat berpikir. "Saya belum terpikirkan soal itu. Mungkin nanti kalau ada, saya bakal kasih tahu."

"Gue punya ide, Mbak," ujar Rendra. "Kalau mau bantu Mas Tama, nanti pas Mas Tama olahraga dan mau plank, Mbak bisa bantuin jadi beban."

Bening mengernyit. "Jadi beban?"

"Iya, ntar Mbak duduk aja di punggungnya Mas Tama waktu dia di posisi plank."

Tama kini berbalik badan untuk menatap Rendra dengan mata menyipit curiga. Tapi, Bening menatapnya dengan takjub sekaligus penasaran. "Memangnya bisa, ya, Tama? Kamu kuat?"

Sorot mata Tama sedikit melembut saat menatap Bening. "Kuat, kok."

"Oh, ya? Apa udah biasa begitu?"

"Iya. Tapi biasanya bebannya dari benda mati, kayak barbel."

"Apa itu aman?"

"Sejauh ini aman."

Bening masih memandangnya dengan takjub dan bibir agak terbuka. Tama mungkin takkan pernah menyuarakan hal ini, tapi reaksi Bening terlihat menggemaskan. "Wah, Tama. Kamu kuat banget, ya," puji Bening dengan polos.

Soma terkekeh bersama Rendra oleh ucapan itu, lalu berkata, "Ya iya dong, Mbak. Dia kan Komandan kita!"

"Eh, iya, tahu kok," ujar Bening. "Tapi, tetap aja keren."

Tama tak ingin besar kepala oleh pujian itu. Tapi dia tak kuasa merasa bahagia hingga pipinya agak pegal oleh senyumnya kini. "Kamu mau buktiin sendiri? Duduk di punggung saya pas saya plank nanti."

"Eh, beneran nggak apa-apa?"

"Iya. Kamu mau?" Tama sadar, tawaran ini seperti senjata makan tuan. Sisi pertama Tama berargumen bahwa ini hanya tawaran biasa. Namun bagian dirinya yang lebih rasional jelas sadar bahwa ini undangan berbahaya, dan karena itulah sisi rasionalnya ingin Bening menolak tawarannya.

Bening tidak menolak. Dia justru terlihat bersemangat ketika menjawab, "Mau! Kamu kapan olahraga?"

Senyum Tama masih terulas. "Biasanya pagi, sebelum kerja. Sekitar jam tujuh."

"Saya bisa bangun pagi, kok. Besok saya bakal ke area gym ini jam tujuh, kalau kamu butuh bantuan."

Ide tentang Bening yang mendatanginya pagi-pagi untuk menduduki tubuhnya terdengar begitu menggiurkan. Sisi rasional Tama tahu hal itu tak sebaiknya terjadi, tetapi sisi lain yang dikuasai berahi justru tak sabar dengan kesempatan untuk lebih dekat dengan Bening, terutama soal kontak fisik. Dia ingin mendorong pikiran terakhir itu jauh-jauh, tapi rasanya sungguh sulit ketika prospek untuknya lebih dekat dengan Bening terasa membahagiakan. Sudah lama dia tak sebahagia ini.

Lagi pula, Bening hanya akan menduduki punggungnya, dan Bening pasti takkan pernah menginisiasi agar mereka bercinta, bukan? Dia akan aman karena Bening pasti akan menolak untuk bercinta dengannya—harusnya menolak.

"Iya, jam segitu," Tama akhirnya menjawab. "Nanti kamu nyusul aja."

Mereka pun berpindah ke lantai dua, sedangkan Soma dan Rendra mengobrol di lantai satu. Lantai dua berisi kamar-kamar, ruang kerja, ruang cuci dan jemur, kamar mandi luar, serta ruang bersama dengan rak buku yang besar. Bening terlihat takjub mengamati tiap sudut rumah ini.

"Ini kamarmu, ada walk-in-closet dan ada kamar mandi dalam," ujar Tama setelah membuka sebuah pintu putih. "Semua koper dan tas kamu juga udah ditaruh di sini."

Bening tak berlama-lama melihat kamarnya, karena itu masih bisa dia lakukan nanti. Tapi Tama masuk dan membuka sebuah laci lemari. Bening mengikuti dan terkejut melihat pistol di dalam sana. "Buat jaga-jaga. Kamu juga udah latihan tembak, kan?" ujar Tama, lalu melihat Bening mengangguk. "Kata instrukturmu, tembakan kamu udah bagus."

"Apa kamu selalu dapat laporan dari para instruktur saya?"

"Iya, tiap hari. Semua progres kamu tercatat dan dilaporkan."

Itu hal yang wajar. Mereka pun kembali berjalan dan Tama membuka kamar lain.

"Ini kamar saya," ujar Tama, menunjukkan kamar bernuansa putih dan kelabu yang cukup rapi dan minimalis. Hanya ada dua hal yang tidak sesuai tempatnya, yakni sebuah jaket di lengan sofa dan laptop di kasur.

"Hmm, ukuran kamar ini kayaknya lebih kecil, ya?" tanya Bening.

"Iya, karena nggak ada kamar mandi dalam," balas Tama. "Kalau kamarmu itu master bedroom."

"Eh? Kenapa bukan kamu yang menempati master bedroom?"

"Karena saya nggak memerlukan kamar mandi dalam. Sementara buatmu, bukankah kamu akan lebih nyaman kalau kamarmu ada kamar mandi dalam?"

Bening mengerjap. Tama benar-benar menepati ucapannya yang lebih mementingkan kenyamanannya selama bekerja. Meski sulit, dia harus menepis ekspektasi yang terbit dari rasa diperhatikan yang membuat pipinya merona. Tama melakukan ini sebagai bentuk untuk menghargainya, tidak lebih dari itu.

"Saya mau kasih sesuatu," ujar Tama, membawa mereka ke ruang bersama yang terdapat sofa, rak buku, dan beberapa perabot. Ruangan ini memiliki akses jendela kaca yang langsung memperlihatkan rumah-rumah para tetangga mereka. Tama mengeluarkan sesuatu dari sakunya, lalu menunjuk sebuah kunci kamar dengan gantungan dadu. "Itu kunci pintu depan, ini kunci kamar kamu, dan ini kunci kamar saya."

"Kunci ... kamar kamu?" Bening mengulang, mendongak. "Apa saya memang harus punya?"

"Iya. Buat jaga-jaga aja."

Bening pun menyadari sesuatu. "Tama, apa ... apa kamu juga punya kunci kamar saya?"

Ada jeda dan sebersit raut ragu dari sang pria. "Iya."

Bening mengambil waktu untuk berpikir. Dia tahu Tama bukanlah Nicholas. Dia tahu mereka orang yang berbeda. Dia tahu Anika dan anggota Balwana yang lain semua memercayai Tama. Tapi, dia tidak pernah benar-benar mengenal pria ini. Mereka hanya pernah berbicara beberapa kali, dan itu tidak cukup bagi Bening untuk percaya sepenuhnya. Dia tahu Tama hanya berjaga-jaga, tetapi rasa tidak nyaman tetap merayap. Apakah dia seharusnya tak perlu cemas? Apa kecemasannya ini berlebihan?

Suara 'duk' pelan di meja tamu menyadarkan Bening dari alam pikiran. Tama baru saja menyerahkan kunci kamar Bening dari ring berisi kunci-kuncinya. Pria itu berdiri sambil memasukkan tangan ke saku celana. "Kuncinya kamu bawa aja."

Bening mendongak. "Katamu, kamu butuh ini buat jaga-jaga?"

"Well." Tama mengangkat bahu. "Masih ada cara buat ketuk pintu dan manggil kamu dari luar kamar. Kamu pasti kebangun walau lagi tidur."

Dengan itu, Tama pun selesai memandu Bening ke rumah baru mereka. Bening izin pergi ke kamarnya dulu, lalu Tama turun untuk mengajak Rendra ke ruang kerja. Sedangkan Soma ke kamar mandi.

Ruang kerja Tama terletak di lantai dua, dengan satu sisi dinding menghadap taman dan kolam renang. Rendra menunjukkan kamera pengawas di sekitar rumah dan Blok-C. Pemuda itu sudah menempatkan berbagai kamera di tempat tersembunyi. Saat Tama mengecek rekaman kamera dari beragam posisi, Rendra berdiri di depan jendela dan menatapi kolam renang. Lalu dia berkata, "Itu lo yang abisin?"

Tama tak mengangkat kepala dari monitor. "Apanya?"

"Air di kolam renang habis, dan tadi gue bisa mencium bau gosong di salah satu sisi kolam." Rendra mengernyit. "Kenapa? Bukankah panas dari api lo bakal berisik karena airnya mendidih dan menguap?"

"Tujuannya memang itu. I am setting up a trap."

"Nobody saw you?"

"None that I noticed."

Rendra kembali menatap kolam kosong di balik kaca. Kemudian dia bertanya lagi, "Mas, Mbak Bening udah tahu?"

"Soal?"

"Soal kekuatan mutan Meliora? Dan kenapa para mutan pria butuh belahan jiwa?"

Ucapan Rendra dan perilaku para Letnan Balwana membuat Tama tersadar: mereka semua sepertinya tahu bahwa Bening adalah belahan jiwanya. "Snow yang kasih tahu kamu?"

"Iya, tapi dia minta kami tutup mulut soal ini dari Mbak Bening."

Tama mendecak. Apa dia lupa memperingati Snow untuk tak mengatakannya kepada siapa pun? "Bening tahu soal saya adalah mutan, tapi enggak dengan belahan jiwa." Tama ikut menatap ke taman dan kolam rumah. "I don't wanna burden her with that."

Rendra bergumam panjang. "Gue pikir kalau kita udah ketemu belahan jiwa, masalah kita bakal selesai. Ternyata nggak sesederhana itu."

Tama terdiam. "Saya pikir nggak bakal ketemu."

"Ketemu belahan jiwa? Sama. Makanya gue udah siap mati muda sedari awal jadi Meliora."

"Semua mutan Meliora sepertinya juga berpikiran sama. Itu adalah risiko kita saat menerima serum mutannya."

Tiap pilihan memiliki risiko. Para lelaki yang bersedia menjadi mutan Meliora sudah siap dengan risiko takkan hidup hingga usia empat puluh. Tama dan yang lain sudah menerimanya. Namun, kehadiran Bening menjadi titik balik hidup Tama dan para petinggi Balwana yang lain. Mereka semua melihat bahwa ternyata ada harapan untuk menemukan belahan jiwa mereka.

Tama pun kembali mengecek rumah dan bicara dengan Soma dan Rendra. Setelah selesai mengecek keamanan, sinyal, dan komunikasi, Rendra pulang bersama Soma. Mulai besok dan seterusnya, Soma akan datang tiap pagi dan pulang saat matahari akan tenggelam, kecuali jika Tama memberi perintah lain.

Jam tangan yang menunjukkan pukul empat sore pun mengingatkan Tama pada janjinya dengan Bening. Sekarang adalah jadwal mereka membersihkan kolam renang. Kegiatan ini hanya bersih-bersih biasa. Lagi pula kolamnya luas. Mereka harus segera menyelesaikannya sebelum langit berubah gelap. Harusnya tak akan ada waktu untuk bersantai nanti, jadi takkan ada momen dia melihat Bening dengan baju basah kuyup. Artinya, tak perlu ada hal yang dia khawatirkan, bukan?


***


Ketika Tama keluar dari ruang kerjanya, hari sudah mulai sore, jadi Tama berganti baju dengan celana santai dan kaus putih, lalu mendatangi kamar Bening untuk mengecek keadaan. Jadi Tama ingin mengecek apakah wanita itu sudah siap.

"Sebentar!" seru Bening dari dalam kamar setelah Tama mengetuk pintu. Saat wanita itu keluar, pakaiannya sudah berubah dengan kaus merah jambu dan celana legging selutut.

"Kamu ambil trashbag dulu di dapur, di dalam lemari sebelah kulkas. Itu buat masukin sampah daun-daun," ujar Tama. "Saya ambil sikat, ember, sama sabun dulu."

Bening mengangguk dan segera turun ke dapur. Tama berjalan ke ruang cuci yang juga menyimpan alat-alat yang dia butuhkan. Tangannya pun sudah dipakaikan sarung tangan lateks. Dia mendatangi patio kolam renang, lalu memberikan sarung tangan kepada Bening. "Kamu pakai ini dulu."

Tama menurunkan selang air dan alat-alat lain ke dasar kolam, dan perlahan menurunkan ember yang sudah terisi air.

"Bening," panggil Tama. "Tolong bawain trashbag ke sini."

Bening sudah bersiap turun membawa plastik trashbag. Tapi saat berjongkok di tepian untuk turun ke dasar kolam, dia baru sadar tinggi dari tepian ke dasar kolam renang sangat jauh. Mungkin kedalaman kolam ini mencapai kepalanya—tidak, pasti lebih. Bening mencari tangga, tapi hanya ada tangga rambat pendek di sudut kolam. Tak ada tangga hingga ke dasar. Tak ada pula air yang bisa membuatnya terapung. Bening melihat Tama sudah di dasar kolam, sibuk memungut daun kering untuk dimasukan ke kantung sampah nanti.

Bening mengikat rambutnya, melempar trashbag ke dasar kolam, lalu turun dengan tangga rambat yang ada.

Menyadari keberadaan Bening, Tama mendekat ke tangga yang Bening pakai. "Ketinggian ya?" Dia lalu berlutut dan mengulurkan tangannya. "Injak paha saya aja."

Bening tergugu. Sebenarnya dia tak memerlukan ini, sebab ternyata tinggi kakinya cukup sampai ke dasar setelah anak tangga rambat terakhir, walau memang harus melompat. Tapi karena Tama sudah duluan menyiapkan kaki, jadi Bening menerima bantuan itu. Dia memegang tangan Tama untuk pegangan, lalu menginjak paha Tama dan turun dengan kaki telanjang. "Makasih, Tama."

Tama mengangguk, kembali ke pekerjaan awalnya. Sedangkan Bening bekerja memunguti daun-daun kering dan memasukkannya ke kantung sampah. Dia juga membilas butiran tanah dan debu dengan selang air sebelum menyikat dinding dan lantai kolam. Tama menyikat dinding bagiannya dengan sangat cepat. Belasan menit berlalu dengan mereka bekerja di bawah terik matahari, tapi Tama tak terlihat lelah ketika Bening sudah banjir keringat.

"Kamu bilas aja area yang udah saya sikat," ujar Tama, memberikan selang air kepada Bening. Wanita itu mengikuti ucapan Tama dan membilas dinding kolamnya.

Karena penasaran, Bening menoleh untuk melihat apa yang kini Tama lakukan. Pria itu tengah menaikkan kantung sampah ke atas. Otot lengannya terihat bekerja menaikkan alat-alat yang sudah selesai mereka pakai. Bagaimana rasanya jika dia menelusuri bidang punggung dan lengan pria itu? Seperti apa rasanya menyentuh tubuh Tama yang sudah bermutasi dan jadi lebih kuat daripada manusia biasa?

Sontak, Bening pun kembali menghadap dinding di depannya dengan pipi merona. Ini memalukan. Baru hari pertama tinggal bersama, bahkan belum ada sepuluh jam sejak dia tiba di rumah ini, tetapi dia sudah berani memikirkan yang hal yang tidak patut. Padahal dia ke sini untuk bekerja.

Bening cukup lama mengarahkan air ke dinding sambil sibuk merutuki isi pikirannya. Tak sadar bahwa dia sudah mengarahkannya ke dinding yang sama dari tadi.

"Bening, selang airny—"

"Uwaah!" Bening spontan berbalik dengan jantung berpacu, lupa bahwa dia tak sendirian di sini, dan tanpa sadar mengarahkan selang ke arah Tama. Pria itu memejamkan mata dengan satu tangan terangkat untuk menutupi wajah.

"Eh, Tama! Maaf, awas selangnya agak—"

Air dengan tenaga besar menyembur keluar hingga membasahi mereka berdua. Tama langsung meraih selang itu dan memegangi Bening. "Lantai ini masih bersabun, hati-hati kalau melangkah," ujarnya serius dengan nada khawatir menyelip. Dia menatap wajah Bening, turun ke bawah hingga ke tangan Bening yang masih dia genggam. Pria itu sedikit menegang, lalu melepaskan Bening dan menurunkan pandangannya. "Maaf. Kamu jadi basah kuyup."

Bening terkejut. Bukankah harusnya dia yang minta maaf? Meskipun airnya juga mengenai tubuhnya, tapi itu karena kecerobohannya sendiri, bukan salah Tama. "Harusnya saya yang ngomong maaf. Maaf bikin kamu jadi basah kuyup."

Tama tersenyum dan menggeleng. "Mungkin sebaiknya kamu naik aja dan ganti baju."

"Eh, tapi aku belum selesai bilasnya."

"Biar saya aja. Tinggal sedikit lagi, kan?"

"Iya, tapi kan kamu basah kuyup. Nanti kamu sakit."

Tawa Tama spontan keluar. "Saya nggak akan sakit."

Bening mengernyit, tak merasa harus memberi argumen lagi, karena Tama terlihat begitu yakin dengan ucapannya. "Kalau gitu, saya buang trashbag-nya ke tong sampah, sama balikin alat-alat ke ruang cuci."

"Terima kasih."

Bening tersenyum. "Terima kasih kembali, Tama. Makasih udah bantuin saya bersihin kolam."

Tama menatapnya, tersenyum tipis tanpa membalas apa-apa. Karena Bening merasa canggung, jadi dia berdeham dan berkata, "Aku naik ke atas dulu."

"Perlu kubantu buat naiknya?"

Rasa canggung kembali menyergap Bening. Dari psikolognya, Bening sudah belajar untuk tidak terlalu bergantung pada diri sendiri, dan belajar untuk memercayai orang lain yang mau membantunya. Semua dilakukan untuk memulihkan kepercayaan bahwa tak semua orang yang mau membantunya berniat buruk kepadanya.

Jadi, Bening menerima bantuan Tama. "Iya, tolong ya, Tama."

Tama masih tersenyum. Sepertinya ini pertama kali melihat Tama senyum sesering ini. Mungkin suasana hati pria itu sedang bagus. Bening menerima uluran tangan Tama dan menginjak paha lelaki itu. Kemudian naik dengan tangga rambat kolam renang.

Usai membuang sampah, Bening melihat kolam sudah bersih dan dia pun kembali ke kamarnya untuk mandi. Dia menjalani jam-jam selanjutnya dengan menulis jurnal, makan, menonton drama sejenak, lalu bersiap untuk tidur.

Sebelum tidur, dia menatapi langit-langit kamar dan mengingat apa yang terjadi saat membersihkan kolam renang tadi; matahari terik, mereka berdua basah, matanya menatapi tubuh Tama dengan lekat. Lengan Tama kokoh, otot punggungnya terpahat jelas dengan lekuk yang bergerak saat dia mengangkat diri dari dasar kolam, air menetes-netes dari tubuh yang terguyur, Tama berdiri dan tingginya menjulang, bahunya lebar, dan otot-otot tercetak di kausnya yang basah.

Bening memejamkan mata, meresapi, dan menarik sudut bibirnya.

Dia mungkin terlalu lama disiksa oleh Nicholas, hingga lupa bahwa lelaki juga bisa terlihat menawan tanpa jadi menakutkan.

[ ].

18/07/2023
2,4k words



A/N

Kalau cerita ini mulai masuk ke adegan spicy level 7 ke atas, mungkin bakal ada versi extended version yang eksplisit cuma gue share di KaryaKarsa, jadi di versi Wattpad versi implisit aja. Kalau chapter ini, level spicy-nya baru level 1.

Chapter depan (chapter 15) berisi adegan-adegan domestik, alias mereka cari sarapan bareng, ngobrolin ini-itu, Tama juga berbagi potongan kisah soal latar hidup dia, soal Tatyana, dan tentu ada bagian Bening duduk di punggung Tama pas Tama lagi plank. Kalau mau baca duluan, udah ada di KaryaKarsa seharga Rp. 3.800. Tautan ke KaryaKarsa gue ada di bio profil Wattpad gue ya.

Chapter 15 di Wattpad diunggah dua minggu lagi.

Continue Reading

You'll Also Like

4.7K 657 7
Bagi Kaia, dia tahu di dunia ini dia paling menyukai baking. Ah, dan tentu saja Tyaga. Dia bahkan ingin menikahinya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Sedang bagi Tyaga, dia ha...
23.9K 2.8K 13
Di tengah keluarga yang memiliki nama cukup tersohor, keberadaan Libby dianggap seperti benalu tak berarti. Segala hal yang dilakukannya selalu dibat...
3.5M 36.8K 32
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
6.7K 1.1K 11
2095, Taeyong bertanya. 2022, Jaehyun menjawab.