BANYU BIRU.

By memoirewespent

433 42 0

Aku pernah mati, lalu hidup kembali karenamu. Aku mati sekali lagi, lalu akan hidup selamanya bersamamu. More

CAMPAKA WANGI, 1985.
KATUMBIRI, 1985.
LAYUNG, 1985.
MULIH, 1985.

PURU KAMBERA, 1985.

47 7 0
By memoirewespent

Bandung benar-benar menjadi ibu baru untuk Biru, walau benar kata si Soeroso muda; kota itu tidak seromantis yang dikatakan para pujangga berambut klimis dan kerah kemeja terbuka. Mereka berlebihan. Tapi setidaknya cukup baik sebab telah menepati janji atas aroma kebebasan yang lama jadi idaman. Biru sudah menang.

Sejatinya ngibing bukanlah suatu hal fasik, tapi dari sanalah jalan nerakanya lebih benderang. Ia paham benar ini bukan salah seni, ini salah ekonomi. Lalu ia begitu tidak mujur sebab harus menjadi suguhan para durjana.

Maka dari lahir kembalinya Telaga Biru, ia tidak akan pernah meluruhkan jati diri sebagai seorang ronggeng. Lulungu Campaka Wangi, Baranang Siang, Cahaya Sumirat, dan Blantek selamanya hidup menjadi sejarah. ᅠᅠ ᅠᅠ

━━━━━━━

ᅠᅠ ᅠ Dengan titel ajudan melekat di ubun-ubun, Biru ditempa dengan seribu satu macam penataran unggul. Seorang Abah Abad berjanggut rimbun didatangkan langsung dari Tasikmalaya oleh yang terhormat keluarga Soeroso. Ia asli PANDAWA; Pamili Anu Nungtut Di Alajar Walagri Ati sarat arti manusia yang berfikir, bertindak, dan berperilaku suci. Bukan perguruan silat kaleng-kaleng, sudah kondang sejak Indonesia masih dicederai martabatnya oleh Kolonial Belanda.

Laki-laki yang sebelumnya mesra dengan lenggang rongeh itu sungguh giat mempelajari jurus-jurus dasar yang diajarkan semacam Getret, Cimande dan Tantungan Leuleus. Tak lebih sulit dari berlenggok, ditambah Biru memang pekerja keras yang pantas digaet Banyu sebagai ajudan baru.

Tidak hanya silat.

Memanah, menyelam, dan menembak pula jadi rangkai apik penggempuran seorang Biru. Kulitnya yang susu kadang sampai memerah diberangus matahari. Sebuah proses memang perlu pengorbanan, disibak panas jadi salah satu yang perlu ditelan.

Banyu memperlakukan Biru sebagaimana manusia yang dimanusiakan, sebaik-baiknya yang ia mampu hingga sampai di perjalanan pertama sang ajudan baru mengawalnya ke Surabaya untuk meninjau bisnis kayu, kedua di Watusambang dalam rangka pembelian saham pabrik minyak atsiri, dan kali ini ke Nusa Tenggara Timur melawat proyek losmen yang ia danai menggunakan uang sendiri.

Mereka jadi terus melekat, terlalu sering bersama sampai Biru merasa ada sesuatu dipupuk waktu, hati bersemi di petang hari lantas mekar di tengah malam. Kalau terang-terangan terlalu berani, maka katakanlah Biru tengah jatuh cinta dengan udara yang sedang tuli.

Biru memenuhi keharusannya menemani Soeroso muda kemana-mana. Dan Banyu melepaskan ia untuk hidup di atas kakinya sendiri tanpa merasa dikasihani.

“Kenapa tidak kau tunggangi kudamu?”

Banyu menghentikan si hitam penurut dengan surai lebat yang nampak halus tepat di hadapan Biru, lelaki itu tengah bersandar pada batang akasia, di sela bibirnya yang ranum terdapat selinting tembakau menyala-nyala.

“Aku tidak bisa menunggang kuda, Mas Banyu.” ia melirik pada seekor hewan terikat di pohon yang sama, mereka mendadak sia-sia.

“Naik.”

“Kemana?”

Banyu Soeroso mundur, memberikan ruang yang lantas diisi Biru penuh ragu. Ia naik dari sisi kiri dalam sekali lompat, keduanya duduk melekat. Biru menyandarkan punggung di dada Banyu yang bidang, kulit mereka menimbulkan reaksi paling sontoloyo sebab merambat sampai ke pipi.

“Kenapa tidak bilang kalau tidak bisa, mungkin saya akan minta Arung ajari kamu kemarin-kemarin.”

“Aku tidak tahu kalau akan diajak menunggang kuda disini.”

Keduanya berucap canggung, mata bening mereka menyalang jauh ke arah para ajudan Banyu yang berlomba memacu kuda di padang sabana. Menggerus rumput, mencumbu gulma.

Suasana Puru Kambera terasa begitu sentimental dengan guyuran kilat mentari sore hari, berhias kerling pantulan air dan gemerisik ilalang kering ditiup angin, melatari bincang dua manusia yang rikuh bersimbur aroma kotoran kuda liar dan dimetil sulfida dari Pantai Perawan. Biru masih menyesap kereteknya, ditepuk ke arah bawah agar bakaran abu tak melukai Banyu.

“Aku sudah berbulan-bulan bekerja denganmu, kinerjaku buruk tidak Mas Banyu?”

Banyu berdehem, posisi lengan yang terlihat tengah merengkuh tubuh Biru dari belakang sukses besar membuat si Telaga salah tingkah.

“Saya bisa lihat kamu banyak berusaha, ini semua pasti asing. Lebih susah dari menari, betul?”

“Tidak susah selama ada kamu.”

“Saya sedang digoda?”

Biru tersipu lucu, bahunya naik, matanya menyipit ke sudut-sudut.

“Betah bekerja di keluarga Soeroso?”

“Cuma orang bodoh yang tidak betah, keluargamu baik sekali, saya dididik dengan baik. Juragan saya begitu luar biasa.”

“Sudahlah Biru.”

“Malu, ya?”

Banyu tidak menjawab, laju kuda yang mereka tunggangi semakin jauh seperti tengah menarik pedal mentari untuk turun lebih dalam lagi. Hari nyaris berganti, sinar mulai redup. Yang masih menyala hanyalah mata Banyu Soeroso yang tengah (sama) salah tingkahnya.

“Aku benar-benar berterima kasih untuk semuanya, Mas Banyu. Aku seperti Biru yang berbeda. Biru yang ini terasa lebih bahagia. Kamu banyak merubahku.”

“Kamu juga merubah saya.”

“Di sebelah mana?”

“Cara pandang saya dalam merasakan sesuatu.”

Biru bergeming, tubuhnya naik turun selaras langkah si hitam yang mulai melambat.

Banyu selalu dapat merasakan aroma menarik dari setiap inci Telaga Biru, terutama harum orang yang tengah jatuh cinta. Kali ini mirip semilir floral, sitrus, dan seusap cendana yang otentik. Sang Soeroso membiarkan dagunya mendarat di bahu lelaki itu, mereka lebih dekat dari gelenyar darah dan urat nadi.

“Mas Banyu ....”

“Hmm?”

“Tidak jadi.”

Kuda itu benar-benar berhenti, mereka dipeluk hening yang gelap. Biru menolehkan kepalanya untuk melihat tepat ke arah Banyu.

“Ada apa?”

“Boleh kita begini dulu sebentar?”

“Selama kamu tidak apa-apa kalau bahumu jadi sandaran.”

Biru mengangguk, pipinya menyentuh sisi kepala Banyu lantas menyodorkan selinting keretek nyaris habis ke sela bibir Banyu yang tipis dan merah muda.

Banyu Biru menyesap surga dari ujung yang sama, menelan sandyakala di tengah Puru Kambera dengan tatap seperti sedang menelanjangi, lalu bercinta di kolong purnama.

Tidak perlu dilantaskan, awan-awan di Sumba paham kalau ada yang sedang jatuh cinta dalam diamnya.

━━━━━━━
ᅠ ᅠᅠ ᅠ

ᅠᅠ ᅠ “Biru, bangun! sudah pagi! kita diminta ke proyek untuk memberi instruksi suruhan Pak Banyu sebelum pulang ke Bandung.”

Telaga Biru menggeliat, ia menatap Arung dengan kulitnya yang eksotis duduk di samping ranjang hanya dilengkapi celana kebesaran.

“Kenapa tidak Pak Banyu yang langsung ke Proyek?”

“Beliau pulang buru-buru tadi malam, pulang lebih dulu dengan Mas Martin.”

“Mas Martin kesayanganmu?”

“Edan kau!”

Arung menepuk bongkah pantat Biru yang digelimuni selimut tipis kotak-kotak, masih bisa bergurau di tengah gempuran malu sebab rahasianya ketahuan. Semua orang di kediaman Soeroso hafal benar gelagat asmara yang menguar dari ketiak Arung dan Martin Benua; orang kepercayaan Gatot untuk mengawal setiap langkah Banyu, ajudan utama, ajudan paling lama.

“Kenapa Pak Banyu pulang duluan, Arung?”

“Mau menjemput seseorang.”

“Siapa?”

“Anneke Van Der Linden, perempuan pilihan Pak Gatot.”

Tunangannya.

Mari kita pulang ke asal, Biru. Ke gorong-gorong kenyataan yang sialan.

ᅠ ᅠᅠ ᅠ

Continue Reading

You'll Also Like

9.9M 386K 38
*COMPLETED* (Y.O.L.O stands for: YOU ONLY LIVE ONCE) *** Carter Jones, the school nerd, and Killian Henderson, the reputated troublemaker, somehow en...
258K 4.3K 61
This is an unofficial fan-made English translation of We are...คือเรารักกัน (We are... we are in love). Please do not re-translate to any other langu...
124K 7K 44
When she wants to go to her dad's house as she was missing them!! Her husband who was searching online how to "stop your wife from going away from yo...
302K 22.5K 54
နှလုံးသားကို လိမ်ညာယူတဲ့ အဆိုးလေးရဲ့‌အကြောင်း....