BANYU BIRU.

By memoirewespent

405 42 0

Aku pernah mati, lalu hidup kembali karenamu. Aku mati sekali lagi, lalu akan hidup selamanya bersamamu. More

KATUMBIRI, 1985.
PURU KAMBERA, 1985.
LAYUNG, 1985.
MULIH, 1985.

CAMPAKA WANGI, 1985.

181 8 0
By memoirewespent

Hingar-bingar suara yang dilahirkan dari alat-alat karawitan sunda seperti Jengglong sebagai balunganing gending, suling yang mengemban darma untuk membawa melodi, kendang yang apik mengatur irama, saron untuk melilit nada, bonang yang merengkuh balunganing gending dan gong untuk panganteb wilet bersama-sama meliuk di udara malam sudut Bagja Alit daerah Kabuyutan Sawal.

Pelataran megah pendopo dusun malam itu dihias begitu meriah seperti sedang menggelar perkawinan anak lurah, rawis-rawis dekorasi dari kertas minyak ragam warna bertumbuk dengan ramainya warna kain kilat lotto yang dibentang menutupi sisi-sisi balai yang cuma ditumpu kayu-kayu.

Bagja Alit memang sudah sering sekali menggelar pesta rakyat gelap yang isinya tak jauh dari ronggeng-ronggeng jam malam dan para pemabuk berotak selangkangan, pestanya para suami petani untuk menghabiskan uang istri demi menggetar ranjang di gubuk remang bersama para pemakai selendang. Tapi kali ini auranya luar biasa berbeda, bahkan seluruh warga dari tua sampai muda lantas yang waras hingga yang gila diundang untuk hadir dengan iming-iming lembar-lembar uang monyet.

“Ramai sekali, ada apa sih? mau kedatangan Soeharto?”

“Bukan, tapi anak kerabat dekatnya!”

“Ah yang betul? siapa? kerabat beliau banyak, dari orang kita sampai bule yang bicaranya was wes wos!”

“Aku menguping dari Pak RW sih, Banyu──anak Gatot Soeroso.”

Ibu-ibu bergunjing sembari mengisi kursi-kursi dari besi berkarat tepat di hadapan panggung dangkal malam itu, dengan pakaian seadanya berpoles gincu terang benderang, memangku anak-anak mereka yang sejak datang sibuk menunjuk-nunjuk tenda berjajar di tepian pendopo; tempatnya para pedagang dari kacang bulu sampai bajigur.

“Gila! Gatot Soeroso yang itu? anaknya mau datang kemari?”

“Iya, Si Raja Hutan! kalau anaknya apa, ya? mungkin pangeran hutan?”

Pada jaman ini, masa pemerintahan Soeharto siapa yang tak kenal Gatot Soeroso? seorang kawan karib dan rekan bisnis presiden utamanya dalam bidang industri kayu.

PENGUSAHA SUKSES ORDE BARU, SI RAJA HUTAN.

Mulanya Gatot adalah seorang pebisnis dalam bidang angkutan laut──bukanlah kayu, dan baru merambah hutan pada 1973 dengan berdirinya SUARAMA PLYWOOD begitu megah.

Warsa demi warsa membabi buta, bisnis Gatot makin kinclong sejak terjalinnya hubungan mitra dengan perusahaan kayu raksasa Amerika Serikat; Aalbern Pasific Timber yang menguasai tiga ratus lima puluh ribu hektar hutan di Kalimantan Timur pada tahun 1976. Ia bahkan pernah menjabat sebagai ketua ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA atau APHI.

Dan kini apa-apa yang dipunyai Gatot mulai turun pada anak semata wayangnya yang dikenal karismatik, para gadis rela hilang harga diri asal dicumbu Banyu. Banyu, Banyu. Lelaki berkulit putih bermata segaris keturunan Jawa Palembang itu memang bukan manusia main-main.

“Memang ada apa Banyu Soeroso datang ke dusun kita yang terbelakang ini?”

“Mungkin ada urusan bisnis, atau──?”

“Cari perempuan? jelas lah itu, ronggeng di tempat kita macam berlian. Lagipula orang-orang tersohor macam Banyu itu mungkin di seluruh Indonesia pengangannya ada, dari dusun kita belum ada makanya dia datang kemari.”

Mereka cekikikan, satu demi satu warga mulai datang hingga kursi-kursi beralas merah itu nyaris penuh ketika waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Dari gelagatnya, mungkin acara tiba-tiba yang diberi judul Pesta Rakyat ini akan segera dimulai; para ronggeng di sisi kanan kiri pendopo berancang-ancang, sang tamu agung telah hadir dari sudut belakang. Dengan penjagaan amat ketat di sisi kanan kiri, sampai baju mahal Sang Soeroso muda mendarat di sofa paling lumayan hasil meminjam dari orang nyondong sedusun.

Semua hadirin berbondong-bondong memusatkan arah pandang mereka pada sosok itu. Walau sering memantik dengki akibat terlalu tajir, kilat kerling wibawa Banyu Soeroso tetap saja jadi bintang dadakan Bagja Alit.

“Terima kasih untuk seluruh warga Bagja Alit yang telah hadir di pesta rakyat megah kita malam ini!” Neneng membuka acara yang katanya megah, padahal bahkan tak seujung kuku dari kesemarakkan hidup Banyu selama ini.

“Untuk tamu agung kita Raden Banyu Soeroso yang telah menyumbang dana kesejahteraan Bagja Alit, kita tampilkan IBING LULUNGU CAMPAKA WANGI!!!” lengkingan suara Neneng mengundang para ronggeng yang sejak tadi bersiap untuk masuk ke arena tari beriring musik yang bertalu talu.

Kina, Susi, Ambar, Sari dan Denok yang disolek apik berkebaya gemilang meliuk-liuk dengan sungkupnya yang penuh payet, mereka memang kembang Kabuyutan Sawal yang sering buat para hidung belang hilang sadar. Tapi kalau diperhatikan seksama, mata Banyu tak lepas dari Biru yang memang paling berkilau dan lain daripada yang lain. sepertinya cakap-cakap angin para ibu-ibu tadi bukan sekadar omong kosong──tapi tak akan pernah ada yang sangka malau pilihannya akan jatuh pada ronggeng lelaki satu-satunya itu.

Banyu tengah memilih, Banyu telah memilih.

Salah satu dari empat ajudan berpakaian nyeni lengkap dengan rambut berminyak disisir rapi mendekatkan telinganya pada yang mulia, ekor mata Banyu terus saja mengarah pada lelaki yang sama.

Telaga Biru; penari dari paguyuban seni paling tersohor se-Bagja Alit, lenggok-lenggoknya apik, lentik bulu mata dan bibirnya yang mungil selalu membius siapapun yang datang bertandang untuk menilik kemampuannya meronggeng, sampai mereka lupa kalau Biru adalah seorang lelaki.

Dari kejauhan, yang 'dipilih' juga seperti sudah terlampau peka lantas menyalur goda lewat mata. Ia mendekat, mengalungkan selendang harum kuncup melatinya pada leher Banyu untuk diajak ngibing beriring seruling gending.

Biru telah dipilih.

ᅠ ᅠᅠ ᅠ
━━━━━━━
ᅠᅠ ᅠ

“Namaku Biru, Telaga Biru. Kau tahu aku lelaki?”

Banyu mengangguk, di sebuah kamar yang dindingnya dilapisi cat putih dan polet-polet turangga. Biru sejak tadi belum berhenti melihat-lihat seisi ruang yang baginya terlalu mewah. Kebayanya masih apik melekat, rias wajah pun belum luntur.

“Tentu.” Banyu menjawab ringan seolah meluruh segala kekhawatiran lelaki di hadapannya, lelaki yang tengah duduk di tepi risbang besi berlapis seprai bunga-bunga.

“Lalu kenapa memilih aku?”

“Bukanya kau yang memilih saya?”

“Aku tidak tolol untuk membaca matamu dari jauh, Banyu.”

“Kau tau nama saya?”

“Siapa yang tak tahu namamu?”

Dari jarak satu meter tepat, pun atas gerak gerik Biru yang santun Banyu dapat menghirup betapa segarnya melati india dan bunga jahe dari ceruk leher lelaki itu. Matanya menyala bak suar api, pemandangan dan rasa yang tak pernah ia temui dari seorang perempuan.

“Saya memilihmu karena tahu kau lelaki.”

“Lalu mau kau olok-olok?”

“Tidak.”

“Lalu?”

Banyu mendekat, jarak batang hidung mereka sisa beberapa senti hingga Biru tercekat-cekat.

“Mau tahu apa alasanmu menari-nari di atas sana.”

“Lalu kau katai aneh? karena pakai baju perempuan dan meliuk-liuk di atas panggung? seperti semua orang saat pertama kali aku melakukan ini?”

“Tidak.”

Biru mulai jengah dengan pengulangan kata tidak yang tiada habisnya.

Pakaian tidak mempunyai jenis kelamin yang bisa mereka pilih, perempuan bisa pakai celana dan kemeja, lelaki bisa saja pakai kebaya sepertimu. Menari juga seni yang bebas, sebagaimana pencak silat bisa dipelajari perempuan, meronggeng juga bisa dilakukan oleh laki-laki. Bukan, saya bukan mau tahu itu.”

Perbincangan pertama mereka di villa gedongan semakin mengerucut, ada enigma yang sama-sama ingin mereka pecahkan sendiri dan sendiri, namun senyatanya malah jadi teka-teki milik berdua.

Biru menatap Banyu lekat, pertanyaannya semakin memukul-mukul tulang minta dikeluarkan.

Lalu apa?”

“Hati saya yakin kamu butuh pertolongan, siapa yang meminta kamu melakukan ini?”

Seperti baru saja dihujam jutaan bongkah batu granit Biru membisu, tatap mereka seperti dikunci oleh takdir yang diam-diam menyelinap lewat celah tak kasat mata. Selama ini Biru selalu menelan kenyataan tentang itu, tentang bagaimana hutang melilit orang tuanya lantas ia jadi tumbal dengan dalih tak semua jantan (berduit) suka perempuan, pun perempuan gila berduit pasti senang lelaki penurut. Menghadiahkan laki-laki molek pada sosial akan jadi hal paling menarik dan menguntungkan. Hajat hidupnya digadai, ia kehilangan dirinya sendiri, Biru tak lagi tersisa barang seujung kuku.

Kamu ini penguntit?”

“Jadi saya benar? iya, Biru?”

Sang Telaga belum menjawab, ia masih takjub dengan bagaimana cara Tuhan mengirim kejutan lewat hal-hal yang tak pernah ia duga.

Saya dengar orang-orang berduit selalu punya cara untuk tau informasi soal orang-orang kecil. Begitu ya? jadi ini benar adanya? kamu mau memberiku santunan?”

Kau juga mungkin lupa kalau manusia punya naluri yang datang dari sini.” Soeroso muda mendaratkan ujung jarinya persis di dada Telaga Biru, kemudian sebuah sengat magis menjalar dari sentuhan kulit keduanya. Biru menunuduk, air matanya jatuh dari tepi yang sayu. Ia tertangkap basah.

Bapak, bapak yang minta. Aku harus masuk sanggar lalu jual diri, menari, lantas dibeli oleh lelaki kampret dan perempuan-perempuan tua! aku sudah habis!”

Banyu dan segala stigma kelabu pada dirinya seketika luluh lepas berhasil hidup memakai naluri. Tangan kanan dan kirinya bergerak merengkuh Biru yang limbung, sorak sorai warga Bagja Alit tadi seolah hilang dihempas badai air mata sang Telaga. Mereka melebur jadi satu.

Saya mau bantu kamu, ini bukan santunan. Ini sebentuk kelayakan yang seharusnya kamu telan sejak lama. Bilang pada bapakmu, saya akan beri dia uang setiap bulannya, kamu juga akan dapat gaji untukmu sendiri. Jadilah ajudan saya, Biru. Temani saya kemana-mana.”

Lonjakan tangis Biru semakin tak menentu, dekap kulit-kulit dengan gesekan baju murah dan mahal saling beradu. Dermaga atas nasib-nasib mujur lelaki itu sudah dekat, ia akan bersauh.

Kamu mau?”

“Aku mau.”

Kepada maha baik Tuhan, bahkan untuk umat yang paling berdosa hasil penilaian manusia, Telaga Biru selamat.

Ia menemukan jalan paling menyala dari sorot mata seorang Banyu.

CATATAN KAKI.

• Latar belakang Gatot Soeroso (ayah Banyu) diambil dari kisah hidup Bob Hasan, kerabat dekat Soeharto.

• Kabuyutan Sawal : Nama lain dari wilayah Panjalu──Ciamis, pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang.

• Bagja Alit : nama desa fiksi karangan aku sendiri, nggak ada di peta, boleh kalau mau masuk ke kepala kalian. Hehe

ᅠᅠ ᅠ

Continue Reading

You'll Also Like

192M 4.6M 100
[COMPLETE][EDITING] Ace Hernandez, the Mafia King, known as the Devil. Sofia Diaz, known as an angel. The two are arranged to be married, forced by...
269K 17K 47
The feeling of being abandoned by one's own family was not unknown to Aadhira. She hates her family for abandoning her when she was only a newborn, l...
7.3M 303K 38
~ AVAILABLE ON AMAZON: https://www.amazon.com/dp/164434193X ~ She hated riding the subway. It was cramped, smelled, and the seats were extremely unc...
55.1M 1.8M 66
Henley agrees to pretend to date millionaire Bennett Calloway for a fee, falling in love as she wonders - how is he involved in her brother's false c...