Through the Lens [END]

By dindaarula

84.2K 9.2K 831

I found you through the lens, then I'm falling right away. --- Ketika bertugas sebagai seksi dokumentasi dala... More

๐Ÿ“ท chapter o n e
๐Ÿ“ท chapter t w o
๐Ÿ“ท chapter t h r e e
๐Ÿ“ท chapter f o u r
๐Ÿ“ท chapter f i v e
๐Ÿ“ท chapter s i x
๐Ÿ“ท chapter s e v e n
๐Ÿ“ท chapter e i g h t
๐Ÿ“ท chapter n i n e
๐Ÿ“ท chapter t e n
๐Ÿ“ท chapter e l e v e n
๐Ÿ“ท chapter t w e l v e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t e e n
๐Ÿ“ท chapter f o u r t e e n
๐Ÿ“ท chapter f i f t e e n
๐Ÿ“ท chapter s i x t e e n
๐Ÿ“ท chapter s e v e n t e e n
๐Ÿ“ท chapter e i g h t e e n
๐Ÿ“ท chapter n i n e t e e n
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y o n e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y t w o
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y f o u r
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y f i v e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y s i x
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y s e v e n
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y e i g h t
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y n i n e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y o n e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y t w o
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y f o u r
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y f i v e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y s i x
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y s e v e n
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y e i g h t
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y n i n e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y o n e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y t w o
๐Ÿ“ท chapter f o r t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y f o u r
๐Ÿ“ท f i n a l chapter

๐Ÿ“ท chapter f o r t y

1.2K 155 21
By dindaarula

Jantung Alsa serasa berdebar kala ia menunggu kedatangan Risha--kakak kembar Radya yang beberapa jam lalu menghubunginya, lalu berkata bahwa sebaiknya ia memang harus menjemput Alsa. Alsa menolak, tentu saja. Gadis itu belum pernah berjumpa dengan Risha, berkomunikasi saja baru terjadi tadi, itu pun hanya untuk mengabarkan ia soal Radya. Alsa sungguh merasa tidak enak sebab secepat itu ia mendapatkan perlakuan baik dari saudara kandung pacarnya sendiri. Namun, karena Risha memaksa, Alsa pun tak punya pilihan selain menghargainya.

Kini Alsa tengah menunggu di depan minimarket--tempat di mana Radya menunggu saat kencan pertama mereka. Alsa sengaja meminta Risha menjemputnya di sana karena ia belum memberi tahu Mama perihal keadaan Radya saat ini. Andai kata Mama sempat melihat Risha dan tahu bahwa Risha adalah keluarga Radya, Mama pasti takkan melewatkan kesempatan untuk melemparkan banyak tanya. Nanti saja, pikir Alsa. Untuk saat ini ia hanya ingin bertemu Radya, memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa laki-laki itu, semoga saja, dalam keadaan yang diharapkan.

Alsa menendang kerikil kecil yang berserakan di dekat kakinya, berusaha mengusir rasa gundah hatinya. Ia sedikit gugup karena akan bertemu Risha, pun tidak tenang pula sebab ia tak tahu bagaimana situasi yang sesungguhnya. Risha memang tidak mengatakannya secara jelas. Dan, jantung Alsa kian berdetak kencang kala CR-V hitam berhenti tepat di hadapannya.

Sesaat Alsa mematung. Itu mobil Radya.

Tentu Alsa sempat mengira bahwa si pengemudi adalah Radya. Setidaknya sampai kaca mobil diturunkan dan Alsa melihat sosok gadis berambut panjang bergelombang dengan setelan serba hitam berada di dalam sana. Hatinya mencelus. Ia tak suka apa yang ada di pikirannya saat ini.

"Alsa, ayo masuk," ujar si gadis yang Alsa yakini ialah Risha. Sudut-sudut bibirnya tertarik ramah, kian memperindah rupa cantiknya. Dan, setelah diperhatikan dengan lebih jelas, gadis itu betul-betul tampak seperti Radya dalam versi perempuan.

Alsa mengerjap, sebelum ragu-ragu membuka pintu depan mobil dan masuk. Usai duduk di joknya, Alsa tak tahu harus mengatakan apa selain menyapa, "H-halo, Kak." Canggung, gadis itu pun akhirnya memakai seat belt dengan gerakan kaku sebab Risha tak henti-henti menatapnya seraya mengulum senyum. Setelahnya Alsa hanya memainkan lengan sweater yang panjangnya sampai menutupi setengah telapak tangannya. Perlahan Alsa kembali menoleh dan mendapati Risha masih melakukan hal serupa. "Um ... kenapa ya, Kak?" tanya Alsa dengan hati-hati.

Senyumnya masih tampak tertahan, tetapi Risha hanya menggeleng singkat. Gadis itu kemudian menutup kaca di samping Alsa dan mulai mengemudikan mobil. Sesaat Alsa tampak takjub sebab baru kali ini ia melihat secara langsung seorang gadis yang dapat menyetir dengan lihai. "Sori ya, kalau gue bikin nggak nyaman," Risha akhirnya kembali membuka suara. "Gue cuma masih nggak nyangka Radya bisa nemu adik manis yang lucu ini, udah gitu sampe dijadiin pacarnya pula."

Seketika Alsa pun tertegun. "M-makasih, Kak ...," Alsa tak tahu mengapa ia berterima kasih. Namun, bukankah itu merupakan kalimat pujian? Kedua pipi Alsa bahkan tampak bersemu merah sekarang. Rasanya sama persis seperti saat Radya menyebutnya cantik.

Risha tertawa geli. "Aduh, ngapain bilang makasih, sih? Emang kenyataannya gitu, kok, gue bukan asal muji doang." Ada jeda sesaat. "Sejujurnya gue kaget setengah mati waktu tau dia punya pacar. Mana pake dipamerin segala lagi. Sengaja pengen bikin gue panas kayaknya tuh anak."

Alsa geming sejenak. Serius, Radya pernah melakukan itu? "Em, tapi kenapa lo sampe kaget, Kak? Bukannya dulu Bang Radya udah pernah pacaran, ya?" Alsa tahu seharusnya ia tak perlu menanyakan hal tersebut. Namun, perkataan Risha terdengar serupa dengan apa yang pernah Bi Ajeng sampaikan padanya hingga membuat Alsa tak kuasa menahan rasa penasaran.

"Ah, maksud lo waktu Radya pacaran sama cewek ular itu?" Risha menyahut dengan santai, tetapi rautnya jelas sekali menampakkan amarah. "Udahlah, nggak perlu dibahas. Nggak terima gue kembaran gue di-treat kayak begitu. Rasanya pengen gue labrak langsung aja setelah Radya cerita soal dia. Duh, andai aja kalau gue kuliah di sini juga. Gue pasti nggak bakal tinggal diam."

Alsa meringis pelan. Entah mengapa Alsa merasa bahwa itu terdengar seperti peringatan secara tak langsung. Jika suatu saat Alsa menyakiti Radya, maka Risha-lah yang harus Alsa hadapi nantinya. "Lo pasti sayang banget sama Bang Radya ya, Kak ...."

"Bukannya aneh kalau gue nggak sayang sama sodara gue sendiri? Walaupun dia nyebelin setengah mampus, tapi ada lebih banyak alasan yang bikin gue nggak sampai hati buat ngerasa kesel atau marah sama dia." Risha menarik napas dalam-dalam. Pandangannya tetap fokus pada jalanan, tetapi tampak sendu, bersamaan dengan terbitnya senyum getir di bibir. "Entah gimana jadinya hidup gue kalau nggak ada Radya, Alsa. Padahal gue yang lahir duluan--yah walaupun cuma beda lima menit doang, tapi dia selalu bersikap seolah dia itu abang gue. Dari kecil kami nggak pernah pisah. Dia selalu nemenin gue untuk ngelakuin apa pun, dia yang paling nggak pengen gue kenapa-napa. Gue juga nggak nyangka waktu liat hidupnya berubah drastis cuma karena gue, setelah orangtua kami pisah. Makanya ... makanya gue ngerasa takut, bener-bener setakut itu, waktu gue liat dia jatuh dari tebing dengan mata kepala gue sendiri ....

"Lo pasti ngerasain hal yang sama, 'kan, waktu pertama kali dengar kabarnya dari Bi Ajeng?" Risha menoleh sekilas, dan Alsa menemukan kedua mata gadis itu sudah berkaca-kaca, yang secepat kilat langsung lenyap ketika ia mengedip-ngedip. "Sori ya, Alsa. Radya harus ngalamin hal kayak gini gara-gara gue. Gue nyesel. Banget. Harusnya gue langsung nurut dan stop bahas soal muncak waktu Radya ngelarang gue dengan keras. Dia jadi begini karena udah nyelamatin gue. Dia bilang, gue bakal aman kalau ada dia. Ya bener, gue aman. Tapi buat nyelamatin dirinya sendiri, dia malah nggak bisa. Dan gue marah banget sama diri gue karena nggak bisa berbuat apa-apa ...."

Alsa sungguh dapat merasakan emosi dalam diri Risha saat ini kendati Risha hanya menunjukkannya lewat kata-kata. Tentu saja Risha yang paling merasa terpukul sebab ia berada di tempat kejadian dan menyaksikan langsung bagaimana Radya mengalami kecelakaan itu. "Kak, itu bukan salah lo, jadi lo nggak perlu minta maaf dan nyalahin diri lo sendiri kayak gini ...," ujar Alsa, berusaha untuk menenangkan.

"Iya, gue tau kok. Tapi susah juga buat nggak mikir kalau ini bukan salah gue, Alsa. Gue kayaknya baru bisa bener-bener tenang kalau Radya udah baik-baik aja."

Hati Alsa mendadak nyeri. Kecemasan tampak jelas di wajahnya. "... e-emangnya Bang Radya nggak baik-baik aja, Kak?"

Risha kontan menoleh sekilas. Kedua alisnya terangkat. "Omongan gue terdengar ambigu, kah?" tanyanya. "Sori, tapi maksudnya nggak kayak gitu, Alsa. Untuk saat ini bisa dibilang Radya baik-baik aja kok, tapi emang butuh waktu yang lumayan buat dia sampe bisa pulih total. Pokoknya lo tenang aja, oke?"

Hanya dengan mendengar itu, kelegaan luar biasa sekonyong-konyong berhasil menyeruak dalam diri. Takut yang ia rasakan pun perlahan-lahan terkikis. "Sejujurnya gue kaget waktu liat lo pakai baju item-item gini, Kak ...," aku Alsa dengan jujur.

"Ya ampun." Sesaat Risha melihat pakaiannya sendiri--blouse hitam polos dengan jins yang sewarna, lalu tawa ringannya pun mengudara setelah mengerti situasinya. "Nggak, ini bukan baju ngelayat. Gue emang suka aja pake baju item. You know? Black is my color. Sori banget, gue sama sekali nggak bermaksud buat bikin lo kepikiran."

Alsa hanya tersenyum kaku, tetapi di dalam hatinya ia benar-benar merasa lega sekarang.

"Tapi, Alsa, kayaknya gue harus kasih tau satu hal dulu."

"Soal apa, Kak?"

"Soal Radya." Tepat pada saat itu, mobil perlahan berhenti sebab mereka berada di area lampu merah. Kini Risha pun dapat sepenuhnya menatap sang lawan bicara. "Mungkin Radya bakal marah kalau dia tau gue bongkar hal ini ke lo. Tapi, bodo amat, deh. Lo tau, Alsa? Sebenernya Radya tuh takut sama jarum suntik."

Seketika Alsa mengerjap-ngerjap. "Takut ... jarum suntik?"

Risha hanya mengangguk ringan. "Iya. Makanya dia nggak pernah mau dibawa ke dokter kalau sakit. Syukurnya juga dia emang jarang sakit, sih. Tapi, lo bisa kebayang nggak, gimana dia waktu akhirnya sadar dan liat tangannya udah diinfus?" Embusan napas pelan Risha loloskan. Senyumnya terbentuk, tampak masam. "Dia jadi stres berat, Alsa. Tapi itu baru karena diinfus. Setelah tau dia harus dioperasi, apa nggak jadi makin-makin lagi, ngebayangin dia dibius dan bahunya sendiri bakal dibedah pake alat-alat tajam lainnya? Belum lagi ditambah waktu cabut infus." Jeda sejenak. "Makanya, nanti lo nggak usah kaget ya, kalau Radya jadi agak pendiem dari biasanya?"

Penuturan Risha tentu saja sukses membuat Alsa tertegun.

"Untuk yang satu itu, tolong banget lo ngertiin, oke?" pinta Risha. "Tapi untuk soal masalah lain, jangan sampe lo maklumin gitu aja."

Kerutan samar pun terbentuk di dahi Alsa. "Maksudnya, Kak?"

"Gue tau, sebelum Radya pergi, kalian lagi ada masalah. Radya cerita sama gue. Tapi untuk yang ini gue nggak mau belain dia sama sekali. Lo tenang aja, gue udah marahin dia, kok. Heran banget gue, padahal dia udah pernah diperlakuin nggak enak sama mantannya, tapi bisa-bisanya dia sendiri malah nge-treat lo kayak begitu pas lagi ada masalah gini." Risha menggeleng-geleng tak habis pikir. Lalu ia mengembuskan napas berat. "Inget ya, Alsa? Jangan dimaklumin gitu aja. Lo berhak buat marah juga. Pokoknya, entah sekarang atau nanti, kalau emang waktunya tepat, kalian harus bener-bener ngobrol berdua buat nyelesaiin masalah kalian."

-

Momen di mana Alsa berdiri di depan pintu rumah Radya seketika mengingatkannya pada masa yang sudah lalu. Kala itu Alsa begitu impulsif datang seorang diri ke rumah Radya hanya karena laki-laki itu dikabarkan tengah sakit. Saat ini pun tampaknya tidak jauh berbeda. Radya sedang sakit, dan Alsa berakhir datang ke rumahnya. Hanya saja, kini ia ditemani oleh Risha yang bersedia menjemputnya begitu saja. Gadis berambut sebahu itu berdiri di belakang Risha dengan jantung berdebar. Seharusnya ia senang sebab akhirnya dapat bertemu dengan Radya. Namun, entahlah, ia malah merasa tidak tenang.

Risha sudah kedua kalinya menekan bel, tetapi tak kunjung ada yang membukakan pintu. Ia sama sekali tak memegang kunci rumah Radya sementara seseorang di dalam sana malah menguncinya. Alhasil, mereka pun harus menunggu sejenak.

Sampai pada bel yang ketiga, akhirnya Alsa maupun Risha dapat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Lalu tak lama kemudian, suara kunci yang diputar terdengar. Pintu pun tertarik ke dalam, dibuka dengan lebar, menampilkan seseorang tak terduga yang membuat Alsa menahan napas seketika.

Radya di sana. Radya-nya betul-betul berdiri di sana.

Laki-laki itu tampak agak pucat dengan tubuh sedikit lebih kurus dari terakhir kali Alsa melihatnya. Rambut hitamnya seolah telah tumbuh lebih panjang hingga poni yang jatuh di dahi mampu menutupi seluruh penglihatan. Di wajahnya tampak beberapa goresan luka yang telah mengering. Kaos hitam lengan panjang menutupi tubuh bagian atas, sementara di bahu kanannya terkalung penyangga khusus guna menahan lengan kirinya. Raut laki-laki itu menampakkan keterkejutan nyata setelah kedua matanya menemukan keberadaan Alsa di dekat Risha kendati sedikit tertutupi karena tubuh yang tinggi.

Sejenak, Radya beralih pada Risha, dengan sorot ingin menuntut penjelasan. Lantas, sebuah tanya terlontar dari mulutnya, "Sha, lo bilang lo mau ketemu temen lama lo?"

Alsa menggigit kuat bibir bawah bagian dalam, menyadari bahwa sudah dua minggu lamanya ia tidak mendengar suara Radya dan melihat sosoknya secara langsung. Dan, Alsa pun menyadari bahwa ia sungguh merindukan laki-laki itu. Namun, mendapati keadaannya yang demikian, Alsa betul-betul turut merasakan sakit hingga ia tak kuasa menahan desakan air di pelupuk mata.

"Hehe, sori, Rad. Sebenernya, tadi gue tuh--"

Alsa tak lagi mendengar jelas apa yang Risha katakan. Saat itu ia sudah mendapati dirinya sendiri menghambur ke pelukan Radya dan menangis sejadinya di sana, menumpahkan segala hal yang ia rasakan selama laki-laki itu menghilang.

Radya sontak membeku, tubuhnya begitu kaku. Dengan kehadiran Alsa saja sudah cukup mengejutkannya, tetapi kini gadis itu malah melakukan sesuatu yang tak terduga. Radya tidak tahu bagaimana Alsa melalui hari-harinya ketika ia tak ada. Namun, melihat reaksinya saat ini, sudah jelas bahwa semuanya pasti terasa sangat berat bagi Alsa. Marah, khawatir, takut, serta rasa syukur, semuanya tercurahkan dalam tangisnya. Perlahan-lahan Radya pun dirundung oleh rasa bersalah kendati ia sendiri tak menduga keadaannya akan menjadi seperti ini.

Namun, di samping itu, Radya turut merasakan syukur yang amat besar. Di tengah ketakutan pada detik-detik sebelum ia mengira dirinya takkan pernah bisa kembali membuka mata, salah satu harapannya didengar oleh semesta, yang tanpa disangka masih mau berbaik hati dengan mengabulkannya.

Pada akhirnya Radya masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang yang berarti dalam hidupnya. Termasuk pula gadis yang kini tengah memeluknya begitu erat, seolah jika dilepaskan begitu saja, Radya akan kembali hilang seperti sebelumnya.

Ragu-ragu Radya mengangkat tangan kanan untuk mengelus lembut belakang kepala gadisnya. Ia menelan saliva sebelum berkata, "Alsa, gue--"

"Jahat ... lo jahat banget, tau nggak?" Alsa berujar di sela-sela isakannya, memotong kalimat Radya.

Tenggorokan Radya serasa tercekat. "Iya ... maaf, gue--"

"Diem!" sentak Alsa. "Gue belum selesai ngomong!" Gadis itu malah kian mengencangkan dekapannya.

Radya seketika mengernyit, menahan nyeri. "Alsa--"

"Gue bilang diem!"

"Maaf, tapi ... badan gue masih ngilu ...."

Mendengar erangan laki-laki itu, sontak Alsa pun buru-buru menarik diri dengan cemas yang otomatis tampak pada rautnya. "B-bang, maaf, gue nggak sengaja ...," ujarnya sedikit panik, dengan masih terisak dan air mata yang belum berhenti mengalir. Sang gadis kembali mendekat di saat Radya sedikit membungkuk dan menaruh tangan kanannya di pinggang. "Mana, mana yang sakit?" tanyanya sembari menyentuh dua sisi wajah laki-laki itu.

Radya mengangkat sedikit kepalanya, lantas sepasang netranya segera menyapa milik Alsa yang memerah karena tangis. Denyut nyeri pun kembali ia rasakan. Kemudian, dengan pelan sebuah kalimat terlontar dari bibirnya, "Hati gue yang sakit, liat lo nangis gara-gara gue kayak gini ...."

Seketika Alsa tergeming. Kedua mata sang gadis  menilik ke dalam tatapan Radya, dan nyatanya ia memang serius dalam perkataannya. Laki-laki itu terluka karena melihat Alsa bersedih karena dirinya. Padahal, luka di tubuhnya jauh lebih memprihatinkan. Alsa pun kembali menangis tanpa bisa ia tahan begitu saja.

"Ck ck ck, Rad, tanggung jawab lo, udah bikin anak orang nangis."

Di saat itu, Radya baru teringat akan hadirnya Risha di antara mereka. Gadis itu berdiri seraya bersedekap dengan sorot malas karena terpaksa harus menyaksikan pemandangan tak terduga.

"Lo masuk sana," titah Radya pada Riisha, "ngapain berdiri di situ terus?"

"Ya elo ngalangin pintu, anjir."

"Ya kan gue bisa--"

Perkataan Radya kontan terhenti ketika ia mendengar suara-suara dari belakang yang mendekat ke arahnya.

"Rad, Risha sudah pulang?"

"Itu suara siapa yang nangis, Radya?"

Radya sontak menoleh, dan ia pun menemukan Papa dan Mama yang secara bersamaan menghampirinya dengan raut penasaran. Ia lantas beralih pada Alsa yang mendadak diam dan membeku di tempatnya. Gadis itu kemudian menengok pada Risha yang baru tersadar bahwa ia melupakan satu hal penting. Yakni, keberadaan orangtua Risha dan Radya. Alsa pun seketika menahan napas saat dilihatnya pria dan wanita yang tampak begitu awet muda tiba di belakang Radya, lalu melayangkan tatapan bingung pada Alsa.

Namun, alih-alih takut, saat ini Alsa justru malah merasa benar-benar kecil--dalam artian yang sebenarnya.

Sungguh, orang-orang dalam keluarga ini betulan serupa tiang listrik berjalan.

-

"Setelah Papa berdiskusi dengan mama kamu, dipikir-pikir memang sebaiknya kamu ambil cuti, Rad, supaya kamu bisa fokus dengan pemulihan bahu kamu dan tidak perlu khawatir soal perkuliahan."

"... iya, aku ngikut aja. Asalkan besok aku boleh masuk kuliah."

"Mana bisa begitu, Rad. Kamu masih harus istirahat pasca operasi."

"Bentar lagi UAS, Pa. Seenggaknya aku mau tuntasin semester ini dulu, baru setelahnya aku bakal nurutin apa kata Papa dan mama."

Diam-diam, Alsa--yang kini sudah jauh lebih tenang--mendengarkan percakapan tersebut dari dapur, di mana ia, Risha, dan Tante Diana tengah menyiapkan santapan malam nanti. Keberadaan Bi Ajeng tiada karena memang tengah diberi waktu libur, sebagai balasan setelah ikut sibuk menjaga Radya saat di rumah sakit. Alsa sendiri masih merasa sedikit canggung meski Tante Diana langsung menyambutnya dengan hangat. Sebab mau bagaimana pun juga, wanita itu adalah ibu dari pacarnya sendiri.

Sementara itu, Om Sandi sama sekali tak menampakkan keramahan hingga sempat membuat Alsa berpikiran yang macam-macam. Namun, ternyata hal tersebut berbanding terbalik dengan sikapnya. Om Sandi tetap menerima kehadiran gadis itu di rumahnya dan menanyakan beberapa pertanyaan sederhana meski hanya untuk berbasa-basi.

"Emang pilihan yang tepat buat Radya cuti kuliah, tapi aneh banget liatnya, Ma, dia cuma manut-manut aja. Kayak udah nggak punya semangat hidup banget," komentar Risha yang tengah menuangkan es batu ke dalam gelas. Ia lantas mengembuskan napas berat. "Pasti sebenernya dia nggak mau dan pengen lulus tepat waktu bareng temen-temen seangkatannya."

"Yah, wajar saja, Sha. Dia masih trauma, mana bisa fokus sama hal lain. Masih punya pemikiran untuk menyelesaikan semester ini saja sudah bagus, yang berarti dia tidak mau menambah beban untuk dirinya sendiri di masa setelah cuti nanti," tukas Tante Diana, kemudian ia beralih pada Alsa yang kebetulan berada di tengah, diapit olehnya dan juga Risha. "Alsa, nanti selama Radya cuti, kamu sesekali main ke sini saja, temani dia biar tidak kesepian atau bosan karena tidak ada kegiatan. Tante sama Risha tinggal di Bandung sementara papanya tidak bisa sering temani dia, jadi hanya ada Bi Ajeng di sini. Punya teman bicara pasti bisa bantu Radya juga untuk menyembuhkan dirinya sendiri, apalagi kamu pacarnya."

"Betul, tuh," timpal Risha. "Tapi jangan dijadiin beban ya, Alsa? Lo ke sini kalau emang lo bener-bener ada waktu aja karena bukan tanggung jawab lo juga untuk bikin Radya pulih kayak sedia kala. Lo kasih support yang tulus aja udah lebih dari cukup buat dia."

Alsa memandang Risha dan Tante Diana secara bergantian--tentu harus sambil sedikit mendongak, sebelum ia mengangguk pelan-pelan. Sejatinya tanpa diminta pun ia tentu akan melakukan hal tersebut, hanya saja kini dirinya memperoleh dukungan penuh dari keluarga Radya sendiri. Di sisi lain, Alsa juga turut merasa terharu karena Tante Diana masih mau datang ke rumah ini hanya untuk anak laki-lakinya, kendati wanita itu sudah berpisah dengan Om Sandi. Dan, Alsa pun senang bisa bisa memiliki kesempatan bertemu dengannya secara langsung.

Suara percakapan di ruang tengah tahu-tahu sudah tak terdengar lagi, Om Sandi meninggalkan Radya di sana dan beranjak menuju ruang kerjanya di lantai dua. Saat itu, Tante Diana tiba-tiba saja memberikan secangkir teh manis hangat--yang entah kapan dibuatnya--pada Alsa.

"Kamu ke ruang tengah duluan aja ya, Alsa. Sisanya biar Tante sama Risha yang urus di sini," kata Tante Diana dengan lengkungan di bibir yang tampak begitu lembut. "Ini tolong kasih untuk Radya. Nanti minuman untuk kamu biar Risha yang bawakan, ya."

Alsa menerima cangkir tersebut, lantas mengangguk seraya balas tersenyum. Ia pun menarik napas dalam-dalam sebelum beranjak menemui Radya di ruang tengah.

Pemandangan pertama yang Alsa dapati ketika sampai adalah Radya yang tengah membenarkan posisi bantal sofa di belakang tubuh agar ia dapat menyandarkan bahunya yang luka dengan nyaman. Akan tetapi, ia tampak kesulitan karena hanya bisa menggunakan satu tangan. Alsa pun sedikit mempercepat langkah dan lekas membantu laki-laki itu usai menaruh cangkir teh di atas meja. Radya agak terkejut sebab kedatangan Alsa tak terdeteksi. Ia segera terdiam dan membiarkan Alsa memberi bantuan secara sukarela. Tatapannya pun kontan terkunci lekat pada sang gadis.

"Gini, udah pas?" tanya Alsa setelah menggeser-geser bantal sofa dan sedikit mengangkatnya pada posisi yang menurutnya tepat.

Radya mengangguk perlahan. Kedua ujung bibirnya tertarik membentuk senyum kecil. Lalu ia berkata, "Makasih."

Alsa hanya mengangguk, kemudian ia menempati ruang kosong di sebelah Radya tanpa melakukan apa pun setelahnya. Entah mengapa situasi jadi begitu canggung baginya, padahal tadi Alsa bahkan sudah dengan berani memeluk laki-laki itu dan menangis di hadapannya. Namun, tak lama setelah itu, vokal Radya akhirnya kembali terdengar.

"Cil," panggil laki-laki itu, yang membuat Alsa langsung menoleh dengan begitu cepat. Sementara Radya sama sekali tidak menatap sang lawan bicara. "Maaf, gue--"

"Bang," Alsa buru-buru menyela. Gadis itu seolah tahu apa yang akan Radya bicarakan, tetapi ia sungguh tidak ingin membahasnya sekarang juga. "Bisa nggak, ngobrolin itu nanti dulu?" pinta Alsa setengah memohon. Napasnya mendadak sesak. Kepedihan tampak dalam sorotnya. "Gue ... gue nyaris aja kehilangan lo, jadi gue nggak mau denger apa-apa dulu dari lo. Untuk sekarang gue cuma pengen bersyukur banyak-banyak karena itu nggak beneran terjadi."

Radya menoleh, lalu ia seketika saja tertegun. Ingin memahami keadaan gadis itu saat ini, tak ada yang dapat Radya lakukan selain menurutinya saja. Ia lantas mengangguk, tetapi bibirnya kembali berkata, "Tapi, gue--"

"Gue nggak mau denger apa-apa dulu dibilangin," sela Alsa dengan galak.

Sesaat Radya hanya geming dengan tawa yang tertahan di tenggorokannya. "Padahal, gue cuma mau bilang kalau gue kangen banget sama lo. Masih nggak mau denger?"

Kedua mata Alsa sontak saja membulat seiring dengan rasa panas yang menjalari wajah. Alsa sungguh tak habis pikir, dalam situasi seperti ini laki-laki itu tetap saja tak lupa bagaimana cara membuat ratusan kupu-kupu mengepakkan sayap secara bersamaan dalam perutnya.

Ya Tuhan, bolehkah Alsa melupakan saja apa-apa yang telah lalu dan hanya berfokus pada keadaan saat ini?

📷

cuma mau bilang kalo bentar lagi cerita ini bakal tamat hehehe.

bandung, 18 juli 2023

Continue Reading

You'll Also Like

7.4K 1.1K 24
Katanya kalau kita membuat seribu bangau, harapan kita akan terkabul. Campus Life | Romance Written on : 01 January-01 May 2023 ยฉDkatriana
2.6M 39.6K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
Oh La La Laa By -

General Fiction

541K 45.7K 77
Goddess series #1 ------------------------------ Please allow me Into your reality I'll approach you, so hold on to me.. Written in bahasa Start : J...
93.6K 9.1K 46
Natasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan be...