Cinta yang Sederhana

By teru_teru_bozu

188K 23.4K 1.9K

Bukan tentang siapa yang kita kenal paling lama, Yang datang pertama, atau yang paling perhatian. Tapi tentan... More

Pada Sebuah Kisah
Cinta yang Sederhana
satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Cinta Yang Sederhana
Menjelang Pre Order Cinta Yang Sederhana
Open Pre Order Cinta Yang Sederhana

Sepuluh

4.2K 1K 71
By teru_teru_bozu

"Masih menghindari nasi, Je?" tanya Cakra saat mereka sudah berada dalam mobil yang meluncur meninggalkan kawasan kantor.

"Masihlah, Pak," sahut Jerini santai. "Saya baru cheating kalau weekend."

"Ini kamu mau saya traktir. Masih nggak mau cheating?"

Jerini menggeleng sambil tertawa. Try me and I reject. "Jangankan Pak Cakra yang cuma traktir saya. Saya dikasih beras zakat fitrah juga saya tolak, Pak."

Kali ini Cakra tertawa keras sekali. Jerini sampai kaget karena tidak menyangka kalau suara pria di sampingnya ini empuk luar dalam. Empuk saat sengak, empuk pula waktu ngakak. Suaramu juara, Bos!

"Janda kayaknya nggak masuk golongan penerima zakat, Je. Kecuali janda miskin, kayak ibu saya dulu. Ada-ada saja kamu," kata Cakra masih sambil tertawa. "Bentar lagi kita sampai ke pertigaan. Tentukan pilihan kamu, mau makan apa. Kita ke kiri apa ke kanan."

"Jadi saya beneran boleh milih mau makan apa? Wah, terima kasih," seru Jerini.

"Kan buat rayain kebebasan kamu, Je. Kamu pilih sendirilah mau makan apa."

"Oke, sip!" Jerini mengacungkan jempol penuh semangat. "Emang Bima tadi disuruh pergi ke mana sih, Pak?"

"Ketemu salah satu calon klien Pak Rahardja di Hotel Floris."

"Berarti kita ke kiri aja, Pak. Makan lontong balap yang nggak jauh dari situ."

"Oke," Cakra tersenyum dan segera berpindah jalur ke sisi kiri. "Telepon Bima, kabarin ke mana dia bisa join. Siapa tahu dia bisa ikutan."

"Dengan catatan dia tidak keburu ditawari makan siang sama klien," kata Jerini sambil mulai memencet-mencet HP-nya.

"Kalau saya jadi Bima sih, mending menolak tawaran makan siang. Selain itu orang belum tentu jadi klien kita, selera dia buruk."

"Kok tahu?" tanya Jerini sambil menunggu Bima menerima panggilannya.

"Karena menginap di Hotel Floris. Fasilitasnya jelek dan makanan di restorannya tidak enak. Padahal banyak hotel di sekitar situ yang lebih bagus dengan harga yang sama. Kenapa itu orang pilih Floris?"

Bima menjawab teleponnya. Dan sesuai dugaan Cakra, Bima menerima ajakannya meskipun mungkin agak telat gabung.

"Mungkin orang itu, si calon klien, nggak tahu, Pak. Bukan karena seleranya yang buruk," Jerini menanggapi statement Cakra setelah menutup obrolan dengan Bima. "Sekarang ini banyak banget aplikasi yang asal kasih rekomendasi—"

"Dia orang bisnis, Je," potong Cakra luwes. "Dalam bisnis setiap keputusan itu harus dipikir matang. Karena pebisnis itu orang yang memiliki DNA yang beda dari orang kebanyakan. Mereka unik dan sangat spesifik. Untuk urusan memilih tempat menginap contohnya. Ada banyak jalan untuk mengetahui informasi tentang sesuatu dan tidak hanya mengandalkan informasi dari aplikasi. Kalau orang ini berniat kerja sama dengan Rahardja Industrial Estate, dapat dipastikan dia mengerti soal properti."

Jerini manggut-manggut meskipun tidak bisa sepenuhnya sependapat dengan Cakra. "Bisa jadi orang itu memang sedang menjajagi Hotel Floris juga, Pak. Semacam sekali jalan dapet dua peluang. Floris iya, Rahardja Estate juga iya."

"Excatly. Saya bisa mengerti kalau kasusnya begitu," kata Cakra. "Dan kalau benar itu yang terjadi, maka hampir bisa dipastikan dia nggak bakal jadi klien kita. Strategi bisnis Rahardja berbeda 180 derajat dengan jaringan Floris. Pak Rahardja nggak bakal suka itu. Makanya masuk akal kenapa Pak Rahardja cuma minta saya kirim staf, bukan saya atau beliau untuk bertemu secara langsung."

"Oalah, begitu? Pantesan!" Jerini manggut-manggut.

Tapi pusing banget ngikutin cara pikir orang-orang kayak begini. Perkara pilihan tempat menginap saja bisa menimbulkan persepsi yang jauh berbeda.

Jerini jadi bertanya-tanya, apakah Cakra juga selalu analitis begini untuk segala hal? Apakah setiap tindakan yang dia lakukan selalu dilandasi maksud serta alasan tertentu? Demi kepentingan tertentu juga? Kalau iya, apa alasan serta maksud Cakra yang terkesan sangat membantu Jerini terkait perceraiannya? Mulai dari merekomendasikan pengacara, memudahkan proses pindah divisi, hingga merayakan terkabulnya gugatan perceraiannya.

Beberapa kali Cakra memang menceritakan tentang ibunya yang tidak berhasil cerai hingga meninggal. Hanya saja bagi Jerini, semua ini terasa absurd meskipun wanita itu berkali-kali meyakinkan diri kalau semua yang dilakukan Cakra hanyalah karena kebetulan pria itu tahu. Dan pria itu tidak ingin Jerini bernasib seperti almarhumah ibunya.

Kalau memang Cakra punya tendensi khusus, memang apa yang bisa aku lakukan? Lagian hal ini sangat tidak masuk akal. Tidak ada keuntungan apa pun yang bisa Cakra dapatkan dari memanfaatkan janda seperti aku. Di saat dia memiliki banyak pilihan dari perempuan lain yang jauh lebih baik, dan ngefans berat kepadanya. Dibanding mereka, aku cuma wanita putus asa yang sudah tidak punya harapan serta keinginan untuk berpasangan lagi.

Dengan sudut matanya Jerini melirik pria yang duduk di belakang setir. Dan berusaha tidak tertawa karena menghubungkan ocehan Mbak Ratna tentang Xenia yang sekarang mereka naiki, dengan statement Cakra yang bagi Jerini telah mengungkap salah satu karakter dasar pria itu. Bahwa pasti ada alasan di balik keputusan Cakra kenapa di sini dia pilih Xenia, dan kenapa Land Cruiser dipakai di Jakarta.

"Di depan macet banget kayaknya, Je," kata Cakra memberi tahu.

"Nggak apa-apa, Pak. Biar lapernya pol, jadi nanti makannya enak banget."

"Apa laper pol bakal bikin kamu cheating dari diet?" canda Cakra. Canda ringan yang tak biasa.

Kali ini tawa Jerini meledak. "Saya nanti pesan pakai lontong separuh porsi, Pak. Dan itu sudah pelanggaran terberat bagi disiplin yang saya terapkan ke diri sendiri."

"Padahal waktu business trip kamu makannya normal."

Dia tahu! Dia nggak secuek yang dia tampakkan!

Boleh nggak Jerini tepuk tangan? Tapi tepuk tangan buat apa? Karena pasti ntar Cakra bakal beralasan kalau hal seperti ini akibat terlalu sering makan bareng. Jadi otomatis hafal. Bukan hal yang sitimewa.

"Nggak mungkin lah saya diet pas business trip, Pak. Sebab kalau ada apa-apa ntar saya jadi ngerepotin orang lain. Ngerepotin tuan rumah. Ngerepotin Pak Cakra juga. Makanya saya pilih makan normal biar tetap kuat kerja sampai lembur. Belum lagi kalau harus jalan ke mana-mana buat cek properti. Perkara timbangan bakal naik, amanlah itu. Saya bisa tambahi porsi olah raga di rumah. Saya juga masih bisa diet lagi."

"I see ...." Cakra terlihat penuh konsentrasi saat mobil di depan bergerak perlahan. "Macetnya terlalu parah. Kita lewat jalan tikus aja, Je."

Sebelum Jerini paham apa maksudnya, entah bagaimana caranya Cakra dengan lincah membawa kendaraannya menyelip di antara mobil-mobil lain yang berbaris itu. Lalu dengan beberapa manuver pria itu telah berhasil menghindari kemacetan jalan raya menuju ke sebuah jalan kampung yang sempit. Beberapa kali dia membawa mobilnya meliuk-liuk menghindari para pengendara motor serta pedagang gerobak yang memenuhi jalan, hingga mereka tiba di sebuah jalan perumahan yang jauh lebih lega.

"Wow!" ucap Jerini tanpa sadar.

"Jalan ini memang agak memutar. Tapi dijamin lebih lancar," kata Cakra kalem.

"Ini keren, Pak," puji Jerini tulus.

Terus terang Jerini menikmati aktivitas berkendaraan seperti ini. Kemewahan yang sejak dua tahun terakhir sudah tidak pernah lagi dia nikmati. Dulu dia sering meminta Gandhi mengantarnya bermobil ke satu tempat. Hanya bermobil saja, menikmati jalan raya maupun perkampungan. Pemandangan yang membuat pikirannya menjadi lebih fresh daripada hanya berkutat di rumah.

Setelah berpisah, Jerini kehilangan moment ini karena dia hampir tidak pernah ke mana-mana. Selain melakukan perjalanan bisnis bersama Cakra tentu saja. Namun hal itu sama sekali tidak bisa dijadikan bandingan. Memang, kata orang kalau tidak ada pasangan yang mengantar ke mana-mana, taksi onlinesangat bisa dijadikan pengganti. Ada benarnya meskipun tidak tepat 100%. Karena perasaan yang ditimbulkan saat disopiri pasangan tidak bisa digantikan oleh driver taksi.

Namun disopiri orang yang dikenal seperti saat ini, ternyata tidak buruk juga. Justru sebaliknya, sangat menyenangkan. Jerini jadi berpikir untuk kembali membeli mobil. Dan mungkin pelan-pelan dia sudah harus belajar menikmati hobi jalan-jalan ini sendirian. Karena hanya ini satu-satunya cara bagi Jerini yang tidak ingin menunggu pria mana pun untuk datang dan mampir dalam hidupnya, serta membantunya melakukan kegiatan seperti ini lagi. Fase berpasangan sudah selesai baginya.

Iya, Jerini memang sudah menutup hati untuk kemungkinan adanya romansa baru dalam hidupnya. Sudah cukuplah kegagalan ini sebagai pengingat untuk tidak coba-coba mengulang lagi.

Setelah berpisah dengan Gandhi dan tinggal di Surabaya, Jerini pelan-pelan mulai memahami arti kehilangan hal-hal kecil yang selama ini tanpa sadar dia nikmati saat masih berstatus istri. Dulu, karena secara karier dia lebih bagus, secara keuangan dia lebih stabil, bahkan Jerini sering merasa dirinya JAUH LEBIH BAIK secara karakter dibanding Gandhi, membuatnya banyak meremehkan sang suami. Meskipun sepertinya hal itu dia lakukan tanpa sengaja.

"Ya udah, aku nggak perlu kamu kasih bagian dari gajimu. Pakai aja sebagian buat kebutuhan pribadimu, dan sebagian lagi kasih ke ibumu. Kan emang keluargamu bermasalah banget finansialnya. Kalau aku mah, gampang. Duitku cukup. Gaji dan bonus juga lebih lumayan. Orangtuaku masih mampu banget, jadi nggak perlu ngerepotin anak."

Begitulah ucapannya dulu pada Gandhi. Jerini sama sekali tidak bermaksud menghina, dan menganggapnya sebagai fakta yang harus sama-sama mereka terima. Gandhi anak pertama, dengan tiga adik yang masih membutuhkan banyak biaya serta sangat bergantung pada kakaknya. Mereka bahkan seperti sudah punya jadwal rutin untuk meminta uang setiap Gandhi habis gajian. Belum lagi ibunya yang sering bicara secara tersirat tentang mahalnya harga beras dan bahan pokok. Serta biaya ini itu yang harus dibayar, dan kebutuhan hidup yang tidak cukup hanya dengan mengandalkan uang pensiunan almarhum ayah mereka.

Saat itu Jerini merasa sudah sangat berjasa dengan tidak merecoki pendapatan Gandhi karena dia merasa dirinya sangat mampu. Bahkan beberapa kali dia juga yang menyumbang untuk beberapa kebutuhan keluarga suaminya. Gandhi yang seperti keberatan, dia anggap hanya karena malu. Padahal butuh. Jadi Jerini mengabaikannya.

Bahkan saat membeli rumah, mereka sempat ribut karena Gandhi maunya pakai KPR biar dia bisa patungan. "Biar aku juga punya sesuatu, Rin. Emang sih kalau beli cash aku nggak bisa. Tapi kalau nyicil aku bisa usahakan dengan cari-cari tambahan gitu."

"Ngapain sih pakai KPR segala? Repot banget, tahu? Iya kalau kamu bisa konsisten nyicil. Selama ini belum habis bulan kamu udah nggak pegang duit. Kalau perkiraan kita meleset, ntar ujung-ujungnya aku juga yang boncos ke mana-mana. Tahu sendiri kan, beli lewat KPR bunganya gila. Mending beli cash ajalah. Duitku ada kok meskipun kurang. Ntar aku minta bantuan ayah aja, Mas. Beliau nggak keberatan buat nambahin beberapa ratus juta lagi."

Jerini memang tidak menyesali keputusan itu. Bahkan sampai bulan lalu dia sangat puas karena saat berpisah, Gandhi tidak bisa menyentuh harta benda miliknya. Juga puas melihat Gandhi seolah tak berdaya karena tidak punya akses ke rumah itu.

Namun akhir-akhir ini dia mulai meragukan keputusannya. Dan bertanya-tanya, apakah kalau dia mengambil keputusan yang berbeda, maka nasib pernikahannya juga berbeda? Apakah Gandhi akan lebih semangat cari rezeki kalau dia mau berbagi beban dengan pria itu? Apakah salah satu faktor kegagalan pernikahannya karena dia berkeras menanggung semua beban finansial sendirian, karena merasa sangat mampu dan tidak butuh uang Gandhi? Dan apakah kalau situasinya berbeda, Gandhi juga akan setia, sehingga mereka masih bisa bersama sampai sekarang?

***

Tempat makan yang mereka tuju sudah mulai ramai saat mereka tiba. Seperti kata Cakra, melalui jalur alternatif memang lebih lancar. Namun juga lebih jauh. Kalau dihitung waktu secara akumulatif, sama saja. Lama. Hanya saja less stress karena terhindar dari jebakan macet, serta memberi tambahan travel experiencekarena melalui jalur yang belum pernah dia tahu sebelumnya.

"Bima saya pesenin sekalian aja, Pak," kata Jerini. "Biar dia datang tinggal makan."

"Oke," Cakra menyerahkan lembar menu yang dipegangnya. "Saya juga, pesenin menu yang sama aja. Menu standar sini dengan porsi normal karena saya nggak sedang diet."

"Iya, iya. Ngomongin diet nggak usah ngegas gitulah," kata Jerini sambil tertawa.

Kebiasaan lama memang susah hilang. Dalam setiap kesempatan makan bertiga, Jerini hampir selalu mengambil peran untuk memesankan makanan bagi kedua koleganya ini. Terbukti meskipun sudah pisah ruangan selama lebih dari satu bulan, hukum alam ini tetap berlaku.

"Kalau urusan perceraian kamu sudah beres begini, apa kamu berencana untuk menetap di Surabaya sini, Je?" tanya Cakra setelah minuman mereka dihidangkan.

Panasnya Surabaya di waktu siang membuat gelas berisi es jeruk yang berembun terlihat begitu menggiurkan. Dan Jerini meneguknya dengan puas untuk melepas dahaga sebelum menjawab pertanyaan Cakra.

"Saya malah belum mikir, Pak," ucap Jerini sambil membantu pelayan restoran yang menyajikan pesanan mereka. "Ini sate kerangnya saya pesan agak banyakan karena Bima biasanya doyang banget."

"Kamu pasti cuma nyicip doang."

"Satu dua tusuk masih oke kok, Pak. Saya nggak bisa banyak-banyak makan kerang karena kolesterolnya tinggi. Kedua orangtua saya punya riwayat penyakit itu. Meskipun katanya bukan bersifat genetis, tapi kan nggak ada salahnya berjaga-jaga," kata Jerini sambil menyendok makanan di piringnya. Tumpukan taoge dengan kuah bening yang gurih ini sungguh menggugah selera. "Hidup sendiri berarti saya harus pintar jaga diri. Kalau sakit, repot. Merana yang iya karena nggak punya siapa-siapa."

"Saya tahu rasanya, Je," sahut Cakra sambil mengikuti jejak Jerini menikmati lontong balapnya.

Sebenarnya restoran ini tidak termasuk tempat makan yang direkomendasikan untuk menikmati hidangan khas Surabaya tersebut. Mereka memilih di sini karena faktor kebersihan dan tak keberatan dengan harga yang termasuk lebih tinggi dari tempat lain sejenis. Sedangkan untuk urusan rasa, baik Jerini, Cakra, maupun Bima, sepakat kalau faktor ini masih bisa ditolerir.

"Jadi gimana untuk rencana menetap, Je?"

Entah karena mereka cuma berdua, atau faktor hidangannya yang muncul pas di waktu sedang lapar-laparnya, Jerini merasa Cakra agak banyak bicara.

"Baru juga satu jam yang lalu baca pesan Pak Ardian, Pak. Belum kepikir rencana apa pun. Masih syok aja karena sekarang saya sudah bebas dari ikatan pernikahan yang nggak jelas dengan Gandhi. Mungkin saya baru bisa mikir serius nanti, kalau kontrakan saya sudah habis. Sekarang masih ada sisa waktu enam bulan lagi." Jerini memandang pria yang duduk di seberangnya.

"Kalau Pak Cakra? Memang mau menetap juga di sini?" Jerini sengaja menanyakan hal yang pribadi begini untuk membalas pertanyaan Cakra. Dan dia harus jawab dong! "Soalnya kan, Pak Cakra orang baru di sini."

"Saya orang baru setok lama, kok. Saya ikut Ibu yang seumur hidup tinggal di Surabaya. Lahir dan besar di sini juga."

"Oh—"

"Saya juga baru keluar Surabaya karena kuliah di Depok. Lalu lanjut kerja di Jakarta. Baru dua tahun lalu juga saya balik karena Ibu sakit—"

"Dan akhirnya dapet kerjaan di sini, kan?" potong Jerinu karena sudah tahu kisah selanjutnya.

"Salah satunya," Cakra mengangguk dengan ekspresi serius. "Waktu itu saya benar-benar nggak kepikir rencana apa pun. Mungkin kayak kamu sekarang. Saya bahkan nggak tahu mau ngapain setelah Ibu nggak ada. Lalu Pak Rahardja nawarin posisi di perusahaannya ini."

"Kayaknya kita sama-sama terdampar di sini tanpa sengaja deh, Pak," Jerini menyimpulkan. "Dua tahun lalu, saya nggak peduli mau dimutasi ke mana. Waktu itu saya cuma pengin segera angkat kaki dari Jakarta karena nggak mau ketemu Gandhi."

"Kalau dipikir-pikir, sebenarnya banyak kesamaan antara saya sama kamu, Je."

Jerini mengangguk. Mereka mirip dua orang yang sedang tersesat yang sedang menjalani satu takdir tanpa berpikir setelah ini mau apa.

"Hei!" Bima tahu-tahu muncul.

"Lho, Bima? Udah nyampe aja. Kirain masih lama. Cepet juga, kamu," sahut Jerini karena sadar kalau bagian beramah-tamah adalah tugasnya. Dan jangan pernah berharap pada Cakra untuk menghidupkan suasana.

"Iyalah, ngojek. Makanya cepet," Bima mengempaskan diri di sebelah Jerini. "Nih, lihat mukaku udah merah item kepanggang matahari. Tinggal dikecapin atau digeprek aja, siap dituang sambel."

Jerini tertawa. "Tuh, udah aku pesenin sekalian!"

"Sip!" Bima menyeringai puas dan segera meraih gelas minumannya serta menenggaknya tanpa basa-basi. "Kalian dalam rangka apa sih ini? Tumben makan berdua?"

"Tumben gimana? Bukannya sering—"

"Enggak gitu, Nya!" Bima sering memanggil Jerini "Nyonya" seolah untuk menyadarkan wanita itu akan statusnya. "Sekarang kamu lho, siapanya Pak Cakra? Siapanya aku? Kita udah pisah ruangan, by the way."

"Aku mantan staf, remember?" sahut Jerini sambil menoleh pada Cakra. Dan dia maklum melihat mantan bosnya memilih untuk tidak terlibat obrolan tak berguna bersama Bima.

Namun sikap Bima barusan membuat Jerini ingat pada tatapan Dewi saat dia datang tadi. Apakah wanita itu juga menganggap kalau Jerini sudah tidak berhak berhubungan dengan Cakra dan timnya? Karena sudah bukan staf lagi? Duile! Cupet amat mikirnya.

"Lagian kita juga bukan cuma makan berdua, Bim. Emang kamu nggak mau dihitung? Kenapa? Karena kamu hidup di alam yang berbeda gitu? Alam barzakh?"

"Emangnya aku mayat?" Bima mulai menyuap lontong balapnya. "Tapi serius deh, dari jauh kalian hari ini kelihatan beda."

"Beda apanya?" Lagi-lagi Jerini yang berinisiatif menghidupkan obrolan karena Cakra memilih makan dalam diam.

"Kalian kayak pasangan," sahut Bima ngasal. "Makanya tadi aku sempat ragu mau mendekat dan gabung. Vibes-nya private banget, gila."

"Terus kenapa kamu join juga?" cibir Jerini.

"Karena aku laper berat. Dan aku lihat di meja ada tiga porsi. Sayang kan, kalau nggak ada yang makan? Karena aku yakin kamu lagi diet yang nggak penting itu, Rin. Dan Pak Cakra nggak mungkin mau makan porsi dobel. Ya kan, Pak?" Bima mengedip ke arah Cakra yang hanya membalas tatapannya dengan datar. "Jadi ya, aku gabung aja."

"Kamu ngomong begini kalau didengar orang bisa bikin salah paham, Bima," tegur Jerini.

"Tenang, aku terpercaya kok," kata Bima meyakinkan. "Tapi seneng lihat kalian berdua bisa rileks begini."

"Ya iyalah! Kita lagi makan, makanya rileks. Kalau berantem, baru tegang," omel Jerini.

"Hebat banget kamu, Rin, kalau sampai bisa berantem sama Pak Cakra," Bima nyengir lebar. "Kalian berdua tuh cocok banget lho, sebagai tim kerja."

"Hm ...," Jerini memikirkan pendapat Bima. Lalu tanpa sadar tatapannya tertuju pada Cakra yang sedari tadi tenang sekali. Namun kali ini dia mendapati pria itu sedang mengawasinya dengan tatapannya yang tajam.

Bila awalnya Jerini mengira ajakan Cakra untuk merayakan perceraiannya ini hanya sebagai alasan agar dia bisa keluar dari kantor, seperti kebiasaan pria itu ketika suntuk, sekarang wanita itu harus merevisi pendapatnya. Karena makan siang bertiga kali ini sungguh terasa manfaatnya. Mereka bahkan tidak peduli saat kembali ke kantor 30 menit lebih lambat dari jam istirahat. Ekspresi di wajah mereka bertiga dengan jelas menunjukkan bagaimana perut kenyang dan obrolan santai telah membuat perasaan mereka jauh lebih baik.

Mungkin karena sekarang posisi Cakra dan Bima sudah bukan lagi sebagai atasan yang harus selalu dilayani atau teman kerja yang setiap saat menuntut kompromi agar stabilitas tim tetap terjaga. Karena sekarang, bagi Jerini, Cakra dan Bima sudah menjadi orang biasa tanpa ikatan profesi. Menjadi hanya sekadar teman makan, teman jalan, atau teman ngobrol.

Dan perubahan status itu memberi efek yang sangat berbeda.

***

Sore itu adalah satu dari sedikit momen langka ketika Jerini bisa meninggalkan kantor tepat waktu. Saat dia berjalan menuju lobi untuk memesan ojek online yang akan mengantarnya pulang, Mas Budi dari Bagian Perlengkapan melintas. Pria itu sudah mengenakan jaket dengan tas selempang ala bapak-bapak yang ikonik tersampir di bahunya.

"Mau pulang, Rin?" tanyanya ramah.

"Iya, Mas. Ini mau pesan ojek." Jerini tersenyum sambil menghampiri salah satu senior yang sudah dia kenal dengan sangat akrab itu.

"Mau bareng?" Mas Budi menawari.

Mas Budi bersama anak istrinya tinggal di kontrakan dekat rumah Jerini. Bahkan dulu Jerini mendapatkan tempat itu juga atas bantuan Mas Budi. Tidak heran kalau Jerini bersahabat dengan keluarga kecil itu sampai sekarang. Bahkan Jerini sering membawa Menik, anak Mas Budi, ke rumah kontrakannya.

"Nggak ngerepotin, Mas?"

"Ora. Sekalian, mumpung ketemu," kata Mas Budi. "Awakmu iki koyok ngomong karo wong liya ae –kamu ini kayak bicara sama orang asing—, Rin."

"Oke," Jerini tersenyum. "Tapi aku bareng sampai rumah sampeyan saja yo, Mas. Aku mau ketemu Mbak Anggi. Dan sudah lama juga aku nggak dolan sama Menik."

Kawasan rumah tinggal mereka memang tidak terlalu jauh dari kantor. Sehingga bisa ditempuh dalam waktu singkat saja. Saat duduk menyamping di boncengan motor Mas Budi, tebersit di pikira Jerini untuk mencari hunian baru. Bukan berarti tinggal di kontrakan tidak nyaman. Karena selain memiliki tetangga kayak keluarga Mas Budi, harga sewanya juga sangat murah. Salah satu yang menjadi bahan pertimbangan Jerini saat memutuskan tinggal di sana hanya karena tempat itu cocok untuk tempat tinggal sementara. Dia yakin tidak akan lama berada di Surabaya karena mau tidak mau harus segera memutuskan pernikahannya akan dibawa ke mana.

Sekarang kondisi berbeda. Pertanyaan Cakra tadi siang membuatnya mulai berpikir mau bagaimana menjalani hidup. Dan sepertinya sudah saatnya dia mulai menerapkan standar hidup sesuai dengan kenyamanan yang bisa dia wujudkan. Jerini pikir dia bisa mulai mencari informasi apartemen yang berada di kawasan ini agar dekat dengan tempat kerja. Tentu dengan harga sewa yang mampu dijangkaunya.

Kamu janda yang hidup sendiri, Je. Hidupmu menjadi tanggung jawabmu.

Tanpa mampu dicegah, Jerini jadi semakin penasaran tentang bagaimana Cakra menjalani hidupnya.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 118K 55
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
390K 47.8K 57
TAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Jatuh hati sendiri: check! Patah hati sendiri: double check! Status hubungan dengan A...
551K 46.2K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...
1.3M 69.9K 58
Takdir itu emang kocak. Perasaan cerita tentang perjodohan itu hanya ada di film atau novel, tapi sekarang apa? Cecilia Janelle terjebak dalam sebuah...