Cinta yang Sederhana

By teru_teru_bozu

188K 23.4K 1.9K

Bukan tentang siapa yang kita kenal paling lama, Yang datang pertama, atau yang paling perhatian. Tapi tentan... More

Pada Sebuah Kisah
Cinta yang Sederhana
satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Cinta Yang Sederhana
Menjelang Pre Order Cinta Yang Sederhana
Open Pre Order Cinta Yang Sederhana

Sembilan

4.4K 1K 129
By teru_teru_bozu

Ada beberapa alasan yang membuat Cakra merekomendasi Jerini ke marketing. Pertama karena Jerini berasal dari divisi itu sebelum menjadi stafnya. Kedua karena sekarang divisi tersebut dipegang oleh wanita senior yang dalam penilaian Cakra cukup bagus dan berwawasan luas. Karena marketing memang harus dipegang oleh orang yang gesit dalam mengikuti tren pasar dan bisa memahami konsumen dengan baik. Dan Bu Ida adalah orang yang tepat. Kualitas seperti Bu Ida inilah yang Cakra harapkan dari seorang kolega. Sehingga kalau nanti dia akan menyampaikan alasan tentang status Jerini yang sebentar lagi menjanda, dia berharap hal itu bisa ditanggapi secara objektif.

Cakra memahami kemampuannya sebagai moderate risk taker. Dia menilai langkah impulsive-nya saat menawari Jerini pindah divisi adalah sebuah tindakan masuk akal. Nilainya tidak jauh berbeda dengan adviceyang dia berikan secara spontan kepada para klien bisnisnya. Karena urusan Jerini dia posisikan sebagai urusan bisnis, maka dia tidak perlu khawatir karena dirinya cukup percaya diri kalau memiliki kemampuan mumpuni di bidang ini.

Memang benar, motivasi Cakra membantu Jerini agak bias karena terpicu oleh sentimen pribadi. Namun selama dalam koridor profesional yang tepat dan tidak merugikan siapa-siapa, kenapa tidak? Sebagai seorang anak yang dibesarkan oleh single parent, Cakra memang berempati dengan kondisi Jerini. Meskipun kondisi ibunya sedikit berbeda dengan stafnya. Dalam kasus ibunya, secara de facto beliau adalah seorang janda. Namun secara de jure beliau masih berstatus istri sah dari Naufal Maulana Ibrahim, ayah biologisnya.

Sejak kecil Cakra sudah kenyang melihat bagaimana ibunya difitnah dan dicerca karena statusnya yang dianggap tidak jelas. Dan juga menjadi sasaran empuk para perempuan pecemburu yang tidak rela suaminya sedikit memberi kebaikan atau perhatian kepada ibunya maupun Cakra. Seolah memberi uang receh yang tak seberapa itu merupakan indikasi kalau sang suami terpikat janda. Wanita dengan segala drama yang menyertai kehidupan mereka! Sudah terbukti sejak lama kalau status janda sangat tidak bersahabat bagi penyandang status itu dan anak-anaknya.

"Ada apa, Mas cakra? Kok tumben telepon saya?" sapa Bu Ida begitu mereka terhubung. "Apa udah bosen dikagumi cewek-cewek muda kinyis-kinyis, dan pengin nyobain saya yang udah emak-emak estewe –setengah tuwa—ini?" tanya wanita itu dengan nada bercanda.

Cakra tertawa kecil. "Ada keperluan, Bu."

"Jiah!" seru Bu Ida kecewa. "Saya sudah bermanis-manis gini, Mas Cakra lempeng-lempeng aja seperti biasa. Kecewa dong, saya."

Lagi-lagi Cakra tertawa kecil. "Maaf, Bu," katanya dengan sopan pada wanita senior itu.

Andai bisa pasti dia akan membalas gurauan Bu Ida dengan sama ramahnya. Sayangnya Cakra merasa dirinya terlalu membosankan untuk menanggapi obrolan dengan cara yang menyenangkan. Karena perbincangan bukannya jadi enak, malah aneh. Makanya selama ini dia selalu berusaha mempersingkat pembicaraan dan meminimalisir hal-hal tidak penting agar lawan bicaranya tidak tersiksa dengan kebosanan.

"Ini tentang salah satu staf saya yang sebelumnya saya rekrut dari bagian marketing. Jerini Lukmantari—"

"Ah, Mbak Rini. Kenapa emang?" Bu Ida langsung tanggap meskipun Jerini belum pernah menjadi salah satu stafnya.

"Dia mengajukan keberatan karena terlalu sering melakukan perjalanan bisnis bersama saya."

"Kenapa baru sekarang keberatan?" tanya Bu Ida lugas. "I mean, dia udah sering jalan bareng Mas Cakra. Udah kemana-mana berdua. Kalau keberatan normalnya sih sejak awal, ya. It seems inconsistent to me."

Cakra mengerjap. Women! Bahkan orang sebijak Bu Ida pun bisa berkomentar demikian. Cakra jadi paham kenapa Jerini mengambil sikap begini.

"Dia punya alasan pribadi yang bikin saya menawarkan untuk kembali ke posisi marketing karena ada Bu Ida. Juga karena staf Bu Ida mayoritas perempuan."

"Gender issue?"

"Lebih tepat disebut personal issue. Dan sama sekali tidak berkaitan dengan kualitas pekerjaannya. She's good."

"Soal itu saya juga nggak ragu, Mas Cakra. Saya banyak dengar cerita tentang dia juga. Bahkan ada beberapa staf saya di sini yang menyayangkan kenapa dia pindah menjadi staf Mas Cakra. Jerini memang sebagus itu kok."

Bu Ida juga bagus, karena berbicara secara objektif. Semoga setelah Cakra menyampaikan fakta berikut, wanita itu masih tetap objektif.

"Jadi apa masalah Jerini, Mas? Saya perlu tahu sebagai bahan pertimbangan pribadi sih. Bukan yang gimana-gimana. Karena alasan Jerini akan mempengaruhi motivasi dia dalam bekerja dan saya butuh faktor itu."

"Meskipun personal issue, menurut saya alasan Jerini masuk akal karena murni dipicu oleh faktor eksternal yang mungkin akan terjadi terkait dengan statusnya yang sedang dalam proses menjadi janda."

"I see—"

Bu Ida sepertinya memahami. "Jerini menyampaikan kekhawatirannya terkait omongan negatif orang-orang di sini bila dia masih sering melakukan perjalanan bisnis bareng saya."

"Masuk akal," sahut Bu Ida. "Kalau begitu, saya cek dulu formasi staf marketing dan saya kabarkan secepatnya. Tunggu dua atau tiga menit. Oke?"

Sesuai waktu yang dijanjikan, Bu Ida menghubungi Cakra tak lama kemudian. "Bilang aja sama Jerini kalau saya tidak keberatan menerima dia kembali ke marketing. Nanti saya akan bicara langsung sama dia."

Cakra belum lama menutup obrolan dengan Bu Ida ketika terdengar pintunya diketuk. Saat melirik jam tangannya, pria itu tahu kalau Jerini yang datang. Tepat waktu seperti biasa. "Masuk!"

Benar, Jerini lah yang muncul. Salah satu hal yang banyak membantunya dalam bekerja adalah karena wanita itu tidak perlu perintah dua kali. Saat dia mengatakan sepuluh menit, maka sepuluh menit pula Jerini akan menuruti ucapannya tanpa ragu maupun bertanya lagi. Seperti kali ini.

"Saya sudah bicara dengan Bu Ida," kata Cakra sambil mempersilakan Jerini duduk di kursi yang berada di seberang mejanya. Detik berikutnya Cakra pun memaparkan kondisi yang baru disampaikan oleh bagian marketing.

"Karena saya belum menghubungi bagian SDM untuk staf pengganti di sini, meskipun kamu sudah dealdengan Bu Ida, kamu baru bisa pindah setelah saya mendapat kepastian siapa pengganti kamu di sini."

"Baik, Pak." Senyum Jerini melebar. Dan wanita itu mengucapkan terima kasih dengan tulus.

"Jadi, sudah ada kabar dari Ardian?"

Ekspresi terkejut di wajah Jerini memvalidasi dugaan Cakra kalau wanita itu tidak menduga dia akan bertanya demikian. Sebagaimana Cakra yang juga terkejut oleh apa yang dia ucapkan sendiri.

"Uhm ... alhamdulillah baik—"

"Prosesnya tidak ada hambatan kan?"

Sekalian. Cara terbaik untuk memperbaiki kecanggungan yang tak disengaja adalah terjun langsung dalam permaian kata yang sudah dia mulai sebelumnya.

"Jangan salah paham, Je. Saya bertanya karena saya yang mengenalkan kalian berdua. Jadi saya semacam punya tanggung jawab untuk memastikan teman saya bisa beneran bantu kamu."

"Oh," Jerini gelagapan. "Iya, Pak. Seperti saya bilang tadi. Alhamdulillah semua baik. Gandhi ... ehm ... karena Pak Cakra nanya, jadi saya jawab sekalian. Menurut Pak Ardian, Gandhi memutuskan untuk tidak hadir memenuhi undangan pada mediasi pertama. Selanjutnya, masih menurut Pak Ardian, semua tinggal menunggu proses dan beliau janji tak lama lagi putusan akan dibacakan."

"Dari sisi kamu, nggak akan berubah pikiran, kan?"

Jerini terkejut. "Oh, tidak, Pak!" serunya. "Pasti tidak. Buat apa?"

"Good," ucap Cakra sambil mengangguk meskipun mulutnya gatal ingin bertanya apakah Jerini baik-baik saja.

Mereka bertatapan untuk beberapa saat. Cakra mengamati wanita berwajah menarik dengan kulit bersih yang kini duduk di seberang mejanya dengan saksama. Bohong kalau dia tidak terpengaruh pada apa yang terjadi di balkon apartemennya minggu lalu. Bahkan dia masih ingat aroma dan kelembutan tubuh Jerini yang kala itu menangis di pelukannya.

Memang sungguh luar biasa kinerja mental manusia. Dari luar, Jerini terlihat tangguh penuh senyum, serta suaranya yang ramah seolah mampu membuat orang-orang yang dia temui turut merasakan energi positifnya. Namun siapa sangka, begitu lengannya terulur menawarkan pelukan, seketika Jerini melepas semua topeng itu dan menunjukkan kerapuhannya sebagai seorang wanita.

"Jadi, saya tinggal menunggu kan, Pak?" tanya Jerini setelah mereka saling diam dalam kecanggungan.

Cakra mengangguk. "Iya."

Wanita itu tersenyum lalu berdiri dari tempat duduknya. "Berarti semua sudah jelas dan saya bisa mulai menyiapkan diri." Ketika Cakra membalas pernyataan itu dengan anggukan, Jerini pun berpamitan.

"Sekali lagi, terima kasih, Pak Cakra. Atas semuanya," ucapnya sebelum menghilang di balik pintu.

Tanpa sadar Cakra menatap ke arah pintu yang tertutup meskipun Jerini sudah beberapa saat lalu pergi meninggalkan ruangannya.

What's wrong with me?

***

Jerini meninggalkan ruangan Bu Ida dengan perasaan sedikit kacau.

Memang sih, wanita senior itu terkesan suportif dan bisa memahami alasannya dengan baik. Namun tatapan matanya yang seperti iba kepada nasib Jerini, membuat wanita itu tidak nyaman. Tatapan Bu Ida membuatnya merasa diposisikan sebagai korban. Apalagi ketika di akhir obrolan, Bu Ida berkata, "I'm sorry you have to through this, Rin."

Jerini hanya bisa mengangguk sambil meyakinkan diri sendiri kalau kata-kata calon atasannya ini benar-benar tulus. Karena kalimat itu, entah kenapa membuat Jerini merasa seperti mantan istri yang terzalimi. Oh, no!

Memang, di satu sisi, Jerini merasakan kebenaran dari pernyataan itu. Ada satu fase dalam kekecewaannya terhadap Gandhi yang membuatnya merasa benar-benar terzalimi oleh pengkhianatan pria itu. Namun sekarang Jerini justru menemukan pemahaman baru bahwa gugatan cerai yang dia lakukan bukan hanya karena dia merasa terzalimi. Namun karena dia dengan tegas telah memutuskan untuk mengakhiri periode hidupnya yang lalu dan bersiap melanjutkan hidup ke fase yang baru.

Mungkin pemahaman ini yang membuat Jerini tidak nyaman kalau ada orang yang memperlakukannya seolah dia korban. Karena korban identik dengan ketidakberdayaan. Menjadi korban ibarat dia tidak punya pilihan. Dan korban sering dianggap sebagai pihak yang kesulitan membela diri.

Padahal sejak awal Jerini adalah sang pemegang kendali. Dia yang memutuskan untuk mengulur waktu selama dua tahun sehingga Gandhi dan Putri beserta anak mereka terhambat dalam mendapatkan perlindungan hukum pernikahan. Dan saat dia sudah siap, dia juga yang memutuskan untuk menggugat cerai kepada calon mantan suaminya.

Menyadari tentang apa yang sanggup dia lakukan dalam kondisi terpuruk begini membantu Jerini tetap percaya bahwa hidupnya baik-baik saja. Memang dia kesepian dalam kesendirian. Dengan semua kepedihan yang telanjur bottle up karena tidak menemukan orang untuk berbagi apa yang dia rasakan. Namun selebihnya, dia tidak apa-apa.

Harus tidak apa-apa.

Keesokan harinya Tommy dari bagian legal mendatangi Jerini. Pria yang sepertinya sebaya dengannya ini menyampaikan kalau atasannya sudah deal dengan Cakra untuk memindahkan posisinya menjadi pengganti Jerini. Sehingga mereka bisa bertukar posisi secepatnya.

Dengan lega Jerini memuji kecepatan Cakra dalam memproses semuanya. Membuatnya terhindar dari kekhawatiran, jangan-jangan hingga putusan cerai dijatuhkan, dia masih menjadi staf Cakra. Terbayang dia harus bepergian berdua dengan bosnya di saat rekan-rekan sekantornya mengetahui fakta kalau dia sudah resmi menjanda. Membayangkan hal itu membuat Jerini ngeri.

Namun dengan kondisi seperti ini, hanya dalam hitungan hari saja dia sudah bisa menempati posisi barunya di bawah kepemimpinan Bu Ida. Dan bersembunyi di sana, dalam pekerjaan yang seolah tidak ada habisnya. Yang kemungkinan akan merantainya duduk di belakang laptop sepanjang hari.

"Kamu kayak nggak sabar banget pengin pindah, Rin," gerutu Bima. "Aku udah nyaman dengan pembagian kerja di tim ini. Males banget kalau harus adaptasi sama orang baru lagi."

Jerini memahami keberatan Bima karena selama hampir satu tahun ini mereka telah menjadi tim yang kompak dan menyenangkan. Namun "Aku harus cepet cabut, Bim. Karena minggu depan Pak Cakra menjadwalkan perjalanan dinas ke beberapa tempat sekaligus. Kalau aku nggak buru-buru pindah dari ruangan ini, bisa terjebak ikut perjalanan bisnis lagi."

"Kan enak. Jalan-jalan."

"Enak apanya? Capek tahu!" cibir Jerini. "Aku pengin jadi karyawan biasa aja. Yang load paling beratnya hanya sekadar lembur."

"Berarti setelah ini Tommy dong yang bakal ditenteng Pak Cakra ke mana-mana," sahut Bima.

Entah kenapa Jerini geli membayangkannya. Apalagi istilah Bima, ditenteng banget gitu ah!

"Semakin irit lah biaya perjalanan mereka," lanjut teman kerjanya itu.

"Kok bisa?"

"Pak Cakra jadi bisa sekamar sama Tommy kalau nginep. Nggak ada yang bakal curiga karena sama-sama laki-laki," sahut Bima lempeng. "Jiwa pelitnya Pak Cakra bakal semakin mendapat kebebasan. Sekamar berdua, sepiring berdua ...."

"Sialan!" Jerini tertawa geli.

Kasihan bener si bos dikatain pelit hanya gara-gara prinsipnya yang tidak pernah memanfaatkan fasilitas perusahaan secara tidak semestinya. Mereka nggak tahu saja kalau saat di bandara Cakra kerap mengajaknya makan di tempat yang fancy, atau mencoba jenis jajanan kekinian yang outlet-nya banyak tersebar di sana dan menarik minat mereka. Semua dia lakukan dengan merogoh kocek sendiri.

Memang sih kalau dari segi penampilan sehari-hari Cakra sangat sederhana. Seolah gajinya yang dua digit, atau mungkin tiga digit?, tak berbekas apa-apa. Mungkin hal ini dikarenakan dia yang terbiasa hidup sederhana sejak kecil, yang membuatnya tetap bersahaja meskipun sudah sukses. Bukankah Cakra pernah bilang kalau dulu dia hidup susah karena dibesarkan hanya oleh ibunya? Dan ibunya harus banting tulang menjadi pembantu juga. Kayaknya hal itu akhirnya yang membentuk karakter Cakra sekarang yang tetap memilih hidup sederhana meskipun sudah memiliki aset bernilai miliaran rupiah.

Hm ... bisa jadi. Hanya saja orang-orang di kantor sini mungkin tidak tahu fakta ini. Jangan-jangan gue doang yang tahu soal kehidupan Cakra di masa lalu. Ciyee .... Jerini nyengir.

"Eh, tapi kamu beneran nggak pernah sekamar sama Pak Cakra kan, Rin?" Tiba-tiba Bima bertanya.

"Astaghfirullah!" Jerini melotot horor. Nih orang beneran deh kalau ngomong asal mangap aja! "Mulut kamu perlu disucikan dengan cara dibasuh tujuh kali, yang salah satunya pakai pasir, Bim. Najis!" semprotnya kesal. "Kalau didengar orang lain aku bisa kena fitnah. Semprul!" omelnya kesal.

"Pokoknya aku tetap kesal sama keputusanmu pindah, Rin," gerutu Bima tanpa peduli kekesalan Jerini. "Kerjaanku banyak, tahu? Karena kalau Pak Cakra business trip sama kamu, semua urusan di kantor aku yang backup. Kamu harusnya bisa bayangin dong, kayak apa sibuknya. Makanya aku nggak sanggup kalau harus ngajarin Tommy lagi. Jadi ntar biar dia nanya ke kamu aja tentang gimana-gimananya."

"Lho, kok gitu?" Jerini memelotot.

"Dia kan gantiin kamu, Mbak Yu? Kalau bukan kamu yang ngajarin Tommy, siapa lagi sih? Kamu pikir Pak Cakra mau?" Bima mendelik sewot. "Lagian aku mana tahu kerjaanmu sama Pak Cakra selama ini gimana? Kalau lagi business trip, Pak Cakra kamu kasih servis apa aja juga aku nggak paham."

"Astaga, Bim. Mulut kamu kesambet apa sih?" Jerini geleng-geleng karena ucapan Bima yang penuh racun. "Oke, deh. Soal Tommy serahin ke aku aja ntar. Yang penting mulutmu mingkem. Panas kupingku denger omongan nggak beradab kayak gitu!"

Di hari yang sudah disepakati bersama, akhirnya Jerini pun mulai handover pekerjaan pada Tommy dan pindah ruangan ke bagian marketing di lantai bawah.

Dengan segala kesibukannya di divisi baru, serta beradaptasi dengan tim baru, Jerini hampir tak pernah lagi nyamperin ke kantor lama. Komunikasi dengan Tommy rata-rata by phone atau pria itu yang mendatanginya di ruangan. Apalagi ketika Tommy akhirnya mendampingi Cakra business trip untuk pertama kali, membuat Jerini putus kontak dengan mereka semua.

Namun beberapa hari kemudian, Bima menghampiri Jerini yang sedang menuju kantin untuk makan siang. Pria itu bahkan menariknya untuk duduk terpisah dari teman-teman Jerini yang lain, menuju ke salah satu meja di sudut yang agak jauh dari keramaian.

"Apaan sih, Bim? Jangan bilang kamu kangen sama aku," cibir Jerini.

"Lebih tepatnya, aku lagi butuh teman bicara kayak kamu, Rin," kata Bima sambil menuliskan pesanan mereka berdua dan memberikannya kepada pelayan yang sudah menunggu di sebelah meja mereka. "Kamu belum tahu kan, kalau selain Tommy, ternyata ada tambahan orang lagi di divisi kita?"

"Kita?" Jerini mengernyit. "Divisi kamu kali!"

"Terserahlah, kamu mau sebut apa. Pokoknya, sekarang ada satu orang lagi yang gabung. Baru tadi pagi. Mau tahu siapa? Dewi!"

Jerini tertegun. "Dewi? Yang kemarin baru dioper dari bagian personalia itu?"

"Dia di personalia cuma parkir sebentar sambil nunggu divisi yang mau rekrut dia. Entah Dewi itu sebelumnya berasal dari divisi mana," omel Bima.

"Tapi sempat aku dengar dia ribut dengan timnya Mbak Ratna, Bim."

"Excatly!" Bima menjentikkan jarinya. "Kebayang kan, gimana kagetnya aku ketika tadi pagi itu perempuan tahu-tahu nongol dan menempati bekas meja kamu dulu?"

"Lho? Kalau Dewi duduk di tempatku dulu, Tommy ntar duduk di mana, Bim?" tanya Jerini lempeng.

"Ya nambah meja satu set lagilah, gila!" balas Bima sengit. "Kamu pikir mereka bakal duduk di satu tempat sambil pangku-pangkuan gitu?"

"Yee! Dasar otak konslet!" hardik Jerini.

"Aku cuma nggak nyangka aja sih Pak Cakra rekrut orang tanpa perencanaan gini. Terlalu mendadak. Karena waktu aku konfirmasi lewat telepon, Pak Cakra jawabnya sambil kayak agak-agak nge-blank gitu. Sambil nanya 'Oh jadi orang tambahan yang dibilang bagian personalia itu Bu Dewi?'. Gitu doang, Rin. Ini kayak bukan Pak Cakra kita banget nggak sih?"

"Pak Cakra kita. Pak Cakra bosmu kali, Bim!"

"Halah, sama aja. Dia kan mantan bos terindahmu. Sampai apal aku sama Tommy kalau dikit-dikit Pak Cakra bilang 'coba tanya Jerini deh, dia yang paham urusan ginian' untuk setiap pertanyaan Tommy."

Jerini ngakak menanggapi kesewotan Bima. Meskipun cukup tersanjung juga oleh apresiasi Cakra pada pekerjaannya selama ini. Karena Jerini berpikir kalau dirinya jauh di bawah ekspektasi gara-gara Cakra selama ini diam saja.

"Andai tahu kalau posisiku digantiin dua orang, harusnya aku minta gaji dobel, dong," cibirnya.

"Enak aja. Ini aku yang puyeng gara-gara Dewi. Nggak tahu itu orang diapain, karena Pak Cakra lagi pergi. Sialan, beneran deh itu kunti resek banget gangguin orang kerja nanya-nanya melulu. Tumben gitu Pak Cakra mau piara karyawati kayak Dewi."

"Piara! Emang Dewi ayam, dipiara Pak Cakra?" tanya Jerini geli.

"Dewi mah pasti mau banget Rin, dipiara Pak Cakra!"

"Hus! Mulutmu, Bim," Jerini melotot sambil celingukan kanan kiri khawatir omongan mereka didengar orang dan sampai ke telinga Dewi.

"Tapi itu kenyataan, kok," sahut Bima cuek. "Dulu aja pas pilih kamu, Pak Cakra selektif banget lho. Makanya ini kok degradasi dapet staf modelan Dewi."

Sebagai karyawan yang termasuk baru bergabung, Jerini cukup beruntung karena belum pernah bermasalah dengan Dewi. Dan tidak berharap juga. Karena dari gosip yang beredar, Dewi dikenal sebagai karyawati tukang ribut yang selama ini sering berpindah divisi karena tidak cocok dengan tim tempat dia bergabung. Banyak yang bilang kalau dia provokator nyebelin, yang tidak akan tenang lihat hidup orang lain baik-baik saja.

***

Proses perceraian Jerini dan Gandhi akhirnya selesai ketika putusan dibacakan.

Meskipun masih belum siap menghadapi stigma janda dan perceraian yang akan dia hadapi nanti, Jerini bersyukur karena proses tersebut bisa selesai tanpa banyak drama. Bahkan Gandhi juga tak banyak merecokinya dengan segala ocehan tak penting seperti bulan lalu.

Memang benar, segala hal terjadi kalau sudah waktunya. Dan sekarang waktu yang sangat tepat bagi dirinya dengan Gandhi untuk menutup semua ini. Di saat mereka tinggal berjauhan, dan di saat Gandhi harus cepat-cepat membenahi hidupnya dengan keluarga barunya.

Tanpa sadar air mata Jerini mengembang di pelupuk matanya saat membaca pesan yang dikirim Ardian. Jadi semua memang sudah usai. Pernikahan tiga tahun itu selesai. Meskipun rasanya baru kemarin mereka berdua berbaring berdampingan, berpelukan. Jerini seperti masih bisa mendengar detak jantung Gandhi, merasakan kehangatan napasnya kala menyentuh kulitnya, juga bisikannya saat menyebut namanya.

Lupakan! Gandhi sudah bukan milikmu lagi!

"Rin."

Jerini menoleh seketika saat seseorang menyebut namanya dengan pelan. Bahkan dia lupa untuk menghapus air matanya. Namun melihat Bu Ida berdiri di samping kubikelnya, membuatnya tenang.

"Saya udah resmi cerai, Bu," ucapnya dengan terbata.

Bu Ida mengangguk sambil tersenyum penuh pengertian.

Jerini bersyukur karena selain Cakra, Bu Ida menjadi salah satu orang yang mengetahui tentang fakta pernikahannya. Membuatnya bisa berbicara walau hanya satu kalimat saja. Karena sungguh tak tertahankan merasa sendirian di saat seperti ini.

"Are you okay?" tanya wanita itu lembut.

Jerina menggeleng. "I'm not okay, Bu. Tapi saya akan berusaha melewatinya—"

"Good. It's over now, Rin."

Jerini mengangguk.

"Sebentar lagi istirahat makan siang. Ambil waktu untuk keluar sebentar, Rin. Tenangin diri kamu."

Jerini mengangguk dan berterima kasih atas pengertiannya. Setelah Bu Ida meninggalkannya, Jerini meraih HP serta dompetnya.

"Curi start buat maksi, Rin?" tanya Intan yang duduk di seberang tempatnya.

Jerini mengangguk sambil tersenyum. Lalu melangkah meninggalkan ruangan.

Tiba di depan tangga, tiba-tiba Jerini terpikir untuk mampir menemui Cakra. Bagaimana pun Ardian adalah teman pria itu. Tanpa pikir dua kali wanita itu melangkah menaiki tangga menuju ke ruangan yang terletak di ujung lorong.

Kehadiran Jerini disambut oleh pemandangan yang sudah banyak berubah. Meja Bima terlihat kosong. Sedangkan meja tempat dia dulu bekerja ditempati oleh Dewi. Sementara itu di salah satu sudut, dia melihat Cakra berdiri menjulang di depan meja Tommy. Mereka sedang terlibat dalam perbincangan yang seru.

Jerini memandang pada Dewi sebagai satu-satunya orang yang terlihat sedang tidak sibuk.

"Mbak Dewi—" ucapan Jerini terputus karena alih-alih tersenyum membalas sapaannya, dengan sengaja Dewi melengos.

Eh? Aku salah ya, datang ke sini? Jerini benar-benar merasa seperti orang aneh yang berdiri di depan meja Dewi yang dengan sengaja tak menggubrisnya itu. Ya ampun, ada ya manusia model begini?

"Je?"

Hanya Cakra yang memanggilnya dengan cara begini. Saat Jerini menoleh, dia mendapati pria itu melangkah mendekatinya. Seketikan Jerini mengembuskan napas lega. "Pak—" serunya dengan mata berbinar.

"Tumben nongol. Ada perlu sama saya?" tanya pria itu dengan tatapan menyelidik.

"Oh, itu ...." Kegugupan yang tiba-tiba menyergap membuat Jerini hampir lupa dengan tujuannya kemari. "Pak Ardian baru saja mengirim pesan sama saya."

"Wah," Cakra pun terlihat antusias. "Jadi gimana? Sudah ada putusan? Gugatan perceraianmu dikabulkan?" tanya Cakra penuh semangat.

Ini gue yang cerai kenapa dia yang lega sih? Kayak kita pasangan selingkuh aja.

"Iya, Pak. Saya sudah resmi menjanda sekarang." Entah kenapa saat mengucapkannya, terasa beban berat di dadanya seperti terangkat seketika.

"Selamat, ya," ucap Cakra dengan sungguh-sungguh. Ucapan yang cukup istimewa karena kali ini disertai senyum tulus yang jarang sekali diperlihatkan oleh pria itu kepada orang lain. "Mau merayakannya?"

"Eh?" Kali ini Jerini benar-benar tertegun. Lalu tanpa sadar dia menoleh ke tempat Bima yang masih kosong.

"Bima lagi ada urusan di luar gantiin saya," kata Cakra tanpa ditanya. "Tunggu sebentar, saya ambil kunci mobil dulu. Sudah lama kita nggak makan bareng, kan?"

Cakra sudah menghilang di balik pintu ruangan pribadinya ketika Jerini masih terbengong-bengong di tempatnya berdiri. Dengan Dewi yang menatapnya tajam.

Continue Reading

You'll Also Like

124K 6K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
1.3M 70.3K 58
Takdir itu emang kocak. Perasaan cerita tentang perjodohan itu hanya ada di film atau novel, tapi sekarang apa? Cecilia Janelle terjebak dalam sebuah...
866K 75.1K 56
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...
574K 39.2K 47
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...