ASAVELLA [TERBIT] ✓

By jerukminii

8.1M 597K 47.5K

Aku terlalu bahagia mengisi hari-harinya. Sampai aku lupa, bukan aku pengisi hatinya. ••••• Cover by pinteres... More

Asavella 🍁
Asavella 🍁2
Asavella 🍁3
Asavella 🍁4 +
Asavella 🍁5
Asavella 🍁6
Asavella 🍁7
Asavella 🍁8
Asavella 🍁9
Asavella 🍁10
Asavella 🍁11
Asavella 🍁12
Asavella 🍁13
Asavella 🍁14
Asavella 🍁15
Asavella 🍁16
Asavella 🍁17
Asavella 🍁18
Asavella 🍁19
Asavella 🍁20
Asavella 🍁21
Asavella 🍁22
Asavella 🍁23
Asavella 🍁24
Asavella 🍁25
Asavella 🍁26
Asavella 🍁27
Asavella 🍁28
Asavella 🍁29
Asavella 🍁30
Asavella 🍁31
Asavella 🍁32
Asavella 🍁33
Asavella 🍁34
Asavella 🍁35
Asavella 🍁36
Asavella 🍁37
Asavella 🍁38
Asavella 🍁39
Asavella 🍁40
Asavella 🍁41
Asavella 🍁42
Asavella 🍁43
Asavella 🍁44
Asavella 🍁45
Asavella 🍁46
Asavella 🍁 47
Asavella 🍁48
Asavella 🍁49
Asavella 🍁50
Asavella 🍁51
Asavella 🍁52
Asavella 🍁53
Asavella 🍁54
Asavella 🍁55
Asavella 🍁56
Asavella 🍁57
Asavella 🍁58
Asavella 🍁59
Asavella 🍁60
Asavella 🍁61
Asavella 🍁62
Asavella 🍁63
Asavella 🍁64
Asavella 🍁65
Asavella 🍁66
Asavella 🍁67
Asavella 🍁68 pt.1
Asavella 🍁 68 pt.2
Asavella 🍁69 pt.1
Asavella 🍁 69 pt.2
Asavella ending?
ENDING ASAVELLA
EPILOG
ARKHAN : AKU JUGA PERNAH BAHAGIA
VOTE COVER ASAVELLA
OPEN PRE ORDER ASAVELLA

Asavella 🍁70 (A)

110K 5.8K 1.7K
By jerukminii

“Dimana pun takdir membawamu pergi. Tolong untuk selalu sehat, ya. Meskipun tidak baik-baik saja. Tetaplah untuk tersenyum walaupun air matamu sedang turun terlalu deras tanpa henti di kala sunyi.” –Asavella

 ฅ⁠^⁠•⁠ﻌ⁠•⁠^⁠

Runtuh.

Hancur.

Sesak yang mencekik.

Tangisan dua remaja laki-laki kian menggema keras penuh getar. Suara sirine dari mobil ambulance dan milik polisi saling bersahutan keras hingga menarik perhatian warga sekitar—memadati rumah Keluarga Gerald Permana.

Garis polisi atau yang disebut police line menjadi pembatas para warga yang berbondong-bondong untuk menyaksikan kejadian menyedihkan tersebut kepada sosok gadis 17 tahun yang menjadi salah satu motif pembunuhan.

Teriakan hancur menggema nyaring penuh sakit pada diri Yuga Claudius Permana dengan posisi membungkuk—sujud—memukul tanah berulang kali hanya untuk mengadu pada antariksa sesaknya yang tak lagi bisa ditampung seorang diri. Riri—ibunda Yuga—hancur tidak berdaya dan tidak bisa mendeskripsikan kejadian yang akan di alami oleh keluarganya.

Astagfirullah! Enggak, Ya Rab!! Enggak!! ALLAHU AKBAR! ENGGAK! ASTAGFIRULLAH ....” Dialog sering terulang untuk menyadarkan ini bukanlah suatu yang harus terjadi nyata.

Yuga menggenggam erat ponsel dan menekan beberapa kali tombol telepon dengan begitu kasar untuk menelepon seseorang. Begitupun juga Bagus yang terus menghubungi seseorang namun dua remaja tersebut tidak bisa dihubungi.

Jerit—raung takbir Yuga menyebut Sang Pencipta dengan memukul dada hanya sekedar  menyadarkan ini sekali lagi mimpi.

Tidak hanya dari Keluarga Gerald Permana yang dikejutkan oleh paket berisi potongan tubuh. Ada dua titik lokasi yang berbeda juga mendapatkan paket berisi potongan tubuh yang lain.

Langit sudah tidak lagi menurunkan derasnya hujan bersama badai.

Hujan beberapa hari yang membasahi kota memang sudah reda.

Sialnya, tidak dengan hujan air mata dari ke-empat remaja yang menangis pecah di tempat yang berbeda-beda.

“S-Sa … angkat, ya?"

"Ang-angkat ya, Sa. Yuga mohon, angkat...," mohon penuh harapan jikalau sang gadis mengangkat panggilan darinya.

"Angkat, Langit. ANGKAT!!!! GUE MOHON! ANGKAT!” mohon Yuga kali ini penuh amarah menatap ponselnya—memukul beberapa kali layar ponsel berharap ada harapan. Apapun. Itu. Sebuah harapan kecil berpihak pada dirinya.

Tarikan napas yang terlihat berat sampai harus memukul-mukul dada sendiri. Sekarang, sosok Bagus menatap layar ponsel yang memperlihatkan ia sedari tadi melakukan panggilan suara kepada seseorang dengan kontak bernama. ‘Ara cantik’

“A-a-araaa, angkat. Ang-angkat. Ayo. Ayo angkat. Jangan buat gue gagal jaga lo!” gerutu penuh kesal Bagus tak peduli amarahnya meledak dan menjadi tontonan warga setempat.

“A-a-apa yang gue bilang ke Harta nanti, Ra? Angkat, Ra …,” Sekali lagi. Bagus mencoba kembali melakukan panggilan ulang hampir lima kali.

Ia tidak menyadari jikalau ponsel Mutiara bersamanya sejak hilangnya Mutiara dan Jysa. Bahkan ponsel tersebut di mode pesawat yang di mana tergeletak di dalam kamar Yuga sebelum mereka diminta keluar oleh pihak kepolisian.

“M-mas ….” Monolog serak terdengar tidak asing dari suara laki-laki yang membuat Yuga menoleh penuh gemetar lemas dan menghentikan aksinya yang menghubungi Asavella.

“M-mas …” Suara tangisan itu kembali memanggil Yuga. Suara berat dengan tenggorokan sakit—membuatnya terdengar sudah tidak berdaya.

Tentu saja. Netra mereka dengan kantong mata yang basah memerah saling bertemu. Dengan penuh gemetar, seolah kaki sudah tidak kuat lagi untuk menopang tubuh Yuga, ia berusaha beranjak berdiri sekuat tenaga untuk tetap bisa tegap.

“Mas ….” Suara remaja itu kembali memanggil Yuga. Tapi kali ini air matanya jatuh begitu cepat dalam satu kedipan dikala bola matanya menangkap diri Yuga yang menggeleng—memberi peringatan untuk dirinya tidak menangis.

Tio menggeleng—menunduk—berjongkok lemas dan kembali lagi berdiri. Mengusap wajah kasar berulang kali. Menatap banyak warga yang melingkar—memadati lokasi rumah Yuga. Sama seperti rumahnya dan rumah milik Keluarga Van Dijk; Keci.

Semua tertarik jelas membuat Tio dejavu akan cerita Asavella beberapa bulan lalu. Bagaimana warga melingkar dan berbondong-bondong menyaksikannya.

Cerita Asavella yang dihakimi warga karena kesalahpahaman tentang pembullyan.

Namun …

Kali ini.

Malam ini.

Di awal tahun 2021.

Insiden ini kembali terulang. Sayangnya perbedaan terlihat jelas, jikalau kala itu mereka menyaksikan tontonan seorang gadis yang di arak warga. Kini, mereka kembali melihat namun dengan nyawa dan tubuh yang sudah menjadi bongkahan puzzle.

“Sakit, Ga,” cicit Tio seraya menatap Yuga penuh kecewa. “Sakit…, banget hati gue.”

“Bilang ke gue …,” Tio menjeda. Memukul dada untuk bisa berbicara lebih lanjut.

“BILANG KE GUE INI MIMPI! BILANG KE GUE!! TAMPAR GUE!! AYO!!” sambungnya penuh frustrasi yang cukup memuncak membuat Tio menampar kasar pipinya sendiri.

Suara tangisan Keci pecah tak karuan seraya tangan menjadi penutup kedua matanya. Berharap ini juga sebuah mimpi buruk.

“BILANG KE SEMUA ORANG I-ITU BUKAN ACA GUE! BILANG YANG DI SANA …” Tio menunjuk kantong kuning yang mulai digotong polisi untuk keluar dari rumah Yuga. “ITU BUKAN ACA GUE!”

“BILANG KE GUE, YUGA! BILANG KE GUE KALO YANG DI SANA DAN DI RUMAH GUE ITU BUKAN, ACA! ITU BUKAN TUBUH, ACA! ITU BUKAN, ACA! AYO, YUGA!!!” Amarah yang tidak terkendali itu membuat Tio menggoyangkan tubuh Yuga untuk mendapatkan respon terbaik.

“SIAPAPUN DI SINI TOLONG SADARI GUE! KALO ITU BUKAN CEWEK GUE! BUKAN!” teriak Tio berlari ke arah warga dan membuat sebagian warga iba menahan nangis.

“Pak! Itu bukan cewek saya, ‘kan! Tolong bilang itu bukan cewek gue!” Kali ini Tio menggoyangkan tubuh salah satu polisi yang menjaga pada garis polisi.

Namun Polisi hanya terdiam menatap wajah lelah remaja yang meminta pengakuan ini tidak benar atau bukan Asavella yang menjadi peristiwa pembunuhan ini.

“SIAPA BIADAB ITU!! SIAPA!!" jerit Tio.

"KASIH TAU GUE SIAPA! SIAPA BANGSAT!"

"INI GADIS 17 tahun! Gadis 17 tahun!!” Tio mengusap kasar sekali lagi wajahnya—menunjuk kantong kuning yang mulai di masukkan ambulance untuk ditindaklanjuti—melakukan otopsi dan dikumpulkan dengan beberapa anggota tubuh yang lain yang di temukan di tiga rumah—lokasi berbeda.

Warga menyaksikan bagaimana terpuruknya Yuga dan teman-temannya. Tidak ada yang bersuara untuk memberi ketenangan karena suasana memang sudah tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

“Dia gadis 17 tahun loh! Gadis, yang enggak, pernah mendapatkan, sedikit keadilan dari dulu, bayangin!" Tio mengusap kasar wajahnya kembali sembari berdecak. "Dia enggak pernah mendapatkan keadilan dari orang sekitar, Ga. Aca masih kecil, Aca masih 17 tahun. Dosa apa yang dia lakukan sampai ajalnya aja enggak indah, Ga ….” Tio berjongkok. Menarik bagian kerah bajunya untuk menutup wajahnya hanya sekadar menangis penuh sesak.

Tenggorokannya sakit tiap melontar lisan.

Sekarang rajutan langkah dua polisi mengarah ke arah ke empat remaja.

Yuga menatap kesal. Tidak hanya Yuga, sorotan penuh amarah dari tiga laki-laki yang sudah lelah dengan para polisi yang tidak bisa menemukan Asavella, sekalinya ditemukan justru dalam kondisi yang tidak selamat.

“Kalian berempat, setelah ini, ikut kami. Untuk menjadi saksi dari korban,” info salah satu polisi berusia 39 tahun tersebut.

Tatapan nanar dari Tio terlihat jelas. Tio mulai kembali berdiri. Mendekati polisi yang berani suara dan meminta suara Tio berserta teman-temannya untuk menjadi saksi ketidakwajaran dari Asavella.

“Dengan adanya suara kami bertiga? Apa? Memungkinkan korban mendapatkan keadilan dan mengembalikan nyawa serta hukuman mati untuk pelaku?” Suara Tio menjadi perwakilan Yuga.

“Adakah sedikit keadilan untuk teman kami?” tanya Tio sekali lagi.

“Adakah rasa simpati para polisi, hakim dan bahkan hukum negara untuk memberi keadilan buat Asavella?” Tio menyuarakan isi hati Asavella. Setiap dialognya air mata akan mengalir.

“Apa siswi 17 tahun yang baru aja menginjak bangku 12 itu dengan cita-cita mendapatkan kasih sayang ayah dan ibunya bisa mendapatkan tempat istirahat berupa keadilan yang layak?” Tio benar-benar mengungkapkan hal yang benar-benar membuat warga menangis tanpa suara.

Tio menghapus air matanya. Dua polisi tersebut hanya diam. Bahkan jika menjawab, jawaban mereka tidak memberikan kepuasan untuk Tio.

“Denger baik-baik,” Tio menunjuk kedua polisi dengan tegas.

“Gue, Tio Mahardika, murid SMA MERPATI SILA LIMA  seorang pelajar bangku kelas 12 enggak takut sedikitpun untuk melawan undang-undang jika keadilan tidak ditegakkan untuk korban gadis 17 tahun!” terang Tio yang terlihat penuh amarah.

“DENGERIN GUE BAIK-BAIK!!!”

“JANGANKAN AYAH ASAVELLA! POLISI DAN HAKIM SAMPAI BERANI AMBIL KEPUTUSAN SALAH ATAS KETIDAKADILAN UNTUK ASAVELLA! GUE TEMBAK KEPALA LO SEMUA! BAHKAN! GUE BISA BAKAR KANTOR POLISI MALAM ITU JUGA!”

Ini bukanlah lagi sebuah ancaman. Namun ini sebuah isi hati yang sudah terlalu lelah untuk diberi ruang sabar. Namun polisi itu hanya diam—tidak menggubris sedikitpun remaja satu tersebut. Dan kedua polisi memilih pergi dari tempat.

Kamera wartawan dengan flash yang benderang membuat rasa sakit Tio menjadi dalam. Itu membuat Tio kesal.

Ia juga melihat betapa hancurnya sepupunya jikalau kekasihnya juga terlibat insiden tersebut. Dan bagaimana juga netra Tio Mahardika bisa melihat hancurnya Keci Van Dijk dalam pelukan Bagus.

“Kenapa harus Asa, Ga?” tanya Tio.

“Kenapa harus cantikku yang harus menderita? Kenapa harus gadisku yang terus dapetin hal menyakitkan ini bahkan di kematiannya? Kenapa, Ga?”

Yuga menepis air matanya. Tenggorokan terasa sakit ketika menelan saliva. Sesak. Demi apapun ini sudah tidak lagi mereka deskripsikan melalui kata-kata atau lisan.

Tio Mahardika memegang kedua pundak Yuga sejenak hingga turun menggenggam tangan Yuga. “Apa gaada harapan kita buat gadis pecinta hujan itu kembali kepada kita?”

“Gue mohon, balikin cantik gue. Utuh. Tanpa luka, Ga. Balikin dia sama gue.”

“Ayo, Ga. Balikin Asavella. Gadis cantik gue, Langit gue, hujan Gue, bahkan payung gue. Gue mungkin bukan tempat pulangnya, tapi dia tempat pulang gue. Dia yang ngajarin gue jatuh hati tanpa memiliki, dia yang ajarin gu—” beo Tio yang belum selesai sempurna dipotong Yuga.

Yuga menarik tubuh laki-laki tersebut pada dekapannya. Menepuk—mengusap berulang kali punggung Tio dan membuatnya menangis penuh isak sesak—di mana wajah yang sembunyi pada pundak kanan Yuga Claudius.

Yuga menatap Bagus yang menggandeng Keci. Yuga merentang tangan kanannya dan membuat dua remaja itu mulai dalam dekapan Yuga Claudius. Tiga remaja yang kini menumpahkan air mata dalam dekapan singkat untuk menumpahkan air mata pada tubuh Yuga. Bahkan Yuga mendengar tangisan Keci begitu nyeri dengan tangan yang berulang kali memukul dada Yuga.

Yuga mencoba menguatkan Keci dengan cara mengecup puncak kepala sahabat dari Asavella. Yuga mencoba menahan kuat air mata untuk menenangkan tiga remaja tersebut. Menahan air mata dan kata-kata alibi jikalau mereka masih punya harapan bisa mengetahui jikalau potongan tubuh tersebut bukanlah milik Asavella.

“Apa … harapan itu masih ada walaupun sangat kecil, Mas?” tanya Bagus yang terlontar untuk sosok Yuga seraya sedikit memendarkan pelukan. “Apa aku bisa lihat dua cantikku pulang dengan keadaan sehat dan semua ini cuma mimpi buruk?”

Tio Mahardika juga memendarkan pelukan. Dan hanya Keci yang masih memilih dalam dekapan Yuga dengan kedua tangan melingkar sempurna pada pinggang Yuga.

“Gimana kalo kepala dan janin di dalam sana emang teridentifikasi milik Aca dan Ara, Mas? Apa yang lo katakan ke Brian nanti? Dan apa yang gue katakan ke Harta? Jawab! Jawab gue! Apa Mas Yuga gaada jawaban buat pertanyaan gue?” Terbawa emosi yang membeludak membuat Bagus mendorong tubuh Yuga.

“UDAH! UDAH GUS!! GUE MOHON UDAH!!!” teriak Keci yang mendorong balik tubuh Bagus dan membuat Bagus ditarik dalam dekapan Tio namun laki-laki tersebut mendorong keras tubuh sepupunya.

“APA YANG UDAH, CI! APA!! JAWAB GUE!!” gertak Bagus menggunakan nada tinggi membuat perhatian warga sekitar.

Bagus menepis air mata dengan kasar. “Apa gue harus diem dikala cewek gue, Asavella. Cewek yang gue jaga semaksimal mungkin, cewek yang gue usahakan gapernah nangis di kelas, cewek yang selalu gue pastiin ketawa karena gue, enggak dapet sedikit keadilan dihari kematiannya?”

Bagus menunjuk berulang kali tempurung otaknya. “Cuma manusia berakal dangkal yang diem di situasi genting!!”

“Ara juga! Gue mau bilang apa ke Harta! Gue gabisa jaga Ara, gue gatau Ara di mana! Gue gatau dia di sana gimana! Gue serba salah, Gue udah gabisa jaga dua orang yang gue rasa gue sayang banget!! Sadarin gue, Tio! Sadarin gue, Keci! Kalau gue buka laki-laki baik yang enggak bisa jaga dua perempuan gue!” mohon Bagus kepada Tio dan Keci.

 “Gus …, udah ….” Tio mencoba menggenggam Bagus namun laki-laki yang penuh ceria kini dikuasi amarah tak terkendali mendorong tubuhnya sekali lagi.

“UDAH APA?!” Bagus menatap penuh kecewa sepupunya. “Gue harus diem lagi? Kejadian kayak gini buat Aca enggak satu ataupun dua kali. Dan gue harus diem?”

“Gue bukan kalian bertiga. Gue bukan pembully sadis yang beralibi dengan cara itu kita melindungi Asavella. Justru lo semua ngerusak mental Aca! Gue tau, Ara juga sama kaya kalian! Ta-tapi! Ta-tapi …” Bagus menjeda sejenak. Menatap langit yang gelap dan sekitar. “ARGHH!!!!!”

Keci menekuk bibirnya menunduk. Mengingat hal-hal buruk yang dimana itu juga salah satu bentuk pembullyan. Yuga dan Tio membuang wajah. Kali ini mereka bertiga tidak bisa mengelak dan mengatakan Bagus salah.

Cara Yuga yang semula berniat melindungi Asavella dari Bara terlihat di awalannya sudah memang salah. Menyembunyikan status hubungan bersama Jysa. Menyuruh Jysa menjadi kakak yang jahat untuk Asavella supaya Asavella mendapatkan cambukan atau sebuah pukulan kecil. Supaya sosok Asavella tidak jadi dijual ke orang hidung belang untuk menutupi ekonomi keluarga Barang yang sudah krisis tersebut.

Namun cara itu justru menjadikan Jysa hal yang seharusnya di lakukan. Sebab, rasa cemburu Jysa yang di mana ia juga harus melihat kekasihnya membagi hati dengan adiknya.

Tak hanya penyesalan Yuga. Keci dan Tio yang berpartisipasi demi melindungi Asavella dengan cara membully dari ajakan Mutiara dan Jysa karena informasi tentang diri Asavella yang akan dijual oleh Bara membuat Keci dan Tio tidak menolak.

Hanya Bagus dan Harta yang tidak mengetahui hal ini kala itu.

Tio mengepalkan tangannya begitu erat hingga urat nadi terlihat. Ia menatap Yuga. Gusinya mengeras di dalam sana. Matanya sudah seperti mengobarkan api. Tio sedikit berlari dan memberikan hantaman keras kepada Yuga di depan Riri.

Hantaman bertubi-tubi pada pipi Yuga tanpa henti di daratkan oleh Tio. Dimana Yuga sudah tidak membalas, sebab ia sudah tidak lagi memiliki tenaga. Tentu, Riri dan Keci yang melihat langsung memisahkan mereka berdua.

“Udah nak, udah. Tante mohon, udah. Ini salah tante karena tante enggak bisa membuat Yuga sadar atas caranya selama ini yang salah sampai melibatkan banyak orang,” jelas Riri seraya menyatukan kedua tangannya—memohon—kepada Tio untuk menurunkan sedikit emosinya di situasi seperti ini.

“Tante cuma punya Yuga, Kalo kamu habisi Yuga, Tante sendirian. Biarkan Allah yang menghukum Yuga, jangan sampai tanganmu ikut berdosa lebih jauh, nak,” sambung Riri di mana ia sudah tidak ada tenaga lagi untuk menjelaskan ataupun sekadar memarahi anak sulungnya yang sudah membuat masalah.

“Tante masih mending punya Yuga, Asavella punya siapa? Lima hari hilang sekalinya ketemu harus bernasib mengerikan di hari kematiannya??” sinis Bagus.

“Asa belum meninggal,” bantah Yuga menatap Bagus. “Itu bukan Asa gue. Asa masih hidup.”

“ITU ASA GOBLOG! ITU JELAS JELAS ASA! SALAH SATU TELAPAK TANGAN DI RUMAH GUE ADA BEKAS JAHITAN DAN ITU MIRIP JAHITAN ASA WAKTU MENJADI KORBAN PERUNDUNGAN GEGARA CEWEK LO!!” ungkap Tio penuh emosional.

Tio dengan napas menggebu hanya bisa menatap kecewa Yuga. “Jangan bilang lo biang biadab kematian Asavella.”

Yuga mengerutkan alisnya—meringis kesakitan pada bagian pipi kanan di mana ujung bibir lebam dan mengeluarkan darah segar. “Lo nuduh gue?”

“Jelas,” sahut Tio tanpa ragu. “Siapa lagi? Gue?” Tio menunjuk dirinya sendiri. “Dan andaikata itu gue, detik ini juga gue bakar diri gue hidup-hidup!”

Yuga membuang wajah. “Sepicik itu otak lo. Berhenti menebak siapa pelaku itu,” lirih Yuga.

Keci menepuk pundak Bagus dan memperlihatkan 9 pesan masuk dari grup the lips are sealed.

Di mana tertera jelas pengirimnya Asavella. Namun anehnya itu bukanlah pesan masuk baru saja. Namun hitungan empat atau lima hari sejak hilangnya Asavella jika dihitung dari kalender awal bulan dan tahun baru ini.

“Asa? Ini beneran Asa?” Bagus merampas ponsel Keci yang baru saja dinyalakan data dan terkoneksi pada aplikasi chat WhatsApp. Bagaimana notifikasi ada sembilan pesan masuk di mana paling banyak pesannya adalah voice note.

Mendengar itu Tio dan Yuga menatap Bagus dan Keci dengan kebingungan. Yuga mulai beranjak bangun—dua remaja itu berjalan dengan langkah cepat untuk pada titik Bagus.

“Ada apa? Asa chat?” Tio seperti senang ketika melihat nama Asavella ada pada notifikasi masuk di grup.

Bagus mengangguk. “Tapi ini bukan pesan hari ini, melainkan waktu Asa hilang.”

Mereka saling bertatapan dikala—di atas sebelum pesan masuk Asavella. Asavella menambahkan anggota namun tidak ada nama. Bagus mencoba mengecek profil namun tidak ada username ataupun nama dalam bio kontak tersebut.

“Coba lo simpen kontak itu, terus dicek lagi,” titah Yuga mengintonasi dan Bagus melakukannya.

Tapi sial.

Tetap tidak ada nama dan bio.

Mereka dibuat penasaran. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk membuka pesan suara.

“Dia di sekitar kalian. Jangan gegabah gue mohon, abaikan gue sementara dan ikuti permainannya.”

Itulah suara pertama yang dikirim Asavella. Tentu mereka berlima sudah termasuk Riri mengerutkan alis. Tidak paham dengan maksud Asavella.

“Tetap waspada. Se-segera mencari bantuan dan segera lapor polisi! Sekarang enggak ada waktunya buat khawatirin gue. Gue baik-baik aja di sini. Gue lebih khawatirin kalian! Pergi dan menjauh dari dia!”

“… tapi ingat satu hal. Jangan kasih dia hukuman setimpal mungkin. Jangan buat dia putus sekolah dan dipenjara. Jangan sebarin wajah dia di media sosial manapun. Ja-jangan hakimi dia seorang diri. Ja-jangan buat dia merasa dunia enggak ada yang berpihak ke siapapun. Gue mohon sama kalian semua. Sekali lagi. Dia baik. Dia cuma dendam. Dia cuma sakit hati. Gue mohon sekali lagi, gue mohon ….”

Suara Asavella seperti menahan rasa sakit dan terlihat begitu takut terdengar jelas oleh rungu mereka semua. Mereka saling bertatapan. Sebuah permohonan seolah memberitahu akan ada hal yang memang akan terjadi.

Ka-kak, Ka-kak Yuga, A-aca …” Suara Asavella sedikit singkat dipesan suara yang ketiga ini.

“To-tolong selamatkan teman-teman Aca, dan kak Jysa. Selamatkan diri kakak, juga. Aca gamau kalian kenapa-napa. Tolong bawa papah pergi jauh, jangan sampai papah ke tangkap polisi. Aca tau semua. A-aca tau soal papah yang udah buat—” Pesan suara itu terpotong. Padahal kalimat Asavella belum usai.

“Aca ketakutan, banget, kak …,” lirih Keci yang melontak suara kepada Yuga dan  langsung menggenggam Tio—menyembunyikan setengah wajahnya pada lengan kanan Tio Mahardika.

Bagus melanjutkan untuk me-replay pesan suara selanjutnya.

“Gaperlu khawatirin gue. Gue di sini baik-baik aja. Kalian baik-baik aja? Hujan di luar, tetap hangat! Tolong tetap hangat dan aman! Jangan lupa makan!”

“Hujan deras banget. Gue bakalan sampai ke rumah dengan keadaan baik-baik aja dan mari kita bertemu untuk merayakan kenaikan kelas dan tahun baru!”

“Kak Ica, sampaikan ke papah. Kalo Aca pulangnya sedikit terlambat, yah. Sekali lagi tolong berbohong untuk Aca. Supaya Aca enggak dimarahi papah, kak.”

Mendengar itu hati mereka langsung hancur. Di tengah suasana seperti ini, sosok Asavella masih memikirkan masalah jikalau ia pulang terlambat.

Kini mereka membaca satu pesan terakhir seusai delapan pesan suara.

“Aku besok pulang. Tunggu sebentar. Aku akan pulang, semuanya!”                                                      

Jikalau pesan itu menjadi pesan penutup itu adalah suatu kesalahan terbesar. Dibawah pesan termasuk tertulis Asavella keluar dari grup

Bukan dibuat tenang. Mereka semakin dibuat takut. Netra mereka saling bertatapan satu sama lain.

“Siapa dia yang dimaksud Asavella, nak?” tanya Riri kepada empat remaja tersebut.

Mereka berempat tidak bisa berpikir positif. Mereka mulai overthinking, menerka-nerka setiap dialog Asavella.

“Kenapa Asa masih mikirin orang itu, siapa dia, anjing! Siapa biadab yang masuk dilingkar pertemanan kita! Siapa pengkhianat itu anjing!” Tio menatap Yuga dan Bagus secara bergantian.

“Saka?” Keci mengucap lirih penuh tanda tanya. Tetapi entah kenapa, arahnya hanya kepada satu nama tersebut.

Dan pikiran tiga remaja laki-laki tersebut juga ke arah situ.

ฅ⁠^⁠•⁠ﻌ⁠•⁠^⁠ฅ

siapakah dia?

akupun juga gatau.

next gak sih? pokoknya akhir Juli kudu tamat.

jangan lupa buat vote dan komentarnya. ☺️♥♥

oh ya, maaf banget ya kalo misal ada pengulangan kata atau typo atau kata belibet, mohon dikoreksi. Soalnya, aku nulisnya lagi di luar dan engga pakek laptop. always baca komenan kalian aku 🥺♥ makasih yang aktif komentar dan votenya.

karena aku udah mendingan mentalnya, kalian kalo mau cerita dikolong komentar atau pesan pribadi bisa hubungi aku, mulai besok aku aktif ke semua sosial media.

jangan lupa buat follow akun aku:
tiktok: @jerukminii
wattpad: @jerukminii
Instagram: @jerukminii

akun fanbase ya? aku gatau tapi temen aku bilang ada akun khusus sauniverse. yang pegang bukan aku. tapi mereka keluarga dari sauniverse.♥♥
Instagram : @sauniverse.jm

Asavella bakalan aku tamatin akhir Juli atau awalan bulan kelahiran asavella. 9 Agustus. pokoknya terus teror aku.

terimakasih yang sudah baca dan menanti Asavella bahkan menunggu sampai teror aku disemua sosmed. 😭 🥺💜

Continue Reading

You'll Also Like

175K 15.3K 38
Aku berhasil menulisnya ... Menulis kisahmu yang sangat sedih dan pilu ... Menulis semua diksi indah yang keluar dari mulutmu ... Menulis semua rasa...
65.4K 4K 28
SERIAL PENDEK (revision ver) Me : ...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.7M 315K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
568K 27.3K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...