Step On The Lament || {TOMARR...

Por Flair_12

34.5K 4.1K 610

Horcrux dalam diri Harry Potter berubah menjadi sebuah janin, yang kemudian lahir sebagai bayi perempuan pali... Más

1. Birth and Death
2. Lament
3. Golden Gloom
4. Pieces Of Soul
5. A Bridge To Connect
6. The Dove Hums
7. Beyond The Sleep
8. House of Lotus
9. Foreign Portraits
Suratku, Untuk Kamu
Pengumuman
10. Dark Thoughts

11. Hope

1.9K 235 73
Por Flair_12

Dari kematian Harry Potter, Voldmeort belajar banyak hal.

Voldemort belajar betapa sulitnya membesarkan seorang bayi meski dibantu oleh peri rumah dan Pelahap Mautnya. Voldemort belajar betapa longgar kontrol dirinya. Voldmeort belajar dan mengakui bahwa kematian Harry Potter jauh lebih berdampak dari yang ia kira. Voldemort juga belajar untuk melepas pikirannya dari kematian.

Voldemort masih belum tuntas di daftar terakhir.

Entah seberapa besar usaha Voldemort melepas kematian Harry Potter, mencoba melanjutkan agendanya dibayangi kematian Harry Potter. Dia gagal. Selalu gagal. Kemana pun kakinya membawanya, apapun yang matanya tangkap dan telinganya dengar, dia selalu memiliki gambaran berupa mata hijau permata yang kusam di benaknya. Menghantuinya setiap saat.

Sisa-sisa keberadaan dan sihir yang ditinggalkan untuknya ia simpan rapat-rapat di ujung terdalam pikirannya. Tidak pernah lagi didekati maupun dibuka. Voldemort tidak mampu menyentuhnya. Satu-satunya hal yang ia lakukan adalah mengirimkan ingatan-ingatan bahagia Harry Potter sebagai obat penenang mimpi buruk Athlarien.

Namun semenjak mimpi ia bertemu dengannya kembali di malam-malam menghilangnya Athlarien, Voldemort menutup semuanya.

Perlahan, dia mulai melupakan serpihan-serpihan kenangan.

Mulai dari suaranya.

Sensasi sihirnya.

Teriakan kesakitan dari kuburan.

Teriakan amarah dan kesedihannya.

Menyisakan memori wajah semata-mata, berbekal potret yang tidak memiliki sihir jiwa.

Voldemort termenung di kursi kebesarannya. Ada sobekan kain berwarna putih, yang asalnya dari pakaian terpasang di mayat Harry Potter, yang kini telah menghilang. Dua minggu telah berlalu, yang berhasil ditemukan hanyalah sepotong robekan kain putih. Tak ada tanda-tanda lain yang menunjukkan keberadaan si mayat yang hilang ataupun pencurinya.

Benar. Pencuri. Mereka mencuri milik Voldemort.

Dan sekarang sekelompok pencuri itu telah dikhianati oleh orang mereka sendiri.

Voldemort duduk di kursi tahtanya, anggota Wizengamot beserta Menteri sihir bersama Wakil dan Sekretaris. Mereka sedang rapat bersama saat Pelahap Mautnya menginterupsi, meminta izin untuk menyela.

"Saya memohon ampunan atas ketidaksopanan saya, Tuanku. Saya izin menyela, karena ada kabar penting mengenai pencarian Permaisuri anda."

Kalimat itu cukup untuk menyadarkan Voldemort dari kebosanan, melompat bangkit dari singgasananya.

Seperti kematian yang datang tak bertanda, informasi penting telah sampai ke telinga Voldemort tanpa diduga. Begitu tiba-tiba seperti petir yang menyambar di siang bolong.

Harry Potter telah ditemukan.

Dan para pencuri itu akan menghadapi kemarahan terbesar Lord Voldemort.

*

*

*

*

*

13 Juli 2001...

Pelanggaran itu surgawi.

Marcus Flint tenggelam dalam nikmat duniawi dari mayat yang ditidurinya, yang dia perkosa beramai-ramai bersama empat orang lainnya. Fakta bahwa itu adalah mayat tidak membuat Marcus Flint jijik, malah gairahnya semakin menggebu-gebu tak tertahankan.

Mayat itu, Harry Potter, tetap utuh dan segar. Tak ada perubahan atau pembusukan pada mayatnya. Seperti orang hidup yang terlelap dalam tidur abadi, seperti Putri Tidur yang akan bangun hanya setelah dicium oleh Pangeran, cinta sejatinya.

Tapi sayangnya Marcus Flint bukan cinta sejati mayat Harry Potter, ataupun empat orang bejat lainnya, dan Harry Potter bukan Putri Tidur. Harry Potter sudah mati.

Namun, meski kesadaran Marcus Flint berada di ambang langit yang tinggi setiap kali dia menajiskan mayat Harry Potter, bayang-bayang kewarasan masih bertahan dan menahannya ke bumi. Kewarasannya berbisik tentang ancaman kekejaman Dark Lord yang akan menghancurkannya jika dia dan komplotan bejatnya ketahuan.

Marcus tidak tidur nyenyak di malam hari. Marcus akan terbangun hampir setiap saat dalam tidurnya, merasakan sepasang mata merah mengawasinya setiap saat, siap menyiksanya dalam hidupnya.

Ketakutan itu begitu kentara, tumpah ruah dari tindak-tanduk cara dia bersikap dan berbicara. Seseorang yang berinteraksi dengannya merasa curiga, dan melapor pada Pelahap Maut yang melakukan penyelidikan, tak ingin berada di bawah ancaman kemurkaan Lord Voldemort lebih lama, dan berhasil menangkap mereka.

Tepat setengah tahun setelah mereka mencuri mayat Harry Potter, mereka di tangkap.

Penangkapan itu dramatis dan menghebohkan. Mereka ditangkap oleh tidak hanya oleh pasukan Auror tapi juga sekelompok Pelahap Maut.

Lord Voldemort juga berada di sana.

Lord Voldemort tidak melirik mereka sedikit pun, malah maju dan melangkah ke dalam kamar mereka menyimpan mayat Harry Potter, tidak mengizinkan orang lain untuk masuk.

Kelompok bejat itu pucat.

Tamat sudah riwayat mereka.

*

*

*

*

*

Mata merah memandang tubuh tak bernyawa di atas kasur reyot tanpa berpaling. Keributan di luar sana tidak mengganggunya.

Voldemort hanya berdiri diam di pintu, tidak membuat pergerakan apapun.

Voldemort mengusir orang lain dari kamar itu dengan kasar, meneriaki mereka dengan kutukan dan ancaman kematian, hingga hanya tersisa dirinya dan beberapa Pelahap Maut saja yang ada di gubuk itu.

Kondisi mayat itu menjijikan. Tubuh mayat itu penuh dengan tumpahan air mani dan merah karena pukulan. Ada air mani di sekujur tubuhnya, menetes ke atas seprai kasur reyot.

Lord Voldemort bergerak mendekat, berdiri di pinggir kasur. Tangan terangkat, jemari bergerak menyingkirkan rambut hitam yang menutupi wajah si mayat.

"Kau tidak berubah."

Suara Voldemort adalah satu-satunya pengisi kesunyian.

Mayat itu tidak memiliki perubahan sama sekali memang. Kondisi kulit yang masih segar, kulit yang sedikit hangat dan warna yang normal, pun bibir mayat itu masih merah muda. Seolah-olah mayat itu hanya tertidur, bukan mati.

Voldemort melepas jubahnya, menutupi mayat itu dan membawanya ke manornya.

Voldemort tidak mengizinkan siapapun melihat mayat itu, menyentuhnya, ataupun berada di dekatnya.

Mayat Harry Potter ditempatkan di kamarnya, di atas ranjang Voldemort. Voldemort lalu dengan telaten membersihkan tubuh mayat itu dengan pelan seperti membersihkan kaca yang rapuh. Setelah dibersihkan Voldemort mendandani mayat Harry Potter dengan pakaian serba putih yang mewah, menata rambutnya, memakaikan mayat Harry Potter dengan cincin dan mahkota bunga perak Permaisuri Slytherin.

Voldemort lalu terdiam menatap wajah mayat itu. Ada rasa puas di hatinya, seperti balon yang dipecahkan, seperti air bah yang tumpah, seperti ombak laut yang menerjang bebatuan. Voldemort tak henti-henti memandangi wajah itu.

Dalam sudut terdalam hatinya, kegilaan mengambil alih isi kepala Voldemort, berbisik bahwa Harry Potter tidaklah mati. Bahwa dia hanya tertidur terlalu nyenyak, tak bisa bangun, karena mimpinya terlalu indah.

Voldemort ingin percaya hal itu.

Jadi, selama beberapa waktu yang lewat, Voldemort tidak mengubur Harry Potter.

Dia menyimpan mayat Harry Potter di kamarnya. Dan di malam hari Voldemort akan duduk di sofa, memandangi mayat Harry Potter yang didandani dengan cantik, menikmati setiap sudut tubuh tak bernyawa dengan pandangan yang tak henti.

Sembari mengamatinya, Voldemort akan berkata,

"Permaisuri ku.."

"Horcrux ku..."

"Takdir ku..."

"Milikku."

Pikiran Voldemort melayang pada musuh lamanya, Harry Potter. Dia telah memimpikannya tadi malam, dan merasakan hasrat pada anak laki-laki itu.

Voldemort tahu dia dimaksudkan untuk menjadi lebih dari sekedar musuh. Pastinya ada hubungan di antara mereka, dan mereka ditakdirkan untuk bersama.

Voldemort berbalik dan melangkah keluar dari kamarnya, memikirkan Harry. 

Mungkin kisah mereka belum berakhir...

*

*

*

*

"Haloo?"

Athlarien berkata pelan, telunjuk kecilnya yang gemuk menekan dan mencolek lengan orang yang tertidur di ranjang ayahnya. Orang itu masih juga belum terbangun tak peduli seberapa banyak Athlarien mencolek nya. Menyerah, Athlarien mengganti dengan menepuk pelan lengan orang itu.

"Sudah siang, jangan tidur terus!" Athlarien membuat ekspresi kesal, mulai tidak sabar.

"Iih! Banguun!" Suara Athlarien naik satu oktaf.

Sosok itu masih belum bangun juga.

Athlarien merengek kesal, akhirnya memutuskan untuk naik ke atas ranjang dengan susah payah. Anak itu harus melompat beberapa kali agar bisa membawa tubuhnya naik. Biasanya, ayahnya akan mengangkat tubuhnya, tapi kali ini ayahnya tidak ada.

Gadis kecil itu lelah, dia ingin segera naik ke atas ranjang dan membangunkan orang asing yang tertidur di ranjang ayahnya, tapi dia punya masalah : dia terlalu pendek untuk naik ke tempat tidur!

Athlarien melihat sekeliling kamar ayahnya untuk mencari sesuatu yang bisa dia gunakan sebagai langkah.  Dia mencoba kursi, tapi kursi itu terlalu berat dan dia tidak ingin mengambil risiko terjatuh. Lalu dia mendapat ide – kotak mainannya! 

Ada kotak mainan semasa dia masih bayi yang selalu ayahnya simpan di kamarnya, di mana dia bisa berdiri dan naik ke tempat tidur. Itu bukan solusi termudah, tapi Athlarien ingin mencobanya. Athlarien pergi ke sudut kamar, mendorong kotak mainannya ke pinggir ranjang, dan akhirnya bisa naik ke atas ranjang dengan mudah.

Dia akhirnya di atas ranjang.

Athlarien bergerak dengan hati-hati di atas ranjang mendekati sosok yang terus tidur itu. Athlarien terkagum seketika. Sosok itu sangat cantik, dan pakaiannya sangat indah, begitu juga mahkota bunga nya.

"Wah! Ama!" Bisik Athlarien dengan kagum.

"Ama! Ama, banguuun!" Athlarien menggoyang lengan sosok itu.

"Bangun! Bangun! Halooo! Alien di bumi!"

Sosok itu tetap tertidur.

Pipi Athlarien menggembung kesal. Dia terdiam untuk sesaat memikirkan cara untuk membangunkan si cantik ini. Sebuah ide melesat di kepala Athlarien, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyum cerah dan lebar. Athlarien tahu harus berbuat apa.

Melompat!

Ayahnya selalu terbangun setiap Athlarien melompat-lompat di atas ranjang.

Athlarien dengan lincah berdiri, dan mulai meloncat-loncat sambil berteriak.

"Bangun! Bangun! Jangan bangun kesiangan, nanti jadi pemalas, dan tubuh meriang!" Athlarien berteriak, menyanyikan lagu yang biasa dilafalkan ayahnya tiap kali Athlarien bangun terlambat.

Ranjang begoyang keras seiring Athlarien mendarat dan melompat lagi. Bantal-bantal yang tersusun rapi tergeser dari tempatnya, terhambur ke mana-mana bahkan sampai jatuh ke lantai. Sosok di atas ranjang juga tergeser karena Athlarien.

Gadis kecil itu melihat sosok cantik itu juga masih belum mulai meloncat lebih keras, kepalanya hampir menyentuh atap ranjang. Seluruh ranjang kini bergoyang.

Pada suatu momen, Athlarien melompat terlalu keras, dan kakinya hanya sebelah yang mendarat di ranjang, satunya lagi terpeselet jatuh. Ekspresi Athlarien berubah ngeri, dia akan jatuh, tubuhnya terjatuh.

Athlarien menutup matanya, tak sanggup menahan rasa ngeri melihat lantai yang semakin dekat dengannya. Rasa sakit yang akan segera datang—tidak datang.

Athlarien masih memejamkan mata, tidak menyadari lengan yang melingkari tubuhnya, menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Tidak juga sadar bahwa dia berada di tempat yang asing. Langit-langit kamar berganti menjadi langit biru yang cerah dan luas, dan lantai marmer kamar menjadi rerumputan hijau dengan bunga-bunga liarnya.

"Pfft!"

Athlarien membuka mata dalam sekejap mendengar suara yang familiar orang menahan tawa di belakangnya. Ekspresi ngeri berubah menjadi wajah bingung yang menggemaskan. Gadis kecil itu membuka matanya, dan menyadari bahwa dia tidak lagi berada di kamar ayahnya, tapi tempat indah yang sudah sangat akrab dengannya.

Dia menoleh ke belakang, dan melihat sosok yang sudah dia nanti-nanti begitu lama. Mulutnya langsung menyunggingkan senyum lebar dan bahagia.

"Ama!"

Mata hijau seperti emerald yang berkilauan bagai kristal. Bibir tipis merah muda yang membentuk senyum indah nan manis. Rambut gagaknya yang sepinggang bergoyang pelan mengikuti angin, membuat ilusi ombak di pantai.

"Permata kecilku yang manis," Athlarien diangkat, didudukkan di atas pangkuan Permaisuri Slytherin, kedua tangannya melingkari tubuh si kecil dengan erat.

"Tidakkah Ada sudah sudah mengingatkan untuk tidak melompat-lompat terlalu keras?" Harry bertanya dengan lembut, nadanya penuh cinta, matanya terpejam saat dia menggesek pipinya ke rambut selembut sutra gadis kecilnya.

Athlarien terkikik. "Itu karena Ama tidak mau bangun, jadi Athy melompat."

Harry ikut tertawa, lalu bersenandung pelan, mengusap rambut Athlarien.

Keduanya terdiam lagi. Harry terus menerus bersenandung pelan dan tidak menghentikan gerakan tangannya yang mengusap rambut Athlarien, sementara gadis kecil itu mulai terpejam karena rasa kantuk.

"Sebentar lagi, permataku.."

"Sebentar lagi.."

*

*

*

*

*

"Crucio!"

Keempat tubuh di lantai penjara bawah tanah yang kotor bergerak bak cacing kepanasan, jeritan kesakitan yang melengking saat kutukan terlarang mendarat di tubuh keempatnya.

Dengan satu rapalan kutukan, Voldemort sanggup mengutuk keempatnya sekaligus. Kebencian dan kemarahannya bagaikan minyak yang dituangkan ke atas bara api, memperbesar dan memperluas jangkauan bakarannya. Rasa sakit cruciatus segera meningkat ratusan kali lipat.

Voldemort menarik kembali kutukannua, berhati-hati agar keempat mangsanya tidak menjadi gila dan mengakhiri semua kesenangan. Tubuh telanjang keempat orang itu penuh luka siksaan, menangis seperti bayi.

"Ampun, tuanku..."

Kira-kira seperti itulah tangisan mereka di telinga Voldemort, yang sudah kehilangan ketenangan dan kemanusiaan didepan mereka berempat. Keempatnya tak lebih dari seonggok daging dan tulang yang siap untuk dibuang ke tempat sampah, karena sudah rusak dan busuk.

Bahu Voldemort bergetar, dia susah payah menahan dirinya untuk tidak langsung menghancurkan para sampah ini yang telah mencuri Permaisurinya.

Dark Lord mengangkat tongkatnya, dan meluncurkan kutukan lainnya. Kutukannya beragam, beberapa dikenali dan sebagian lagi tidak dikenali. Kutukan yang dilontatkan memiliki ragam bahasa, dari Latin hingga Parseltounge. Bahasa-bahasa kuno yang terdengar ngeri di telinga orang lain.

Empat korban murka Voldemort bagai daging yang terkoyak, hampir gila sepenuhnya namun Voldemort terus memanttai mereka untuk tetap waras. Memastikan seluruh inci tubuh mereka sensitif dan peka, sehingga siksaannya terasa lebih menyakitkan.

Voldemort mendengus jijik saat keempat-empatnya mengompol ketakutan, meringkuk seperti bayi.

Voldemort tidak punya belas kasihan, juga tidak berniat untuk menumbuhkan perasaan itu barang sekecil biji zara.

Empat orang itu mulai berteriak lagi, merengek dan menangis memohon belas kasihan saat kedua tangan dan kaki mereka dipotong, kedua bola mata mereka diambil, pita suara mereka di gunting, lidah mereka tak luput dari nasib mengerikan. Voldemort memerintahkan Pelahap Mautnya untuk membawa keempat orang itu menjauh dari hadapannya, mengantarkan mereka ke rumah bordil.

Benar. Rumah bordil.

Voldemort tersenyum jahat, sihir gelap berputar seperti angin puyuh di sekitarnya. Keempat orang itu akan menghabiskan hidup mereka sebagai boneka seks yang tidak berdaya selamanya. Kedua tangan dan kaki mereka dipotong agar mereka tak bisa kabur. Pita suara mereka dipotong agar mereka tidak bisa berteriak. Bola mata mereka dicabut agar mereka tak bisa melihat dimana mereka berada dan tahu kemana mereka harus kabur.

Dan uang dari hasil pelacuran mereka akan kembali ke tangan Voldemort.

Sekali lagi, Voldemort tidak punya belas kasihan. Dan dia tidak berniat untuk menumbuhkan perasaan itu.

Voldemort, yang masih berlumuran darah dan berbau sihir gelap, berjalan ke kamar pribadinya yang dihadiri banyak orang di depan pintu. Voldemort penasaran. Mengapa Pelahap Mautnya berkumpul di depan kamarnya?

Voldemort berjalan mendekat, dan orang-orang memberi jalan padanya dengan perasaan merinding yang menjauh hingga ke sumsum tulang dan gemetar ketakutan di seumur tubuh.

Langkah Voldemort terhenti saat pemandangan yang terpantri membuatnya membeku. Lucius dan Severus berlutut di lantai, memegangi putrinya yang tidak sadarkan diri, dan ada darah di lantai, di sebelah ranjangnya.

Mata merah melirik lagi ke atas ranjang, mayat Harry Potter masih berbaring dengan rapi dan tak bernyawa, namun sepertinya berantakan di satu sisi. Kesimpulan melesat ke kepala Voldemort.

Pastilah putrinya datang ke kamarnya, dan melompat-lompat di atas kasur, namun terjatuh ke lantai dan kepalanya terbentur.

Tangan membentuk kepalan hingga memutih, Voldemort memiliki ekspresi marah di wajahnya.

Ornag-ornag ini telah melihat Permaisurinya yang jelita, beraninya mereka!

"Keluar! Kalian semua, keluar!" Sihir Voldemort meledak dan mendorong semua orang keluar dari kamarnya, menyisakan antara dia, putrinya yang masih tidak sadarkan diri namun sudah diobati, dan tubuh dingin Harry Potter.

Voldemort berjalan cepat mendekati Athlarien, mendekap tubuh gadis kecil itu dengan erat dan posesif. Matanya bergerak waspada di sekeliling ruangan seperti orang gila, memastikan tak ada orang lain bersamanya.

Kegilaan Voldemort bukan lagi tentang kekuatan dan kekuasaan, melainkan Harry Potter dan putri mereka.

Keduanya milik Voldemort, tak seorangpun boleh menyentuh keduanya.

*

*

*

*

*

Kamar tidurnya gelap dan dingin pada malam musim dingin ini.  Sedikit cahaya yang masuk melalui tirai hampir tidak cukup untuk melihat, dan hembusan angin malam masuk dari jendela, menyebabkan tirai bergoyang lesu tertiup angin. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara angin yang berbisik melalui jendela.  Karpet tebal terasa seperti selimut dingin di bawah kaki, sedangkan sprei dan selimut terasa seperti terbuat dari batu, keras dan keras.  Seluruh situasi suram dan sepi, seperti sel penjara yang menunggu penghuni berikutnya.

Di atas kasur, mayat Harry Potter ditemani oleh putrinya yang masih tidak sadarkan diri. Keduanya seindah permata, seindah bunga-bunga yang bermekaran, seindah bintang-bintang, yang paling indah di mata Voldemort.

Voldemort duduk di sofa panjang nya, masih memandang dua tubuh di atas ranjangnya, matanya kosong dan pandangannya tidak jelas. Yang mengisi kekosongan ruangan adalah suara tirai uang tersibak lesu oleh angin, dan kotak musik yang biasa dipakai sebagai lagu pengantar tidur oleh Athlarien.

Voldemort berubah berbaring dengan lesu di atas sofa panjang, kesunyian ruangan hanya dipecahkan oleh suara kotak musik. Kotak musik memainkan lagu pengantar tidur, nadanya lambat dan sedih, melodinya seperti bisikan pelan namun melankolis ditiup angin. Bayangan ruangan itu tampak berkumpul di sekitar Voldemort, seolah-olah tertarik padanya, seperti ngengat ke nyala api. Udara dingin terasa berat di dalam ruangan, seolah menempel di dinding, seolah tak mau dilepaskan.

Voldemort berbaring dengan lesu di sofa panjang, matanya terpejam. Tiba-tiba, dia merasakan aroma bunga yang manis dan harum serta sesuatu yang lembut dan basah menempel di bibirnya. Ketika dia membuka matanya, dia melihat Harry Potter menciumnya dengan lembut. Pandangan Voldemort lembut namun menusuk dan menggerayangi seluruh wajahnya Harry Potter, dia merasa dirinya menyerah pada pelukan lembut Harry.  Aroma harum terus memenuhi udara, seolah-olah para bidadari surga sedang memberkati momen ini.  Voldemort merasakan sensasi aneh di hatinya, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sejak masa mudanya.

Tangan Voldemort menahan leher belakang Harry, menekannya untuk terus mencium Voldemort, menciumnya lebih dalam. Voldemort menarik tubuh Harry ke bawah, berbalik dan mengubah posisinya sehingga Voldemort berada di atas, menindih tubuh Harry.

Tangan Harry melingkari leher Voldemort, menariknya dan memperdalam ciuman mereka. Bibir bertemu bibir, terbuka dan memberi jalan untuk lidah mereka saling menyentuh, menari bersama dan bertukar saliva. Harry mengerang,  menjalankan jari-jarinya di antara rambut coklat kayu tua Voldemort yang lebat dan tertata rapi, menjambak pelan saat tangan Voldemort naik turun di dadanya.

"Nghh.." Harry mengerang, ciuman mereka lepas dan Harry mengambil napas panjang dari mulutnya. Mata hijau terpejam dalam kesenangan. Tangan Voldemort menyentuhnya di mana-mana, melepas kancing bajunya dan menurunkan celananya.

Voldemort memandang penuh nafsu, seperti predator menatap mangsanya, namun ada kelembutan disana.

"Kau sangat cantik..." Voldemort berbisik, melepas baju Harry hingga remaja itu telanjang sepenuhnya di bawah Voldemort.

Harry memberikan senyum lembut, matanya mengecil dan melengkung seperti senyuman di bibirnya.

"Permaisuri ku yang cantik..." Voldemort mulai membuka pakaiannya sendiri, masih tak lepas memandang Harry.

"Milikku yang berharga..." Voldemort menyentuh Harry, bergerak naik turun dari satu bagian ke bagian lainnya, kini Voldemort telanjang sepenuhnya.

"Harata karunku yang manis..." Voldemort meraih kedua lutut Harry, menekuk kakinya dan melebarkan keduanya, memperlihatkan tempat Athlarien dilahirkan.

Lipatan daging merah muda yang lembut dan hangat, menjepit dua jari yang Voldemort masukkan. Dua jari Voldemort bergerak keluar masuk, naik turun membelai dinding-dinding sutra hangat yang menjepit nya. Harry mengerang lembut, pinggulnya bergerak pelan dan menggeliat.

"Ahn..ah..oh.." Bibir merah muda Harry membentuk huruf 'o', mengeluarkan suara-suara manis bagaikan alunan musik surgawi bagi Voldemort.

"Permaisuri ku yang cantik jelita, yang paling indah di dunia..." Voldemort bergumam lagi, menambahkan jari yang masuk ke dalam Harry. Kini ada empat jari basah oleh lendir Harry.

Setelah beberapa kali mendorong keluar masuk jari-jarinya, Voldemort mengeluarkan jarinya sepenuhnya, dan meraih pinggang Harry, memegangnya dengan erat.

Mata merah terkunci dengan mata hijau permata, sama-sama berkabut dan gelap karena gairah, lembut dengan perasaan memuja satu sama lain yang dalam. Wajah Voldemort merendah, mencium bibir Harry dengan lembut. Di saat yang bersamaan, Voldemort mendorong masuk ke dalam Harry.

Tubuh Harry tersentak dan punggungnya melengkung, membenturkan dadanya dengan dada Voldemort. Sebuah desahan napas kaget lolos dari ciuman mereka, dan lebih banyak lagi yang keluar saat Voldemort mulai mendorong dengan tempo lembut.

Kulit bertemu dengan kulit, bibir bertemu dengan bibir. Tangan Voldemort menyentuh dada Harry, meremas nya pelan, mengundang lebih banyak desahan dan lenguhan dari Harry.

"Permata ku..hartaku.." Voldemort terus berbisik di tengah-tengah ciuman mereka, mempercepat tempo dorongan nya, tapi tetap memastikan tidak melukai Harry dalam prosesnya.

Voldemort membangun kesenangan mereka, dan hanya menikmati perasaan bergabungnya mereka. Voldemort meluncur keluar perlahan, dinding bagian dalam Harry meremas erat, mencoba untuk menahannya. Dia mendorong masuk perlahan dan kuat, matanya berputar ke belakang dengan senang hati menembus dinding sutra yang ketat lagi. Nama Harry keluar dari mulut Voldemort seperti sebuah doa.

Doa. Harry adalah doanya, yang ia puja dan ia cinta dan damba, yang selalu menghantui kepala Voldemort.

Voldemort merasa dirinya berkedut berkedut dan pinggulnya tersentak menyebabkan Harry memekik kesenangan ketika Voldemort memukul titik manisnya.

Pergulatan panas mereka penuh gairah dan seiring waktu berlalu menjadi lebih cepat dan terburu-buru, namun ada kelembutan di antara mereka.

Voldemort terengah-engah setelah mencapai puncaknya, masih mempertahankan berada di dalam Harry, merasakan bagaimana dinding-dinding sutra yang hangat itu berkedut dan bocor dengan benih Voldemort.

"Ini terasa sangat nyata." Voldemort bergumam, melayangkan ciuman kupu-kupu ke leher Harry, turun hingga hingga ke dadanya. Voldemort menangkup salah satu dada Harry,  membelai puting merah muda itu dengan pelan dan penuh kasih.

Voldemort berbisik di atas kulit lembut dada Harry. "Apakah ini nyata, permata ku?"

Harry tidak menjawab, membelai rambut halus Voldemort.

"Mengapa aku merasa...aku bisa memiliki mu, Permaisuri ku?"

Harry Potter sudah mati.

Pemikiran itu membuat Voldemort sesak, marah dan tidak terima. Ada bagian didalam dirinya yang meyakini bahwa Harry masih hidup, menunggu untuk bangun dari tidur panjangnya.

"Berhentilah memperlakukan seperti ini." Voldemort mendongak, mengangkat tubuhnya dan menatap Harry di bawah tubuhnya dengan pandangan memohon.

"Berhenti memberiku harapan! Berhenti memberiku harapan bahwa aku bisa memilikimu! Kau sudah mati!" Voldemort membentak, matanya memohon dan putus asa.

Harry tidak tersenyum, namun garis wajah dan pandangannya lembut saat dia mengangkat tangannya, mendarat di pipi Voldemort.

Keheningan di antara mereka, hanya suara gertakan gigi Voldemort yang putus asa, menutup matanya dengan erat.

"Already yours."

Suara itu membuat Voldemort membuka matanya dengan kaget, melebar seperti piring dan mendongak menatap wajah Harry yang tersenyum lembut, akhirnya mengatakan sesuatu setelah sekian lama.

"Already yours."

Voldemort mencium bibir Harry, menekan dengan kuat dan putus asa.

Benar kata Harry, dia milik Voldemort.

Sejak awal ramalan itu di sabdakan, Harry Potter milik Voldemort, sama seperti Voldemort milik Harry Potter. Roda takdir mereka berputar bersama seirama dan sejalur, dengan menggunakan satu benang merah yang sama.

Harry milik Voldemort.

Voldemort milik Harry.

Dan tak ada yang akan berubah dari itu. Bahkan dalam kematian.

Tbc....

Cukup ya, kalian masih minat nggak sih sebenarnya sama cerita ini?

Seguir leyendo

También te gustarán

482K 5.1K 86
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
75.8K 3.3K 49
Almeera Azzahra Alfatunnisa Ghozali seorang dokter muda yang tiba-tiba bertemu jodohnya untuk pertama kali di klinik tempatnya bekerja. Latar belakan...
1M 85K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
483K 48.4K 38
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...