The Lost Earth

By Hello_LinLin

455K 27.2K 282

Kemana lagi aku dan mantan suamiku harus mencari putra kami yang hilang? ••• Shiren kehilangan putranya, Bumi... More

PROLOG
1. Misery
2. Sand Bed
3. Fenceless
4. Turn The Scales
5. Terra
6. Hearty
8. Envisage
9. Explicate
10. Get the Wind Up
11. Kick Up a Row
12. Knick-Knack
13. Take to One's Heels
14. Take a Promenade
15. Put to The Front
16. Put the Finger On
17. Bring Out Into the Open
18. Sunshiny
19. Fall in Line
20. Blameworthy
21. Quandary
22. Crumple
23. Bury The Hatchet
EPILOG

7. Twitch

17K 1.1K 2
By Hello_LinLin

•••

Shiren

Pelan-pelan aku membuka mata dan merasakan kepalaku teramat pusing. Badanku pun pegal-pegal. Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk mencermati situasi ini.

"Eh, Pak Kukuh, ini Mbaknya udah sadar."

Aku langsung mengernyit bingung mendengar suara asing itu. Selang beberapa detik, seorang bapak-bapak yang tidak kukenal mendekat padaku.

"Alhamdulillah. Mbak, bisa dengar saya?"

Aku memejamkan mata sekejap. Kepalaku bertambah pusing. Namun, setelah itu aku teringat bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan. Tubuhku langsung menegang. Seketika itu aku teringat akan Bumi. Bagaimana keadaan anakku? Apa dia terluka?

"Iya," ujarku lirih. "Bumi..."

"Alhamdulillah banget Mbaknya nggak luka parah. Lain kali hati-hati, ya, Mbak." Bapak-bapak tadi tersenyum padaku. "Gimana bisa nabrak pohon, Mbak? Apa gara-gara ngantuk?"

Aku menggeleng, tidak benar-benar mendengarkan perkataan bapak itu. Hanya ada satu hal yang membuatku khawatir. "Anak saya... gimana keadaan anak saya?"

Aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa mereka semua justru saling memandang satu sama lain dengan ekspresi bingung. Memang apa yang terjadi dengan Bum?

Salah satu ibu-ibu yang sepertinya ikut mengantarku, akhirnya membuka suara. "Anak yang mana ya, Mbak?"

Detik itu juga, aku tidak bohong, jantungku berdebar satu kali lebih cepat. Rasa panik seketika menjalar disekujur tubuhku. "Anak saya, yang... yang ikut saya di motor. Dia juga ikut jatuh."

"Loh, Mbaknya sendirian kok." Ibu itu memiringkan kepalanya ke kanan. "Nggak ada siapa-siapa waktu saya nolongin Mbaknya."

"Apa?" Aku segera bangkit. "Tapi- tapi saya bawa anak saya tadi. Dia masih balita. Tubuhnya agak besar. Pipinya chubby. Apa kalian nggak liat?"

Mereka semua menggeleng. Sepertinya memang tidak ada satupun orang yang mengetahui keberadaan Bum. Aku pun tidak membuang waktu lagi untuk turun dari ranjang dan bergegas mencari anakku.

"Tolong anterin saya ke lokasi kecelakaan tadi. Tolong." Aku menyatukan kedua tanganku dengan gemetar. Salah satu bapak-bapak pun dengan ragu mengangguk dan segera mengantarku dengan mobilnya.

Sampai dilokasi kejadian, aku terperangah. Tidak ada siapapun di sana. Entah ini karena langit masih gelap sehingga aku tidak melihat keberadaan Bum atau memang tidak ada orang di sana.

"Bum!" seruku. Aku mencarinya kemanapun. Ke semak-semak, di teras-teras rumah warga, bahkan sampai hendak masuk ke area gelap disekitar situ. Aku benar-benar kalang kabut mencari Bum.

Tanganku terus berada disamping mulut sembari berteriak,"Bumi!"

Meskipun aku berlarian ke sana kemari, tidak ada tanda-tanda keberadaan putraku. Kakiku melangkah sangat jauh tak tentu arah dengan air mata yang mulai meluncur deras. Hingga dini hari akhirnya tiba. Namun, Bum masih belum ditemukan. Aku kesakitan, lelah, frustasi, dan bingung.

Warga setempat tidak ketinggalan menyaksikan aksiku. Sayangnya, tidak ada satu pun dari mereka yang mau membantuku mencari Bum. Entah dimana rasa empati yang mereka miliki.

"Ya, Allah. Kasian banget," komentar salah satu ibu-ibu yang masih mengenakan mukena.

Tangisku semakin menjadi. Akhirnya karena tidak menemukan Bum dimanapun, aku lantas menelepon Mbak Alya. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku mintai tolong.

Teleponku sempat lama tidak diangkat hingga akhirnya suara Mbak Alya muncul. Sepertinya dia baru saja bangun tidur. Aku jadi sedikit tidak enak karena menganggunya. "Halo, Mbak?"

"Kenapa, Ren? Kok tumben telepon pagi-pagi? Bum rewel?" tanyanya beruntun.

Tanpa sadar aku menggeleng. "Mbak, Bum ilang, Mbak!" Aku menggigit bibir untuk menahan tangisku yang kesekian kali.

"Ilang?! Kok bisa? Kamu dimana sekarang?"

Kepalaku melihat ke sekitar. Kemudian, aku pun menjelaskan lokasi tempat aku dan Bum kecelakaan. Beruntungnya Mbak Alya dengan cepat mengetahuinya.

Tidak sampai 20 menit, Mbak Alya akhirnya tiba. Aku segera memeluknya untuk meredakan keresahanku. Beruntung, wanita yang sudah aku anggap kakakku itu berusaha menenangkanku.

Mbak Alya pun bertanya pada warga yang tadi sempat mendampingiku. Dia menanyakan bagaimana kronologinya. Aku juga menceritakan sedikit mengenai kecelakaan yang aku alami. Hampir saja saat itu aku menabrak seorang wanita, makanya aku menabrakkan motorku ke pohon.

Setelah mendengar semua penjelasanku, Mbak Alya pun mengusap-usap pundakku dan memberi saran. "Apa kita lapor polisi aja, Ren?"

•••

"Agak sulit kalau belum 24 jam, Mbak. Apalagi ilangnya baru tadi malem."

Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak berdecak kesal. "Pak, saya nggak bisa nunggu 24 jam. Anak saya sendirian disuatu tempat. Dia pasti lagi nangis cariin saya sekarang!"

Pak polisi itu menghela napas dan menyatukan tangannya diatas meja. "Begini, Mbak. Ini sudah menjadi prosedur yang berlaku. Coba Mbak cari dulu sendiri. Mungkin dia udah pulang, atau bisa aja dia ke rumah neneknya. Kalau masih belum ketemu juga, kami akan menindaklanjuti kasus ini. Tenang saja."

Demi Tuhan, bagaimana anak sekecil Bum bisa pulang sendiri ke rumahnya? Ini jelas-jelas tidak masuk akal. Padahal Bum bisa saja berada dalam bahaya. Mana bisa sih aku tenang? 

Ketika tengah emosi, Mbak Alya mengusap punggungku dengan lembut. "Udah, Ren. Sabar aja dulu. Besok kalau Bum nggak ketemu kita ke sini lagi. Mereka juga kayaknya nggak mau urus kasus ini sekarang," bisiknya.

Apa boleh buat? Sepertinya aku memang harus mengalah kali ini. Tidak ada gunanya juga memarahi pak polisi itu sekarang. Toh, mereka juga tidak mau mengubah peraturan yang berlaku.

Aku dan Mbak Alya pun sepakat untuk kembali ke rumah. Mbak Alya meminta izin untuk mengurus Hani terlebih dahulu.

Kini tinggallah aku sendirian di rumah. Sepi serta sunyi, tidak ada lagi tawa Bum yang menghiasi setiap dinding rumah. Aku kembali menangis. Orang-orang berkata, mereka tidak membawa siapapun bersamaku ke rumah sakit. Artinya Bum tidak ada di sana. Namun, Bum juga tidak ada di lokasi kecelakaan. Lantas, bocah sekecil itu pergi ke mana?

Aku mencengkram bajuku sendiri karena berpikir bahwa Bum diculik. Itu bisa saja terjadi. Bulu kudukku berdiri semua. Ketakutan pun menyergapku. Bagaimana kalau itu benar?

Segera aku mandi dan berganti pakaian. Aku ingin kembali menyusuri jalan dimana aku kecelakaan. Perasaanku masih tidak rela jika Bum tidak ada di sana.

Saat aku datang kembali, terdapat beberapa hansip dan bapak-bapak berpeci. Mereka sontak segera mendatangiku.

"Saya udah denger beritanya, Mbak. Semoga anaknya cepet ketemu yah." Orang yang mengaku sebagai ketua RT itu menjeda ucapannya. "Belakangan memang di daerah sini sering banget ada anak yang hilang. Ada yang bilang mereka diculik. Kami sih berharap nggak, ya. Semoga rumor itu nggak bener."

Aku hanya menatap sendu bapak itu. Kemudian beliau pun kembali melanjutkan ucapannya. "Mbaknya tenang aja. Kami petugas keamanan bakal berjaga di sini. Semua warga juga udah dikasih tau kalau ada berita anak hilang. In Syaa Allah, anaknya Mbak bisa segera ketemu."

Aku mengamininya. Rasanya sedikit lega mendengar ada orang yang masih peduli dengan masalahku ini. Semoga Tuhan membantu kami menemukan Bum.

Anak laki-lakiku itu pasti saat ini sedang kelaparan. Dia belum makan apapun sejak semalam. Biasanya dia akan merengek terus. Aku berharap, dimanapun dia berada, setidaknya ada seseorang yang membantunya.

Entah karena luka akibat kecelakaan yang belum sepenuhnya sembuh atau apa, tubuhku mulai goyang. Jalanku tidak lurus. Mataku berkunang-kunang dan tubuhku mendadak jatuh ke tanah. Rupanya rasa lelahku sudah tidak dapat ditolerir lagi.

•••

Ini sudah tiga hari sejak kejadian dimana aku kehilangan kesadaran. Parahnya, Bum masih belum juga ditemukan. Polisi memang sudah menindaklanjuti kasus ini. Namun, bahkan sampai saat ini tidak ada jejak keberadaan Bum. Aku juga tidak mau berdiam diri dan menunggu polisi. Tiap-tiap hari aku rajin membagikan selebaran orang hilang dengan gambar Bum yang besar dalam kertasnya.

Setiap orang yang lewat TKP kecelakaan pasti aku beri selebaran ini. Walaupun kemungkinan untuk menemukan Bum dengan cara ini kecil, aku tetap tidak menyerah.

Dari pagi sampai petang, aku terus berdiri dan membagikan selebaran. Tidak jarang, ada orang yang membuang dan menolak selebaranku mentah-mentah. Hatiku sakit, tapi bukan itu yang harus aku pikirkan sekarang.

Malam harinya, aku kembali ke rumah dengan lesu. Di sana sudah ada Mbak Alya yang menungguku penuh senyum sendu. "Masih belum ada hasil?" tanyanya.

Aku hanya menggeleng kecil. Rasa untuk menyerah kadangkala hinggap, tapi naluriku sebagai ibu melarangnya. Aku harus bisa menemukan Bum, apapun yang terjadi, apapun caranya.

"Sabar, ya, Ren. Aku selalu doain, semoga Bum baik-baik aja dimanapun dia sekarang." Mbak Alya tersenyum menenangkan. "Kamu tahu, 'kan? Anak kamu itu pinter. Dia pasti bisa bertahan sampai kita nemuin dia."

I was hoping for the same thing. "Makasih ya, Mbak. Selama ini cuma Mbak Alya yang bisa aku mintai tolong. Maaf kalau aku ngerepotin terus."

"Eh, ya nggak dong. Kamu udah aku anggep kaya adikku sendiri." Mbak Alya bergerak memelukku. "Kalau kamu butuh sesuatu, bilang aja. Oke?"

Sembari melepaskan pelukannya, aku mengangguk. Mbak Alya selalu bisa membuat aku merasa tenang. Dia seperti penjaga yang Tuhan kirimkan padaku. Semoga saja kebaikannya dibalas dengan manis oleh Tuhan.

"Oh, ya. Gimana kata polisi? Mereka udah nemu sesuatu?"

"Belum, Mbak. Semua masih sama. Bahkan aku ngerasa pencarian ini malah berjalan lambat. Aku jadi nggak bisa ngandelin mereka." Alisku mengernyit kesal.

"Wajar. Kamu kan ibunya Bum, pastilah kamu ngerasa nggak sabaran, tapi aku saranin kamu buat percaya sama mereka."

Aku mengangguk kecil. "Iya, Mbak."

Ada jeda beberapa menit hingga Mbak Alya kembali berceletuk, "Atau kalau nggak, kamu bisa..."

Aku menatap Mbak Alya heran karena dia terlihat ragu-ragu dalam bicara. Sepertinya dia mempunyai cara lain agar Bum segera ditemukan, tapi kenapa dia tidak yakin dalam mengatakannya?

Sambil menatapku lamat-lamat, Mbak Alya bicara dengan nada hati-hati. "Kamu bisa minta bantuan mantan suami kamu."

•••

Ayo share cerita ini ke orang lain, biar saya jadi :

Continue Reading

You'll Also Like

126K 4K 43
Kenapa kau takut untuk menatap mataku. Bukankah kau yang mengendalikan hati. Cinta memang hal buruk, kau mengakuinya. Aku menyadari rasa yang kutemuk...
45.7K 2.7K 46
Cella masih ingat apa yang Darel katakan hari itu. Ingatannya tidak seburuk itu untuk mengulangi kalimat panjang yang cowok itu ucapkan. Bahkan hingg...
288K 21.8K 57
"𝕿𝖊𝖗𝖑𝖎𝖍𝖆𝖙 𝖇𝖆𝖎𝖐 𝖘𝖊𝖈𝖆𝖗𝖆 𝖋𝖎𝖘𝖎𝖐, 𝖙𝖆𝖕𝖎 𝖍𝖆𝖓𝖈𝖚𝖗 𝖘𝖊𝖈𝖆𝖗𝖆 𝖒𝖊𝖓𝖙𝖆𝖑" *** Bagaimana jadinya, jika seorang gadis berpin...
346K 34.4K 103
"Sebutkan 3 permintaan mu" Monica tertawa sinis, Air matanya terjatuh bahkan disaat ia merasa sangat terpuruk orang lain tetap menganggap hidupnya ha...