Strawberry Cloud [End]

נכתב על ידי PinkCappuccino

2.2M 339K 327K

(SUDAH TERBIT) TERSEDIA DI SELURUH GRAMEDIA "Kita nggak pacaran, tapi Kak Caka punya aku!" Alana tersenyum le... עוד

Prolog
01 - Caka Elvano
02 - Alana Gioni
03 - Rebels
04 - Pity
05 - 6/9
06 - Tulus
07 - The Other Side
08 - Pinch
09 - Hidden Enemy
10 - Movie
11 - She's On Cloud Nine
12 - Enchanted
13 - Yang Akan Retak
14 - Yang Retak
15 - I Hate You Caka Elvano
16 - Menghilang
17 - Your Leaving
18 - Strawberry Cloud
19 - Kisah Yang Belum Dimulai
20 - (?)
21 - Pretty Cloud
22 - Kembali
23 - Dia Alana
24 - 12.12
25 - Mine
26 - My Pretty Alana
27 - Be a Good Girl
28 - Wreak
29 - Secret Date
30 - She's My Home
31 - I'm Yours
32 - My Strawberry
33 - My Little Alana
34 - Dinner
35 - Strawberry Mark
36 - Heats Up
37 - Strange
38 - Danger
39 - Campus Romance Begins?
40 - Private But Not Secret
41 - Now, Babe!
42 - Serba Salah
43 - Mencekam
44 - Pindahan
45 - Pindahan 2
46 - Not Your Fault
47 - Pertandingan
48 - Revealed
49 - Holiday Date Planning
50 - Nusa Penida
51 - Kissing in The Pool
52 - Get Drunk
53 - Fact
54 - Last Holiday
55 - Titik Lemah
56 - Aneh
57 - He's Crazy
58 - Stubborn
59 - Bertengkar
60 - Saran
61 - Terkuak
63 - Obat
64 - Terbongkar
65 - Hancur
66 - Tersiksa
67 - Tersiksa 2
68 - Syarat
69 - End

62 - Terkuak 2

18.3K 4.1K 5.5K
נכתב על ידי PinkCappuccino

Vote dulu ya sebelum baca 💗 komen di setiap paragraf biar gemes 🌷💗 part ini sad, jadi bukan happy reading tapi sad reading ❤️‍🩹

Baca kalo kamu sendirian biar feelnya nyampe 🩷 sambil dengerin lagu sedih versi kamu.

Kalo aku bikin part ini sambil dengerin Sung Si Kyung yang judulnya every moment of you, sama Tanya dari Dere ❤️‍🩹

❤︎❤︎❤︎

Malam itu Caka segera mengajak Bu Marito bertemu setelah berpikir berulang kali. Ia menunggu di taman kompleks perumahan elit dekat rumah mewah wanita itu. Mata Caka merah usai menangis di perjalanan.

Bu Marito tidak menolak diajak bertemu meski hari itu sudah larut malam. Dia bahkan langsung mengiyakan dan menyuruh Caka menunggu sebentar setelah tahu dia berada di taman kompleks.

Caka menatap ribuan bintang di atas langit. Dia tidak pernah sebingung ini. Apa yang akan ia lakukan setelah Bu Marito datang? Apa ia harus marah? Caka berusaha memikirkannya.

Suara jangkrik di semak-semak, ranting yang bergesekan karena angin, serta deru napas Caka yang menggambarkan betapa lelahnya ia. Tubuh Caka begitu lemas. Masalah demi masalah tidak berhenti mendatanginya akhir-akhir ini.

Bu Marito datang dan langsung menyapa Caka. Ia duduk di samping Caka dengan merapatkan jaket yang dikenakannya. "Kamu tidak dingin? Kenapa tidak pakai jaket?" tanya Bu Marito.

"Dingin," jawab Caka singkat.

Bu Marito segera melepas jaket miliknya, kemudian menyampirkannya pada pundak Caka. "Pakai jaket saya saja. Saya pakai baju cukup tebal."

Wangi di jaket Bu Marito sangat khas. Sialnya wangi itu menenangkan Caka yang sedari tadi merasa gundah.

"Kamu mengajak saya bertemu untuk memikirkan ulang tawaran saya kemarin?" tanya Bu Marito. Caka tampak aneh malam itu, menunduk memperhatikan tanah tanpa melirik sedikit pun padanya.

"Saya sedang bingung," jawab Caka jujur.

"Bingung kenapa?"

"Perasaan saya. Harusnya saya marah dalam situasi ini, tapi justru sebaliknya. Saya heran kenapa saya merasa senang. Sangat senang sampai membuat saya menangis. Akhirnya saya menemukan orang untuk saya salahkan atas semua yang terjadi pada saya selama ini."

Bu Marito terkejut melihat Caka menangis dalam diam. Refleks dia menghapus air mata di kedua pipi Caka menggunakan punggung tangannya. "Caka, kamu sebenarnya kenapa? Kamu juga tampak pucat dan tidak sehat. Apa sebaiknya kita ke rumah sakit? Ayo saya antar."

Caka menggeleng lemas. "Saya tidak apa-apa. Hanya bingung dengan isi pikiran saya yang berkecamuk."

"Kamu bisa mengatakan semua kepada saya. Agar kamu tidak bingung seperti ini. Kamu buat saya khawatir," panik Bu Marito.

Caka menoleh, menatap Bu Marito lekat-lekat. "Apa tidak apa-apa?"

"Tentu saja. Bukankah kamu menemui saya untuk itu? Saya mau mendengarkan semuanya tanpa memotong."

"Suasana hati saya akhir-akhir ini buruk. Saya bertengkar hebat dengan kekasih saya. Masalahnya karena saya tidak bisa dengan baik memahami perasaannya."

"Saya berpikir keras. Apa kesalahan saya fatal? Saya juga merasa bodoh karena tidak bisa menjawab pertanyaan yang dia ajukan dengan baik. Harusnya saya lebih memahaminya, agar dia tidak marah kepada saya. Harusnya saya bisa menjawab pertanyaan penting itu agar dia tidak salah paham akan saya. Namun menjabarkan apa yang saya rasakan selalu menjadi kesulitan saya dari dulu."

"Saya sangat mencintainya. Dia yang mengenalkan warna indah yang buat saya takjub. Seperti seorang yang datang memberi hadiah yang tidak pernah saya dapatkan dari dulu."

"Semua menjadi semakin rumit, Bu." Lirih Caka.

"Rumit kenapa?" tanya Bu Marito. Dia mendengarkan semua yang Caka ucapkan dengan serius.

"Apa semua berbeda jika saya tidak haus kasih sayang? Apa tidak akan serumit ini jika saya diajarkan tentang empati dan simpati? Karena setiap harinya saya harus berpikir keras untuk menjabarkan apa yang saya rasakan saat membuka kedua mata."

Caka mengusap kasar air mata yang tidak berhenti mengalir deras. "Sebelumnya saya tidak secengeng ini, Bu. Saya tidak tahu kenapa hari ini saya tidak berhenti menangis."

Bu Marito ikut menangis melihat Caka. Ia mengusap punggung Caka dengan lembut untuk menenangkannya.

"Saat SD, saya benci hari ibu," ungkap Caka dan berhasil membuat tangan Bu Marito yang mengusap punggungnya berhenti. "Karena di hari itu, surat yang saya tulis tidak sampai kepada ibu saya."

"Saya juga tidak suka menangis. Saat itu saya sudah bisa berpikir bahwa menangis tidak ada gunanya. Tidak akan membuat saya punya ibu seperti yang lain."

"Saya dicap sebagai anak tidak normal karena minim simpati dan empati. Padahal bukan salah saya, kan? Bukankah tugas seorang ibu mengajarkan anaknya perasaan seperti itu? Sedangkan sedari kecil tidak ada yang mengajari saya hal itu. Nenek hanya mengajari saya untuk berbuat baik."

Bu Marito tidak bisa mengucapkan satu patah kata pun selain menangis. Rasa bersalah tidak berhenti menggerogoti hatinya. Padahal dia sudah bertekad untuk tidak peduli. Namun nalurinya sebagai seorang ibu tidak bisa dia kendalikan. Melihat Caka tumbuh menjadi sosok yang kuat, membuat Bu Marito bangga kepadanya. Dia tidak tahu luka apa yang dibawa Caka karena ulahnya.

"Saya juga selalu iri dengan teman saya Alvarez. Dia memiliki keluarga yang hangat dan ibu yang sangat baik. Saya diizinkan untuk memanggil ibu Alvarez dengan sebutan Bunda. Berkat beliau, saya bisa merasakan kehangatan barang sejenak."

"Rumah menjadi gelap tanpa seorang ibu, dan hidup menjadi gelap tanpa seorang ayah. Sedangkan saya tidak punya kedua figur tersebut sejak saya kecil. Sekarang saya baru menyadari alasan kenapa warna hidup saya selalu monokrom."

"Maafkan saya, Caka. Maafkan saya." Bu Marito menangis tersedu-sedu mengatakannya.

Caka berdiri, ia melepaskan jaket kemudian memasangkannya pada pundak Bu Marito. "Saya pikir saya akan marah saat bertemu wanita yang meninggalkan saya. Tapi nyatanya rasa bahagia saya lebih mendominasi dibanding rasa marah saya."

Caka merogoh saku celana belakangnya. Dia mengambil dua surat yang dia tulis saat SD di hari ibu, bersama dengan sebuah foto yang dia temukan di gudang.

"Sepertinya Nenek yang selipkan foto Anda di belakang foto masa kecil saya. Papa menyingkirkan semua jejak Anda. Sampai saya benar-benar tidak mengetahui sosok wanita yang menghadirkan saya di dunia ini."

Caka menyerahkan kertas usang serta foto yang dia kantongi kepada Bu Marito. Tangan gemetar Bu Marito menerima surat dan foto tersebut. "Saya masih menyimpan surat di hari ibu belasan tahun lalu. Sebenarnya ada banyak, tapi hilang dan hanya itu yang tersisa. Akhirnya saya bisa memberikan surat tersebut kepada ibu saya meski terlambat."

"Anda tidak perlu terbebani. Saya tidak akan menuntut banyak hal. Jangan minta maaf, karena saya tidak bisa memaafkan Anda. Teruslah merasa bersalah kepada saya, kepada anak kecil yang Anda buat menderita bahkan sampai lupa caranya menangis."

"Anak kecil itu, saya akan menuntunnya bersama saya sampai saya mati. Saya akan berusaha menyembuhkan lukanya. Kedepannya, jangan beri saya perhatian yang terlambat Anda berikan."

Caka melangkah pergi meninggalkan Bu Marito yang meraung menangis kesakitan mendengar semua yang Caka ucapkan.

Hanya singkat yang Caka ceritakan tentang kesulitan hidupnya. Namun sakitnya sangat keterlaluan. Penyesalan hanya penyesalan. Dan waktu tidak bisa diputar, sama dengan luka Caka yang sudah terlanjur tertoreh. Luka masa kecil yang membentuk kepribadiannya sekarang.

Caka tidak lebih dari manusia hilang arah. Ia berjalan dengan mengikuti arah angin yang bertiup secara tidak pasti.

❤️‍🩹❤️‍🩹❤️‍🩹

Sakit ya jadi Caka 💔 Anak hebat ❤️‍🩹

Next 5K komen

המשך קריאה

You'll Also Like

107K 8.8K 17
[Complete] Jaemin dan Mark menikah. Tapi orang ketiga muncul dan menghancurkan segalanya. Bahkan sampai orang keempat juga. cast: Mark × Jaemin Jaehy...
6.7M 698K 59
Sudah di terbitkan oleh penerbit Bukune (FOLLOW SEBELUM BACA!) untuk saat ini kamu bisa membeli bukunya di toko buku online (FOLLOW SEBELUM BACA!) Mi...
1.1M 54.5K 48
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
87.1K 10.5K 38
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Hidup aku rapuh ketika terdiagnosa kanker hati tiga tahun yang lalu. Dua tahun yang lalu pacarku memutuskan hubungan dengan...