Get Well Soon

By macafau

7.2K 885 403

Tidak ada yang tahu alasan Ris pergi ke IGD sendirian dengan kondisi fisik yang berantakan. Sementara, alasan... More

Chapter I : Datang Sendirian di Keramaian
Chapter II : Pasien Pertama Adimas
Chapter III : Teman Yang Berprofesi Dokter
Chapter IV : Ris 'Sendirian' Atmariani
Chapter V : Waktu Indonesia Bagian Overthinking
Chapter VI : Ujian Dadakan
Chapter VII : Perasaan Adimas
Chapter IX : Doa Yang Baik Saja
Chapter X : Serba-serbi yang Tak Terucap di Sabtu Pagi
Chapter XI : Terjebak Ekspektasi
Chapter XII : Fungsi Kakak dan Adik
Chapter XIII : Lekas Pulih, Ris
Special Illustration
Chapter XIV : Pulang ke Rumah yang Mana?
Chapter XV : Ngobrol Tipis Kena di Hati
Chapter XVI : Di Rumah Ayah

Chapter VIII : Siapa Keluarga Siapa?

415 47 7
By macafau

Jerit tangis dari ujung koridor membangunkan Ris di tengah malam. Memecah hening, memicu keramaian di koridor yang sarat akan panik dan duka. Menimbulkan pertanyaan dalam benak si gadis dua puluh empat tahun itu.

Ada apa? Ada yang meninggal? Lalu siapa yang akan menyusul selanjutnya? Apa mungkin Ris akan menyusul secepatnya? Sebab dadanya nyeri dan sekadar napas saja terasa mengikis tiap sel dalam tubuh Ris.

Ris bangun terduduk mencoba menstabilkan napas. Ia baru ingat kalau sang ayah ada di sana ketika menerima inhaler untuk meredakan gejala asmanya yang kambuh malam ini.

Semenit, dua menit hingga dua puluh menit. Ris berusaha menetralkan napasnya sebelum bersandar pada sandaran kasur yang ditinggikan. Ia melirik ke sebelah kanan, menatap Suryadi yang tampak khawatir.

Ada ribuan pertanyaan dalam benak Ris. Ingin ditanyakan pada ayah yang sudah kelewat sangat lama tidak ditemuinya langsung. Memandang potret dirinya pada Ayah bila dia lahir sebagai lelaki.

"Kalau masih sesak Ayah panggil perawat," kata Suryadi khawatir.

Obat tadi mujarab. Yang memang bertahun-tahun Ris memakainya untuk pertolongan pertama. Besok pagi kalau bertemu Adimas, Ris akan menceritakan kambuhnya malam ini agar sang dokter mungkin bisa meresepkan obat lewat nebulizer untuk terapi harian.

"Nggak, sudah gak apa-apa," kata Ris pelan.

"Jangan bohong. Kasihan dokter Adimas kalau kamu bohong lalu salah diagnosis, dia yang kena getahnya kalau kamu berbohong tentang kondisi kamu." Ini Suryadi menguji, menguji seberapa peduli Ris pada Adimas, membuktikan satu dugaan yang terjebak dalam pikiran.

Ris terjebak. Jantungnya berdetak cepat. Kini ia khawatir kalau Adimas dipecat oleh sang ayah karenanya. Tidak tahu dia kalau Suryadi hanya bisa melaporkan dan dr. Aryanto yang akan memutuskan apakah Adimas harus dipecat atau tidak.

"Masih agak sesak, tapi biasanya juga begini," kata Ris akhirnya.

Suryadi mengeluarkan oksimeter yang kemudian di pasang di jari telunjuk Ris untuk terus memantau saturasi oksigen dalam tubuhnya. Setidaknya harus sampai di angka 85 ke atas, baru Suryadi bisa agak tenang.

"Kalau di rumah sering kambuh?" tanya Suryadi.

"Sebulan minimal sekali. Kadang kalau kecapekan bisa seminggu dua sampai tiga kali," jelas Ris. Dia jujur demi Adimas, tak mau kalau sang dokter sial karenanya.

"Berobatnya gimana dan di mana?" tanya Suryadi lagi.

"Ke puskesmas paling," jawab Ris seadanya.

"Waktu kuliah ke poliklinik kampus," tambah Ris lagi sambil berusaha mengingat-ingat.

"Nanti mulai berobat lagi, ya. Harus rutin itu loh," kata Suryadi dengan nada khawatir.

Suryadi menghela napas. Dalam hati sedang menyalahkan dirinya sendiri atas segala kelalaian yang ia lakukan. Kelalaian yang membuat putrinya sakit.

"Kenapa gak pernah bilang sama Ayah?" tanya Suryadi pelan walau tahu pertanyaan itu sebenarnya salah total.

Ris pun merasa pertanyaan itu salah. Tatapannya pada sang ayah berubah, kini kesal sedikit demi sedikit menguasai emosinya. Ia menarik napas dalam menyisakan rasa perih yang tersayat-sayat, sebelum menghembus perlahan guna menahan amarah dalam jiwa.

"Ayah gak menikah lagi. Ayah juga sekarang hidup sendiri. Terus kenapa harus cerai sama Ibu?" tanya Ris menahan diri untuk tak mengeluarkan nada sinis.

"Apa memang Ibu tukang selingkuh?" tanya Ris. Yang membuatnya marah adalah segala ketidaktahuannya tentang alasan perceraian Suryadi dan ibunya Ris.

Ris menghardik setiap orang yang menuduh Ibu sebagai pelakor. Ris mendoakan segala keburukan untuk kakak-kakak Ibunya yang terus menuduh Ibu sebagai perebut suami mereka. Ris puas ketika membuat mereka rugi.

"Bertaubatlah. Mungkin sakitmu karena banyak dosa."

Ya, Ris banyak dosa. Ibu tak perlu mengulangi itu berulang-ulang. Ris yang banyak berkata buruk dan menyakiti hati orang lain demi membela Ibu yang dituduh pelakor.

Ris mulai dewasa. Ris mulai bertanya-tanya mengapa Suryadi terus menghubunginya, tak berat hati untuk menafkahinya dan tidak menikah lagi setelah bercerai dengan Ibu. Kalau bukan Suryadi yang salah seperti kata Ibu biasanya, apa berarti Ibu yang sebenar-benarnya tukang selingkuh.

Jadi, siapa yang harus bertaubat? Ibu atau Ris?

"Siapa yang bilang Diani tukang selingkuh?" tanya Suryadi hati-hati.

"Semua orang, kakak-kakak Ibu, nenek, kakek, semuanya tanpa terkecuali. Bertahun-tahun aku diejek anak pelakor, bertahun-tahun aku menumpuk dosa karena tak punya kesabaran untuk menahan diri dan memilih membalas kejahatan mereka."

Suryadi tercekat. Sesungguhnya kondisi kesehatan Ris sekarang bukan kondisi yang tepat untuk membicarakan hal-hal seperti ini.

"Ibu baru dua puluh tahun waktu menikah dengan Ayah, bercerai diumur dua puluh lima. Lalu terkenal sebagai janda muda, aib yang memalukan bukan cuma ditanggung oleh Ibu tapi oleh aku yang gak tahu apa-apa." Tetes demi tetes air mata mulai membanjiri wajah Ris, emosinya kini sudah memuncak.

"Kenapa harus bercerai kalau ayah bahkan gak menikah lagi?" tanya Ris.

Tidak mungkin Suryadi untuk berkata jujur bahwa dari awal ia memang tak ada niatan untuk menikah. Tahu banyak perangai kakak perempuannya yang suka ikut campur, tahu banyak bahwa istri-istri kakak lelakinya tak ada yang kuat menghadapi kakak perempuannya. Alasan pertama Suryadi tak mau menikah, tak tega kalau melihat anak orang sakit hati.

Tidak mungkin juga Suryadi berkata jujur bahwa keluarga Diani terkesan menjebak Suryadi. Diani yang masih muda harus membayar hutang-hutang kakaknya, menebus barang-barang yang digadai ibunya, mengeluarkan bapaknya dari penjara. Ketika menikah, seakan Suryadi juga harus menafkahi seluruh keluarga Diani, sampai tak punya tabungan sepeser pun.

Suryadi tak mungkin berkata jujur. Berat sekali hatinya untuk membuat Ris membencinya dan membenci Diani. Dua alasan yang bisa membuat Ris mungkin akan membenci setiap orang dalam keluarga besar mereka.

Ris tak boleh membenci keluarganya, tidak boleh juga dibenci oleh keluarganya. Paham Suryadi terus mengingat bahwa tak ada siapapun yang bisa menolong kecuali keluarga sendiri-

Lalu Adimas siapa? Bukan keluarga tapi yang paling aktif menolong Ris sementara tak ada satu pun anggota keluarga yang sadar kalau gadis itu menghilang untuk pergi ke rumah sakit sendirian.

Apa yang dilakukan Adimas lebih dari hubungan dokter dan pasien. Lelaki itu banyak membantu dengan tulus, mengkhawatirkan kondisi Ris berkedok khawatir karirnya hancur padahal dengan kekuatan orang tuanya, tak mungkin Adimas dipecat begitu saja. Ia yang sibuk memikirkan siapa yang menemani Ris selama di rumah sakit.

Lalu Adimas siapa? Ketika bahkan Suryadi tak akan tahu Ris dirawat kalau bukan karena harus melakukan audit pelayanan pada Adimas yang baru pertama kali jadi DPJP. Ketika bahkan Diani tak akan tahu kalau Suryadi tak memberitahunya.

"Ris-" Suryadi susah payah hendak membuka suara untuk menjelaskan tapi suara lain menginterupsi.

"Selamat dini hari!" Lemas tapi ceria, suara menyapa dari balik tirai. Adimas datang mengenakan scrub tapi bukan dipadu snelli melainkan zipper hoodie berwarna biru dongker.

"Jam dua dini hari, maaf mengganggu tidurnya, ya. Karena besok harus USG jadi harus puasa, makanya sarapannya sesubuh ini," ujar Adimas yang datang bersamaan dengan pegawai dari bagian gizi.

Ris menyeka air matanya. Sayang, Adimas terlanjur melihatnya, membuat Adimas memasang ekspresi khawatir di wajah mengantuknya.

"Apa ada keluhan?" Adimas segera mengeluarkan stetoskop dari saku jaketnya.

"Tadi kambuh, sudah disemprot ventolin pakai inhaler," tutur Suryadi menjelaskan.

"Besok setelah USG, konsultasi ke dokter paru, ya? Maaf, aku pikir sudah mulai reda jadi nebulizernya dihentikan," ujar Adimas sopan.

"Apa sesak sekali?" tanya Adimas lagi pada Ris sambil memperhatikan oksimeter di jari telunjuk Ris. Sebenarnya sedikit lagi masuk tahap normal.

Ris menggeleng. Sesaknya sudah tidak begitu parah, hanya sedang kesal yang bercampur dengan sedih. Ia mencoba menghentikan air matanya yang terus mengalir tak henti-henti.

Adimas menatap pada Suryadi yang memperhatikannya dari tadi. Suryadi diam, dia pun tak bisa menjelaskan dan sedang menunggu apa respon Adimas selanjutnya.

Adimas menghela napas lalu berpikir. Sejujurnya kalau pasien menangis ia juga ingin menangis saking tak tahu harus berbuat apa. Hanya, kali ini Adimas sadar umur, takut dipecat dan gengsi tentunya.

"Menangis di rumah sakit itu wajar." Tepat ketika Adimas mengatakan itu, pekik tangis di koridor yang telah terdengar sedari tadi makin menjadi.

"Yang gak wajar kalau mengganggu orang lain." Adimas menambahkan. Menangis histeris tidak dapat ditoleransi.

"Ris sedih? Kalau mau cerita-" Harusnya lanjutannya adalah 'kalau mau cerita Adimas siap mendengar', tapi Adimas urung karena merasa Suryadi menatapnya tajam.

"Kadang aku cuma ingin menangis tanpa sebab," kata Ris yang malah membuat Adimas makin pening. Kalau begitu apa perlu Ris juga berkonsultasi pada dokter spesialis kejiwaan? Bisa-bisa jadi tim besar untuk menangani Ris seorang.

"Jangan bohong, Ris. Kasihan tuh, dokter Adimas stres, takut dipecat," goda Suryadi yang membuat Adimas gelagapan.

Ris menghela napas lalu menggenggam tangan Adimas dengan tangannya yang basah oleh keringat dingin. Senyum tipis terulas membuat jantung Adimas berdegup kencang.

"Aku gak apa-apa," ucap Ris pelan.

Suryadi melotot sementara Adimas gelagapan.

"Yak, makan dulu, ya!" kata Adimas kemudian. "Harus habis biar bisa segera pulang ke rumah dalam keadaan sehat."

"Aku keluar dulu, selamat dini hari. Besok pagi kita ketemu lagi, ya!"

Adimas melambai lalu menghilang di balik tirai. Ris mengangguk dengan senyumnya, terasa geli di dalam dada melihat tingkah Adimas yang seperti itu. Ris sendiri tak tahu, mengapa kedatangan Adimas tiba-tiba membuatnya cukup tenang.

Suryadi diam memperhatikan sementara Ris mulai menyantap makanannya. Ia kemudian menyusul langkah Adimas, menahan si pemuda tepat sebelum lelaki itu keluar koridor ruang rawat inap.

Koridor malam itu ramai. Ada keranda yang datang, ada kasur yang diantar ke ICU. Orang-orang berlalu-lalang sementara kedua dokter berkepentingan pribadi itu ada diantara semuanya.

Suryadi menarik tangan Adimas untuk menahannya pergi. Adimas langsung berbalik dan mengulas senyum sopan pada Suryadi dengan pandang yang melihat ke dada, leher lalu berhenti di mata Suryadi.

"Kamu tidak harus datang ke sini. SOP-nya kamu tidak harus visit untuk memastikan pasien makan," tutur Suryadi. Semakin yakin ia bahwa Adimas menyukai Ris, lebih dari sekadar pasien dan bahkan lebih dari seorang teman.

"Dokter gak ambil kartu tunggu pasien?" tanya Adimas lebih seperti memastikan. Ya, kartu tunggu pasien yang berbentuk seperti name tag, kartu akses keluar-masuk dari koridor penghubung ke koridor rawat inap.

"Dokter keluar-masuk pakai kartu akses milik Dokter?"

Suryadi baru ingat. Benar dia belum mengambil nomor akses.

"Ada ibu-ibu, kayak gak terlalu tua sih, tidur di sofa dekat lift pakai kartu akses kamar 907 Bed 2. Sebaiknya anda konfirmasi karena saya takut kartu aksesnya disalahgunakan," tutur Adimas sebelum izin pamit pergi tanpa merespon penuturan Suryadi padanya tentang kewajiban Adimas sebagai dokter.

Suryadi membeku. Ia segera beranjak mendahului langkah Adimas keluar area koridor rawat inap untuk mendapati sesosok wanita sedang terlelap di sofa. Oh, itu mantan istrinya.

"Diani?" sapa Suryadi pada Diani yang terlelap.

~**~

Pindah Hari Update ke Hari Minggu
Next Update : Minggu, 9 Juli 2023

Continue Reading

You'll Also Like

Istri Kedua By safara

General Fiction

123K 4.1K 39
nadilla di paksa menikah oleh suami orang untuk merawat suaminya yang mengalami kelumpuhan di seluruh badannya dan stroke selama 5 tahun ia di paksa...
715K 6.2K 19
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
715K 3.9K 12
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...
933K 18.5K 42
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...