Secret In Paris ✔️

By -LparkC-

81.5K 6.5K 1.6K

CHAPTER LENGKAP ✔️ "Dari miliaran cowok di dunia, kenapa dia sih, orangnya! sialan!" Falea Adzana Wirasena, s... More

SIP : Bab 1.
SIP : Bab 2.
SIP : Bab 3.
SIP : Bab 4.
SIP : Bab 5.
SIP : Bab 6.
SIP : Bab 7.
SIP : Bab 8.
SIP : Bab 9.
SIP : Bab 10.
SIP : Bab 12.
SIP : Bab 13.
SIP : Bab 14.
SIP : Bab 15.
SIP : Bab 16.
SIP : Bab 17.
SIP : Bab 18.
SIP : Bab 19.
SIP : Bab 20.
SIP : Bab 21.
SIP : Bab 22.
SIP : Bab 23.
SIP : Bab 24.
SIP : Bab 25.
SIP : Bab 26 (END)
Yuk, sapa Fale & Edgar!

SIP : Bab 11.

2.1K 236 40
By -LparkC-

Seperti biasa ya, guys. Bantu aku selesaiin cerita ini dengan vote dan komen seikhlasnya. Makasih 💙

___________

Acara makan malam keluarga ternyata ditetapkan di hari Minggu. Hari di mana Fale seharusnya berkencan dengan tokoh fiksi favoritnya, menghirup aroma khas kertas yang tercium saat ia membuka halaman, dan menikmati cokelat panas di atas single bed yang Edgar letakkan di dekat jendela kamar.

Sayangnya, hari libur terakhir di Minggu ini harus ia relakan untuk berbaur dengan keluarga. Mendengarkan banyak basa-basi dari beberapa mulut orang tua, hingga membuat ia harus menahan decak kasar yang kerap ia tunjukan pada ibunya tiap kali mengorek tentang kisah asmaranya.

Fale sedikit muak dan pening menghadapinya.

Namun, perasaan itu sedikit teralih saat Edgar datang menghampiri. Membuka obrolan dengan topik menggelikan sebelum mengajak tertawa karena pemikiran konyolnya yang seperti biasa. Jika dipikir-pikir, Fale merasa aneh dengan diri sendiri. Meskipun sudah merasakan hal itu beberapa hari belakangan ini, tapi kali ini ia benar-benar sadar kalau pria menyebalkan yang tak mundur saat ia beri tatapan tajam, sedikit membawa pengaruh di dalam hidupnya.

Ciuman itu, sentuhan santai Edgar yang kadang merangkulnya, bahkan rahasia besar yang terjadi di Paris tak membuat Fale sedikit pun risih saat berada di dekat pria itu. Entah karena Edgar begitu pintar membuat seorang wanita nyaman atau karena dirinya yang baru kali ini menemukan sifat unik dalam diri seseorang.

"Sebenarnya ada di rumah ini aja gue males."

"Kakek udah nggak ada, Ed. Dan kalau dilihat-lihat sifat sama fisik lu mirip kakek, loh."

"Papa juga bilang gitu, tapi gue nggak ngerasa bangga sedikit pun."

"Jadi, lu bener-bener nggak mau gabung di perusahaan?"

Edgar mengangkat bahu samar. Sambil meletakkan sebelah tangan di sandaran sofa untuk menyanggah kepala, ia terus menatap wanita di depannya. Edgar sama sekali tak berniat sembunyi-sembunyi mengamati wajah Fale yang rasanya tak akan bosan meski ia bubuhi ratusan kecupan singkat di sana.

Fale bukan tipe wanita yang akan merengek sambil bersandar di bahu seorang pria. Wanita itu lebih cenderung mendengkus sambil memukul tangannya yang hendak melakukan hal jail atau mungkin lebih suka menyediakan paha untuk menampung kepala yang butuh bantalan.

"Terus, lu nggak ada rencana apa-apa?"

"Ada."

"Apa?"

"Tidur di apartemen lu."

Refleks memukul lengan Edgar, kepala Fale bergerak ke sekitar. Memastikan kalau ucapan Edgar tak terdengar oleh siapa pun. Dan sepertinya begitu karena anggota keluarga yang baru selesai makan malam dua jam lalu sedang sibuk mengobrol di ruang keluarga. Sedangkan posisinya dengan Edgar ada di ruang bersantai, berhadapan dengan jendela besar yang mengarah pada taman belakang.

Bukan mengaduh kesakitan, Edgar malah tertawa geli mendapat reaksi Fale yang selalu berlebihan saat terkejut. Ah, senang sekali rasanya membuat wanita itu kaget.

"Nggak lucu tau!"

"Mau pulang jam berapa, Fal?" Kali ini Edgar bertanya serius. "Mau nginep di sini?"

Fale mulai bersandar pada punggung sofa sebelum mengembuskan napas kasar. "Kayaknya, sih. Mama minta gue nginep."

"Gue juga, deh."

"Kenapa kesannya jadi ikut-ikutan?"

"Ya emang."

Setelah jawaban santai itu terdengar, suara lembut dari seorang wanita baya masuk ke obrolan mereka. Fale dan Edgar kompak menoleh, melihat penghuni baru dalam rumah besar Wirasena berjalan menghampiri mereka.

"Eh, Tante Adel?" Fale mencoba bersikap santai meskipun sedikit gugup sejak bertemu dengan wanita itu. Entahlah harusnya ia tak perlu merasa seperti itu.

"Kalian di sini ternyata. Tante cari di taman belakang nggak ada, acara barbequean udah mulai, loh."

"Aku sama Fale nggak suka tempat ramai, Ma." Edgar yang menjawab sambil menggeser bokongnya saat sang ibu bergabung di sofa yang sama. "Mama bawa apa?"

"Kukis."

Adel memberikan nampan kecil berisi sepiring kukis dan dua cangkir teh pada putranya, lalu tersenyum melihat Edgar langsung menawari Fale yang langsung mencoba kukis buatannya.

"Tante yang buat?"

Adel mengangguk. "Gimana? Suka?"

"Suka, Tan. Enak nggak kayak kukis di toko-toko kue. Terus kayak ada wangi kayu manis gitu."

"Iya, Tante pakai itu sedikit."

Fale mengangguk santai dan refleks membuka mulut saat Edgar menyodorkan sepotong kukis yang atasnya berisi potongan buah kering ke depan mulutnya. Saat sadar ia melotot, bukan karena takjub dengan rasa kue kering itu melainkan terkejut kenapa respons tubuhnya begitu santai menerima apa yang diberikan Edgar. Melirik ke arah wanita yang duduk di samping Edgar, Fale rasanya ingin menutup wajah dengan bantal sofa karena merasa malu.

"Kalau yang ada potongan buah keringnya kesukaan Edgar, Fal. Tante buat banyak tadi sama Mama kamu. Besok kalau mau balik ke apartemen kamu bawa, ya."

"Oh, pasti Tan. Nanti Fale bawa pulang ke apart. Makasih, ya." Fale berdeham setelah berhasil menelan kukis yang rasanya sulit dikunyah. "Fale permisi ke kamar mandi bentar, Tan," sambungnya berusaha biasa saja tanpa melihat ke arah Edgar yang pasti sedang tersenyum puas melihat gerak-geriknya.

Fale tak berdusta tentang pergi ke kamar mandi. Namun, setelah membuang air kecil dan menenangkan jantung yang tiba-tiba bertalu karena terkejut dan malu, ia tak lekas menghampiri ibu dan anak yang mungkin masih ada di ruang bersantai. Fale memilih pantri untuk mengambil minuman. Mendorong sisa-sisa kukis di tenggorokan sambil beberapa kali menarik napas pelan.

Tadi saat menerima suapan Edgar yang kembali bertindak konyol, Fale melihat kernyitan samar di kening istri pamannya itu. Lantas tak lama tersenyum kecil menatapnya. Mungkin menangkap raut gugup yang saat itu tak bisa ia kendalikan.

Setelah dirasa berhasil memenangkan diri, Fale mulai kesal pada diri sendiri. Saat ini ia merasa bodoh dengan efek dari tindakan Edgar. Fale yakin ibunya Edgar tak akan curiga karena sudah hafal dengan sikap putranya, tapi ia tetap saja tak bisa bersikap biasa saja. Dua orang yang tadi di sofa masih terasa asing baginya.

Kembali membuka pintu kulkas untuk mencari sesuatu yang manis di sana, Fale dikejutkan dengan suara familiar yang membuatnya refleks menutup lagi benda di depannya sebelum menoleh cepat dengan raut terkejut.

"Kamu di sini, Fal?"

Suara itu milik Alkana Jatimara, anak dari ayah sambungnya yang saat pertama kali bertemu dikenalkan sang ibu sebagai seorang kakak. Namun, hingga saat ini Fale tak pernah merasa pria itu bersikap layaknya seorang kakak.

Bergumam malas meladeni basa-basi itu, Fale ingin beranjak pergi dari area kitchen set sebelum merasakan tangan yang melingkari lengannya. Menahan ia pergi dan membuatnya refleks menepis kasar.

"Apa sih?!" ketus Fale pada pria itu.

"Mas mau ngobrol sebentar. Dari tadi kamu beneran susah banget di dekati buat diajak ngobrol."

"Memangnya sejak kapan aku mau diajak ngobrol sama Mas?!"

"Fal, kamu masih marah?"

"Aku yakin tanpa dijawab pun Mas Alka tahu jawabannya."

Pria dengan kemeja lengan pendek bermotif salur itu mendesah kasar seraya menyugar rambutnya dengan alat tangan.

"Bisa nggak sih, Mas. Kalau aku di rumah bersikap normal. Nggak usah natap aku kayak di meja makan tadi! Itu beneran bikin risih dan bikin aku males ada di sini!"

"Tatapan apa, Fal? Mas cuma kangen—"

"Jangan gila, ya! Selama ini aku diem karena ngerhargain Papa Aldi. Jadi Mas jangan bertindak bodoh semaunya!"

"Falea, Mas tahu kamu masih marah. Tapi—"

"Jangan pakai tapi, Mas. Aku nggak marah atau benci, aku cuma males lihat Mas. Itu aja. Please pahamin."

Sorot memelas dari sepasang manik Alka berubah serius dan berangsur kesal. Ia bawa tungkainya melangkah pelan ke arah Fale yang bergerak mundur.

"Aku bisa teriak," desis Fale memperingati.

"Teriak aja, Fal. Kamu tahu aku nggak takut sama ancaman kamu."

Rahang Fale mengeras. Sorot kebencian pada kakak tirinya terlihat jelas, tapi gerak tangan yang mulai merasa takut dan gugup tak bisa ia kendalikan. Tak sadar dengan gerakan tubuhnya, bokong Fale sudah menabrak meja pantri. Tetapi pria di depannya tak kunjung berhenti.

"Fal?"

Alka refleks bergerak mundur saat suara yang belum ia ketahui siapa pemiliknya menghancurkan niat menakuti adik tirinya. Ia menoleh dan mendapati pria muda yang ia kenal sebagai keponakan ibu tirinya berdiri di sana, sedang melipat tangan di dada sambil mengangkat sebelah alis dengan pendar curiga.

"Hai, Ed."

Edgar tak lekas menjawab. Tatapannya jatuh pada wanita yang terlihat menghela napas pelan sebelum kembali pada pria yang menyapanya.

"Gue nggak ganggu obrolan kalian, kan?"

"Nggak, tenang aja. Aku cuma ngobrol biasa sama Fale. Aku denger kamu habis make over apartemennya, ya?" Alka berjalan mendekati Edgar yang masih berdiri di dekat pembatas pantri.

Sambil mengangguk, Edgar kembali menoleh pada Fale. "Fal, are you okay?"

"Kita pulang sekarang, Ed." Setelah meloloskan napas kasar, Fale berjalan melewati Edgar dan Alka tanpa mengatakan apa-apa lagi.

***

"Katanya mau nginep, loh." Protesan itu meluncur dari mulut Lani saat putrinya yang sudah memakai tas berpamitan untuk pulang. "Kenapa tiba-tiba kepingin balik ke apart?"

"Nggak apa-apa, Fale cuma mau tidur di apart aja, Ma."

"Bener?"

Fale mengangguk setengah hati sebelum menoleh mendengar namanya dipanggil. "Iya, Tan," jawabnya pada wanita yang menghampiri dengan dua stoples kukis dalam tas transparan.

"Ini kukisnya, satu lagi buat Edgar. Anaknya nggak mau bawa katanya titip di kamu aja."

"Oh, oke. Makasih ya, Tan." Fale kembali menoleh pada sang ibu. "Ma, aku pamit ya."

Setelah berpamitan singkat pada orang tua di sana, Fale berjalan menuju garasi tempat mobilnya terparkir. Lantas melihat Edgar yang sudah siap dengan helm di kepala sambil duduk di jok motornya.

"Kenapa tiba-tiba kepingin pulang, Fal?" tanya Edgar curiga saat Fale sudah sampai di depan mobil yang terparkir di samping motornya.

"Nggak ada apa-apa," jawab Fale sambil melempar kunci mobil pada Edgar. "Bawa mobil gue. Gue lagi males nyetir!" tandasnya sambil membuka pintu penumpang.

Menatap kunci mobil yang dilempar ke arahnya, Edgar yang tak diberi kesempatan untuk merespons memilih melepas helm dan meletakkannya di stang motor. Lantas membuka pintu kemudi sambil melirik Fale yang seperti biasa, selalu menampilkan aura jutek. Tapi kali ini sedikit berbeda.

Bahkan selama roda empat itu membelah jalanan menuju apartemen, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Fale meski Edgar sesekali berceloteh asal.

Sampai di lahan parkir gedung tinggi itu, Edgar yang sudah mematikan mesin mobil menoleh pada Fale yang masih setia menumpu siku di ujung jendela sambil menatap kosong pada objek yang ada di depannya.

"Fale, kita udah sampai."

Edgar sedikit menggoyangkan lengan wanita itu agar mendapat atensi penuh. Tindakannya berhasil, Fale menoleh dengan raut sedikit terkejut.

"Lu baik-baik aja, kan?"

"Hmmm," gumam Fale sambil membuka sabuk pengamannya. "Thanks, ya. Suruh orang rumah aja nganter motor lu ke sini."

"No big deal." Edgar masih memperhatikan Fale. "Lu ada sesuatu sama Alka?"

"Nggak ada," jawab Fale setengah hati.

"Tapi kayaknya ada yang aneh, deh. Gue baru ngeh lu sama Alka nggak pernah ngobrol kalau di rumah, saling sapa aja kayaknya nggak pernah. Kalian ada masalah serius ya?"

"Gue lagi males nanggepin sifat kepo dan sok tahu lu, Ed. Jadi diem aja dan keluar dari mobil gue."

"Oh, oke. Gue cuma nebak lu ada problem apa sama kakak tiri lu, jadi nggak usah—"

Edgar sedikit terkejut saat Fale menarik jaket yang ia kenakan dan mencium bibirnya dengan gerak tergesa-gesa. Meski kaget sekaligus senang, ia jelas tak bisa mengabaikan tindakan aneh Fale yang terasa menyalurkan kekesalan dalam sebuah ciuman. Namun, untuk saat ini Edgar mengabaikan rasa penasarannya karena membalas ciuman Fale lebih penting dari segalanya.

Walcome to konflik. Gak berat kok✌️. Gak kayak yang sebelah😃
Dikomen ya guys, biar semangat dailynyaa,~~~

Continue Reading

You'll Also Like

557K 79.1K 35
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
1.1M 55.3K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
1.4M 133K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
1.7K 191 6
Bagi Tari, lelaki menarik itu yang jelas ganteng dan sok cuek padanya. Tidak heran kalau ia akhirnya jatuh hati pada sosok Javi yang super cool.