(,) sebelum (.)

By Arrinda_sell

331K 30.2K 4.3K

Koma sebelum Titik. "Tau gak Mas, soal dua tanda baca ini?" Hujan menatap pria itu lalu melanjutkan kalimatny... More

πŸ’01
πŸ’02
πŸ’03
πŸ’04
πŸ’05
πŸ’06
πŸ’07
πŸ’08
πŸ’09
πŸ’10
πŸ’11
πŸ’12
πŸ’13
πŸ’15
πŸ’16
πŸ’17
πŸ’18
πŸ’19
πŸ’20
πŸ’21
πŸ’22
πŸ’23
πŸ’24
πŸ’25
πŸ’26
πŸ’27
πŸ’28
πŸ’29
πŸ’30
πŸ’31
πŸ’32
πŸ’ending

πŸ’14

9.7K 938 73
By Arrinda_sell

Hujan menghembuskan napas panjang, menaruh nampan kecil di atas meja dia kembali meracik teh yang mana diperuntukkan untuk Awan.

Bukan tanpa sebab wajahnya menjadi masam, melainkan ini adalah gelas kelima yang Awan tolak dengan alasan yang tak masuk logika.

"Tehnya terlalu panas."

"Tehnya terlalu dingin."

"Gulanya terlalu banyak."

"Kenapa hambar sekali?"

"Buatkan aku yang baru, warna tehnya terlalu pekat."

Mengingatnya Hujan ingin marah namun tidak berani mengingat posisi Awan sebagai bosnya di perusahaan ini.

"Ditolak lagi, Jan?" sahut Bintang sambil menaruh ember berisi air pel di samping kulkas.

Sambil menaruh gula secukupnya, Hujan mengangguk lesu. "Kalo ditolak lagi, udah gelas keenam. Dan gue bakalan nyerah." katanya gusar.

"Heran banget pak Awan. Mukanya emang judes tapi gak nyangka dia nyebelin gitu. Kek punya dendam kesumat aja ama lo." ujar Bintang yang tanpa menyadari perkataannya menghentikan sejenak kegiatan tangan Hujan yang sedang mengaduk teh untuk Awan.

Pandangannya menurun kemudian melanjutkan kembali aktivitasnya.

"Gue ke ruangan pak Awan dulu, ya." pamitnya yang diangguki Bintang.

Dalam perjalanannya, Hujan tak pernah berhenti mengingat perkataan Bintang beberapa saat lalu. Benarkah Awan melakukan ini karena memiliki dendam kepadanya? Tapi apa?

Saking asiknya bermain dengan pikirannya, Hujan tidak sadar bahwa dia sudah sampai di depan pintu kebesaran Awan. Memandang sejenak daun pintu itu, Hujan menarik napas dalam.

Satu tangannya terulur mengetuk pintu dan seruan Awan dibaliknya membalas ketukan Hujan.

Membukanya perlahan, Hujan masih mendapati posisi Awan yang sama seperti beberapa saat lalu. Pandangannya lalu jatuh pada sosok lain yang ada di ruangan pria itu.

"Mba Hujan, tolong sekalian buatin saya kopi, ya. Saya lupa kasih tau Mba tadi." kata Dian usai menerima dokumen yang baru saja Awan tandatangani.

Diam-diam Hujan membuang napas pendek, kepalanya mengangguk sembari memaksa tersenyum kecil.

"Ini tehnya, Pak." Hujan menaruh cangkir putih itu di atas meja Awan yang tidak ada dokumen apapun.

Tanpa melirik Hujan, Awan memgambil teh buatan Hujan kemudian menyeruputnya pelan.

Hujan menggigit bibir dalamnya dan ketika melihat kepala Awan mengangguk dia akhirnya bisa bernapas lega. Ia pamit undur dari untuk membuatkan pesanan Dian.

"Tunggu, bawa kembali sekalian," Awan menunjuk gelas yang mana isinya baru sedikit tersisa. Hujan menatapnya bingung. "Saya sudah tidak ingin minum teh lagi. Silakan bawa."

Hujan meremat nampan di tangannya lalu dengan berat hati mengambil cangkir teh Awan. Tanpa kata Hujan berlalu dari sana dengan perasaan campur aduk.

Di tengah jalan ia berpapasan dengan Khatulistiwa, penampilan pria itu sudah tidak serapi pagi tadi. Tetapi ketampanannya tak luntur.

"Hai." sapanya yang Hujan balas dengan senyum simpulnya.

"Aku buatin kopi?" tawarnya menyadari bahwa wajah Khatulistiwa sedikit lelah.

"Kalo gak ngerepotin," katanya mengaruk tengkuknya. "Eh, gak usah deh. Nanti aku ke dapur sendiri." tambah Khatulistiwa cepat.

"Gak papa. Ini juga sekalian mau nganterin kopi mbak Dian. Bang Katu tunggu ya." katanya tersenyum sekilas lalu berlalu dari sana meninggalkan Khatulistiwa yang mengamati punggungnya hingga hilang di belokan.

Khatulistiwa meraba jantung murahannya, kenapa setiap membuat interaksi bersama Hujan, jantungnya jadi berdebar keras. Khatulistiwa khawatir bila sewaktu-waktu jantungnya meledak.

Dan itu buruk. Bisa-bisa sebelum berjuang, Khatulistiwa sudah menemui sang pencipta duluan.

💍💍💍


Langit kini sudah berganti menjadi gelap. Laju kendaraan masih santer terdengar meski sudah memasuki waktu jam 8. Mau heran, tapi ini adalah ibukota. Kota penuh kesibukan.

Menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, Hujan menghela napas panjang. Akhirnya dia bisa merebahkan tubuhnya pada kasur sempit empuknya. Sebenarnya Hujan sudah tiba sore tadi, tetapi terjadi kecelakaan menyebabkan kemacetan panjang yang membuat dirinya terjebak di tengah hiruk pikuk kendaraan yang memiliki kesibukan. Dan ditambah lagi Hujan mendapat tugas tambahan ditempat kerja menyebabkan dirinya terhambat pulang seperti jam biasanya.

Baru saja mau memejamkan mata, tiba-tiba dering ponsel menyentaknya. Hujan buru-buru bangun meraih tas kecil yang ia taruh di atas meja riasnya.

"Halo, Bang Katu." sapanya usai melihat id pemanggil.

"Maaf, Abang ganggu, ya?"

Hujan itu tidak enakkan. Bila ingin jujur, maka dia takut bila kejujurannya bisa melukai perasaan orang lain. Alhasil dia hanya memberi jawaban dusta.

"Gak kok, Bang. Kenapa nih?" tanyanya sambil melepas baju OG-nya dan menaruhnya di mesin cuci. Beruntung dia masih memiliki satu baju cadangan.

"Duh, hati Abang jadi ketar-ketir. Abang lagi banyak beban nih." curhatnya menghentikan tangan Hujan yang sedang menuang sabun bubuk kedalam mesin.

"Bang Khatulistiwa ada masalah?"

"Heum, Abang gak sanggup,"

Hujan menyerngitkan alisnya. "Gak sanggup kenapa, Bang?"

"Gak sanggup nahan rindu buat kamu." usai mengatakan itu, Khatulistiwa tertawa kecil diikuti Hujan yang ikut tertawa.

"Di komplek rumah aku ada turun hujan. Dahulu aku gak suka hujan, bawaannya mengubah suasana jadi sedih,"

Hujan masih senantiasa menanti kalimat Khatulistiwa sembari itu mulai memutar tombol yang ada pada mesin cucinya.

"Tapi setelah mengenal Pelangi Hujan, aku bukan hanya menyukai hujan, tapi juga pelangi yang ikut mewarnai hari-hariku." sambungnya tanpa sadar perkataannya berhasil membuat Hujan melongo mendengarnya.

Hari ini Khatulistiwa sangat aneh.

Alih-alih mengemukakan kebingungannya, Hujan malah menanggapinya dengan tawa kecil.

"Bang Katu, lagi galau ya? Tapi makasih loh."

Di sebrang sana, Khatulistiwa mengaruk lehernya. Karena saran dari Bintang, Khatulistiwa pada akhirnya menunjukkan ekornya. Dia tak ingin memakai kode seperti sebelum-sebelumnya. Katanya, terobos aja, pasti itu akan membuat hati perempuan berdebar.

Pertanyaannya, apakah Hujan berdebar?

"Aku bisa panggil Rain, gak?"

Bersamaan perkataannya barusan, Khatulistiwa mendengar suara seperti benda yang jatuh. Tak lama suara Hujan terdengar setelahnya.

"Kenapa harus, Rain? Hujan aja kayak biasa aja, Bang." ujar Hujan membuat Khatulistiwa mengulum senyum.

"Nama kamu kan ada pelangi-nya. Rainbow, jadi aku ambil bagian depan aja. Sekaligus rain juga berarti hujan." tukas Khatulistiwa tanpa tau di sebrang sana Hujan sedang menahan sesak.

Nama Rain adalah nama yang terbiasa Awan gunakan untuk memanggilnya. Di saat semua orang memanggilnya Hujan, hanya Awan seorang yang memanggil namanya dalam bentuk bahasa Inggris.

"Senyaman Bang Katu aja." hanya itu saja yang mampu Hujan ucapkan.

Lagipula, semuanya sudah berlalu. Yang sedang Hujan hadapi adalah masa depannya yang masih abu-abu. Jadi, jangan hanya karena satu nama panggilan meruntuhkan segala pertahanannya selama ini.

💍💍💍

Ada yang rindu gak nih sama bang Katu dan Hujan.

Serius  aku kira up-nya baru 3 hari lalu. Pas aku cek udah seminggu ternyata.

Mianhae.

Gimana untuk part ini.

Kalian berada di kubu siapa aja?

Sampai jumpa di part selanjutnya

Sayang ReLuvi banyak2😘😘

Continue Reading

You'll Also Like

436K 25.5K 30
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...
680K 1.7K 5
Siapa tak kenal Yola, siswi yang selalu menggunakan pakaian ketat dan pendek, hanya untuk memperlihatkan betapa besar payudara nya. Terlibat hubunga...
270K 698 4
bocil diharap menjauh
874K 75.9K 57
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...