Deep Talk Before Married [TAM...

Da LalunaKia

100K 11.5K 706

Setelah kegagalan hubungannya dengan laki-laki yang tidak ingin menikah, Alma punya prinsip untuk tidak membu... Altro

1. Alma dan Bara
2. Perkenalan
3. Tentang Pernikahan & Perceraian
4. Masa Lalu & Love Language
5. Cinta atau Obsesi?
6. Masa Lalu 2
7. Mau Tinggal di mana Setelah Menikah?
8. First Date
9. Cara Mengelola Emosi
11. R for Radit?
12. I'm Terribly Sorry
13. Privasi
14. Ingin Pasangan Seperti Apa?
15. Mengelola Keuangan
16. Bagaimana Menangani Perbedaan Pendapat
17. Break
18. Ayra Renata
19. Tulips
20. Seks
21. Mau Punya Anak atau Childfree?
22. Sebab-Akibat
23. Melepaskan
24. Jealous
25. Frustrasi
26. You're Rude
27. I Wanna Fix it
28. Break Someone's Heart
29. PTSD
30. Menyederhanakan Masalah
31. Parenting Style
32. Perjanjian Pranikah
33. Marriage Rules (END)

10. Finansial

2.4K 318 11
Da LalunaKia

Alma menatap tabel di layar komputernya. Ia meneliti tiap nominal yang ia ketik di sana. Ia juga mengingat-ingat agar tidak ada yang terlewat. Setelah memastikan semua pengeluarannya setiap bulan tertera di sana, ia mencetak lembaran kertas itu. Ia mengambil kertas yang baru saja keluar dari mesin pencetak dan menyatukannya dengan lembaran lainnya.

Ia membuka lembaran itu satu persatu. Di sana semua laporan keuangannya tertera. Mulai dari gaji setiap bulan, pengeluaran, dan aset yang ia punya. Ia masih menatap lembaran kertas itu saat pintunya terdengar di ketuk pelan. Ia menengadah dan melihat Bara di baliknya.

Ia mematikan komputer dan membereskan meja saat Bara masuk ke ruangannya dan menjatuhkan bobotnya di sofa.

Setelah memastikan mejanya rapi, ia membawa lembaran kertasnya dan duduk di samping Bara. Saat itu sudah lewat jam sembilan malam.

Bara mengulurkan map plastik di tangannya. Alma menerima dan memberikan miliknya.

Alma menatap lembaran di depannya. Gaji Bara dari tiga rumah sakit jelas lebih besar dari gajinya. Pengeluaran laki-laki itu setiap bulan tidak terlalu banyak. Semuanya terlihat normal sampai ia melihat aset milik laki-laki itu. Tanah, rumah, dua buah apartemen, tiga buah mobil, rentetan deposito yang bunganya menambah penghasilan tiap bulan, tabungan dana darurat, tabungan dana pensiun, dan aset keuangan lainnya. Laki-laki itu juga tidak punya hutang. Keuangan laki-laki itu sangat stabil.

"Kamu baru kerja setahun, tapi asetnya udah segini banyak." Alma berkomentar.

Bara menengadah, "ada beberapa aset Papa yang dialihkan ke aku." Ia sudah pernah menolak semuanya, tapi ayahnya selalu bilang bahwa selama ini dia bekerja untuk ia dan Mahesa. Dia tidak punya istri dan kelak semua hartanya juga akan jatuh ke anak-anaknya. Ayahnya tidak peduli meski ia sudah bekerja, atau Mahesa yang finansialnya sudah stabil karena bisnisnya. Ayahnya hanya tahu bahwa ia masih sehat, dan selama ia masih bisa menghasilkan uang, ia akan memastikan anak-anaknya menikmatinya juga.

Alma membulatkan mulutnya. Tidak heran, dr. Irawan sudah praktek bertahun-tahun sebagai dokter bedah yang pasiennya tidak pernah sepi.

Alma sebenarnya tidak berpikir untuk melakukan ini. Tapi Bara mengingatkannya bahwa banyak masalah yang ditimbulkan dari ketidak terbukaan pasangan masalah keuangan.

"Keuangan kamu stabil." Alma menoleh dan menatap Bara yang masih fokus pada laporan keuangannya.

Bara mengangguk, "aku nggak punya hutang dan tanggungan. Saat ini, aku membiayai diri aku sendiri. Semua pengeluaran di rumah juga sepenuhnya Papa tanggung atas kemauan Papa." jelas Bara.

Alma mengangguk.

"Pengeluaran bulanan kamu lumayan banyak." komentar Bara. Tapi ia mengerti. Ia yang laki-laki dan tidak punya hobi jelas tidak bisa dibandingkan dengan Alma yang perempuan dan memerlukan banyak perawatan. "untuk belanja kayak baju, tas atau sepatu gimana?"

"Belum termasuk. Itu biasanya aku beli satu atau dua bulan sekali kalau memang kepingin." kata Alma.

"Biasanya ada budget untuk itu?"

"Nggak sih. Semahal apapun kalau aku sanggup dan suka, ya aku beli."

Bara mengangguk. "gaji aku lebih besar. Masih cukup juga untuk memenuhi kebutuhan kita berdua. Kalau nanti kita nikah, yang kerja aku aja, ya?" ujar Bara, "aku juga terbuka nantinya kalau kamu mau buat perjanjian pranikah." tambahnya.

Alma menoleh. Matanya mengerjap. Ia menatap Bara yang juga tengah menatapnya. "kamu minta aku berhenti kerja?"

Bara mengangguk.

"Kenapa aku harus berhenti kerja? Aku S2. Punya karir. Aku nggak mau di rumah aja." Alma sedikit menekan nada suaranya.

"Kalau aku bisa menuhin semua kebutuhan kamu, kenapa kamu harus kerja?" ujar Bara, "value kamu nggak akan berkurang meski kamu di rumah aja." tambahnya.

Alma menghela napas kasar, "Bar, aku kerja bukan untuk cari uang. Aku kerja biar tetap waras." jelas Alma, "kamu nggak mikir gimana kalau aku bosan di rumah? Aku bisa stres." tambahnya.

Bara diam. Berpikir. Ia melihat raut wajah Alma yang tampak tak akan mengalah kali ini. Ia yakin ini akan menjadi perdebatan panjang mereka untuk pertama kalinya.

"Kamu bisa cari kegiatan lain." ujar Bara. Ia tahu ia tidak menginginkan itu. Tapi itu satu-satunya solusi yang bisa Alma pertimbangkan.

"Kamu bisa ambil kursus apapun yang kamu mau. Masak, baking, belajar bahasa asing, atau apapun."

Alma tidak puas dengan itu. Ia bertanya lagi, "Bar, kenapa aku harus berhenti kerja?"

"Aku mau kamu fokus sama aku."

Jawaban macam apa itu. Pikir Alma.

"Aku nggak mau setiap hari kita sampai di rumah sama-sama dalam keadaan capek." kata Bara, "kamu sadar kan gimana load pekerjaan kamu."

"Nggak bisa, Bar. Aku nggak bisa." Alma tidak ingin membahas ini. Ia tahu apa yang ia inginkan. Ia ingin tetap berkarir setelah menikah. Ia terbiasa bekerja sejak dulu, dan tidak pernah membayangkan akan full di rumah setelah menikah.

"Aku udah kasih solusi. Aku juga nggak minta kamu menurunkan standar kemewahan kamu." kata Bara. Ia melihat tatapan Alma yang tak juga melunak. Mereka sama-sama bersikeras kali ini. "aku cuma ngeyakinin kalau aku sanggup penuhin semua kebutuhan kamu." tambahnya, "meski harus kerja setiap hari di tiga rumah sakit, atau jual aset untuk buka usaha demi menaikkan income. Aku bakal ngelakuin apapun."

"Bar, ini nggak cuma tentang uang." Alma mendesah, "kalau aku minta kamu berhenti naik gunung, gimana?" Ia ingin tahu bagaimana jika Bara dipaksa berhenti melakukan satu-satunya kegiatan kesukaannya.

"Nggak masalah." Bara ingin Alma tahu bahwa ia bersedia mengorbankan apapun demi keinginannya kali ini.

Alma mematung. Sama sekali tidak menyangka Bara akan menjawab semudah itu.

"Aku terbiasa punya uang sendiri." kata Alma.

"Uang aku kan uang kamu juga." jawab Bara, "kalau kamu takut kekurangan, kamu bisa pegang semua gaji aku. Aku cuma butuh segini setiap bulannya." Ia menunjuk satu nominal di kertasnya. "tapi pos-pos tabungan ini tolong diisi. Selebihnya bisa kamu simpan dan gunakan sesuka kamu." tambahnya, "semua aset yang dibeli selama pernikahan akan dibuat atas nama kamu. Mau buat perjanjian pisah harta juga nggak masalah."

Alma menelan ludah. Ia melihat Bara yang tampak serius. Laki-laki itu tidak main-main dengan ucapannya.

"Bar, kalau kayak gitu, kamu nggak akan punya apa-apa." Alma mengatakan itu supaya Bara sadar apa yang baru saja dikatakannya.

"Selama aku punya pekerjaan dan kamu, aku baik-baik aja."

Tatapan Bara melembut. Ia mengambil sebelah tangan Alma dan mengusapnya pelan, "nggak apa-apa kamu pikir-pikir dulu. Kita masih punya banyak waktu."

"Cuma aku yang harus mikirin ini? Kamu benar-benar nggak bisa berubah pikiran?"

Bara menggeleng, "aku mau semua perhatian kamu fokus ke aku. Punya banyak waktu buat aku. Aku nggak mau kamu kelelahan dan lebih sering mikirin kerjaan daripada aku. Pokoknya aku nggak mau kamu punya beban kerjaan sementara aku bisa bertanggung jawab penuh sama kamu."

"Bar, aku bisa melakukan dua-duanya. Kalau kamu mikir aku nggak bisa jadi istri yang baik karena berkarir, kamu salah. Aku janji akan tetap prioritaskan keluarga kita." Alma berusaha meyakinkan.

"Nggak ya, Al. Aku nggak bisa kompromi sama ini. Pokoknya aku mau kamu di rumah kalau nanti kita menikah." kata Bara, "kamu bisa upgrade diri dengan ikut kursus apapun yang kamu mau. Atau cari kegiatan lain supaya nggak bosan. Kasih solusi itu juga nggak mudah lho buat aku. Jadi mudah-mudahan kamu ngerti, ya."

Alma tidak sanggup bertanya bagaimana jika pada akhirnya ia tidak bisa memenuhi keinginan laki-laki itu. Ia terlalu takut untuk mendengar jawaban Bara. Ia takut jika Bara dengan mudahnya memintanya berhenti sampai di sini. Tapi ini memang tujuan mereka. Mereka harus memastikan mereka cocok, satu visi dan misi untuk lanjut ke jenjang pernikahan. Jika mereka punya keinginan yang berbeda, mereka memang sudah tak seharusnya melanjutkan hubungan ini.

Alma lebih banyak diam selama perjalanan pulang. Bara memutar musik hingga suasana tak terlalu sepi. Seperti tahu jika Alma tengah memikirkan banyak hal, Bara juga hanya fokus pada kemudi dan jalanan yang sudah lenggang.

Alma tahu sebesar apa cintanya pada Bara, juga pada pekerjaannya. Seperti yang ia bilang, uang bukan satu-satunya alasan ia bekerja. Sebelumnya, ia bekerja di kantor kontraktor karena Radit. Karena ingin dekat dengan laki-laki itu. Ia tidak pernah benar-benar peduli dengan bayaran yang ia dapatkan. Ia hanya tahu ia suka bekerja. Ia suka menyibukkan diri.

Alma merasa waktu berputar cepat. Tahu-tahu mobil Bara sudah berhenti di depan gerbang, dan saat gerbang terbuka, mobil itu melaju dan berhenti di halaman rumahnya.

"Bar, kalau aku buat usaha gimana?" Alma bertanya sambil melepas safety beltnya.

"Tergantung usahanya. Kalau itu akhirnya menyita banyak waktu kamu, lebih baik nggak usah."

"Kamu mau jadiin aku pajangan di rumah?"

Bara menghela napas. Ia menatap Alma dengan lembut, "apa yang sebenarnya kamu takuti?" Ia mengambil tangan Alma dan meremasnya pelan. "aku udah bolehin kamu cari kegiatan di luar kalau kamu bosan. Aku juga udah biarin kamu pegang semua uang biar kamu bebas pakai. Apalagi yang kamu butuhkan?"

Alma menelan ludah. Bibirnya bergerak, tapi tak ada satupun yang keluar dari mulutnya. Ia tidak bisa berdebat dengan argumennya sementara Bara memberikan solusi atas semua ketakutannya.

"Aku pikir-pikir dulu, ya." Kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulut Alma.

Bara tersenyum. Ia memajukan tubuh untuk mengecup pipi gadis itu. Tangannya membelai rambut Alma penuh rasa sayang, "have a good sleep."

Alma mengangguk lemah.

"Mood kamu langsung terjun bebas gini." kata Bara saat menyadari perubahan mood gadis itu, "mau jalan-jalan dulu? Cari sesuatu yang bisa balikin mood kamu?"

"Kamu nggak capek apa?" Alma tahu bagaimana keseharian Bara dan laki-laki itu sepertinya tidak pernah kehabisan energi.

"Kalau ngelihat kamu kan capeknya hilang."

Alma berdecak, "aku masuk ya. Hati-hati."

"Senyum dulu." Bara menahan sebelah tangan Alma yang sudah siap keluar dari mobil.

Alma mendesah. Ia melengkungkan garis bibirnya.

"Yang ikhlas." pinta Bara.

Alma menarik napas lalu tersenyum manis. Semanis yang ia bisa.

"Gitu dong." Bara menangkup wajah Alma. Ia menghujani gadis itu dengan ciuman kecil. Ia mencium dahi, kedua pipi, hidung, bibir dan berakhir di dagunya. 

Continua a leggere

Ti piacerà anche

ARFA (END) Da fatamorgana_27

Narrativa generale

1.3M 93.5K 48
JUDUL AWAL "Aku Hanya Ingin Bahagia" Biasakan follow dulu sebelum baca gaes✨ Tinggalkan jejak disetiap chapter juga🙌 "Eh" "Tidur an sudah malam" "Gu...
1.9M 90.3K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
175K 13.2K 58
Karena gagal taruhan, Sarah harus menerima tantangan dari temannya yaitu dengan mendaftarkan diri di aplikasi kencan online. Siapa sangka, hal itu me...
3.4M 26.4K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...