Journal: The Lessons

By kenzaputrilia

4.5K 1K 1.4K

[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada bena... More

Journal
01 | Rendezvous
02 | Kensington
03 | Notting Hill
04 | Millennium Bridge
06 | Bankside
07 | City of London
08 | City Hall
09 | River Thames
10 | Greenwich
11 | Brixton
12 | Islington
13 | Islington Pt. II
14 | Highbury
15 | Camden Market
16 | Highgate
17 | Primrose Hill
18 | Lambeth Bridge
19 | Covent Garden
20 | Eye To Eye Gallery
21 | West End
22 | West End Pt. II
23 | Soho
24 | Andrew's Journal, Pt. I
24 | Andrew's Journal, Pt. II
24 | Andrew's Journal, Pt. III
25 | Euston Station
26 | London - Manchester
27 | Manchester
28 | The Stanleys
29 | The Stanleys, Pt. II

05 | Tate Modern

129 39 39
By kenzaputrilia

Setelah mengobrol di Millennium Bridge, aku dan Andrew menghampiri lokasi syuting di halaman depan Tate Modern, sebuah galeri seni rupa modern dan kontemporer yang terletak di bagian selatan Sungai Thames. Andrew bilang, Tate Modern adalah galeri yang paling banyak dikunjungi dalam setahun—sekitar 1,5 juta pengunjung. Sebelum tahu bahwa bangunan ini adalah sebuah galeri, awalnya kupikir Tate Modern adalah pabrik karena bentuk arsitekturnya yang memang terlihat seperti pabrik dengan cerobong asap. Aku memberitahu Andrew ketidaktahuan itu dan dia dengan sabar menjelaskan secara singkat bahwa Tate Modern dulunya memang bekas pembangkit listrik. Namun, pada tahun 2000 dialihfungsikan menjadi galeri seni.

Matahari bersinar terik tetapi udara masih cenderung sejuk bagiku. Bagaimana tidak? Suhu terpanas di bulan Juni hanya 21 celcius! Sama dengan suhu ruangan ber-AC. Cuaca cerah ini mendukung proses syuting—mungkin itu alasan mereka juga mengambil waktu musim panas agar sesuai dengan latar waktu pada filmnya karena London pada musim lainnya cenderung berawan dan mendung.

Para kru film sudah menyiapkan segala macam keperluan syuting hari pertama penggarapan film. Kesempatan perdana bagiku ikut ke lokasi syuting; menyaksikan secara langsung kembaranku, Zevo, dalam mode kerja. Memiliki peran sebagai location manager, Zevo benar-benar memiliki tanggung jawab yang besar demi kesuksesan proses syuting. Terutama jika latarnya mengambil di luar negeri yang proses perizinannya jauh lebih sulit.

Zevo tampak sibuk mondar-mandir dari satu kelompok orang, ke kelompok lainnya. Mataku beralih pada para kameramen yang sibuk menyiapkan proses pengambilan adegan pertama. Karena tidak ingin mengganggu, aku dan Andrew berdiri di pinggiran lebih dekat dengan pepohonan. Beberapa orang yang berlalu-lalang melempar pandangan sekilas pada lokasi syuting, tetapi ada juga yang tidak peduli sama sekali. Kalau di Indonesia, mungkin sudah ada kerumunan yang memenuhi area ini.

"What's the film about?" tanya Andrew sambil sedikit membungkukkan tubuhnya, setengah berbisik karena para kru film sedang mengetes mikrofon.

Aku menahan senyum melihatnya. Lucu karena jarak kami lumayan jauh dan tidak mungkin tertangkap mikrofon. "That girl over there, her name is Adele—yes, like the singer." Aku menunjuk Riani Anastasia, aktris muda Indonesia yang sedang naik daun, tengah mengobrol dengan lawan mainnya, Hadrian Julio. "Coming to London to visit her british boyfriend but she caught him cheating on her and went to Paris with some girl. Then, she met that guy—who is talking to her right now, named Joe—and they explore London together." Aku merasa penjelasanku sedikit berantakan karena Andrew tampak kebingungan.

Andrew berpaling dari dua aktor dan aktris ke arahku. "That's it?"

Aku menggelengkan kepala, mengingat alur buku yang diadaptasi jadi film ini—aku membeli bukunya karena berlatar di London. "After spending some days together in London, they slowly fall in love but the problem is the guy was also cheated by his ex girlfriend and never dated anyone ever since. So, starting a new relationship is kinda traumatize him."

"Lots of cheating." Andrew menggelengkan kepala penuh kekecewaan, ada yang berbeda dari mata biru laut Andrew tampak enggan menatapku.

"Yeah, caused by long distance relationship." Bodohnya aku malah memperburuk keadaan. Hubungan jarak jauh terasa tidak tepat untuk dibahas ketika kau berada di luar negeri bersama seseorang yang kau harap selalu berada di sisimu, namun kau tahu jarak akan menjadi masalah terbesar kalian.

Keheningan melandaku dan Andrew setelah aku menyebut hubungan jarak jauh. Meski kami sudah mengobrol dengan santai, tidak ada yang mengungkit tentang kejadian yang terjadi pada masa lampau. Seolah-olah aku dan Andrew baru bertemu kemarin dan tidak ada sejarah di antara kami. Bukan sejarah besar sebenarnya. Hanya saja memang ada beberapa hal yang ingin kutanyakan pada Andrew tapi aku masih menunggu waktu yang pas. Misalnya, alasan Andrew tidak mengantarkanku ke bandara pada hari kepulanganku. Bukannya itu sesuatu yang wajib—dan dia tidak berhutang janji padaku atau apa—hanya saja kuharap aku dapat melihatnya untuk terakhir kali sebelum perpisahan.

Dan, tentunya aku juga ingin tahu alasan Andrew tiba-tiba menghilang dari peradaban. Aku tahu perkembangan teman-temanku yang lain, terutama Annika, Ashley, Tyler, dan Dylan yang kini sukses membentuk band yang terkenal. Aku tahu Emre sudah pulang ke Turki dan membela Turki pada Piala Dunia dan Euro, serta bermain di liga lokal. Namun, tidak ada teman-temanku yang memberitahu kabar tentang Andrew. Yang kuketahui hanya satu: Andrew tidak menjadi seorang kiper yang selalu didambakannya itu. Selama sepuluh tahun ini, aku selalu berharap seorang kiper bernama Stanley akan muncul di atas rumput hijau.

Apa yang terjadi pada Andrew sepuluh tahun silam?

"Action!" Teriakan sutradara otomatis membuat sekitarku hening seolah dibekukan oleh waktu. Tidak ada yang berani bergerak atau bersuara. Aku sempat menahan napas; antara takut tarikan dan embusan napasku tertangkap kamera atau karena keberadaan Andrew di sisiku.

Semua perhatian tertuju pada Riani Anastasia yang memainkan perannya sebagai gadis yang diselingkuhi pacar setelah jauh-jauh pergi ke London. Karakter Adele mirip denganku yang rela terbang ke London dan Andrew bisa menjadi karakter yang diperankan Hadrian Julio.

Aku ingat pada versi novelnya, pasca menangkap kasus perselingkuhan mantan kekasihnya, Adele pergi ke sebuah art and craft cafe dan membuat sebuah vas bunga untuk mengalihkan pikiran dan dia juga menulis surat dalam botol berisi kekesalannya—konsep message in a bottle yang dimiliki kafe itu. Joe, yang merupakan orang Indonesia sekaligus pemilik kafenya, terkejut membaca surat dalam bahasa Indonesia karena jarang ada pengunjung kafe asal Indonesia. Dia pernah merasakan apa yang Adele alami dan merasa gadis itu tidak pantas menghabiskan waktu di London dengan patah hati. Kemudian, dia menghubungi Adele melalui nomor kontak yang ditinggalkan gadis itu untuk mengambil hasil karyanya, lalu mengajaknya melihat pameran di Tate Modern.

Dengan latar St. Paul Cathedral, Millennium Bridge, dan gedung-gedung pencakar langit yang ikonik di City of London, pemandangan pada adegan ini sangat menjual dan memanjakan mata. Terutama bagi penonton yang tertarik dengan latar tempatnya.

Betul, target pasarnya adalah aku.

"What's the title?" Andrew berbisik lagi.

Aku sedikit mengangkat kepala agar lebih dekat dengan telinga Andrew, lalu balas berbisik, "Love Itinerary." Jujur, aku memang suka judulnya.

"Interesting," sahut Andrew tanpa ada antusiasme dalam suaranya, dia tampak mulai bosan karena hanya menonton proses syuting. "Are we gonna stand still here?"

Aku menyukai Andrew yang menggunakan subyek "we", bukan "you" ketika bertanya, namun aku paham maksudnya. "Why? Are you bored?"

Andrew mengangkat bahunya. "Just kinda feel like we're wasting time since there are a lot of places we can explore in Bankside, instead of standing here watching a film that you can watch later."

"Such as?" Aku merujuk pada tempat-tempat yang Andrew maksud, tentunya tertarik dengan petulangan selanjutnya alih-alih menonton film yang nanti juga akan tayang, seperti yang Andrew bilang.

Andrew menunjukkan layar kameranya yang menampilkan sebuah gedung yang cukup familiar tapi tidak pernah kukunjungi. Bangunan itu tepat ada di belakang kami berdua.

"To be honest, I'm not an art person." Jawabanku memang tampak seperti sebuah penolakan, tetapi aku menarik kakiku perlahan mundur menjauhi para kru yang fokus pada proses pengambilan adegan film, mengarah ke pintu masuk Tate Modern.

Andrew terkekeh. "Me neither. I'm a sport person." Dia menyusul tapi tidak mengambil langkah mundur sepertiku; berjalan seperti biasa layaknya manusia normal. "So what kind of person are you?"

Aku tidak tahu apakah Andrew secara tidak langsung mengataiku aneh karena berjalan mundur seperti undur-undur (apakah dia bahkan tahu undur-undur?) atau bertanya hal lain yang lebih berfilosofi dengan harapan sebuah jawaban yang bermakna. "Well, I'm a London person."

Tawa Andrew semakin pecah, senang melihatnya seperti itu. Andrew lebih banyak bicara tapi tidak berisik, lebih banyak senyum dan tertawa tapi masih tampak normal—bukan tawa meremehkan. Dia selalu memberikan apresiasi terhadap kecintaanku pada London. Sejujurnya aku sendiri akan merasa heran apabila bertemu dengan orang yang cinta Bogor, kota asalku.

Seperti yang kubilang pada Andrew, aku bukan orang yang memiliki jiwa seni—bisa dibilang buta seni. Namun, aku sudah beberapa kali terlibat dalam pameran seni sebagai penyelanggara. Bagaimana menyebutnya? I'm a people person?

Memasuki Tate Modern tidak dipungut biaya, jadi tidak ada salahnya menjadi salah satu dari 1,5 juta pengunjung tahunan galeri yang paling sering dikunjungi di dunia ini. Aku menengadahkan kepala untuk melihat langit-langit Tate Modern yang sangat tinggi. Jika dari luar, gedungnya tampak kuno dengan bahan bangunan berupa batu bata. Namun, dalamnya ternyata modern. Andrew bilang keaslian arsitekturnya masih dipertahankan sebagai bentuk penghormatan, namun tetap ada beberapa penyesuaian pada interiornya sehingga lebih modern.

"This is Turbin Hall and usually used for exhibition." Ini dia bagian favoritku: Andrew dalam mode pemandu wisata. Katanya sedang tidak ada pameran jadi area masuk Tate Modern ini kosong melompong dan hanya dipenuhi oleh para pengunjung. Namun, tetap saja tidak menutup kemegahan galeri ini. Dinding yang didominasi abu-abu serta pilar-pilar baja, juga dengan atap yang transparan sehingga sinar matahari dapat masuk sebagai penerangan.

Disediakan eskalator, tangga manual, dan lift sebagai penghubung antar lantai. Kami memilih ekskalator sebagai opsi terbaik untuk melihat-lihat tiap lantainya. "Butuh berapa lama untuk berkeliling?" tanyaku karena terpana dengan luasnya galeri ini. Tdak mungkin seharian kan?

Andrew menunduk memastikan aku dan dia menginjak tangga ekskalator yang sama. Tangan kirinya memegang tas kamera sementara yang kanan pada pegangan eskalator. "Tergantung. Kalau hanya melihat-lihat sekilas mungkin satu sampai dua jam. Kalau kau mau lihat semua karya seni di setiap lantai mungkin lima sampai enam jam. Kurasa kau akan memilih opsi pertama."

Aku nyengir saja pada Andrew karena merasa mudah ditebak. Kami sampai di lantai dua dan Andrew menggantung tali tas kamera pada pundaknya. Tidak seperti biasanya, tangan Andrew terbebas dari kamera. "Tidak diizinkan untuk memotret?" tanyaku lagi.

"Boleh, tapi aku malas," jawabnya masih berbisik agar tidak terdengar oleh para turis yang berlalu-lalang di sekitar kami. "Not an art person."

Kurasa "what-kind-of-person-are-you" terutama "art-person" adalah inside joke milikku dan Andrew. Hanya kami berdua.

"Let's pretend we are art person today," aku balas berbisik. "Who knows this day would change our lives forever."

Begitu memasuki area yang tampak seperti labirin, Andrew mengajakku untuk ikut bergabung dengan sekumpulan turis yang sepertinya berasal dari Spanyol atau negara yang berbicara bahasa Spanyol. Mereka memegang buku panduan dan mendengarkan seorang pemandu dengan saksama.

"Name one famous artist," bisik Andrew lagi. Mengingatkanku pada laki-laki yang selalu menantang perempuan untuk menyebutkan nama atlet sepak bola ketika mereka bilang suka sepak bola.

"Pablo Diego José Francisco de Paula Juan Nepomuceno María de los Cipriano de la Santísima Trinidad Martyr Patricio Clito Ruíz y Picasso." Semua orang tahu Pablo Picasso, tapi tidak semua orang hafal nama lengkapnya. Terima kasih buku Let's Go Spanyol yang kubaca pada kelas 4 SD. Masih kuingat dengan baik.

Andrew bahkan hanya tercengang mendengarkanku yang terdengar seperti baru saja mengatakan hal mengejutkan dalam bahasa Spanyol.

"No bebé. Te olvidas de 'Remedios'." Kurasa suaraku terlalu keras hingga mengundang seorang pria yang sepertinya adalah pemandu wisata berbahasa Spanyol meninggalkan rombongan turisnya yang memandangku, memasang wajah sama seperti Andrew. "Pablo Diego José Francisco de Paula Juan Nepomuceno María de los Remedios Cipriano de la Santísima Trinidad Martyr Patricio Clito Ruíz y Picasso. Esto es increíble. ¿Eres fan de Picasso?"

Kini aku yang mematung mendengar pemandu wisata yang sepertinya berpikir aku bisa berbahasa Spanyol. Maksudku, aku memang pernah belajar bahasa Spanyol secara autodidak bersama Duolingo dan di year 11, tapi itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Akan tetapi, mendengar kata "fan de Picasso", kusimpulkan dia bertanya apakah aku penggemar Picasso, jadi kubalas, "Sí, señor."

Beberapa turis memanggil sang pemandu wisata agar kembali bersama mereka. Aku memberi kode pada Andrew agar membawaku pergi dari sini sebelum aku disuruh menjadi pemandu wisata di sebuah galeri seni menggunakan bahasa Spanyol. Sebuah malapetaka. Bisa-bisa aku mencoreng nama Tate Modern, kemudian mimpi burukku terjadi: dideportasi dari Inggris.

Andrew tidak kuasa menahan tawanya setelah kami berpisah dengan para rombongan turis bahasa Spanyol itu, memasuki labirin lukisan lainnya. "What just happened?"

"No sé."

"Oh, so you're Spanish now?"

Aku menutup wajahku penuh malu dan menggelengkan kepala. "What did the guide say to me?" Sepertinya kemampuan bahasa Spanyol Andrew lebih baik dariku.

"I thought you understood what he said."

Syukurlah kalau Andrew berpikir begitu, mungkin si pemandu wisata dan para turisnya juga demikian. Rasa maluku kini berkurang dan aku berani berhadapan dengan Andrew. "It's been ages. I just assumed he asked me if I was a fan of Picasso."

Andrew menatapku tidak percaya. "Well, you're smart because you're right." Aku senang mendengar Andrew menyebut pintar. "And he said you forget one of Picasso's name."

Oh, itu sebabnya dia datang untuk mengoreksi. "Which one?"

"Kau pikir aku tahu?" Andrew tersenyum sangat manis yang membuatku mendadak ingin menjadi seorang pelukis dan melukis wajahnya, yang nantinya hasil lukisannya dipajang di Tate Modern. Menandingi Mona Lisa di Louvre.

Wow. Kini aku terdengar seperti seorang art person.

"Tapi serius. Bagaimana kau bisa tahu nama lengkap Picasso?" Sudah kutebak Andrew (dan pemandu wisata dan turisnya) pasti penasaran.

"Soy fan de Picasso," jawabku, menggunakan bahasa Spanyol yang kurasa benar. Namun, Andrew tampak geram. Sebelum dia naik pitam, aku berhenti berlaga seperti tengah membintangi film Telenovela. "Ceritanya panjang."

"I am all ears."

Jadi kami berkeliling tiap labirin di Tate Modern sambil bercerita mengenai obsesiku pada Spanyol. Dan seperti yang Andrew bilang, dia mendengarkan tanpa menyela, hanya bereaksi dengan beberapa ekspresi tidak percaya seolah-olah aku membual bahwa cinta pertamaku adalah Barcelona, bukan London. Aku bercerita padanya bahwa setelah Piala Dunia 2010, aku sangat menyukai Spanyol dan Barcelona karena pemain Spanyol favoritku seperti Xavi Hernandez, Andrés Iniesta, dan David Villa bermain di Barcelona. Aku juga memberitahunya tentang buku yang membahas nama lengkap Pablo Picasso.

"Bagaimana dengan Iker Casillas?" Andrew pastinya mengaitkan dengan kiper ketika membicarakan sepak bola.

"Dia kiper favoritku sebelum aku tahu David de Gea, tapi sayangnya dia bermain untuk Real Madrid." Aneh rasanya membicarakan klub La Liga dengan Andrew. Biasanya topik pembicaraan kami seputar klub Premier League, lebih spesifiknya: Manchester United dan Arsenal.

Andrew, yang sama sepertiku, mendukung Barcelona mengangguk paham. "Casillas adalah seorang legenda," komentarnya. Khas penggemar bola. "Jadi kenapa kau tiba-tiba lebih menyukai Manchester United?"

"Kau ingat Final Liga Champions tahun 2011 saat Manchester United bertemu Barcelona di Wembley?" Sejujurnya pada saat itu aku masih SD dan tidak menonton pertandingannya, hanya mengikuti lewat koran yang ayahku beli. "Aku lebih mendukung Barcelona dan lihat? Mereka menang. Bisa dibilang lebih unggul dari Manchester United."

"Lalu, kenapa kau sekarang lebih mendukung Manchester United?" Andrew menghentikan langkah kakinya, tampak ingin mendengar jawabanku dengan jelas. Kami berhenti di dekat eskalator.

"Oh, that was because someone asked me what club I support so I told him Manchester United and Barcelona. Then, he called me a glory hunter. I don't know maybe because they were both always on the top of the standingship—no offense."

Andrew diam sejenak sebelum membalas, "None taken."

Jawabannya memaksaku untuk tersenyum karena merasa kami satu frekuensi. "He was a Manchester United fan so I stopped supporting Barcelona."

Kening Andrew mengerut mendengar jawabanku yang tidak masuk akal baginya. "Why?"

"Because I wanted to piss him off." Aku tertawa canggung lalu mengangkat bahu. "I don't know I was like 13 or 14 around that time."

"Was he like your friend or anything?"

Aku agak terkejut Andrew bertanya demikian. Namun, aku menggelengkan kepala. "Nah, just some random guy on Twitter."

"Sekarang ceritakan padaku," pinta Andrew yang membingungkanku. Dia anggap barusan aku apa? Melantur?

"Cerita apa?" Tapi aku senang dia memintaku untuk bercerita.

"Bagaimana kau bisa berpaling dari Spanyol ke Inggris. Terutama London."

Cerita favoritku.

Continue Reading

You'll Also Like

17M 754K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
791K 50.4K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
2.5M 38.1K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
549K 3.1K 24
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.