Cinta yang Sederhana

By teru_teru_bozu

188K 23.4K 1.9K

Bukan tentang siapa yang kita kenal paling lama, Yang datang pertama, atau yang paling perhatian. Tapi tentan... More

Pada Sebuah Kisah
Cinta yang Sederhana
satu
Dua
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Cinta Yang Sederhana
Menjelang Pre Order Cinta Yang Sederhana
Open Pre Order Cinta Yang Sederhana

Tiga

4.4K 1K 122
By teru_teru_bozu

Sebagai karyawan baru, Jerini sangat bersemangat dalam pekerjaannya. Menjadi karyawan di salah satu perusahaan properti untuk fasilitas industri yang telah memiliki beberapa cabang di Jabodetabek adalah karier yang sejak lama dia impikan. Sehingga dia berasumsi Gandhi yang baru dua bulan menjadi suaminya itu memiliki keinginan yang sama. Saat itu Jerini memang tidak peka pada penolakan yang disampaikan oleh Gandhi. Dengan penuh semangat dia meminta suaminya bergabung dengannya.

Gandhi memang telah bekerja menjadi staf marketing sebuah perusahaan properti untuk memasarkan unit perumahan. Pendapatannya sangat kecil karena hanya berdasarkan komisi. Jumlah uang yang didapat menurut Jerini sangat tidak sebanding dengan upaya yang harus dilakukan suaminya. Modal bensin dan pulsa karena harus rajin berkeliling dan menghubungi calon-calon pembeli yang tidak semua berminat terhadap dagangan bernama "rumah". Tentu saja penghasilannya tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua.

Masalah nafkah adala pemicu awal dalam rumah tangga mereka. Sesuatu yang tidak pernah mereka bahas secara tuntas tanpa menimbulkan pertengkaran. Sekali dua kali Jerini mencoba, sampai akhirnya dia menghibur diri dengan alasan toh dirinya memiliki gaji yang jauh lebih memadai dan bisa menyokong biaya rumah tangga dengan cukup layak. Kenapa harus pusing?

Maka ketika lowongan itu ada, dia menganggapnya sebagai solusi untuk meningkatkan penghasilan Gandhi.

"Kesempatan kayak gini nggak datang dua kali, Mas. Bagaimanapun prospek di tempatku bekerja jauh lebih bagus dari tempat kamu sekarang."

"Apa cocok buat aku, Rin?" tanya Gandhi skeptis.

"Aku cocok, pasti kamu juga bisa menjalaninya. Nggak mungkin enggak. Kita kuliah satu almamater satu jurusan," sahut Jerini enteng.

Mereka memang sama-sama kuliah di FEB –Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Gandhi dua tahun lebih tua. Mereka bertemu untuk pertama kali di kelas yang sama ketika Gandhi mengulang mata kuliah tertentu bersama angkatan Jerini. Berawal dari saling meminjam catatan dan tergabung dalam kelompok tugas yang sama, akhirnya mereka menjadi dekat. Dan sebelum semester itu berakhir, Jerini sudah resmi menjadi pacar Gandhi. Bagaimana Jerini tidak berbunga-bunga? Karena Gandhi dikenal sebagai cowok ganteng idola para gadis yang juga aktivis kampus.

"Dicoba ya, Mas?" Jerini setengah memohon. "Ntar aku bantu kok. Pasti bisa. Jangan khawatir."

"Terserah kamu, Rin. Toh memang sejak dulu kamu yang ngurusin kayak gini. Skripsiku juga kamu yang bikinin kan?"

"Ngalah dikit sama idealisme, yang penting cuan!"

Ini adalah bujukan terakhir yang akhirnya meluluhkan kekeraskepalaan Gandhi. Meskipun Jerini juga tidak paham idealisme mana yang ada di kepala Gandhi. Bodo amat lah! Yang penting suaminya mau kerja dengan benar.

Setelah susah payah Jerini melobi sana-sini agar Gandhi lolos saringan masuk karyawan, dia baru bisa bernapas lega saat suaminya akhirnya sekantor dengannya meskipun beda divisi dan jabatannya lebih rendah. Mau bagaimana lagi? IPK Gandhi hanya cukup memenuhi standar lulus tanpa keistimewaan apa pun. Hasil tesnya juga mepet. Tapi Jerini tak peduli. Yang penting sekarang dia tahu pekerjaan Gandhi lebih layak dari sebelumnya. Dan dia akan menyemangati suaminya untuk lebih berprestasi lagi di tempat kerja, agar bisa mencapai level yang lebih baik.

Dulu dia pernah melakukannya saat kuliah. Sekarang pasti tak sulit melanjutkan kembali pola yang sama. Jerini begitu tenggelam dalam rutinitas ini hingga tanpa sadar pola ini terus berulang di sepanjang pernikahan mereka.

"Mas, proposal yang aku minta bisa kelar minggu ini nggak?" tanya Jerini sambil mencoret-coret sesuatu pada catatannya.

"Hm...," sahut Gandhi yang sedang menyetir dan berkonsentrasi penuh pada jalan raya di depannya.

Di tahun kedua akhirnya muncul kesempatan emas bagi Gandhi, ketika perusahaan memiliki program penyaringan ide strategi marketing dari karyawan di level Gandhi.

"Aku sudah ngingetin dari minggu lalu. Keburu lewat deadline-nya," lanjut Jerini.

Nanti Jerini juga yang akan mengeksekusi tim mana yang bisa membuat strategi terbaik. Makanya dia gencar mendorong sang suami agar segera mengajukan proposal untuk disertakan dalam seleksi.

"Yang minat kamu kan? Bukan aku," balas Gandhi cuek.

Jerini menghela napas dengan berat. Bila Gandhi sudah bersikap menyebalkan seperti ini, hanya satu hal yang bisa dia lakukan. Diam. Karena mempermasalahkannya hanya akan membuat keduanya ribut tanpa solusi. Dan Gandhi bisa menjadi sepuluh kali lebih menyebalkan bila dia mau, hanya untuk membuat Jerini jengkel.

Namun kali ini Jerini ingin mendorong Gandhi lebih keras lagi demi kesempatan itu.

"Gini deh, emang yang berminat itu aku. Tapi kan buat kita berdua, Mas. Ntar aku pasti dapet bonus dari project ini. Tapi kamu kan butuh bonus juga. Bukannya kamu pengin beli mobil baru? Nggak bakal kebeli kalau bonusnya nggak dobel." Jerini sengaja menggunakan pendekatan mobil baru karena lebih relate dengan Gandhi yang akhir-akhir ini mulai sering pamer pencapaiannya.

"Kenapa nggak kamu kerjakan sendiri aja seperti biasa?" Gandhi masih berusaha ngeles.

"Nggak bisa. Okelah proposal bisa aku bikin atas nama kamu. Tapi tetep kamu yang harus presentasi."

"Oh, jadi masih butuh aku?" cibir Gandhi. "Kirain bisa jalan sendiri tanpa aku."

Setelah adu argumen beberapa lama, akhirnya Gandhi setuju untuk melakukan presentasi dan membebankan pembuatan proposalnya pada Jerini. Andai perusahaan tahu, pasti Jerini juga kena masalah. Namun dengan penuh tekat, Jerini terus maju. Dia bersyukur berhasil menyelesaikannya tepat waktu di sela kesibukannya yang padat. Dan bersyukur pula karena pada hari H mood Gandhi cukup bagus untuk menjalankan bagiannya. Terbukti pria itu bisa mempresentasikan dengan baik di hadapan manajer. Sehingga ide cemerlang yang sebenarnya berasal dari Jerini itu menarik minat sebagian besar atasan. Mereka berdua pun sukses mendapatkan project tersebut dan mendapat bonus yang sangat besar karenanya.

Mobil baru pun terbeli. Yang dengan bangga dikendarai Gandhi hanya untuk membuat teman-teman sejawatnya iri. Iri pada keberuntungannya karena beristrikan perempuan cerdas berpenghasilan tinggi. Membuat pria itu bisa menikmati gaya hidup yang pasti tidak sanggup dijangkaunya dengan gaji pribadinya.

Kini Jerini mulai paham kenapa rasanya sungguh melelahkan menjalani pernikahan dengan Gandhi. Karena sepanjang mereka menjalin hubungan, sejak awal dia berjuang sendirian. Dia yang berjuang agar Gandhi bisa lulus bersamanya dengan mati-matian mengerjakan apa yang bisa dia kerjakan. Membantu mengerjakan tugas, memastikan Gandhi mempelajari materi ujian semester, hingga pontang-panting mendampingi penelitian untuk skripsi Gandhi.

Jerini telah melakukan hampir semuanya sendirian. SEMUANYA! Jadi terbayang betapa hancur hatinya saat seorang gadis yang dia ketahui berstatus karyawan magang menemuinya. Gadis yang mengenalkan diri sebagai Putri itu mengaku telah hamil anak Gandhi.

Dunia Jerini runtuh seketika.

Dan mobil mereka akhirnya dijual. Karena membayangkan Gandhi memakai kendaraan tersebut untuk mengantar jemput Putri ke dokter kandungan membuat Jerini sakit hati. Hasil penjualan mobil itu dibagi dua tanpa ribut-ribut. Meskipun dia jengkel setengah mati karena dalam setiap harta benda milik bersama, kontribusinya lah yang paling besar dibanding Gandhi.

***

Memasuki kantor tempatnya pertama bekerja membuat Jerini teringat pada memori lama. Bohong kalau dia imun dari semua kenangan di tempat ini karena meninggalkan tempat ini dua tahun lalu membuat patah hatinya justru semakin dalam. Karena di sini adalah bukti nyata perjuangannya selama tiga tahun, bersama orang-orang yang telah mengenalnya sejak awal. Dan semua rasa bahagia serta sakit hati yang dia alami telah mewarnai setiap sudut bangunan megah ini.

Sepanjang perjalanan dari lobi menuju ke ruang pertemuan utama, beberapa kali Jerini bertemu dengan orang-orang yang dia kenal. Yang mewajibkannya berbasa-basi sekadarnya dan menekan dalam-dalam perasaan tidak nyaman. Serta menepis jauh-jauh dari kepalanya tentang apa yang akan dibicarakan orang saat melihatnya dan Gandhi muncul secara bersamaan begini.

"Jerini sudah familier sekali dengan tempat ini," kata Gandhi yang mengawal Cakra dengan ketat sejak turun dari kendaraan. "Ya kan, Rin?"

Jerini menggumamkan persetujuan. Sementara Cakra yang berjalan di sebelahnya hanya diam tak peduli sedikit pun pada fakta itu. Memang apa menariknya?

"Pak Cakra sudah tahu kan, kalau kami suami istri?" Pertanyaan yang disampaikan Gandhi dengan suara pelan tersebut adalah bukti nyata betapa pria itu ingin selalu dalam sorotan dan benci diabaikan.

Cakra menanggapi dengan anggukan. "Tahu," jawabnya singkat.

Sepatah kata itu pasti membuat Gandhi kecewa berat, cibir Jerini dalam hati. Emang dia berharap apa? Cakra bakal antusias menjawab kemudian menjadikan hubungan mereka bahan candaan? Tidak akan!

"Sudah jam makan siang, lebih baik kita ke kantin dulu, Pak," kata Jerini akhirnya.

"Good," Cakra setuju tanpa ragu.

"Mari lewat sini." Jerini dengan sopan mengarahkan atasannya menuju lorong yang langsung ke tempat kantin berada.

Di belakang mereka, rombongan bergerak patuh membuntuti. Dan Jerini baru mundur ketika Kepala Cabang Jakarta maju untuk mendampingi Cakra. Kedua pria itu lalu sibuk berbicara di jalan menuju kantin. Tiba di depan pintu kantin yang kondisinya tak berubah seperti yang masih diingat dengan baik oleh Jerini, dia terkejut ketika seseorang menarik lengannya. Membuatnya berhenti dan hanya menatap saja saat rombongan menyebar di dalam kantin untuk mencari posisi duduk masing-masing.

Gandhi. Siapa lagi?

"Rin, aku bener-bener butuh bicara sama kamu," pintanya dengan bersungguh-sungguh. "Tolonglah."

Jerini tertegun menatap Gandhi. Dan menyadari kalau pria itu terlihat lebih kurus. Dan pakaiannya juga tampak tak terurus. Semua itu baru terdeteksi olehnya dari jarak yang sedekat ini. Detail kecil yang hanya akan diketahui oleh orang yang selama tiga tahun merawat pria ini.

"Rini ..."

Napas Jerini terasa tersekat di tenggorokan. Tidak ada orang yang bisa memanggilnya 'Rini' seperti cara Gandhi mengucapkannya. Tapi .... "Ya?" Dia mendongak agar bisa memandang pria yang pernah begitu dekat dengannya.

"Tolonglah, Rin ...," pinta Gandhi lagi. Entah untuk apa.

Jerini menelan ludah dengan susah payah. Jantungnya berdebar kencang, antara pengharapan yang ternyata masih berkobar namun juga percikan kebencian yang sanggup membakar jarak yang selama ini terentang.

"Mas, kalau kamu mau membicarakan tentang perceraian itu, oke. Aku siap," ucapnya sambil menahan sesak yang ternyata masih sangat terasa. "Karena salah satu alasanku untuk datang ke sini sekarang adalah untuk menyelesaikan urusan perceraian itu."

Dengan segala risiko yang harus siap dia tanggung, tambah Jerini dalam hati.

Ayah dan ibunya pasti murka. Belum lagi urusan gana-gini yang akan sulit diselesaikan mengingat bagaimana posesifnya Gandhi pada harta. Apalagi bila setelah ini Gandhi kehilangan pekerjaan. Dia akan merangsek demi mendapat bagian terbanyak yang bisa dia usahakan. Mungkin dengan mengatasnamakan anak dan istri.

Mengenal Gandhi dengan segala sifat buruknya membuat Jerini harus bersiap kalau urusan ini tidak akan sederhana. Kecuali dia mendapatkan pengacara perceraian yang cukup bagus dan dia berani mempertaruhkan setiap rupiah tabungannya demi membayar tarif orang yang akan mendampinginya melalui proses hukum ini.

"Masalahnya, Rin, aku setuju dengan keputusanmu dua tahun lalu. Kita tidak usah bercerai," kata Gandhi pelan.

Namun sanggup membuat Jerini bagai tersambar petir. "Kenapa?"

"Karena aku nggak bahagia dengan Putri. Aku mau kembali sama kamu."

Jerini menarik napas dalam-dalam. Dan bersyukur telah mengambil jeda dua tahun lamanya untuk bersiap menghadapi kemungkinan ini. Ucapan Gandhi barusan benar-benar lelucon yang sama sekali nggak lucu!

"Kamu nggak mikirin anakmu?" Sengatan rasa perih itu menghujam dalam saat Jerini menyebut kata anak.

"Zaman sekarang, bukan sesuatu yang aneh kalau ada orangtua hidup terpisah. Selama tetap bisa bertanggung jawab pada anaknya."

Jerini terdiam mengawasi Gandhi. Pasti pria ini berpikir kalau aku dengan bodohnya akan termakan dengan siasat ini. Tapi Gandhi nggak salah sih. Dulu aku memang sebodoh itu.

"Buka blokiran nomor HP-ku, Rin. Mari kita bicara baik-baik." Dengan kata-kata itu Gandhi meninggalkan Jerini di depan pintu kantin.

Si bangsat ini mengira telah menang! Batin Jerini geram.

***

Jerini berhenti dan mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Cakra. Yang dia temukan dia temukan hanya dalam waktu beberapa detik saja. Yang alih-alih duduk di meja besar di tengah ruangan bersama rombongan yang lain, Cakra malah memilih meja di tepi untuk dua orang.

"Je, sini!" panggilnya saat melihat Jerini bergegas menghampiri.

"Saya pikir Pak Cakra akan bersama Pak Kepala Cabang," ucap Jerini sambil mengambil posisi duduk di depan bosnya.

"Kita makan di sini saja," ucapnya dengan tenang. "Tolong rekomendasikan menu best seller di kantin ini.

Jerini tersenyum. "Baik, Pak. Serahkan sama saya. Pak Cakra nggak akan kecewa."

Jerini melangkah menghampiri konter yang masih diingatnya dengan baik. Ternyata beberapa dari orang kantin pun masih mengenalnya. Mereka menyapa Jerini dengan heboh. Bertanya kabar dan segala hal lainnya. Namun di ujung percakapan, sebagaimana yang sering dia temui, lawan bicaranya tersebut tersenyum sedih sambil menatapnya iba.

Inilah hal yang paling tidak sanggup Jerini hadapi. Makanya dulu dia ingin secepatnya angkat kaki dari kantor ini setelah berita perselingkuhan Gandhi dan Putri menyebar. Karena hidupnya sudah hancur berantakan. Membuatnya secara otomatis mundur dari semua pergaulan sosial. Keluar dari grup obrolan alumni dan grup obrolan karyawan. Jerini yang semula dikenal sebagai wanita supel dan populer, hanya dalam hitungan hari kehilangan semua teman dan terempas sendirian.

Tak terbayang rasa syukurnya ketika akhirnya surat mutasinya ke Surabaya resmi keluar. Dia pun pergi tanpa menoleh lagi. Membangun kehidupannya kembali di tempat yang baru. Di sana Jerini dikenal sebagai sosok perempuan yang misterius dan pendiam. Tertutup serta anti bersosialisasi.

"Silakan, Pak," Jerini meletakkan senampan makanan di hadapan Cakra sebelum berbalik untuk mengambil nampannya sendiri. Sistem di kantin ini memang self service.

"Apa ini?" tanya Cakra sambil memandangi makanannya.

"Sop buntut. Menu best seller di sini, sesuai permintaan Pak Cakra," Jerini menunjuk ke nampan Cakra. "Dan ini buntut goreng," dia menunjuk ke nampan yang ada di hadapannya. "Menurut saya dua-duanya enak. Pak Cakra silakan pilih sendiri mau yang mana."

"Okay," Cakra mengangguk. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini gerakannya lebih antusias.

Cakra mengambil sendok untuk mencicipi kuah supnya. Lalu meletakkan sendok bekas pakai dengan rapi di atas tisu yang telah dia lipat sebagai alas. Kemudian pria itu menunjuk ke potongan buntut goreng di atas piring yang ada di nampan Jerini.

"May I? Tangan saya bersih, kok," ucapnya sopan.

"Silakan, Pak."

Jerini menunggu sementara Cakra mencoba buntut gorengnya. Entah kenapa gerak-gerik pria itu membuat tatapannya terpaku pada sosok atasannya itu.

"Oke banget. Dua-duanya enak," Cakra mengangguk sambil tersenyum. "Apa kita bisa sharing menu?" tanyanya penuh harap.

Meski agak terkejut, Jerini mengangguk. "Silakan kalau Pak Cakra berkenan."

"Oke, tunggu sebentar. Saya akan minta sendok cadangan—"

"Biar saya aja, Pak," potong Jerini saat Cakra baru mau berdiri.

"Just sit down and wait, Je. Kamu bukan pelayan," katanya datar. Tanpa menunggu respons Jerini, pria itu berjalan menuju ke konter tempat kedua menu tersebut dipesan.

Di tempatnya, Jerini masih tertegun dengan heran. Sharing menu? Dengan Bos Kanebo Cakra? Wadow, ini bisa dimasukkan dalam daftar KLB –Kejadian Luar Biasa—nih! Dia tahu kalau Cakra sangat ketat dalam pengeluaran. Tidak ada yang boleh overbudget. Namun apakah sharing menu masuk dalam efisiensi model baru? Alih-alih merasa tersinggung dengan kepelitan Cakra sebagai atasan, Jerini justru merasa geli sendiri.

Jerini tidak akan melupakan aturan yang disampaikan oleh Cakra pada kesempatan dinas luar kota mereka yang pertama. Selain memilih penginapan terdekat dengan kantor, tak peduli bintang berapa pun karena losmen melati pun jadi, Cakra juga lebih memilih makan di kantin kantor bila memungkinkan.

"Saya tidak mau bermain-main dengan dinas. Semua pengeluaran kamu laporkan secara apa adanya. Baik biaya hotel, tiket, makan, transportasi, dan lain-lain. Karena saya pikir tunjangan untuk perjalanan yang kamu terima sudah cukup tanpa harus tipu-tipu dengan markup harga." Kata Cakra dengan serius sekali waktu itu.

Jerini mengangguk dan sangat setuju dengan prinsip ini karena membuatnya lebih mudah membuat laporan tanpa harus pusing cari bukti harga markup sebagaimana kelakuan beberapa orang kaintor lain.

"Dan untuk untuk urusan makan, maaf, saya tidak mau membuat kesalahpahaman sedikit pun di antara kita. Kamu perempuan, saya laki-laki. Kecuali berbarengan dengan rapat bersama orang-orang lain, selain itu, lebih baik kita makan sendiri-sendiri. Itu lebih aman."

Jerini lagi-lagi mengangguk. "Memang lebih aman begitu, Pak. Meskipun kadang masih ada aja orang yang nyinyir." Tanggapan Jerini berbalut curcol.

"Biar saja, nggak usah ditanggepin."

Sekarang, Jerini bertanya-tanya sendiri. Apakah sharing menu masih dalam batasan aman? Jerini mengamati suasana ramai di sekelilingnya. Dan seketika menjadi lega. Ini tempat umum. Dan Cakra masih on the track karena mereka berada di tengah orang banyak. Apalagi di sini banyak yang sudah paham statusnya. OTW janda!

"Let's have a lunch," ucapa Cakra tiba-tiba.

Jerini terlalu sibuk dengan pikirannya sampai-sampai tak menyadari kalau atasannya itu sudah kembali dan sedang berusaha menyelipkan tubuhnya ke kursi kantin.

Jerini mengangguk sambil tersenyum ringan. Lalu mengikuti Cakra untuk makan dengan tenang.

Namun di tengah keasyikannya menikmati hidangan, sesuatu mengusik pikiran Jerini dan membuatnya tersadar pada sesuatu. Benar saja. Saat dia menoleh, tatapannya beradu dengan Gandhi yang sedang menatapnya tajam.

***

Satu hal yang paling dihindari oleh Jerini adalah membuat masalah dengan Gandhi. Karena pria itu sangat pintar memutar fakta dan playing victim.

"Aku belum siap bercerai secara hukum sekarang, Mas. Please, kasih aku waktu untuk berpikir dan menenangkan diri," kata Jerini setelah Gandhi akhirnya mengakui perbuatannya. "Karena aku perlu waktu untuk menjelaskan kepada orangtuaku kenapa pernikahan ini harus buyar. Aku juga perlu waktu untuk menerima kenyataan kalau kamu sudah mengkhianatiku dengan menghamili Putri."

"Rin, kenapa kamu ungkit lagi urusanku sama Putri?" tanya Gandhi dengan kesal. "Aku sudah mengaku. Berarti urusan beres, kan? Aku juga sudah minta izinmu baik-baik untuk poligami. Tapi kamu tolak. Lalu harus gimana lagi? Minta cerai kamu tolak."

"Aku nggak nolak! Aku cuma minta sedikit waktu. Kupikir setelah semua yang aku lakukan, aku layak buat mendapatkan waktu berpikir dan menenangkan diri selama yang aku butuhin, Mas."

Jerini hampir putus asa saat mengutarakan hal ini. Karena pikirannya dipenuhi prasangka negatif tentang keinginan Gandhi untuk segera mendapat gana-gini dari rumah yang mereka tempati selama ini. Karena begitu Gandhi mengaku, Jerini segera meminta pria itu keluar dari rumah. Dia tak mau tahu Gandhi tinggal di mana.

"Tapi kamu egois, Rin. Kamu tidak mau mengurus perceraian secara resmi, membuat statusku menggantung, dan membuat Putri tersiksa karena hanya bisa menikah di bawah tangan denganku. Gana-gini tidak bisa dibagi kalau kamu masih keras kepala seperti ini. Aku sudah banyak mengalah, menuruti kemauanmu yang tidak jelas dengan memperpanjang proses perceraian, hanya agar kamu puas!"

Kan? Sesuai dugaan. Hanya urusan gana-gini yang membuat Gandhi sengotot itu. Jerini hampir tak mempercayai pendengarannya. Ya Tuhan, kenapa semua yang diawali dengan niat baik ini harus berantakan seperti ini? Salahnya di mana?

"Kamu yang berselingkuh, dan kamu yang harus menikahi gundikmu yang telanjur hamil dari hasil zina kalian itu. Kenapa aku yang harus mengalah?" suara Jerini meninggi beberapa oktaf.

"Selalu saja soal selingkuh itu yang kamu bahas, Rin. Kamu tidak pernah mau mengakui bahwa ada masalah dalam pernikahan kita. Bahwa kamu pun berkontribusi besar pada kekacauan hubungan kita."

Jerini menggemeretakkan giginya, menahan luapan emosi yang hampir tak terbendung lagi. "Okelah, kamu dan aku sama-sama turut andil dalam hancurnya pernikahan ini. Karena sebagai istri, tentu aku punya banyak kekurangan. Dan ada sebagian sifat-sifatku yang kamu benci. Tetapi kamu berkhianat, dan aku tidak. Jelas kan bedanya? Hal ini membuat kesalahanmu jauh lebih besar dari aku."

"Selalu saja kamu menganggap dirimu lebih baik dari aku."

"Karena kenyataannya begitu. Sekarang gana-gini mana yang mau kamu minta? Rumah? Rumah itu atas nama aku."

"Karena kamu menolak untuk mengatasnamakan kita berdua!"

"Karena itu rumahku yang aku beli pakai uangku sendiri. Karena gajimu yang tak seberapa itu habis untuk support keluargamu, sedangkan kamu hidup nebeng aku!"

"Keluargaku adalah keluargamu juga karena kamu menantu!"

"Salah! Sekarang keluargamu adalah keluarga Putri. Bukan aku. Silakan kamu minta Putri buat supportgaya hidupmu. Silakan nikmati hidupmu yang sekarang. Aku tidak akan buang-buang waktu dengan mengganggu hubungan kalian berdua. Tapi aku juga tidak mau diganggu dulu dengan urusan perceraian. Kalau kamu mau, gugat aku di pengadilan, biar aku jawab gugatanmu. Itu juga kalau kamu berani dan punya duit buat sewa pengacara."

Karena Jerini tahu betapa kecilnya nyali Gandhi. Apalagi kalau dia harus pakai pengacara. Ugh! Nggak bakal laki-laki itu mau keluar modal. Karena pelit dan rakus adalah dua sifat dasar Gandhi yang semakin jelas terlihat di matanya.

Dalam kondisi normal, Jerini tak akan sampai hati mengucapkan kalimat itu. Namun sakit hatinya sudah teramat sangat, membuatnya ingin Gandhi merasakan kesakitan yang sama. Dan ingin menghukum pria itu dengan selingkuhannya dengan kepedihan yang sama. Kepedihan hati yang tersayat karena pernikahan yang hancur lebur. Bagaimana bisa laki-laki yang dia percaya untuk memiliki hatinya justru berkhianat sekejam itu? Bahkan seolah tak cukup penderitaan yang dia alami, Gandhi masih juga tak henti-hentinya menyerang.

***

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 72K 58
Takdir itu emang kocak. Perasaan cerita tentang perjodohan itu hanya ada di film atau novel, tapi sekarang apa? Cecilia Janelle terjebak dalam sebuah...
589K 48.1K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...
1.1M 55K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
578K 39.5K 47
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...