Mixed Story S2

By Naya_Taf

4K 521 88

Season 2 dari Mixed... Seperti biasa cast utama wanita sudah pasti Im Nayeon... Bisa jadi remake atau cerita... More

Exile (1)
Exile (2)
Exile (3)
Puisi Sang Dewa (1)
Puisi Sang Dewa (2)
Scars (1)
Malam Badai
Aku, Kamu & Ayahku
(Remake) No One Knows
Missing You
Elang (1)
Elang (2)
Elang (3)
The Devils
The Devils (2)
Pak Dosen (1)
Pak Dosen (2)

Scars (2)

167 37 6
By Naya_Taf

Ranaya memberikan sebuah surat kepada Yoga, membuat Yoga menatap bingung kearah sang Bunda.

"Itu surat izin buat Yaya, Bang. Adik kamu itu demam karena kehujanan semalam, tolong kasih ke wali kelasnya ya" tutur Ranaya seolah tahu apa yang dipikirkan oleh sang anak.

Yoga yang mendengar itu hanya mengangguk dan memasukan surat tersebut keadalam saku seragamnya.

"Kalau gitu Yoga berangkat dulu ya, Bun" ujarnya, setelah menyalimi tangan dan mengecup pipi sang Bunda, Yoga segera berangkat menuju sekolahnya.

Melihat kepergian anak laki-lakinya Ranaya menghembuskan nafasnya pelan, Yoga menjadi lebih pendiam hari ini, membuat Ranaya khawatir, belum lagi mata anaknya itu terlihat bengkak.

"Kamu kenapa, Bang? Apa kamu ngga suka dengan kehadiran Yaya?" monolog Ranaya, namun buru-buru ia menggeleng menghilangkan pemikiran tersebut.

Ranaya yakin bukan karena itu, Yoga justru sangat ingin bertemu dengan Yaya. Selama ini Ranaya hanya menyebutkan ciri-ciri dari Theo dan Yaya kepada Yoga, karena saat keluar dari rumah Theo beberapa tahun yang lalu, Ranaya sama sekali tidak membawa apapun, termasuk foto Theo dan Yaya bersamanya.

Lalu karena apa? Apa yang mengganggu sang anak? Tidak ingin terlarut dengan pemikirannya sendiri Ranaya lebih memilih untuk melangkah kearah dapur, berniat untuk membuatkan Yaya bubur sebelum anaknya itu terbangun.

.
.
.

Hari ini Theo tidak datang untuk bekerja, ia memilih untuk menyambangi sekolah sang anak. Berharap jika ia bisa menemui Yaya disekolahnya, namun setelah menunggu sekitar satu jam lamanya bahkan sampai bel masuk dan gerbang sekolah ditutup Theo tidak dapat menemukan kehadiran Yaya disekolah.

Theo turun dari mobilnya memilih untuk bertemu wali kelas Yaya secara langsung untuk mengabari perihal Yaya. Ia tidak ingin anaknya itu absen tanpa keterangan.

"Silahkan duduk Pak Theo" ujar guru yang merupakan wali kelas Yaya dengan ramah.

"Ada perlu apa Pak Theo?"

"Saya mau mengabari perihal Hanaya yang tidak bisa mengikuti pembelajaran hari ini, Bu"

Guru wanita tersebut terlihat bingung, "Oh untuk itu saya sudah tahu Pak, ada surat yang datang ke saya, disitu tertulis kalau Hanaya sedang sakit" jelasnya pada Theo.

"Surat?" tanya Theo memastikan.

Sang guru mengangguk, ia terlihat membuka laci kerjanya kemudian mengeluarkan sebuah surat dari dalam sana.

"Boleh saya lihat?" izin Theo.

"Silahkan, Pak"

Theo dengan cepat membuka surat tersebut dan membacanya dengan seksama. Tidak, bukan isi surat tersebut yang menjadi fokusnya saat ini, melainkan tulisan tangan tersebut. Mata Theo memanas saat mengetahui jika itu adalah tulisan tangan Ranaya, istrinya.

Theo tersenyum getir, "Ternyata istri saya sudah lebih dulu memberi tahu" tutur Theo sebari mengusap sudut matanya yang berair.

Theo mengembalikan surat tersebut, "Iya Pak Theo, oh iya Pak Theo, saya baru tahu kalau ternyata Hana memili Kakak laki-laki" tutur guru tersebut.

Mendengar itu Theo terdiam, lidahnya terasa kelu.

"Kakak?"

Sang guru tersenyum lembut, "Iya, tadi yang memberikan surat itu siswa laki-laki, dia bilang Kakaknya Hana. Seingat saya dia anak kelas 12 disini, cuma karena saya ngga mengajar di kelas 12 jadi saya kurang tahu namanya siapa" tuturnya.

"Cakra, nama anak laki-laki saya Cakra" ujar Theo.

Setelah berpamitan, Theo segera melangkah memasuki mobilnya. Kepalanya ia jatuhkan pada stir mobil, lagi-lagi Theo menangis. Menangisi takdir, ternyata selama ini ia begitu dekat dengan istri dan anak laki-lakinya.

"Kamu dan Cakra begitu dekat Nay, apa Yaya saat ini bersama kamu?" lirihnya disela isak tangisnya.

"Aku rindu kamu, Nay. Rindu dengan Cakra, dan aku rindu dengan kita" lirihnya.

Dadanya terasa sakit saat memori beberapa tahun silam terputar diotaknya. Pagi hari terkelam yang pernah ada didalam hidupnya adalah, dimana ketika ia pulang tidak ada kehadiran Ranaya didalam rumahnya, hanya ada suara tangisan Yaya yang meraung memanggil-manggil sang Bunda didalam gendongan seorang ART.

Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah ia menemukan foto-foto dirinya yang sedang tertidur dengan wanita lain didalam kamar mereka yang berserakan dimana-mana, dan detik itu juga Theo sadar, jika dirinya telah dijebak oleh seseorang, dan Ranaya mempercayai itu tanpa ingin mendengar penjelasan apapun darinya dan memilih pergi membawa serta anak laki-laki mereka.

.
.
.

Yaya menuruni tangga menuju lantai bawah dimana toko bunga sang Bunda berada. Yaya tersenyum saat melihat senyuman Bundanya saat melayani pelanggan, rasanya hangat sekali.

"Bunda" panggil Yaya saat pelanggan tersebut sudah pergi.

Ranaya menoleh dan melihat sang anak yang tersenyum kearahnya, Yaya dengan langkah kecilnya berlari kearah Ranaya dan langsung memeluk tubuh Bundanya. Ranaya tersenyum lembut membiarkan anak perempuannya bermanja padanya.

"Demamnya udah turun?" tanya Ranaya sebari memeriksa suhu tubuh Yaya.

Ranaya dapat merasakan kelegaan yang luar biasa saat mengetahui suhu tubuh anaknya sudah berada disuhu normal.

"Jangan hujan-hujanan lagi, anak nakal!" ujar Ranaya sebari menepuk pelan lengan anaknya yang masih setia berada dalam pelukannya.

Yaya tersenyum, ia senang mendapatkan omelan dari Bundanya untuk pertama kali. Dibanding takut, Yaya justru merasa disayang dan diperhatikan dengan omelan kecil yang Bundanya berikan, omelan yang terasa sangat manis.

"Yaya mau bantu Bunda di toko, boleh?" tanya Yaya saat ia melepaskan pelukannya.

Ranaya tersenyum, "Boleh, tapi jangan terlalu dipaksa kalau ngga kuat ya. Yaya masih harus istirahat" tutur lembut Ranaya.

"Siap Bunda" Yaya memberikan gerakan hormat.

Setelah memakaikan apron khusus pada Yaya, Ranaya dengan sabar mengajari Yaya bagaimana cara membersihkan dedaunan dari tangkai bunga agar terlihat lebih rapi dan juga cantik.

Yaya ternyata belajar dengan cepat, namun ia juga dengan cepat menyerah karena merasa kelelahan. Selama ini ia tidak pernah bekerja, dirumahnya selalu ada ART yang setia menyiapkan segala sesuatunya, ia bahkan tidak pernah memegang gunting tanaman yang saat ini ada digenggamannya.

Yaya menatap kearah Bundanya yang masih sibuk membersihkan dedaunan dari tangkai bunga, tiba-tiba Yaya ingin menangis. Apa lagi saat melihat gurat lelah dari wajah Bundanya, apa ini yang setiap hari Kakaknya lihat?

"Bunda" panggil Yaya.

Ranaya menatap Yaya kemudian tersenyum lembut, "Iya?" balasnya.

Yaya mengambil gunting yang Bundanya gunakan, dapat Yaya lihat jika tangan Bundanya memerah disela-sela jemarinya, tangan Bundanya juga terdapat banyak bekas luka. Yaya sudah tidak bisa menahan tangisannya, ia terisak.

"Maafin Yaya, Bun" tuturnya disela isak tangisnya.

"Hei, Yaya kenapa?" tanya Ranaya yang bingung karena Yaya tiba-tiba saja menangis.

"Bunda pasti selama ini lelah, maafin Ayah dan Yaya, Bun"

Ranaya tersenyum lembut, "Yaya, yang terjadi antara Bunda sama Ayah itu bukan salah Yaya, Yaya ngga perlu minta maaf sama Bunda"

Yaya menggeleng ribut, tangannya masih setia menggenggam erat tangan Bundanya.

"Pasti berat kan, Bun? Pasti berat buat Bunda dan Abang berjuang sendirian selama ini"

Ranaya kembali tersenyum, ia hapus air mata yang jatuh dipipi Yaya.

"Maafin Bunda Hana, karena Bunda udah ninggalin kamu" lirih Ranaya.

Ranaya tahu, ia juga bersalah pada suami dan anak perempuannya. Mereka sama-sama menjalani hari-hari yang berat.

.
.
.

BUGH

BUGH

BUGH

"Ini balasan gue karena lo udah ganggu gue waktu itu, sialan!" ujar seorang anak laki-laki setelah menghajar Yoga habis-habisan.

Anak laki-laki yang sama dengan anak laki-laki yang mengganggu Yaya tempo hari. Namun kini ia tidak sendiri, ia membawa dua temannya yang lain untuk menghajar Yoga.

"HEY!!" itu adalah suara bariton seseorang yang turun dari mobil mewahnya.

Tiga anak laki-laki itu panik dan meninggalkan Yoga begitu saja dipinggir jalan.

"CK, dasar brandal" cibir pria tersebut saat melihat tiga anak laki-laki pelaku pengeroyokan tersebut lari terbirit-birit, ia dengan cepat membantu Yoga untuk duduk.

"Kamu ngga apa-apa, Boy?" tanyanya khawatir.

Yoga belum menjawab, ia masih sibuk dengan rasa sakit disekujur tubuhnya. Pria itu, Theo; menatap wajah Yoga yang penuh dengan luka lebam, belum lagi sudut bibirnya terlihat sobek dan pelipis yang mengeluarkan darah.

"Mau saya antar ke klinik?" tawar Theo.

Yoga menggeleng lemah, "Ngga usah Pak, terima kasih. Saya harus cepat-cepat pulang, Bunda sama Adik saya udah nunggu dirumah" tutur Yoga.

Theo mengehela nafas, "Kamu yakin pulang dalam keadaan kaya gini? Apa ngga ngebuat Bunda dan Adik kamu khawatir?" mendengar itu Yoga terdiam, Bundanya pasti histeris saat melihatnya pulang dalam keadaan babak belur seperti ini.

"Setidaknya kamu obati dulu. Tunggu disini sebentar" Theo menyebrang kearah minimarket, meninggalkan Yoga dalam kebingungan.

Beberapa menit kemudian Theo kembali dengan satu buah kantung plastik yang berisikan minuman dingin, plester luka, antiseptik dan juga sebuah kapas. Theo memberikan satu buah minuman kaleng bersoda pada Yoga.

"Terima kasih" ujar Yoga.

Yoga tidak meminumnya, ia pakai itu untuk mengompres luka lebamnya, kini Theo sudah duduk disebelah Yoga, dipinggir jalan dengan pemandangan kendaraan yang berlalu lalang. Dalam hidupnya bahkan Theo tidak pernah membayangkan jika ia akan duduk dipinggir jalan seperti seorang gelandangan sebari menikmati sekaleng minuman bersoda hanya untuk menemani seorang anak remaja laki-laki yang baru saja dikeroyok.

"Kenapa kamu bisa dikeroyok sama mereka?" tanya Theo.

Yoga tersenyum miring, "Biasalah, Pak. Urusan anak muda" jawab Yoga yang sibuk membasahi kapas dengan air mineral yang Theo beli.

Theo tersenyum mendengar jawaban Yoga, "Kamu itu ngingetin saya waktu saya jaman muda dulu, suka berantem" Yoga tidak ada niat untuk berkomentar, justru ia tertarik dengan cerita pria yang telah menolongnya itu.

"Saya tebak pasti Bapak berantem karena rebutan cewek" ujar Yoga.

Theo tertawa, "Tau aja kamu, istri saya cantik, primadona disekolah waktu itu jadi harus saya berantemin cowok yang genitin dia, kasusnya kaya kamu gitu lah" Yoga manggut-manggut mendengarnya, dalam hati ingin mencibir sebenarnya.

"Saya berantem bukan karena pacar, Pak. Tapi karena Adik perempuan saya diganggu" jelas Yoga.

Mendengar itu Theo benar-benar takjub, "Wah keren kamu, Nak" tuturnya sebari menepuk pelan bahu Yoga.

Yoga menempelkan plester luka pada pelipisnya secara asal, yang penting luka itu tertutup, bersamaan dengan Theo yang sudah menghabiskan minumannya.

Kini keduanya berdiri saling berhadapan, "Kalau gitu saya pulang duluan, Pak. Terima kasih buat obatnya" ujar Yoga sebari mengangkat kantung plastik yang dibawanya.

Theo tersenyum, "Sama-sama" ujarnya.

Sebelum benar-benar pergi, Yoga sempat menyalimi tangan Theo. Membuat Theo mengerjap beberapa kali, jantungnya berdetak kencang saat tangan Yoga menyentuh telapak tangannya. Perasaan yang sama ketika pertama kali ia menggenggam tangan kecil anak laki-lakinya ketika bayi.

Begitupun dengan Yoga, anak itu juga sedikit bingung dengan tingkahnya sendiri yang tiba-tiba saja menyalimi pria yang menolongnya itu. Namun didalam hatinya yang paling dalam, ia merasakan jika ini adalah sesuatu yang benar yang memang harus ia lakukan. Belum lagi perasaan familiar saat berbincang singkat, terasa seperti seorang teman lama yang bertemu kembali.

"Kalau gitu saya permisi" pamit Yoga.

Yoga berbalik dan melangkah pelan, Yoga tidak tahu kenapa langkahnya menjadi seberat ini. Sedangkan Theo merasakan perasaan aneh, perasaan kehilangan saat Yoga berbalik dan melangkah menjauh.

"Nak!" panggil Theo dengan suara lantang.

Yoga menghentikan langkahnya, ia berbalik untuk memandang Theo yang berdiri beberapa meter darinya.

"Nama kamu siapa?!" tanya Theo.

"Yoga, nama saya Yoga!"

Theo mengangguk kemudian tersenyum, rasanya ia ingin tertawa saat ini. Karena tiba-tiba saja ia melihat sosok dirinya saat muda dalam diri anak laki-laki bernama Yoga tersebut.

"Semoga kita ketemu lagi, Nak" tutur Theo.

.
.
.

Permainan takdir yang tidak bisa dihindari oleh Ranaya adalah ketika ia merasa sudah pergi jauh dari Theo, namun nyatanya ia masih berada disekitar pria itu. Seperti saat ini tangannya dicekal oleh Theo ketika ia akan masuk kedalam sekolah Yoga untuk mengantarkan surat izin karena keadaan Yoga yang tidak memungkinkan untuk datang kesekolah karena wajah anaknya itu dipenuhi oleh luka dengan tubuh yang terasa sakit.

"Nay" keduanya saling mamandang dengan tatapan terkejut.

Ranaya dengan cepat melepaskan genggaman Theo dipergelangan tangannya.

"Kita harus bicara" ujar Theo menatap penuh harap pada Ranaya.

"Ngga ada yang perlu kita bicarain lagi, Mas" Ranaya bahkan tidak bisa menatap Theo saat mengatakan itu, hatinya kembali sakit saat melihat Theo.

"Aku mohon, Nay. Jangan lari lagi dari aku" pinta Theo dengan nada memohon.

Ranaya hanya diam, ia memejamkan matanya sejenak saat mendengar nada memohon dan putus asa dari Theo. Saat ini Ranaya sekuat mungkin untuk menahan tangisannya dihadapan Theo, Ranaya tidak ingin terlihat lemah.

"Nay, aku mohon. Sekali aja kamu dengar penjelasan aku, setelah kamu dengar penjelasan aku semuanya terserah kamu, tapi izinin aku untuk meluruskan semua kesalah pahaman kita selama ini"

Ranaya terlihat menimbang, haruskah ia memberikan kesempatan pada Theo untuk menjelaskan? Ranaya juga sudah lelah terus lari dan bersembunyi dari Theo. Apa lagi ketika ia mengingat Yoga dan Yaya, meskipun nanti ia dan Theo tidak bisa berakhir bersama, Yoga dan Yaya tidak kehilangan kasih sayang seorang Ayah. Terutama untuk Yoga, ia tetap harus tahu seperti apa sosok sang Ayah, dan setidaknya bertemu dengan Theo meskipun hanya sekali.

"Oke, aku kasih kamu kesempatan untuk jelasin semuanya" final Ranaya, membuat satu buah senyuman terbit dibibir Theo.

"Tunggu disini, aku harus ketemu wali kelas Abang" setelah mengatakan itu Ranaya segera masuk kedalam gedung sekolah, meninggalkan Theo yang menatap punggung kecil nan rapuh milik istrinya.

~

Disini lah keduanya berada, sebuah restoran yang berada tidak jauh dari sekolah kedua anak mereka. Ranaya hanya diam begitupun dengan Theo, Ranaya sibuk dengan pikirannya dan Theo sibuk menormalkan detak jantungnya dan menyusun kata-kata yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada Ranaya.

"Kamu bisa mulai, Mas" suara lembut Ranaya mengalun membuat Theo sedikit mendongak untuk menatap kearah wajah ayu milik istrinya, wajah yang selama ini ia rindukan.

"Maafin aku" lirih Theo.

Ranaya meremat cangkir yang berada digenggaman kedua tangannya saat mendengar kata maaf diucapkan oleh Theo.

"Foto yang kamu lihat itu ngga benar, Nay. Aku ngga pernah tidur dengan wanita lain, aku- aku dijebak saat itu, aku bahkan ngga ingat kenapa aku bisa tidur didalam kamar hotel itu" jelas Theo, Ranaya hanya mendengarkan tanpa niatan untuk memotong.

Dalam hati Ranaya merasa lega, sebenarnya ia juga tidak begitu percaya dengan foto tersebut, karena setahunya Theo bukanlah pria seperti itu.

"Dan maafin aku yang kurang peka dengan keadaan kamu yang tertekan karena ulah Mama, maaf karena aku belum bisa jadi suami yang baik untuk kamu, aku bahkan ngga bisa melindungi kamu dari Mama ku sendiri, maaf" ujar Theo dengan suara bergetar.

Mendengar itu Ranaya mengalihkan tatapannya, matanya memanas. Mereka berdua sama-sama menderita selama ini. Theo membawa tangan Ranaya untuk digenggam olehnya.

"Maafin aku, Nay. Tolong jangan hukum aku lagi, aku hancur tanpa kamu, Nay. Aku ngga bisa jadi Ayah yang baik untuk Yaya, Yaya bahkan benci aku sekarang" tangis Theo pecah, begitupun dengan Ranaya.

Ranaya menghapus air matanya, "Aku maafin kamu, Mas" lirihnya.

.
.
.

"Kamu tinggal disini?" tanya Theo ketika melihat sebuah ruko.

Ranaya mengangguk sebari melepas sabuk pengamannya. Saat ini ia sedang bimbang, haruskah ia menawari Theo untuk mampir atau tidak.

"Mas mau mampir?" tawarnya ragu.

"Boleh?" tanya Theo.

Ranaya mengangguk singkat.

"Apa Yaya mau ketemu aku?" tanya Theo, mendengar itu Ranaya menghela nafas.

"Kamu harus selesain masalah kamu dan Yaya" tutur Ranaya.

Setelah melalui pertimbangan yang cukup lama, Theo memutuskan untuk mampir ke rumah Ranaya. Lagi-lagi ia kembali dihantam dengan perasaan bersalah ketika memasuki rumah Ranaya, ia telah membiarkan Ranaya hidup sulit.

Pemandangan pertama yang Theo lihat adalah Yaya yang sedang menonton televisi dengan mulut yang sibuk mengunyah, serta anak laki-laki yang baru saja keluar dari kamar dengan wajah bantalnya.

"Bunda udah pulang?" itu suara Yoga yang membuat Yaya menoleh semangat kearah sang Bunda.

Namun binar senang tidak bertahan lama setelah melihat dengan siapa Bundanya datang, sedangkan Yoga tampak bingung ditempatnya karena sang Bunda datang dengan pria yang sempat menolongnya.

"Yoga, kamu- kamu Cakra?" suara Theo terdengar, ia benar-benar sulit percaya dengan semua yang terjadi.

"Ngapain Ayah kesini?!!" suara ketus itu berasal dari Yaya yang kini sudah berdiri dari duduknya menatap sengit kearah Theo.

Yoga menoleh kearah Yaya dan Theo secara bergantian.

"Ayah?" beonya.

Ranaya yang merasakan atmosfer mulai tidak enak disekitar anak bungsunya itu berjalan mendekat, "Yaya sayang, Ayah kesini cuma mau minta maaf sama kamu, tolong didengar ya?" tutur Ranaya pada Yaya.

Yaya lemah dengan suara lembut Bundanya, ia mengalah dan mengangguk, membuat Ranaya tersenyum kemudian beralih pada Theo dan mengangguk, seolah mengatakan jika semua akan baik-baik saja.

"Kalau gitu Bunda buat minum dulu untuk Ayah kamu"

Ranaya pergi dari sana menuju dapur tidak lupa membawa Yoga bersamanya.

"I-itu Ayah?" tanya Yoga pada sang Bunda.

"Iya itu Ayah kamu, Ayah kalian berdua" tutur Ranaya sebari sibuk membuat minuman untuk Theo.

"Bun" panggil Yoga.

"Kenapa, Bang?"

"Itu Bapak Bapak yang bantuin Yoga semalam"

"Hah? Gimana maksudnya, Bang?"

Yoga meringis, "Yang nolong Yoga semalam itu Ayah, Bun" jelas Yoga.

Suara kekehan kecil terdengar dari Ranaya, "Dunia kok sempit banget ya, Bang. Bunda kira kita udah lari jauh dari Ayahmu, ternyata selama ini Bunda cuma lari ditempat" tuturnya.

"Bunda sama Ayah? Kalian?-

"Ngga, Bunda masih belum bisa kembali sama Ayah, Bang. Bunda masih takut"

Yoga mengangguk paham, kini ia beralih menatap sang Ayah yang terlihat sedang berbicara dengan Yaya.

"Yaya, maafin Ayah"

Yaya bersidekap dada tidak ingin menatap sang Ayah yang duduk disebelahnya. Tentu saja itu membuat Theo menghela nafas.

"Ayah harus gimana supaya dapat maaf dari kamu, hm?" tanyanya.

Bola mata Yaya bergerak kesana kemari seolah sedang berpikir.

"Yaya akan maafin kalau Ayah bisa buat kita bersama lagi, jadi satu keluarga yang utuh"

"Sulit Yaya, Bunda kamu belum terima Ayah lagi"

Yaya berdecak kesal dan gemas karena menurutnya sang Ayah tidak pernah berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki keluarga mereka.

Kini Yaya sudah sepenuhnya menatap kearah sang Ayah, "Usaha Yah, Usaha! Masalah Ayah sama Bunda disini itu cuma satu, yaitu Nenek!" sarkas Yaya.

"Kalau Yaya jadi Bunda juga Yaya lebih pilih pergi dari Ayah dari pada hidup penuh tekanan dari Nenek. Yaya udah ngga mau tinggal dirumah Ayah, Yaya ngga suka disana" ujar Yaya, setelahnya ia memilih untuk masuk kedalam kamar sang Bunda.

Ranaya yang baru saja datang dengan satu cangkir teh hangat itu terkejut saat Yaya melewatinya begitu saja dan masuk kedalam kamarnya.

"Kenapa sama Yaya?" tanya Ranaya setelah meletakan minuman milik Theo.

"Biasa, Yaya terbiasa dapat apa yang dia mau jadi begitu"

Ranaya hanya menganggukan kepalanya, ia melirik kearah Yoga yang berdiri dibelakang Theo.

"Sini Bang" titah Ranaya, Yoga menurut.

Theo tersenyum kearah Yoga begitu pun Yoga, meskipun itu adalah senyum canggung yang ia berikan untuk sang Ayah. Obrolan disana mengalir begitu saja, kecanggungan antara Ayah dan anak itu juga dengan cepat menguar, mungkin karena mereka sesama pria.

Dari dalam kamar Yaya mengintip kebersamaan Ayah, Bunda dan Kakanya; ia tersenyum melihat kehangatan tersebut. Hal ini lah yang Yaya inginkan selama ini, berkumpul bersama keluarga dengan utuh yang penuh dengan canda dan tawa, bukan keluarga yang penuh dengan luka.

.
.
.

Theo masuk kedalam rumahnya yang terasa sangat sepi, namun sedari tadi senyumnya tidak pernah luntur dari bibirnya. Ada perasaan lega yang ia rasakan, tidak apa ia masih belum bisa membawa kembali Ranaya, yang terpenting hubungannya dengan Ranaya membaik dan sudah tidak ada lagi kesalah pahaman diantara mereka berdua.

Justru kini yang sedang Theo pikirkan adalah perkataan Yaya padanya.

Masalah Ayah sama Bunda disini itu cuma satu, yaitu Nenek

Perkataan Yaya terus terngiang-ngiang ditelinga dan kepalanya.

"Apa benar selama ini Mama sumber masalah yang ada diantara aku dan Naya?" monolognya.

Theo tahu jika Mamanya memang belum memberikan restu sepenuhnya pada ia dan Ranaya saat mereka menikah dulu. Namun Theo pikir seiring berjalannya waktu sang Mama akan menerima Ranaya sebagai menantunya.

"Apa foto-foto itu juga ulah Mama? Dan yang jebak aku? Astaga jangan bilang Mama sejauh itu misahin aku dari Naya"

Theo mengusap wajahnya kasar, ia benar-benar bingung saat ini. Jika benar ini semua ulah Mamanya, ia tidak bisa tinggal diam. Ia tidak ingin keluarganya hancur kembali karena ke egoisan Mamanya.

.
.
.

"Bun?" panggil Yaya.

Mereka bertiga sedang menonton acara televisi yang menampilkan sosok artis kesukaan dari Ranaya.

"Iya sayang?" Ranaya benar-benar harus membagi fokusnya antara buah yang sedang dipotongnya dengan acara televisi, belum lagi dengan Yaya yang selalu mengajaknya berbicara.

"Bunda masih takut sama Nenek ya?" tanyanya tiba-tiba.

Ranaya tersenyum lembut, ia menyuapi satu potong buah pada Yaya dan juga Yoga secara bergantian.

"Nenek kamu itu terlalu berkuasa, Ya. Orang kecil seperti Bunda ngga akan bisa melawan Nenek kamu" tuturnya.

Yaya mengangguk setuju, ia juga takut dengan Neneknya.

"Oh iya Bun, Yoga punya sesuatu, hampir aja lupa" ujar Yoga heboh, anak laki-laki itu berlari cepat kearah kamarnya.

Dan kembali membawa sebuah selembar kertas, ia berikan itu kepada sang Bunda.

"Bang ini?-

"Waktu Yoga pulang abis dikeroyok, Yoga ngga sengaja ketemu artis kesukaan Bunda, jadi Yoga samperin terus minta tanda tangan deh"

Yaya melirik kearah kertas tersebut yang terdapat tanda tangan artis ibu kota kesukaan sang Bunda, kemudian ia beralih kearah layar televisi.

"Oalah Bun, Bun, suka Naomi Poetry ternyata" ujar Yaya yang baru menyadari.

"Terima kasih, Abang. Nanti Bunda bingkai terus pajang di toko" tutur Ranaya dengan senyumannya.

Yoga dan Yaya saling berpandangan, kemudian tertawa bersamaan setelahnya karena melihat tingkah sang Bunda yang seperti anak remaja.

.
.
.

"Wanita ini tidak pernah kapok rupanya" decihnya.

"Cari tahu alamat tinggalnya"

"Baik, Nyonya"

"Saya tidak akan pernah membiarkan anak saya kembali pada kamu Ranaya" monolognya sarat akan kebencian yang mendalam.

.
.
.

Yoga dan Yaya yang baru pulang sekolah segera berlari ketika melihat beberapa orang dengan tidak berperasaan membuang bunga-bunga yang berada didalam toko milik bundanya. Yoga dan Yaya menerobos masuk kedalam toko, dan alangkah terkejutnya mereka saat melihat toko yang sudah hancur berantakan dengan Bunda mereka yang bersimpuh diatas lantai. Dengan cepat mereka menghampiri Ranaya yang tengah menangis sebari bersimpuh.

Yaya menatap tajam seorang wanita yang selama ini ia panggil dengan sebutan Nenek, wanita tua bernama Kamila itu berdiri dengan angkuhnya.

"Nenek!" pekik Yaya kesal.

"Pulang Yaya! Kamu tidak pantas berada dirumah kumuh seperti ini!"

Yaya berdiri menatap tanpa takut kearah Neneknya, "Nenek pikir Nenek siapa?! Nenek ngga ada hak untuk atur kehidupan aku!!" suara lantang Yaya menggema dengan nafas yang memburu.

Suara keras itu tentu saja membuat Kamila terkejut bukan main, selama ini Yaya tidak pernah berani melawannya.

"Lihat? Baru beberapa hari kamu tinggal dengan wanita itu kamu sudah kurang ajar dengan Nenek, apa yang sebenarnya wanita itu ajarkan ke kamu?"

"Yang anda sebut wanita itu punya nama, namanya Ranaya dan dia adalah Ibu saya dan Adik saya" itu adalah suara Yoga, Yoga berdiri dan membawa Yaya kebelakang tubuhnya.

"Lo bawa Bunda keatas" titahnya pada Yaya, Yaya mengangguk dan dengan cepat ia membantu sang Bunda untuk berdiri.

Setelah memastikan Yaya dan Bundanya aman, barulah Yoga menatap kearah wanita yang merupakan Neneknya, bahkan untuk mengakui Kamila sebagai Neneknya saja rasanya sulit sekali untuk Yoga. Ia menyayangkan terlahir sebagai cucu dari seorang Kamila.

"Silahkan anda keluar dari rumah kami, kehadiran anda tidak pernah kami harapkan dan inginkan" tutur Yoga, suaranya terkesan datar.

Kamila berdecih, "Saya itu Nenek kamu, apa ini yang Ibu mu ajarkan kepada kamu?"

"Bunda selalu mengajarkan saya untuk sopan dan hormat dengan yang lebih tua, tapi anda adalah pengecualin bagi saya" tutur Yoga.

Kamila menatap tajam kearah cucunya, ia benar-benar merasa terhina dan direndahkan oleh cucunya sendiri. Setelahnya Kamila memilih pergi bersama dengan orang-orang suruhannya.

Kamila


.
.
.

"Cukup Ma!! Mau sampai kapan Mama ngehancurin kebahagian aku!!"

"Theo! Berani kamu membentak Mama?!"

"Jangan pernah Mama sentuh istri dan anak aku!"

"Ranaya tidak pantas bersanding dengan kamu, Theo! Dia perempuan miskin!"

"Jangan atur aku! Aku lebih tahu apa yang buat aku bahagia"

Theo berbalik meninggalkan Kamila, "Selangkah kamu keluar dari ruangan ini dan pergi bertemu Ranaya, kamu bukan bagian dari keluarga lagi dan kamu tidak akan mendapat warisan apapun!" jerit Kamila.

Mendengar itu Theo melepaskan jas mahalnya, membuka jam tangan, mengeluarkan kunci mobil miliknya dan juga dompetnya.

"Lebih baik seperti itu" ujar Theo, "Aku kembalikan semuanya, dan jangan pernah ganggu hidupku lagi setelah ini, hapus nama aku dari keluarga ini" tutur Theo sebari meletakan barangnya pada sofa yang ada, setelahnya ia berjalan dengan langkah pasti meninggalkan Kamila seorang diri.

Kamila yang melihat punggung anaknya menjauh hanya diam mematung ditempatnya, menatap tidak percaya jika anaknya lebih memilih sang istri dibanding dirinya.

.
.
.

Ranaya membuka pintu rumahnya, kali ini pemandangan pertama yang ia lihat adalah Theo dengan penampilan berantakan dengan kepala yang tertunduk berada didepan pintu rumahnya.

"Mas Theo?"

Theo mengangkat kepalanya, ia tersenyum lembut kearah Ranaya. Mata suaminya itu terlihat bengkak dan memerah karena habis menangis, seolah mengerti apa yang sedang dialami Theo, Ranaya dengan cepat membawa Theo kedalam pelukannya.

"Selesai, Nay. Mulai hari ini ngga akan ada yang ganggu kebahagiaan kita" tutur Theo, ia tenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Ranaya.

"Mas"

"Aku sudah memilih, Nay. Aku memilih keluarga kita, aku pilih kamu dan anak-anak kita" lirih Theo.

Ranaya mengeratkan pelukannya pada Theo, "Temani aku berjuang ya, Nay. Aku bukan suami kamu yang kaya lagi, aku miskin"

Ranaya mengangguk, "Kita berjuang sama-sama, Mas" tuturnya.

Dari arah tangga ada Yoga dan Yaya yang mengintip, Yoga merangkul bahu Yaya yang menangis tersedu-sedu merasa bahagia karena keluarga mereka kini kembali utuh, begitupun dengan Yoga, ia bahagia karena saat ini Bundanya tidak akan merasa kesepian karena akan ada Ayah yang selalu menemani.

.
.
.

Kehidupan mereka memang tidak mudah, namun tetap terasa ringan. Apalagi Theo harus merintis semuanya dari awal, ia hanya bekerja sebagai pegawai kantoran biasa. Namun ternyata hidup dalam kesederhanaan jauh lebih membahagiakan untuk mereka berempat.

Bagi mereka yang terpenting adalah keluarga mereka utuh, meskipun luka lama itu selalu membekas, setidaknya kini luka itu sudah dibalut dan berangsur membaik. Biarkan bekas luka mereka menjadi sebuah cerita yang dikemudian hari bisa mereka ceritakan kembali.

Malam ini mereka semua berkumpul seperti biasa diruang keluarga, Theo dan Yoga sibuk menonton acara televisi, Ranaya sibuk didapur dan Yaya yang sibuk menangis.

Tangisan Yaya membuat Yoga menoleh kearah sang Adik, "Lo kenapa nangis deh?" tanyanya setengah khawatir.

Yaya menghapus sisa air matanya, lalu menutup sebuah buku cerita yang dibacanya. Ia ulurkan buku cerita tersebut kearah sang Kakak, membuat Yoga menaikan satu alisnya.

"Sedih banget ceritanya" tutur Yaya.

"Lo nangis gara-gara baca ini?" tanya Yoga datar.

Yaya mengangguk, "Sedih banget, Bang. Lo harus baca" ujar Yaya.

"Tentang apaan emang?"

"Serigala dan Kelinci"

"Yailah cerita bocil" cibir Yoga.

Theo yang berada ditengah-tengah kedua anaknya hanya bisa menghela nafas pasrah karena fokusnya saat menonton sedikit terganggu.

~

Ranaya dan Theo saling beradu pandang saat mendengar suara tangisan tertahan diruang tamu mereka, keduanya sama-sama bergidig ngeri.

"Kamu cek deh, Mas" ujar Ranaya.

"Loh kok aku? Bareng dong sayang, aku mana berani" protes Theo.

"Oke kita cek bareng-bareng"

Mereka berdua bersamaan turun dari tempat tidur, Theo berjalan lebih dulu dengan Ranaya mengekor dibelakangnya. Theo membuka pintu kamarnya yang langsung berhadapan dengan ruang keluarga.

Satu tangannya meraba-raba dinding untuk mencari saklar lampu.

TAK

Lampu ruang keluarga menyala, menampilkan sosok Yoga yang sedang duduk disofa sebari menangis.

"Abang?!" panik Ranaya segera duduk disebelah Yoga.

"Abang kenapa nangis?" heboh Ranaya.

Sedangkan Theo dalam hati mencibir anak laki-lakinya, ketakutannya sia-sia.

"Kamu kenapa, Bang? Jawab dulu itu Bunda nanya" ujar Theo sebari bersidekap dada.

Yoga mengulurkan sebuah buku cerita kearah Ranaya, buku cerita yang sebelumnya Yaya tangisi.

"Sedih banget ceritanya, Bun"

"Astaga Bang, bikin panik aja kamu tuh" ujar Ranaya.

"Padahal kamu yang bilang itu cerita bocil, tapi kamu juga nangis pas baca" cibir Theo pada anaknya.

"Udah udah, mending kamu masuk kamar deh, tidur. Besok masih kuliah" titah Ranaya.

Yoga menurut, ia segera masuk kedalam kamar, Ranaya juga segera masuk kamar. Sedangkan Theo mengambil buku cerita tersebut dan menaruhnya disebuah rak buku miliknya.

Buku yang berjudul...

'Serigala & Kelinci dimalam badai'

Kini telah kembali pada tempatnya semula.










End

.
.
.

Haloo aku update lagi hehe
Happy reading guys...
Maaf kalau ada typo huhu🙏😊
Terima kasih🫶


















Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 111K 62
➳ Mafia/Gang au ➳ "You're too innocent Areum, I'd ruin you."
1M 56.9K 58
𝐒𝐜𝐞𝐧𝐭 𝐨𝐟 𝐋𝐨𝐯𝐞〢𝐁𝐲 𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐭𝐡𝐞 𝐬𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 〈𝐛𝐨𝐨𝐤 1〉 𝑶𝒑𝒑𝒐𝒔𝒊𝒕𝒆𝒔 𝒂𝒓𝒆 𝒇𝒂𝒕𝒆𝒅 𝒕𝒐 𝒂𝒕𝒕𝒓𝒂𝒄𝒕 ✰|| 𝑺𝒕𝒆𝒍𝒍𝒂 𝑴�...
55.1M 1.8M 66
Henley agrees to pretend to date millionaire Bennett Calloway for a fee, falling in love as she wonders - how is he involved in her brother's false c...
4.1M 259K 100
What will happen when an innocent girl gets trapped in the clutches of a devil mafia? This is the story of Rishabh and Anokhi. Anokhi's life is as...