Clue #Day44
#Anak_Bulan
Dalam arti harafiahnya, anak bulan itu bulan muda atau bulan pada hari pertama--ketiga. Tapi untuk challenge kali ini, kita pakai makna kiasnya, yaitu orang yang tabiat atau tingkahnya gak tentu alias ga jelas. Jadi orang lain susah mendefinisikannya.
***
Shin Woo buru-buru datang dan membuka pintu tanpa permisi lalu sedikit merasa aneh saat melihat pipi Hwa Gi yang merah bak kepiting rebus dan juga Jae Han yang kini membuang muka ke arah jendela. Sepertinya mereka berdua baru saja melakukan sesuatu, tapi Shin Woo mencoba mengabaikannya.
"Heyy brengsek kau sudah bangun!" seru Shin Woo lalu berjalan cepat dan memeluk Jae Han.
Namun, tiba-tiba Jae Han mendorong Shin Woo, menatap marah pada adik tirinya itu. "Ada apa, kau marah padaku?" tanya Shin Woo.
"Apa kau lupa mengapa aku marah padamu?" ternyata Jae Han masih ingat rentetan kejadian sebelum dia tertembak. Mereka saat itu berkelahi ketika Shin Woo mengakui kesalahan fatalnya dulu pada Hwa Gi.
"Apa maksudmu?" tanya Shin Woo bingung. Menurut Shin Woo, sikap Jae Han padanya karena pengaruh pasca koma jadi ketika Jae Han bangun dia menjelma menjadi anak bulan yang sedikit linglung.
"Kita berkelahi sebelum aku tertembak, seharusnya aku memukulmu sampai koma! mengapa kau melakukan itu pada Hwa Gi?" tanya Jae Han.
"Tentang itu … " Shin Woo menatap Hwa Gi yang tadi hanya diam berdiri di sisi ranjang lalu Shin Woo juga berdiri berhadapan dengan Hwa Gi. Tidak disangka Shin Woo malah berlutut sambil berucap, "Aku minta maaf Hwa Gi, waktu itu pikiranku kacau, aku benar-benar tidak menyukai Jae Han, hingga berimbas padamu, karena hanya dirimu lah yang mampu membuat Jae Han sakit hati dan terpuruk. Aku membalas sakit hatiku lewat dirimu, Hwa Gi, ini memang tidak masuk akal dan sekarang aku sangat menyesal!" Shin Woo bersujud di lantai.
Sedangkan Hwa Gi kelabakan dia bergegas menyuruh Shin Woo berdiri, merasa tidak enak jika Shin Wo meminta maaf dengan cara begini. "Shin Woo, apa-apaan ini? ayo berdiri!"
Shin Woo tetap bersikeras berlutut di bawah kaki Hwa Gi. "Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semuanya? Hwa Gi, aku tahu kesalahanku tidak termaafkan tapi tetap saja aku minta maaf Padamu!"
"Ini bagaimana … Jae Han?" Hwa Gi meminta Jae Han untuk berucap sesuatu supaya menghentikan aksi Shin Woo, dia tidak enak dan serba salah.
Namun, Jae Han malah berucap, "Biarkan saja dia begitu, bahkan itu belum cukup."
"Sudah, Shin Woo ini semua sudah terjadi, kita juga tidak bisa memutar waktu untuk mengembalikan keadaan, tapi sekarang kau harus berdiri dulu." Hwa Gi menarik tangan Shin Woo supaya berdiri tapi tetap tidak bisa.
Akhirnya Hw Gi ikut duduk di lantai. "Dengar Go Shin Woo, bohong bila aku tidak marah dan sakit hati atas apa yang terjadi di masa lalu. Bahkan setiap hari aku membenci tubuhku sendiri, meski sudah bertahun-tahun berlalu, mimpi buruk itu terkadang masih datang saat malam hari, itu membuatku tidak bisa bernapas."
Shin Woo mendongak menatap wajah Hwa Gi. "Maaf … " ujarnya sambil menyeka air mata yang meleleh di pipi Hwa Gi. "Bagaimana caranya agar kau bisa memaafkanku, Hwa Gi?"
Melihat peristiwa yang sedang terjadi Jae Han terlihat gelisah di atas ranjang.
"Aku juga tidak tahu, tapi yang kutahu pasti, aku tidak ingin kau mati, jika aku benar-benar ingin menghukummu dengan kematian, aku tidak akan ragu menembakmu saat itu." jelas Hwa Gi.
"Bagaimana kalau Shin Woo merasakan apa yang sudah Hwa Gi rasakan waktu itu, aku bersedia merekamnya atau jebloskan saja dia ke penjara?" celetuk Jae Han.
"Kau!" geram Shin Woo.
"Apa? apa? akhh! dadaku!" pekik Jae Han, dia terlalu bersemangat menanggapi Shin Woo membuat dadanya terasa nyeri karena luka belum sembuh total.
Hwa Gi langsung berdiri lalu membantu Jae Han untuk berbaring. "Kau ini! jangan terlalu banyak bergerak!" gerutu Jae Han.
Shin Woo dia hendak marah tapi tidak jadi lalu menatap Hwa Gi. "Apa kau ingin aku begitu?"
Hwa menggeleng. "Tidak, mengapa kau mau saja menanggapi ucapan Jae Han yang tak masuk akal ini."
"Shin Woo ada banyak cara untuk menebusnya, kau bisa membiayai hidup Hwa Gi seumur hidupmu atau melompat ke danau saat musim dingin dan satu lagi kau bisa membiayai pernikahanku dengan Hwa Gi." Jae Han nampak bersemangat. "Whoah usulan terakhir sepertinya boleh juga." Predikat anak bulan sekarang bisa disematkan pada Jae Han karena ucapannya yang ngelantur kemana-mana.
Hwa Gi menepuk pelan kepala Jae Han. "Jangan bicara sembarangan, memangnya siapa yang mau menikah denganmu?"
Sesi meminta maaf itu pun berujung kericuhan karena si anak bulan Jae Han terus memaksa ingin menikah dengan Hwa Gi secepatnya.
***
Sudah seminggu semenjak Jae Han bangun dari koma. Hwa Gi masih sering bolak balik rumah sakit untuk menengok Jae Han.
Pukul 8 pagi, Hwa Gi sudah bangun lalu membuat sarapan untuk Ibu dan Miki. Miki di sini hidup sangat dimanjakan oleh Ibu Hwa Gi dan Hwa Gi sendiri sudah menganggap Miki seperti adik perempuannya sendiri.
Hwa Gi menata sarapan sederhana di atas meja, tidak lama ibunya datang dan duduk di kursi. "Hwa Gi apa hari ini kau ke rumah sakit lagi?"
"Ya, tentu saja, Eomma hari ini juga harus cek up." Hwa Gi menata roti di atas piring dan menuang segelas susu untuk ibunya.
"Miki … Miki-chan ayo sarapan," panggil Fumiko. Dia merasa senang Miki tinggal di sini bersamanya, Fumiko merasa memiliki anak perempuan.
Hwa Gi juga ikut duduk dan memakan rotinya. "Eomma maaf karena terlalu sering tidak ada di rumah," ucap Hwa Gi.
"Tidak apa, bukankah ada Miki yang menemaniku, dia lebih seru darimu."
Bibir Hwa Gi tersenyum. "Tentu saja kalian lebih cocok karena sesama wanita, aku mana tahu obrolan wanita yang seru."
"Hwa Gi, kemarin ibu Jae Han datang ke rumah dan dia mengajak kita semua untuk kembali ke Korea. Mungkin setelah putranya sembuh mereka akan pulang ke Korea, menurutmu bagaimana?" tanya Fumiko antusias.
Hwa Gi tidak langsung menjawab dia terlihat bingung. "Eomma ada yang ingin aku katakan, tapi Eomma jangan marah padaku." Hwa Gi menggapai lengan Fumiko.
"Memangnya aku pernah marah padamu ayo katakan saja."
Hwa Gi nampak menegang. "Eomma, aku menyukai Jae Han." dia sangat takut jika respon ibunya tidak setuju dan marah. Itu nantinya jelas akan mempengaruhi kesehatannya.
"Aku sudah tahu," sahut Fumiko santai. Melihat bagaimana kehidupan Hwa Gi yang penuh kesedihan, Fumiko akan sangat bahagia bila ada seseorang yang mencintai Hwa Gi secara tulus meski orang itu adalah laki-laki. Apa lagi Hwa Gi sudah berani memberitahu Fumiko itu artinya, Hwa Gi benar-benar mencintai orang ini. Tak ada alasan bagi Fumiko untuk menentang, baginya kebahagiaan Hwa Gi adalah hal yang utama.
"Apa?" Hwa Gi heran dia terkejut dengan reaksi ibunya.
"Ibu Jae Han sudah memberitahuku tapi sebelum itu, Miki juga sudah mengatakannya, jadi aku sudah tidak terkejut lagi." Fumiko mengulurkan tangan untuk mengusap lembut wajah Hwa Gi. "Nak, bagiku kebahagiaanmu sekarang adalah yang utama, apapun keputusanmu Eomma akan menerimanya. Jika kau ingin ke Korea, ibu juga akan ikut denganmu."
"Eomma, terimakasih." Hwa Gi memeluk ibunya. Pelukan seorang ibu adalah yang paling nyaman di dunia. Meski dunia itu sendiri sering memberi kesakitan, jika ada ibu, Hwa Gi berusaha sekuat mungkin untuk menahan rasa sakitnya.
"Kau tetaplah menjadi bidadari kecil untuk Eomma, hatimu yang mau memaafkan itu layak disebut hati seorang bidadari."
"Eomma …. Eomma adalah bidadari sesungguhnya." ucap Hwa Gi.
"Hey hey … apa boleh aku ikut bergabung, aku juga ingin pelukan," rengek Miki seperti anak kecil.
"Tentu saja, ayo ke sini." Fumiko melambaikan tanganya pada Miki.
Miki pun bergegas ikut bergabung ke dalam pelukan Fumiko.
***
Hari ini adalah jadwal Jae Han menjalani fisioterapi pada kakinya untuk pertama kali. Dia sangat bersemangat untuk cepat bisa berjalan dengan normal lagi, demi Hwa Gi yang saat ini sedang menemaninya tanpa lelah sedikit pun.
Hwa Gi adalah penyemangat utama Jae Han yang membuatnya tak putus harapan. Meski tidak mudah, Jae Han selalu jatuh setiap kali mencoba berdiri, kedua kakinya lemas seakan tak memiliki tulang, begitu rapuh hanya sekedar untuk berdiri saja.
"Ayo Jae Han jangan menyerah," ucap Hwa Gi dengan ekspresi penuh semangat. Dia berdiri sekitar satu meter dari Jae Han dan juga dokter yang membantu terapi Jae Han.
Jae Han kembali mencoba, dia mencengkram alat bantu berdiri yang terbuat dari besi lalu dengan kekuatan penuh mencoba berdiri lagi. Keringat membanjiri tubuhnya, lelah rasanya dengan sesuatu yang belum juga membuahkan hasil. Jae Han terduduk kembali di kursi roda, tak kuat menahan tubuhnya lebih lama. Hwa Gi tersenyum, berjalan mendekati Jae Han lalu berjongkok, menyeka peluh di kening Jae Han. "Tidak apa-apa, ini baru hari pertama, tidak ada orang yang langsung bisa di hari pertama belajar kan? kau pun juga begitu." ujar Hwa Gi mencoba menenangkan.
"Itu benar, ini baru hari pertama, anda jangan menyerah," ucap salah satu perawat yang ikut menyemangati pasienya.
"Iya jangan patah semangat!" sambung Hwa Gi.
"Ini melelahkan," sungut Jae Han.
"Benar, ini memang melelahkan tapi kata menyerah bukan lah sifat pria yang kusuka. Apa kau tidak mau nanti berjalan dengan kakimu di altar pernikahan bersamaku?" bisik Hwa Gi pelan. Karena malu jika didengar oleh dokter dan perawat.
Jae Han terbelalak lalu tanpa aba-aba dia menarik tengkuk Hwa Gi dan mencium bibir itu sebentar, setelah berciuman dia jadi bersemangat kembali.
Melihat kejadian itu perawat dan dokter sempat terkejut bahkan si perawat sempat memekik tertahan, tapi akhirnya mereka hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala
***
Hwa Gi