Cinta yang Sederhana

Door teru_teru_bozu

192K 23.6K 1.9K

Bukan tentang siapa yang kita kenal paling lama, Yang datang pertama, atau yang paling perhatian. Tapi tentan... Meer

Pada Sebuah Kisah
Cinta yang Sederhana
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Cinta Yang Sederhana
Menjelang Pre Order Cinta Yang Sederhana
Open Pre Order Cinta Yang Sederhana

satu

9.2K 1.1K 57
Door teru_teru_bozu

Ke Jakarta lagi.

Jerini memandang ke luar jendela. Pada langit biru dengan tebaran awan yang terlihat mirip gundukan kapas, tersebar acak melapisi langit. Pada hamparan luas yang membentang tanpa batas bernama angkasa. Sambil bertanya dalam hati, seperti apakah suasana di luar sana? Bagaimana rasanya bila sesuatu yang tak diinginkan terjadi? Sesuatu yang memaksa dirinya bersama seluruh penumpang terempas bebas tanpa tahu akan berakhir di mana.

Namun, andai semua itu benar terjadi, pasti tidak ada jalan lain kecuali menghadapinya. Seperti yang dia alami kali ini. Setelah sekian lama, setelah semua perjalanan dinas ke kota-kota tempat kantor cabang perusahaannya berada, akhirnya Jerini dipaksa keadaan untuk kembali ke Jakarta. Kota tempat Gandhi berada. Suami yang dia tinggalkan begitu saja tanpa kepastian sejak dua tahun lalu. Dan kini dia tidak punya jalan lain kecuali menghadapinya.

Lalu, sebuah pengandaian muncul kembali di kepalanya.

Andai dia harus memilih, terempas dari pesawat ke langit luas dengan mempertaruhkan nyawa, atau menghadapi Gandhi, maka sekarang dia sudah yakin akan memilih opsi kedua. Ya kali dia mau mati konyol demi Gandhi! Tentu tidak. Pria berengsek itu sudah cukup menghina harga dirinya dengan perselingkuhan. Jadi Jerini tidak akan mau bertaruh nyawa demi dia.

Tiba-tiba pesawat terguncang meskipun pelan. Disusul suara pilot dalam gumaman yang sulit dimengerti orang awam. Lalu diikuti bunyi nada yang teramat khas, menggema dari pengeras suara. Sampai akhirnya suara merdu salah satu pramugari mengalun memenuhi ruang kabin.

"Para penumpang yang terhormat, saat mendarat sudah dekat ...."

Jerini secara refleks memperbaiki posisi duduknya dan mendengar pengumuman dengan saksama. Saat melirik jam tangan di pergelangan kirinya dia tahu kalau pesawat yang ditumpanginya ini mendarat tepat waktu. Dengan catatan tidak ada kecelakaan di landas pacu. Seperti sayap terbakar begitu menyentuh landasan, atau lebih tragis lagi, pesawat terbalik.

Duile! Ini pasti gara-gara aku kebanyakan nonton film dokumenter. Makanya otak larinya nggak jauh-jauh ke peristiwa kecelakaan pesawat melulu. Jerini nyengir tanpa sadar.

"Ada apa?" tanya suara bariton milik pria yang duduk di sebelahnya.

Jerini menoleh. "Ada apa apanya?" balasnya kembali dengan pertanyaan.

"Kamu tertawa."

Suara seberat itu pasti dihasilkan oleh laring yang tebal serta pita suara yang panjang. Dan seperti biasa, Cakra berbicara tanpa merasa perlu menatap lawan bicaranya. Membuat Jerini merasa sia-sia sudah berusaha menoleh di ruang sempit kursi kelas ekonomi sesuai nomor yang tertera di tikatnya.

"Saya nggak tertawa, Pak," katanya menegaskan, sambil melengos untuk kembali menatap ke luar jendela.

"Iya. Kamu tertawa." Cakra tidak menerima bantahan.

Jerini bahkan bisa membayangkan pergerakan jakun pria di sebelahnya. "Dari mana Pak Cakra tahu? Noleh aja enggak."

"Pokoknya saya tahu."

Bahasa pamungkas Cakra yang khas. Yang membuatnya sulit dibantah, apalagi diajak diskusi.

Jerini menoleh kembali dan mengamati tampak samping profil teman seperjalanannya ini. Dan kesimpulannya tidak berubah sejak berbulan-bulan lalu. Kaku. Hanya kata itulah yang paling tepat untuk mendeskripsikan sosok Cakra Maulana Ibrahim, pria yang per tahun ini menjadi atasan Jerini.

"Oke, saya memang tertawa. Tapi Pak Cakra pasti tidak ingin tahu alasannya."

Cakra pasti bosan sekali sampai urusan seperti ini harus dibahas. Mana Jerini mau meladeni pula.

"Kenapa?" lagi-lagi Cakra bertanya tanpa menoleh. Tatapannya tetap fokus pada buku di tangannya. Benda yang dia keluarkan sebagai pengganti iPad setelah adanya perintah mematikan semua alat elektronik.

"Saya memikirkan beberapa kemungkinan dan variasi kecelakaan," jawab Jerini jujur.

"Standar jokes-mu sungguh antimainstream."

Kayak dia nggak antimainstream saja.

Sebagai seorang CSO –Chief Strategy Officer—tentu saja Cakra memiliki seorang deputi, pria yang tegas dan kompeten bernama Bima. Namun dalam setiap perjalanan dinasnya, alih-alih ditemani Bima, Cakra lebih suka memilih ditemani Jerini yang hanya staf biasa.

"Bima lebih dibutuhkan di kantor sebagai representatif CSO saat saya harus dinas luar." Itu alasan yang disampaikan oleh Cakra kepada timnya. "Lagian tunjangan perjalanan untuk Jerini jauh lebih murah dibanding Bima karena jabatannya lebih rendah. Kita harus efisien dalam segala hal. Terutama bijak dalam mengelola pengeluaran."

Andai bernafas memiliki nilai efisiensi, pasti sudah disiapkan pula sistemnya oleh Cakra.

"Jam berapa meeting kita nanti?" tanya Cakra ketika pesawat mulai terbang merendah.

Jerini sudah tidak lagi terkecoh oleh pertanyaan itu. Karena dia yakin seyakin-yakinnya kalau Cakra bertanya hanya untuk sekadar ngetes. Bukan karena lupa. Karena pria itu tipe orang yang sangat detail dalam mengingat segala hal. Jangankan hanya sekadar waktu, titik dan koma yang tertera di dokumen saja dia ingat posisinya.

Memang sungguh luar biasa cara gabutnya Si Bapak Cakra ini. Orang normal kalau gabut kebanyakan buat mager atau scrolling HP. Bukan buat menghafal dokumen sampai ke titik, koma, bahkan typo-nya.

"Tidak ada perubahan jadwal kok, Pak. Tetap seperti semula," jawab Jerini taktis untuk menutupi fakta kalau dia lupa jam pertemuan mereka.

Ya kali hidupku sekering itu sampai satu-satunya kegiatan bermanfaat cuma ngapalin jam rapat.

Dan hal itu membuktikan kalau mereka adalah perpaduan tim yang sempurna dan saling melengkapi. Kalau Cakra jago ngetes bawahan, Jerini jago ngeles untuk menutupi kenyataan kalau kadang dia benar-benar kehilangan fokus dalam pekerjaan.

"Je—"

Ucapan Cakra terhenti ketika roda pesawat menyentuh landasan dan mengakibatkan guncangan yang cukup keras.

"Ya, Pak?" tanya Jerini sambil menoleh ke pria itu.

"Cek lagi jadwalnya biar kamu ingat."

Jiah! Ternyata—

"Kebiasaan banget kamu ini, nggak fokus dan nggak punya perhatian."

Dibilang nggak punya perhatian, Guys! Serius nih, harus ngecek lagi? Di saat pesawat tengah melaju mendekati garbarata begini.

Jerini menggigit bagian dalam pipinya demi menahan diri untuk tidak bersungut-sungut sambil mengeluarkan tablet dari tas sandang yang dipakainya. Lalu mulai menggulir layar untuk mencari-cari keberadaan dokumen sialan itu berada.

"Jam 11, Pak. Kita masih punya waktu satu jam untuk—"

"Saya bisa ngitung waktu sendiri," potong Cakra datar.

Nih orang memang hobi banget ngerjain bawahan. Namun alih-alih membantah, Jerini memilih langkah aman dengan mengangguk singkat. Meladeni Cakra dengan penuh emosi adalah bentuk penyia-nyiaan usia paling brutal untuk dilakukan. Karena sama sekali nggak guna selain menambah kerutan di dahi yang terlalu mahal harga treatment-nya dibanding tunjangan perjalanan yang didapatnya.

Jerini mengecek lagi jam tangannya dan tiba-tiba tersadar. Satu jam lagi? Serius ini mereka hanya punya jeda waktu segini untuk menempuh jarak dari bandara ke kantor cabang? Hih, beneran deh, para sekretaris yang bertugas memenuhi semua kebutuhan middle management ini sangat payah time arrangement-nya. Kok bisa mereka kepikiran untuk mencari tiket dengan jadwal semepet ini? Apa dikira jarak dari Cengkareng ke Kuningan itu dekat? Belum lagi kalau macet.

Seharusnya memang tugas Jerini untuk mengoreksi hal-hal kayak gini. Namun dia sudah malas duluan kalau harus berbantahan dengan timnya Mbak Ratna, si penguasa tiket. Karena terakhir kejadian, belum sempat dia menyampaikan komplain, sudah disindir duluan.

"Enak bener yang diajakin jalan melulu sama Bos Cakra."

Pasti mereka mengira perjalanan bisnis itu identik dengan jalan-jalan gratis dibiayai perusahaan, dan mendapat tunjangan harian.

"Asupan vitamin A over dosis dong, karena setiap saat mantengin orang ganteng."

Padahal sih, daripada ngeliatin muka datar Bos Cakra, mending maraton nonton drakor karena halunya lebih memuaskan.

"Awas ya, berdua-duaan waktu dinas. Jangan sampai pulang nanti jadi bertiga!"

Dih! Kayak Jerini dan Cakra sudah melakukan sesuatu yang melanggar batas susila saja.

Padahal sejak masuk tim Cakra beberapa bulan terakhir, Jerini yakin kalau bosnya itu sama sekali tidak punya tendensi lain di luar urusan pekerjaan. Cakra adalah pria paling lurus paling kaku bak kanebo kering yang dikenal Jerini.

Itulah kenapa Jerini merasa sangat aman meskipun mereka kerap bepergian hanya berdua selama berhari-hari. Karena pria lempeng berekspresi datar ini tidak pernah sekalipun melontarkan komentar seksis terkait gender. Tidak ada candaan menjurus. Bahkan sangat menjaga agar tidak terjadi kontak fisik. Semua ucapan pahit dan nyelekitnya hanya sebatas komentar pada pekerjaan.

Lagian Jerini yakin sekali Cakra bukan laki-laki bego seperti Gandhi. Karena Cakra tidak akan main-main dengan staf perempuan di perusahaan yang saham mayoritasnya dikuasai oleh orang yang berpotensi menjadi calon mertuanya. Bukan tanpa sebab kalau Cakra yang baru satu tahun bergabung di perusahaan langsung menduduki jabatan CSO. Karena berdasar gosip yang santer beredar, Fattah Rahardja sang CEO Rahardja Industrial Estate (RIE) berniat menjodohkan Cakra dengan putri tunggalnya, Kirania, yang saat ini masih berada di New York.

Tak heran kalau Cakra juga dijuluki sebagai mini-CEO oleh para kolega. Karena dengan jabatannya sekarang, memungkinkan pria itu menjadi CEO surrogate –CEO pengganti—untuk public affairs dan tangan kanan CEO untuk urusan operasional atau komersial.

Meskipun hanya menduduki level middle management, Cakra memiliki pengaruh yang sangat kuat. Perjalanan-perjalanan dinas yang dia lakukan bersama Jerini adalah dalam rangka mengevaluasi cabang-cabang yang bermasalah. Dengan ketajaman analisis serta power yang dia miliki, Cakra bisa membuat satu kantor cabang ditutup dan karyawan yang tidak produktif dimutasi, bahkan layoff.

Sangat berbeda dengan Gandhi yang selingkuh dan menghamili anak magang lulusan SMA. Yang membuatnya kehilangan kesempatan promosi dan akhirnya dibuang ke Cabang Tangerang. Sungguh kesalahan fatal khas lelaki yang tidak bisa menjaga nafsu meskipun sudah punya istri. Membuat hubungan yang terjalin selama lima tahun sejak di bangku kuliah itu hancur dalam sekejap. Dan membuat Jerini terancam menjanda dalam waktu tak lama lagi.

Janda. Sungguh istilah yang mengerikan bagi wanita seperti Jerini. Entah bagaimana nanti persepsi orang tentangnya. Sekarang saja dia sudah kenyang dengan nyinyiran miring. Apalagi nanti kalau statusnya sudah resmi. Hm ... akan seperti apa hebohnya.

Lalu Jerini tertegun menyadari makna janda yang baru saja melintas di kepalanya. Membuatnya berpikir apakah sekarang waktu yang tepat untuk menyelesaikan semuanya?

***

Suara pintu yang dibuka menciptakan kehebohan masif di sekelilingnya. Bunyi barang-barang dikeluarkan dari bawah kursi, atau diturunkan dari bagasi kabin, ditingkahi suara anak-anak yang sedang disiapkan oleh orangtua mereka, entah untuk membenahi baju atau topi mereka. Disusul suara gadget bersahut-sahutan, dari nada dering keras yang norak, hingga suara bip sederhana, membuat suasana kian meriah.

Jerini menoleh pada Cakra yang seperti biasa, tetap tenang di tempat duduknya tanpa ada tanda-tanda untuk beranjak. Sebaliknya pria itu malah membuka HP-nya dan membaca pesan-pesan yang masuk.

"Ini kenapa orang Cabang Tangerang kirim pesannya malah ke HP saya, bukan ke kamu," ucap Cakra dengan dahi berkerut. "Dan yang kirim pesan kepala cabangnya sendiri. Bukan asisten atau sekretarisnya."

Karena kepala cabangnya bernama Gandhi, yang nomornya sudah saya blokir, Pak.

"Nah, kepala cabangnya sendiri yang bilang bakal jemput kita sendiri." Cakra berbicara seperti orang lagi baca berita.

Ini sangat Gandhi sekali. Penjilat! Dia pikir dengan muncul sendiri menjemput tim dari kantor pusat Jakarta akan memberinya keistimewaan serta kesempatan melobi Cakra untuk mempengaruhi hasil evaluasi cabang yang dia pimpin.

Ya kali Cakra bego kayak elo!

"Sangat tidak efisien. Tugas kepala cabang bukan jadi sopir," Cakra masih membaca pesan di HP-nya. "Pantas kalau cabangnya tidak jalan. Kepalanya tidak bisa mengatur prioritas pekerjaan."

Dan ini adalah statement.

Mereka berdiri karena giliran keluar sudah tiba. Lalu mengantre dengan sabar, sebelum berjalan menyusuri lorong sempit kabin pesawat komersial bertiket murah ini. Cakra sebenarnya sangat memungkinkan untuk mendapat penerbangan kelas bisnis. Namun seperti biasa, pria itu jarang memanfaatkan fasilitas. Selama dia bisa terbang ke tempat tujuan tepat waktu, tak peduli berapa pun harga tiketnya, dia akan berangkat tanpa keberatan.

"Pak Cakra beneran tidak keberatan untuk menginap di mes perusahaan?" tanya Jerini memastikan sekali lagi tentang di mana mereka menginap.

"Nggak apa-apa. Yang penting dekat kantor jadi nggak boros waktu di jalan," sahut Cakra. Mereka kini berdampingan sambil menyeret koper masing-masing untuk menuju ke pintu keluar. "Kamu?"

"Saya di mes juga, Pak. Tapi jangan khawatir. Ada dua lantai dan jaraknya cukup berjauhan. Saya tidak akan mengganggu privasi Pak Cakra."

"Baiklah," Cakra manggut-manggut. "Cabangnya lumayan besar karena punya fasilitas mes begini."

"Cabang Jakarta dulu kantor pusat perusahaan, Pak."

"Oh ya?" Cakra mulai tertarik.

Mungkin Pak CSO ini belum sempat belajar sejarah perusahaan. Atau sejarah tidak masuk dalam salah satu bidang favoritnya. Siapa tahu kan?

Jerini berasa punya teman. Karena akhir-akhir ini dia sangat membenci sejarah karena menyimpan banyak cerita menyakitkan. Jerini jauh-jauh ke Surabaya untuk melupakan sejarah agar bisa fokus pada masa depan. Meskipun sangat tidak bijak dengan menggantung pernikahannya dengan Gandhi.

"Kantor di Jakarta dulu merupakan perusahaan properti yang kemudian dibeli oleh pihak Rahardja Industrial Estate. Jadi kantor pusat beralih fungsi menjadi kantor cabang Jakarta. Sedangkan Cabang Tangerang saat itu masih dipertimbangkan meskipun lebih kecil."

Cakra mengernyit. "Jadi sekarang kita bertemu orang-orang Cabang Tangerang dengan memanfaatkan fasilitas Cabang Jakarta berarti," ucapnya. "Kamu familier sama cabang sini, Je?" Cakra mulai tertarik.

"Saya dulu bekerja di sini sebelum pindah ke Surabaya, Pak."

"Berarti kenal dengan Pak Gandhi Respati ini dong."

Dengan berat hati Jerini mengangguk. Lalu memutuskan untuk menjelaskan semuanya sekarang juga. Lebih baik Cakra mendengar dari mulutnya sendiri. Meski mungkin apa yang dia ucapkan akan terdengar tidak profesional di telinga Cakra. Namun dengan Gandhi yang sedang menunggu di pintu kedatangan, Jerini harus mencegah terjadinya drama.

"Gandhi Respati yang sedang menunggu kita, masih berstatus suami saya, Pak."


Noted:

Naskah ini sudah dipublikasi di KaryaKarsa. Silakan membaca di sana kalau menginginkan bab lebih banyak.

Thanks

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

222K 6.7K 15
Karena berani menolong sahabatnya yang kabur dari cengkeraman mafia, Cassandra Clark harus menanggung akibatnya. Gadis pemberani ini kini terjebak di...
120K 13.4K 47
I can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower
567K 70.5K 58
TAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh berurusan sekali dengan kliennya. Itu idealnya...
1.1M 93K 60
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...