Journal: The Lessons

By kenzaputrilia

5.4K 1.2K 1.6K

[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada bena... More

Journal
01 | Rendezvous
03 | Notting Hill
04 | Millennium Bridge
05 | Tate Modern
06 | Bankside
07 | City of London
08 | City Hall
09 | River Thames
10 | Greenwich
11 | Brixton
12 | Islington
13 | Islington Pt. II
14 | Highbury
15 | Camden Market
16 | Highgate
17 | Primrose Hill
18 | Lambeth Bridge
19 | Covent Garden
20 | Eye To Eye Gallery
21 | West End
22 | West End Pt. II
23 | Soho
24 | Andrew's Journal, Pt. I
24 | Andrew's Journal, Pt. II
24 | Andrew's Journal, Pt. III
25 | Euston Station
26 | London - Manchester
27 | Manchester
28 | The Stanleys
29 | The Stanleys, Pt. II
30 | Wedding
31 | Wedding, Pt. II
32 | Wedding, Pt. III

02 | Kensington

240 52 51
By kenzaputrilia

Aku memandangi setiap foto kota kelahiranku yang terpajang di dinding galeri tempatku bekerja. Setiap kali teringat dengan masa lalu yang menyeretku ke kehidupannya sekarang, foto-foto ini menjadi hal yang meyakinkanku bahwa tidak ada hal yang perlu disesali. Selalu ada hal indah dalam setiap pilihan yang kita ambil.

Impian mengenakan seragam sepak bola bertulisan "Stanley" serta bernomor punggung satu sudah lama terkubur. Tentu ada masa-masa kala aku berpikir apakah hidupku akan berbeda seandainya aku tetap mengejar impianku menjadi seorang kiper sepak bola ketika aku masih memiliki kesempatan. Namun, aku tersadar; apa gunanya berandai-andai tentang masa lalu? Aku tidak mau terus terjebak dalam waktu yang tidak bisa kembali. Kini, fokusku hanya pada masa depan. Bekerja sebagai seorang fotografer terus membawa kejutan dalam hidupku, yang barangkali tidak akan terjadi apabila aku tetap bersikeras menjadi seorang penjaga gawang klub sepak bola favoritku, Arsenal, atau timnas kebangsaanku, Inggris.

Seperti kejutan yang baru kudapatkan hari ini. Kemunculan seorang wanita yang sempat mengisi ruang di hatiku selama setahun, namun enggan untuk pergi meski raganya sudah menjauh dari sisiku selama sepuluh tahun. Aku telah mencoba untuk melupakannya, tetapi menghapus kenangan dalam memori kepala tidak semudah menghapus foto dari kamera.

"Zevania Sylvianna," katanya memperkenalkan diri dan kami berjabat tangan, yang mampu membuat otakku tidak bekerja, jantungku berhenti berdetak, dan mataku enggan mengedip untuk beberapa saat. Tangannya yang lebih kecil dariku terasa hangat dalam genggamanku. Tangan yang harusnya tidak pernah kulepaskan.

Aku selalu berpikir bahwa jalan kehidupan ini terkadang lucu. Entah benang merah apa yang menarik Zevania kembali ke sisiku setelah nyaris satu dekade. Tanpa ada pertanda sama sekali serta tanpa usaha apa pun yang dikerahkan olehku, tiba-tiba gadis itu muncul di galeri milik pamanku, tempat aku bekerja. Dari sekian banyak galeri di London, benang itu menarik Zevania ke tempatku berada.

"Kau sudah sarapan?" tanyaku sebagai bahan pembuka obrolan dengan Zevania setelah kami berdua mencapai lantai dasar galeri. Aku ingin berterimakasih kepada Daniel yang menyuruhku untuk mengajak Zevania berkeliling sementara dia membicarakan bisnis bersama Zevonio, kembaran Zevania. Nama yang lucu menurutku.

Kami berjalan beriringan menyisir daerah Soho yang mulai ramai oleh turis, berkunjung dari satu toko ke toko lainnya. Beberapa orang berjalan berlalu lalang dari segala arah. Meski sekarang hari Senin, tapi Soho tidak pernah sepi terutama pada musim panas. Kawasan ini dipenuhi oleh turis yang ingin merasakan kehidupan a la Londoner.

"Sudah di hotel. Kau sudah sarapan?" Zevania bertanya balik.

Aku memberi senyuman tipis sambil menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Jam berapa kau tiba di London?" Kutebak pasti tadi malam atau bisa saja sejak kemarin dan kemarinnya lagi dan tolong jangan bilang dia akan pulang besok.

"Tadi pagi."

Oh, dia gila. Tergila-gila pada London.

"Kau belum tidur?" Langkahku terhenti. Aku lumayan sering pergi ke mancanegara dan tahu betul lelahnya jetlag. Tidur di pesawat juga tidak senyaman tidur di hotel. Kalau aku jadi Zevania yang melintasi angkasa dalam 24 jam terakhir, aku pasti akan menghabiskan waktu seharian di kamar hotel.

Zevania tidak ikut berhenti melangkah, yang memaksaku mengejarnya agar tidak tertinggal lebih jauh untuk mendengar jawabannya. "Aku sudah tidur di jalan. Lagi pula aku cuma punya sepuluh hari dan tidak ingin ketinggalan satu hari pun di sini."

"Sepulu hari?" Aku memberanikan diri berdiri tepat di hadapan Zevania, memaksa gadis itu untuk berhenti jalan. "Di proposal waktu syuting filmnya satu bulan." Aku sempat membaca sekilas proposal yang diberikan Zevonio meski kepalaku terus memikirkan Zevania.

"Aku bukan bagian dari kru film." Zevania melirik ke kanan dan kiri. "Kita menghalangi jalan. Kalau kau mau mendengar ceritanya, kita harus cari tempat."

Aku juga ikut melirik ke sekitar dan memang benar, posisi berdiri kami berada di tengah para pejalan kaki yang terlihat kesal. Akhirnya aku menyingkir dari hadapan Zevania dan membiarkan gadis itu berjalan lebih dahulu. Aku meraih kamera dan menekan tombol shutter. Satu foto yang menampilkan punggung Zevania yang berjalan membelakangiku dengan latar Carnaby Street, London. Tempat ini lebih indah pada malam hari. Mungkin aku akan mengajaknya kemari nanti malam atau besok malam. Tergantung berapa lama lagi dia di sini.


Sepertinya menyadari tidak ada yang mengikuti, Zevania membalikkan badan. Memandangiku sambil cemberut. "Kita mau ke mana?"

Aku tersenyum melihatnya sudah tidak terlalu kaku seperti saat kami berada di galeri. Pertemuan itu pasti sama mengejutkan baginya. Aku segera berlari kecil dan lanjut berjalan di sebelah Zevania. "Kau mau ke mana?"

"Bukannya kau mau ke Kensington?" Zevania rupanya mengingat ucapan Daniel di galeri.

"Aku tidak ingin merusak satu dari sepuluh harimu di sini. Aku bisa ke Kensington kapan pun. Hanya mengambil beberapa foto saja untuk proyekku. Proyek kecil." Aku menunjuk kamera yang mengalung di leher. Aku sedang mengerjakan proyek tentang potret hunian di London. Pilihan utamanya adalah kawasan perumahan elite seperti di sekitar Kensington, Chelsea, dan Notting Hill.

"Aku juga tidak ingin menghambat pekerjaanmu. Lagi pula aku tidak punya itinerary dan aku belum pernah ke Kensington. Rumah di sana bagus-bagus kan? Aku lihat di instagram dan memang ingin ke sana." Zevania menunjuk tiga jalan saat kami tiba di sebuah perempatan. "Jalan mana yang harus kita ambil?"

Aku terkekeh karena pertanyaannya mengingatkanku pada Dora. Aku juga sangat kagum melihat betapa Zevania tidak mengenal kata lelah apabila hal itu berkaitan dengan London. Rasa cintanya pada kota ini tidak pudar. Sama seperti Zevania sepuluh tahun lalu yang tidak keberatan aku ajak ke mana pun selama kami di London.

Dan, aku juga tidak habis pikir mendengar Zevania tidak memiliki itinerary padahal dia hanya punya waktu sepuluh. Mendadak aku merasa mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memberikan sepuluh hari paling berkesan untuk Zevania. Bukan maksudku untuk membuatnya terkesan denganku, melainkan pada London meski aku tahu, London dalam bentuk apa pun akan selalu mengesankannya.

"Ini hari pertamamu di London?" Satu dari ratusan pertanyaan yang akan kutujukan padanya.

Zevania mengangguk. "Piccadilly Circus?" Dia memekik kegirangan melihat sebuah layar besar yang terpasang pada sebuah gedung. Apabila New York memiliki Times Square, maka London memiliki Piccadilly Circus. Merupakan salah satu landmark London yang sering ditampilkan di film. "Zevonio pasti akan kemari."


"Mau kuambilan foto?" Aku menawarkan jasa menjadi tukang foto untuk Zevania selama di London. Dengan senang hati aku melakukannya secara cuma-cuma. Zevania juga menerimanya tanpa pikir panjang. "Kamera atau ponsel?"

"Wooo.... Kamera fotografer profesional pasti hasilnya lebih bagus, ya?" goda Zevania.

Aku hanya terkekeh pelan. Kecanggungan yang tadi sempat berada di antara aku dan Zevania kini telah lenyap ditelan keramaian London. "Berdiri di sana. Aku tahu angle terbaik untuk foto." Aku menunjuk sebuah titik yang agak sedikit lebih kanan dari tempat Zevania berdiri.

Zevania berpindah tempat tanpa protes. Dengan malu-malu dia berdiri dengan canggung, tampak kebingungan untuk berpose. Bekerja di bidang fotografi selama bertahun-tahun, tentunya aku tahu apa yang terjadi pada Zevania. "Kau gerak saja. Bebas. Sambil memainkan ponsel atau apa pun. Senyamannya dirimu. Aku jamin hasil fotonya akan bagus."

Seolah baru saja diberi wejangan hidup yang berharga, Zevania mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan seolah-olah sedang memainkan ponsel dan bertelepon dengan layar besar di belakangnya.

"Selesai." Aku menghampiri Zevania dan menunjukkan hasil fotonya, berharap dia tidak kecewa.

"Woah. Kau memang handal. Pasti sudah memotret banyak model profesional, ya? Boleh kulihat?" Zevania meminjam kameraku dan melihat foto-foto yang telah kuambil. Isinya hanya foto-foto sudut London yang tadi dilewatinya.

"Tidak pernah. Aku hanya memotret bangunan dan alam." Aku menerima kembali kameranya. "Kecuali untuk beberapa proyek," aku mengakuinya.

Zevania diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia yang bertanya. "Sejak kapan kau menyukai fotografi?"

"Kita menghalangi jalan. Kalau kau mau mendengar ceritanya, kita harus cari tempat." Aku mengulangi ucapan Zevania ketika aku menuntut penjelasan mengapa Zevania hanya memiliki waktu sepuluh hari alih-alih sebulan di London.

"Oke. Lanjutkan. Kau pemandu wisatanya." Zevania memberi gestur agar aku berjalan mendahuluinya yang mengundang tawaku lagi. Sejujurnya aku sudah bosan dengan kota ini tapi bersama dengan orang yang paling mencintai London, segalanya terasa baru lagi.

Aku menggiring Zevania menuruni anak tangga yang akan menuntun kami ke Stasiun Piccadilly Circus untuk selanjutnya berhenti di Stasiun High Street Kensington. Selama di perjalanan dalam kereta bawah tanah yang disebut tube atau underground itu, aku dan Zevania tidak saling bicara dan kami sama-sama tidak keberatan dengan keheningan itu. Sama seperti dulu. Baik aku dan Zevania, kami berdua tidak banyak bicara tapi sekalinya sudah menemukan topik pembicaraan, maka obrolan kami tidak akan ada habisnya.

"Peak season." Aku membuka suara ketika kami telah keluar dari kereta yang penuh sesak. Kami berjalan berdampingan menyusuri Stasiun High Street Kensington.

Zevania mengangguk setuju. "Heran. Kenapa juga mereka syutingnya pada liburan musim panas. Padahal dari segi biaya juga jauh lebih tinggi."

Aku tidak menanggapi Zevania dan fokus memotret sudut-sudut stasiun. Toko-toko yang menjual berbagai macam barang dan makanan juga sudah buka. Sesekali memanggil Zevania agar tetap berada di sisiku karena banyak orang mondar-mandir. Aneh, rasanya aku masih bersama Zevania yang berusia 16 tahun, bukan 26 tahun seolah-olah rentang sepuluh tahun itu tidak pernah ada. Zevania dan aku, sama-sama masih murid year 11 di Islington Secondary School.

"Tepat seperti di foto-foto instagram." Zevania memandang takjub bangunan rumah yang berjajar di kanan dan kirinya. Ponselnya memotret rumah di sekitarnya. Gadis itu tidak berubah sama sekali, selalu bahagia selama di London. Bahkan hanya berjalan melewati rumah-rumah warga lokal baginya adalah sebuah kunjungan wisata ke tempat bersejarah. "Andrew, aku punya semacam janji yang aneh dengan sahabatku di Indonesia."

"Apa itu?" Aku berusaha agar tidak terdengar begitu antusias mendengarnya padahal aku sangat ingin tahu janji apa yang dimiliki Zevania.

"Aku bilang padanya, kalau aku bisa kembali ke London, aku bakal menangis di setiap tempat yang aku kunjungi. Tidak perlu ke tempat-tempat wisata yang terkenal, berjalan kaki di atas trotoar di sepanjang jalan seperti ini juga sudah cukup."

Sebagai orang yang tinggal di London sejak lahir, aku hanya bisa menggeleng heran menyaksikan Zevania yang tidak malu menunjukkan rasa cintanya pada London. Aku sudah bertemu banyak orang yang bilang bahwa kota favorit mereka adalah London. Namun, tidak ada yang sebesar Zevania. Kebanyakan dari mereka hanya suka pada objek-objek wisatanya, sedangkan Zevania menyukai setiap sudut kota ini.

"Sekarang kau mau menangis?" Aku menggodanya. Teringat bahwa aku tidak pernah melihatnya menangis sebelumnya.

Zevania menggeleng. "Tidak jadi. Setelah sampai di London dan berjalan-jalan seperti ini, rasanya aku terlalu bahagia untuk mengeluarkan air mata."


Kami terus berjalan kaki menyusuri trotoar di Kensington. Sesekali aku memotret Zevania, baik secara diam-diam atau menawarkannya langsung padanya. Sebelumnya aku berpikir bahwa proyek ini akan membosankan karena bagiku yang merupakan warga London asli, tidak ada yang spesial di kawasan ini kecuali perumahan yang harganya selangit. Aku sendiri masih tinggal di Islington, kawasan yang menjadi latar utama pertemuanku dengan Zevania.

"Mau mampir ke Kensington Palace?" Tidak lengkap rasanya berada di Kensington tanpa mengunjungi kediaman keluarga Prince William. Seperti biasa, Zevania mengangguk setuju. Tidak ada beda dalam semangat dan antusiasnya antara berada di lingkungan perumahan warga biasa dan istana anggota kerajaan, keluar dari mulut Zevania adalah kata-kata pujian.

"My mum was a huge fan of Lady Diana." Zevania tiba-tiba bercerita ketika kami melewati Princess Diana Memorial Garden. Aku tidak terkejut mendengarnya karena Mum juga penggemar Diana. "And she made me watch the royal wedding—I mean Prince William and Kate Middleton—on TV. I think my interest on, you know, London, started since that day."

Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan keluarga kerajaan, tapi mendengar Zevania bercerita tentang dirinya, asal mula dia menyukai London, membuatku enggan untuk merusak suasana. Apabila dia tidak menonton royal wedding itu, mungkin kami tidak akan bertemu.

Terima kasih, Ratu Elizabeth II. Semoga kau tenang di atas sana.

"Kita akan makan siang di sini." Zevania dan aku memasuki The Kensington Palace Pavilion, sebuah restoran dekat Kensington Palace yang terbuka untuk umum.

Zevania membututiku memasuki restoran dan duduk di salah satu meja dekat jendela yang menghadap ke Princess Diana Memorial Garden. "Seriously, Andrew. Does it mean that we have lunch at the Kensington Palace?"

Aku mengangkat tangan untuk memanggil pramusaji sambil tertawa mendengar Zevania. "Yes, it does," kataku, lalu meletakkan kamera di atas meja yang diberi taplak berwarna putih dan sangat fancy, sungguh menggambarkan posh people—khas Kensington dan Chelsea.

"How cool is that!" Zevania menutupi mulutnya, matanya hampir berkaca-kaca. "Menunya samakan saja denganmu. Aku tidak mengerti."

"Okay." Aku senang Zevania tidak berlaga seolah-olah makan di restoran mewah adalah kebiasaan sehari-harinya. Dia bahkan tidak malu untuk menunjukkan segala hal yang baru dan tidak biasa baginya.

Aku memesan avocado cream, braised feather blade of beef resep, chocolate cremeux acorn—mengingat Zevania cinta mati pada cokelat.

"Jadi ini tempat untuk bicara." Aku mengingatkan perjanjianku dengan Zevania sambil menunggu pesanan kami. Sekarang aku hanya akan mendengarkan Zevania. Ceritanya dan kabarnya selama sepuluh tahun terakhir. Waktuku sepenuhnya miliknya.

Gadis Asia yang salah kostum di bandara kini berubah semakin dewasa dengan kecantikan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Setelah bertahun-tahun, aku tersadar bahwa aku merindukan mata gelapnya yang selalu berbinar ketika memandang London serta senyumannya yang tidak pernah luntur setiap membicarakan kota ini. Tidak terlalu banyak berubah dari fisik, Zevania di hadapanku masih mirip dengan Zevania dulu.

Zevania menghela napas panjang. "How do we start? Which part?"

Aku paham maksudnya. Kami telah berpisah selama sepuluh tahun. Perpisahan kami sebenarnya tidak berakhir indah. Aku sadar diri bahwa ketidakhadiranku saat Zevania berpamitan mungkin menjadi momen terburuk dalam hidupnya. Hari itu memang terburuk bagiku juga.

"Sejak kapan kau menyukai fotografi?" Zevania mengulangi pertanyaan yang diajukannya saat kami berada di tengah keramaian Piccadilly Circus.

Tentu saja itu pertanyaan yang paling dipikirkannya. Aku tahu pertanyaan yang lebih tepatnya adalah: kenapa kau tidak menjadi kiper Arsenal?

Aku termenung untuk beberapa saat, mencoba mengingat sejak kapan aku terjun ke dunia fotografi alih-alih sepak bola yang merupakan impianku atau arsitektur sesuai permintaan Dad. "Sebenarnya dari dulu saat masih sekolah. Kau ingat foto burung yang kuambil saat kau mewawancaraiku sebagai man of the match?"

Zevania tampak terkejut mendengar pertanyaanku yang mengungkit kejadian masa lalu. "Aku ingat," katanya. Lega karena bukan hanya aku yang mengingat kenangan kami berdua.

"Aku tidak ingat kapan pasti mulainya, tetapi sejak hari itu kurasa. Ketika kau pulang ke Indonesia, aku meminta fotonya dari Annika dan mencetaknya. Foto itu ada di kantorku sampai sekarang. Setiap memandangnya, aku selalu berpikir bahwa tidak ada hidup yang sama setiap harinya. Kita akan selalu melalui hari yang berbeda, bertemu atau berpapasan dengan orang yang berbeda, melakukan aktivitas yang berbeda. Kalau kau mau menghitung, jumlah kita berkedip atau bernapas saja pasti berbeda setiap harinya."

Aku sudah melewati Kensington hingga tidak terhitung banyaknya, namun kali ini berbeda. Aku kemari bersama Zevania, yang bahkan tadi pagi saat bangun tidur pun tidak terlintas dalam benakku bahwa aku akan bekerja ditemani gadis yang pernah mengisi hatiku ini. Rasanya seperti sebuah mimpi yang sulit dipercaya. Aku bahkan berpikir untuk bergadang malam ini karena apabila tertidur, aku takut bahwa kemunculan Zevania hanyalah bunga tidur semata.

"Satu-satunya cara untuk terus mengabadikan momen itu adalah memotretnya. Seperti burung dalam foto itu. Mereka mungkin sudah mati, tetapi kenangan ketika mereka terbang berdua di atas langit Islington yang cerah sepuluh tahun silam akan terus abadi dalam foto." Aku menyelesaikan ceritanya yang kuharap tidak membosankan karena gadis di hadapanku ini tidak berkata apa-apa selain mendengarkan.

Seorang pramusaji menghampiri kami dan menghidangkan pesanan di atas meja. Zevania dan aku mengucapkan terima kasih padanya dan dia meninggalkan meja kami.

Zevania memandangi hidangan di hadapannya, sementara aku menatap lekatnya. "Sekarang aku yang bertanya," ucapku.

Namun, Zevania tampak tidak begitu mendengar. Dia meraih garpu dan pisaunya, tidak menatap mata lawan bicaranya.

"Why do you only stay for ten days instead of a month?"

Or why not for a year? Or even for the rest of your life?





---------------------------------

author's note:

Journal: The Seasons = Zevania's pov

Journal: The Reasons = Andrew's pov

Journal: The Lessons = double pov

(bab ganjil = Zeva; bab genap = Andrew)

dan ada beberapa perubahan:

- Zeva bukan kerja sebagai jurnalis di majalah remaja, tapi di perusahaan yang bergerak di bidang MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exihibition) atau mungkin lebih familiar dengan sebutan event organizer

- Islington High School diganti jadi Islington Secondary School (biar berasa Inggris)

please kindly leave your comments? thank you. see you next week!

clue: Julie Roberts & Hugh Grant

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 250K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
5.5M 289K 58
Serina, seorang gadis cantik yang sangat suka dengan pakaian seksi baru lulus sekolah dan akan menjadi aktris terkenal harus pupus karena meninggal o...
203K 20.8K 36
Telat terbit, 19 November 2018 (Elex Media) ...jika pergiku tiba-tiba, bisakah kamu menyampaikan 24 suratku pada mereka ? (Biru) Biru meningg...
1.6K 446 27
Tentang kisah petualangan mencari lima benda magis