Get Well Soon

Door macafau

7.1K 885 403

Tidak ada yang tahu alasan Ris pergi ke IGD sendirian dengan kondisi fisik yang berantakan. Sementara, alasan... Meer

Chapter I : Datang Sendirian di Keramaian
Chapter II : Pasien Pertama Adimas
Chapter III : Teman Yang Berprofesi Dokter
Chapter IV : Ris 'Sendirian' Atmariani
Chapter VI : Ujian Dadakan
Chapter VII : Perasaan Adimas
Chapter VIII : Siapa Keluarga Siapa?
Chapter IX : Doa Yang Baik Saja
Chapter X : Serba-serbi yang Tak Terucap di Sabtu Pagi
Chapter XI : Terjebak Ekspektasi
Chapter XII : Fungsi Kakak dan Adik
Chapter XIII : Lekas Pulih, Ris
Special Illustration
Chapter XIV : Pulang ke Rumah yang Mana?
Chapter XV : Ngobrol Tipis Kena di Hati
Chapter XVI : Di Rumah Ayah

Chapter V : Waktu Indonesia Bagian Overthinking

421 51 13
Door macafau

Adimas baru tiba di kamar apartemennya. Tidak memilih pulang ke rumah orang tuanya karena Bapak jaga malam dan Ibu ada kasus di luar kota, gali kubur terus. Alvaro, adik bungsunya, tidak di rumah, katanya mau menginap di kosan Dwiki untuk mengerjakan tugas.

Apartemen yang hanya dijadikan tempat menumpang tidur. Adimas lebih sering pulang ke rumah orang tuanya yang berjarak hanya lima kilometer dari apartemennya itu. Makan gratis, cuci baju gratis, menyetrika gratis. Pembantu mereka Yuk Mirah begitu setia mengabdi walau umurnya kini sudah tua.

Langsung Adimas berbaring di kasurnya. Tadi sudah makan malam bersama gengnya di rumah sakit, jatah makan malam di luar sebulan sekali, nostalgia masa-masa koas dengan makan di angkringan dekat stasiun.

Sebelum Adimas memutuskan untuk mandi, tiba-tiba terbersit tema overthinking malam ini. Bagaimana kalau tiba-tiba Ris sesak napas dan tidak ada siapa pun yang membantunya? Bagaimana kalau tiba-tiba ia meregang nyawa?

Ponsel diambil. Dalam kondisi seperti ini hanya satu orang yang bisa dihubungi.

"Mbak!" Baru panggilan diangkat oleh orang tertuju, Adimas sudah buka suara hampir berteriak. Mbak Jani alias dr. Anjani Eka Putri Suseno, Sp.PD-KGEH.

"Apa?!" balas Jani dari seberang telepon, "Mbak lagi visit. Cepat mau ngomong apa?"

"Jadi pasien ranap aku tuh gak ada yang nemenin, Mbak. Tadi terakhir pas aku visit saturasinya 83, AC ruangannya emang dingin, dia ada riwayat asma yang kambuh kalau kedinginan. Kalau tiba-tiba serangan asma gak ketahuan, aku bakal dipecat gak?" tanya Adimas dengan cepat.

"Hush! Gak boleh ngomong gitu, Dimas!" tegur Jani. "Sebelum pulang kamu apakan dulu pasiennya?"

"Aku kasih nebu," jawab Adimas.

"Udah benar, kok. Kalau dia sendirian harusnya perawat ruangan juga lebih aware," balas Anjani santai.

"Kalau ada apa-apa ya pasti kamu sebagai penanggung jawab juga dipanggil. Semua yang terlibat akan dipanggil, termasuk perawat yang standby saat kejadian. Kamu berdoa saja pasiennya tidak kenapa-napa," jelas Anjani yang ternyata malah membuat Adimas takut.

"Kalau ternyata keluarga pasien menuntut pihak rumah sakit kalau ada apa-apa, aku dipenjara gak, Mbak?" tanya Adimas lagi.

Terdengar hela napas kesal dari seberang telepon. Adimas yakin kalau Jani ada di dekatnya dia sudah dijitak keras.

"Itu mah nanti urusan lawyer-nya. Kamar berapa? Nanti Mbak tengokin, deh," kata Jani.

"Gak usah, Mbak!" Karena nanti Adimas mungkin malah kehilangan pasiennya yang berharga karena si pasien lebih memilih dirawat Jani.

"Aku mau ke CCIH lagi aja," kata Adimas membuat Jani geleng-geleng kepala atas kelakuan adiknya itu.

"Aktifin on-call biar kalau ada apa-apa terdata. Kinerja kamu jadinya nanti lebih bagus," kara Anjani mengingatkan.

"Ok, Mbak!"

Adimas kemudian bergegas. Mandi dulu agar badannya bersih. Ia memilih piyama kelabu yang nyaman. Tak lupa sandal karet yang selalu menemaninya ke minimarket turut dipakai. Bantal leher langsung dipakai, malam ini dia akan tidur di sofa.

Dalam tas ranselnya, ia memasukkan dua pasang scrub untuk besok, pagi praktik di RS Cendekia Raga, siang lanjut di CCIH. Stetoskop dan cap tidak lupa, buah-buahan juga dibawa untuk sarapan pagi.

Dari kamar apartemennya. Terlihat samar kamar rawat inap Ris. Ya, apartemen Adimas berada di seberang CCIH, terpisah oleh stasiun besar jadi kalau berangkat jalannya harus memutar.

Adimas bergegas. Bawa mobil dari sekarang agar saat ke RS Cendekia Raga bisa langsung dari CCIH mengingat jaraknya cukup jauh.

Adimas memakai masker sebagai sentuhan terakhir dan segera melenggang pergi kembali ke rumah sakit.

Parkir dr. Anjani Eka Putri S, Sp.PD. Sial, Adimas iri sekali sang kakak sudah dapat lahan parkir khusus. Tanpa permisi Adimas memarkirkan mobilnya di sana, kebetulan lapangan parkir gedung baru sehingga menuju kamar Ris Adimas hanya perlu sekali naik lift.

"Selamat malam!" sapa Adimas ceria membuat Ris yang sedang memakai nebulizer memandang Adimas bingung.

"Katanya tadi mau ditemenin, 'kan?" kata Adimas dengan santainya sambil menyimpan barang-barangnya dengan rapi di dekat sofa.

"Jadi malam ini aku temani," kata Adimas sambil berkacak pinggang dengan bangganya tepat menghadap Ris yang berbaring dengan sandaran tinggi di kasur.

Adimas tersenyum lebar. Iya, keputusannya benar. Keputusannya sangat benar agar terhindar dari overthinking yang melandanya tiap malam. Ini adalah upaya untuk tidur nyenyak di malam yang akan datang tanpa dihantui kemungkinan dipecat dari CCIH.

Berbeda dengan Adimas yang senang, Ris bingung. Bingung mau senang atau sedih, nyaman atau terganggu. Karena yang ia rasakan adalah di antara dua pilihan pada semua kategori.

"Dokter?" Ketika Adimas mematikan nebulizer saat obatnya habis, Ris buka suara.

Adimas membawakan tisu untuk Ris, ia membantu gadis itu merapikan alat nebulizer sebelum memanggil perawat untuk mengambil alat tersebut. Ris yang duduk kembali berbaring walau sandaran kasurnya sangat tinggi hampir terlihat seperti terduduk.

"Iya?" balas Adimas antusias.

"Aku cuma bercanda tadi," kata Ris perkara pesan yang dikirimnya.

Adimas diam. Ia memandang langit tampak berpikir sebelum kembali menatap Ris dengan senyum yang begitu lebar.

"Tapi aku menanggapinya serius," balas Adimas tidak bercanda.

"Aku benar-benar minta maaf-"

"Aku tetap akan menemani kamu." Ucapan Ris dipotong Adimas tanpa sela.

"Tapi Dok, aku gak mau ngerepotin-"

"Aku gak kerepotan." Lagi dan lagi ucapan Ris dipotong Adimas sebelum gadis itu menyelesaikan perkataannya.

"Dokter harus istirahat," tegas Ris.

"Aku punya kemampuan jaga pasien 3 x 24 jam tanpa tidur yang dilanjut ujian dan dapat nilai terbaik di angkatan dari konsulen paling killer se-RSUP." Dengan Bangga Adimas bisa mematahkan pernyataan-pernyataan Ris.

"Lagian aku gak bisa tidur kalau tahu kamu sendiri," ucap Adimas sambil memasang oksimeter ke telunjuk tangan kanan Ris. Alat itu menampilkan angka 90, saturasi Ris sudah lebih baik dari sebelumnya.

Ris menghela napas. Ia tak bisa mengelak dari Adimas. Ini kali pertamanya bertemu dokter seperti ini. Seingatnya, visit beberapa dokter bahkan tak lebih dari sepuluh menit atau bahkan ada yang selesai kurang dari lima menit. Adimas terlalu sering berkunjung dengan durasi yang lama.

"Kakinya masih dingin gak?" tanya Adimas. Ris mengangguk.

"Aku belikan kaos kaki. Lucu deh motifnya. Mau pakai?" Adimas menawarkan sepasang kaos kaki pada Ris. Ris mengangguk lagi, pasrah manut daripada debat.

"Permisi, ya." Seperti biasa Adimas meminta izin ketika menyibak selimut Ris. Ris mengangguk mempersilakan.

"Dan aku bawakan sandal." Slipper karet tebal yang sedang trend. Terkenal sebagai sandal Min*so, sebuah retail Cina dengan branding Jepang.

"I-itu masih baru?" tanya Ris khawatir kalau dia merepotkan Adimas secara berlebihan, "aku jadi merepotkan, Dokter."

"Baru, sih baru," balas Adimas menangkap kekhawatiran Ris, "aku beli untuk adikku, itu si Dila, dokter IGD, buat dia. Ternyata suaminya beliin yang sama dan dia maunya pakai yang dibelikan suaminya. Jadi, kalau dibilang sengaja beli untuk kamu nggak tapi kalau bilang ini rezekimu mungkin iya."

Adimas tersenyum kecil sambil duduk di tepi kasur, di sebelah kaki Ris. Kini mereka duduk berhadapan, Ris menebak ini posisi favorit Adimas kalau berkunjung kemari karena tadi pagi pun ia sering duduk di situ.

"Dokter, nanti aku bayar perawat private-care. Dokter pulang saja. Aku janji gak akan sendiri, lagian aku sudah cukup membaik," tutur Ris khawatir.

Niat hati tak merepotkan siapapun apalagi Ibunya, Ris malah berakhir merepotkan dokter yang baru dikenalnya kemarin. Salah, perhitungan Ris salah besar semuanya.

"Udah dibilangin aku gak bisa tidur kalau gak mengawasimu," kata Adimas.

"Aku sudah pernah bilang kalau kamu pasien pertama aku, 'kan?" Kini Adimas bertanya. Ris menjawab dengan anggukkan, ia ingat Adimas pernah mengatakannya.

"Tapi, Dok. Aku malah jadi merepotkan Dokter. Biasanya juga kalau dokter-dokter lain hanya dengar... dengar... periksa... diagnosa, beres. Gak harus sampai merawat pasiennya seperti ini." Ris bersikukuh dengan pendapatnya. Merepotkan orang yang dikenal saja sudah membuat Ris khawatir, takut harus balas budi semacamnya apalagi Adimas yang baru dikenalnya kemarin malam.

Adimas menarik napas dalam. "Kalau gitu aku mau minta tolong, boleh?"

Ris mengernyit makin bingung. Apa yang bisa dibantu oleh Ris yang bahkan tak boleh banyak bergerak dan diinfus tangannya.

"Bantu aku naikin reputasi sebagai dokter di sini, ok? Dengan nurut aja deh minimal dan bikin aku tenang," tutur Adimas dengan suara yang lembut.

"Aku gak tenang kalau kamu sendiri. Kenapa sih rumah sakit menyediakan kursi penunggu pasien? Bahkan di CCIH ada kursi ada sofa -ya walau single sofa alakadarnya-. Itu karena pasien itu harus ada yang nungguin. Orang sakit fokusnya istirahat dan suka gak suka faktanya orang sakit itu disabilitas sementara." Tegas tapi lembut, begitu Adimas bertutur.

"Kalau ada apa-apa, kamu -amit-amitnya- gak sadarkan diri, tidak ada yang bisa memanggil perawat lalu penanganannya jadi terlambat, aku juga bisa jadi orang yang bertanggung jawab atas segala keburukan itu."

Ris tertegun mendengar penuturan Adimas. Hati Ris terenyuh. Tepatnya, Ris merasa diberi kepercayaan oleh Adimas untuk membantunya. Kini Ris punya alasan besar untuk sehat.

"Kamu pasienku yang berharga, sangat amat berharga. Baik-buruknya kondisimu sangat mempengaruhi baik-buruknya karirku di CCIH bahkan di seluruh rumah sakit kedepannya."

"Jadi aku mohon. Please! Izinkan aku memastikan bahwa malam ini kamu baik-baik aja, ya?" pinta Adimas.

Tak ada yang bisa Ris lakukan kecuali mengizinkan Adimas untuk menemaninya. Ya, lagi pula dia juga tidak mau mati sebagai orang yang merusak karir orang lain apalagi sekelas dokter spesialis yang kuliahnya lama sekali seperti Adimas.

Ris akhirnya mengangguk, sukses mengembangkan senyum di wajah Adimas.

"Ya!" Adimas menepuk tangannya sekali sambil beranjak dari kasur Ris.

"Sekarang kamu makan dulu," kata Adimas sambil memposisikan meja makan di depan Ris, "setelah itu istirahat, biar besok lebih bugar lagi, oke!"

Ris mengangguk patuh dan mulai memakan makan malamnya.

"Kalau gak habis gimana?" tanya Ris pelan.

"Lebih baik habis, kalau nggak habis ya gak apa-apa. Nanti jadi pertimbangan aku apakah pemulihan kamu sudah berjalan sesuai rencana atau belum," jawab Adimas lembut.

"Dokter gak makan?" tanya Ris.

"Aku udah makan sama teman-temanku tadi," jawab Adimas lagi sambil tersenyum.

"Cepat makan, istirahat, terus tidur, ya!"

Mendengar titah Adimas. Ris mengangguk lantas tersenyum kecil. Adimas memang berisik dalam mode Adimas sebagai teman, beda sekali citranya ketika mode Adimas sebagai dokter tapi Ris suka keduanya.

~**~

Update setiap hari Sabtu
Next Update : Sabtu, 17 Juni 2023

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

SCH2 Door xwayyyy

Algemene fictie

122K 17.5K 46
hanya fiksi! baca aja kalo mau
56.8K 4.6K 40
Padahal kan ingin Mosha itu agar mereka dijauhkan bukan malah didekatkan. -·-·-· Mosha, mahasiswi jurusan akuntansi ingin kehidupan kuliahnya seperti...
145K 702 15
Yang orang tau Kiara Falisha adalah gadis lugu, imut, lucu, menggemaskan juga lemot. Tapi di depan seorang Faidhan Doni Advik tidak seperti itu. Pun...
46.2K 2.8K 18
Akankah lian kembali membuka hati untuk salma? ikuti cerita aku terus yaa