Di antara dua wanita

By in_Stories

57.8K 4.2K 3K

"Sampai pada sebuah alur yang begitu pahit, saya menyadari bahwa buah dari ketidak adilan adalah ancaman perp... More

Prolog
DADW-1| Tentang kecemburuan
DADW-2| Lara pada tiga jiwa tak berdosa
DADW-3| Sebuah peduli
DADW-4| Cisarua; Kecemburuan dan ironi
DADW-5| Sarah & Ilyana; Peredaman perseteruan
DADW-6| Sekelumit kisah di bawah satu atap
DADW-7|Tuntutan Ilyana dan penolakan Sarah
DADW-8| Sebuah pertengkaran
DADW-9| Percakapan malam
DADW-10| Sebuah titik jerat
DADW-11| Satu kelalaian
DADW-12| Gerilya
DADW 13| Meretak
DADW 14| Pengakuan
DADW 15| Debyta Oktavia
DADW 17| Rumah yang bergejolak
DADW 18| Tuba di genggaman
DADW 19| Titik lelah wanita
DADW 20| Pengakhiran

DADW 16| Rasa rendah diri

2K 119 130
By in_Stories

‘‘Aku runtuh!’’

—Sarah Jinan Ulya

🍁🍁

     Ketukan-ketukan pintu tidak juga membuahkan hasil. Dimas akhirnya mengangkat kembali gawai dari saku jaket dan menghubungi si penghuni agar bisa menerima kedatangannya. Namun, kegagalan lagi-lagi dijumpai. Citra tetap enggan.

     Telah satu minggu gadis itu mendiamkan dirinya tanpa sebab jelas. Telepon dan banyak pesan yang dikirimkan tidak satupun mendapat tanggapan. Berberapa kali ia juga berusaha menemuinya secara langsung, tetapi Citra selalu dapat meloloskan diri.

    "Cit...."

     Tok!

     Tok!

     Tok!

     "Kamu bukan anak SMP lagi. Diem gitu aja nggak bikin masalah beres. Ayo kita bicara baik-baik. Abang tunggu."

     Dimas menarik napas panjang menatapi pintu rumah yang tidak dibuka-buka. Sungguh, ia tidak memiliki kepandaian untuk merayu. Dan tidak ada pilihan yang bisa dilakukan selain terus menunggu.

      "Abang nggak tau salah Abang di mana. Jadi, tolong jangan diem gini," ujar Dimas lagi.

     Tepat di pukul setengah lima sore —dua jam setelah Dimas menanti— Citra yang akhirnya dibuat menyerah. Kegigihan lelaki itu untuk meminta jawaban atas sikap menghindarnya belakangan ini tidak bisa untuk diabaikan terus-terusan. Toh, apa yang Dimas ucapkan sangatlah benar. Lingkar masalah tidak akan putus hanya dengan sikap diam.

     Menguak daun pintu, Citra langsung dihadapkan dengan tatapan menusuk milik Dimas Syahreza, tetapi juga ada kekhawatiran di dalamnya. Ia lantas duduk di kursi sebelahnya dengan pandangan lurus ke halaman rumah yang tertepa cahaya-cahaya sendu senja.

     "Abis nangis kenapa? Nonton drama?" Dimas coba bertanya.

     "Abang, ngapain ke sini?"

     "Pertanyaan Abang nggak bisa dijawab dulu, ya?" balas Dimas, menyindir halus.

     "Bener kata Yas, dari awal Abang emang nggak pernah serius ke aku," ucap Citra tiba-tiba. "Aku cuma jadi mainan doang!"

     "Yas ngomong apa emang?" Dimas berusaha tetap tenang meski ia tidak suka atas tuduhan tersebut.

     "Ki—kita deket udah berbulan-bulan. Kita sering saling kasih perhatian. Kita sering main bareng, nonton bareng, jalan bareng ke mana-mana." Citra berucap sembari menahan isakan. Ia sendiri masih tidak berani membalas pandang lawan bicara yang sedari tadi tidak menggeser tatap daripadanya. "Tapi, aku nggak pernah tau status kita ini sebenernya apa, Bang? Aku nggak mau terus-terusan jalan di hubungan yang ngegantung gini! Aku punya hati. Punya perasaan juga, tapi kayaknya Abang nggak peduli sama itu semua!"

     "Abang nggak pernah ada niat buat mainin perasaan kamu." Dimas membantah, memandang Citra serius.

     "Terus kenapa selama ini Abang nggak pernah kasih kepastian apa-apa buat hubungan kita?!" tantang Citra, menatap Dimas tajam.

     "Abang nggak siap buat jalin komitmen."

     Seketika Citra menatap Dimas penuh kecewa. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa lelaki yang selalu mampu memberinya keping bahagia, akan sekejam ini pada perasaan yang ia berikan dengan tulus. "Oke kalau itu jawaban Abang! Berarti kita cukup. Setelah ini anggep kita nggak pernah deket sekalipun!" putusnya.

     "Cit!" Dimas mencekal lengan Citra yang hendak beranjak. Diikutinya posisi berdiri gadis yang masih tidak henti menangis akibat dirinya. "Dengerin penjelasan Abang dulu."

     "Jawaban Abang tadi udah lebih dari cukup buat aku. Aku nggak mau denger penjelasan apapun lagi!"

     "Abang sayang ke kamu, Cit, tapi Abang takut." Dimas kembali membuat pengakuan. Tangannya masih tidak melepaskan tangan Citra.

     "Apa yang Abang takutin?"

     "Abang takut nyakitin kamu."

     Air mata Citra memburai. "Abang udah lakuin itu ke aku," balasnya telak.

     Dimas menarik napas panjang. Ia tak mengelak itu. "Aku takut nggak bisa jaga setia."

     "Tapi, aku percaya sama Abang."

     "Mamah dulu juga percaya ke Ayah," balas Dimas.

     Citra seketika terdiam. Ketakutan Dimas, kini mampu diterima oleh dirinya meski tetap saja menyakitkan. "Abang bukan Om Ali."

     "Siapa yang bisa ngejamin kalau aku nggak bakal kayak dia?"

     "Terus mau sampe kapan Abang hidup di ketakutan yang Abang buat sendiri itu?" tembaknya, membuat Dimas terbungkam cepat. "Jangan jadi pengecut!"

     "Seberapa besar percaya kamu ke Abang?" tanya Dimas serius.

     "Gimana perasaan Abang ke aku?" Citra memberi pertanyaan balik yang berlawanan topik, sebab ia masih menginginkan jawaban atas kebimbangan yang selama ini menjeratnya.

     "Abang sayang kamu."

     "Kepastian apa yang bisa Abang kasih ke aku?"

     "Kamu maunya apa? Calon istri apa istri?"

     "Abang!" Citra berseru dengan mata melotot galak. "Kenapa bercanda?"

     "Nggak ada yang bercanda!" Tidak ada ekspresi jail di wajah Dimas. "Kamu minta, ya, Abang kasih pilihan."

     Pipi-pipi Citra yang basah mulai dijalari semu. Disekanya air mata dan coba ditutupinya bahagia yang mulai meletup di dada. "Emang bedanya apa?"

     "Kalo jadi calon istri Abang masih sanggup jajanin kamu. Tapi kalo jadi istri, jujur aja Abang belum punya apa-apa buat nafkahin hidup kamu."

     "Gombal!" Citra refleks memukul lengan atas Dimas. "Serius, ih!"

     Dimas tidak marah. Lelaki itu justru meraih tangan Citra dan mengenggamnya hangat. Citra tidak menolak. Tatapan lembut dalam khas seorang Syahreza kepadanya, membuatnya tertunduk saat itu juga dengan dada berdebar.

     "Abang sayang sama kamu. Sedikitpun nggak ada niat buat mainin hati kamu. Temenin Abang seterusnya, ya?"

     "Ki—kita pacaran, 'kan?" Citra melirik Dimas.

     Dengan penuh usaha, Dimas mengulas senyum dan mengangguk. Ucapannya barusan masih tidak cukup untuk membuat puas gadis itu. "Calon istri Abang."

     "Aamiin...."

     Dimas mengekeh atas jawaban Citra. "Kenapa kamu bisa sepercaya itu kalau Abang nggak bakal kayak Ayah?"

     Kini, Citra menghadapkan seluruh badan kepada Dimas. Dibalasnya genggaman lelaki itu dengan mata yang saling tertaut kuat. "Karena aku tau, Abang cinta sama Tante Sarah."

     Dimas tersenyum, lalu memeluk Citra. "Sayang aku terus, ya?"

     "Pasti."

🍁

     Dek Ilya

     Suami aku
     kok blm
     pulang, sihhh?

    
Mas Ali
15 mnt lgi
aku pulng.

     Dek Ilya
     Buruaaaannnn

     Dek Ilya
     Udh kangen
     soalnya.

Mas Ali
Sbr, ya....

Mas Ali
Kdu nutup kontainer
dlu bru boleh
buka baju istri.

     Dek Ilya
     🤣🤣

     Dek Ilya
     Ditunggu
     kepulangannya, Bapakkkk
     ❤

Mas Ali
Siap, Sayang!

     Ali menepati ucapan. Dirinya tiba di rumah Ilyana ketika waktu masih berada di pukul sembilan malam. Sosok Citra yang muncul dari arah dapur dengan segelas air putih di tangan menjadi penjawab salam darinya.

     "Eh, ada calon mantu!"

     Citra tersenyum malu. Pipinya merona merah. Godaan demikian memang menjadi sering didapati sejak Dimas memperkenalkan dirinya secara resmi empat bulan yang lalu, tepat pada acara tasyakuran Debbyta.

     Ada beragam tanggapan yang dia terima pada saat itu. Wajah bahagia dan restu tentu sudah dia dapatkan dari Ali, Sarah juga Ilyana. Ketiganya tidak sedikitpun menghalangi. Larisa tidak tampak bahagia, tetapi tidak juga menolak bahwa ia telah menjadi tambatan hati sang kakak. Sementara Yasmina, masih terlihat ragu akan keseriusan Dimas terhadapnya.

     "Baru pulang, ya, Om?" tanya Citra, nendekati Ali dan mencium tangannya.

     "Iya. Tumben nginep? Ada tugas bareng?"

     "Enggak, Om, cuma mau marathon drama mumpung besok tanggal merah," jawabnya, menyengir lucu.

     "Ohhhh. Titipannya Yas, nih. Buat temen nonton katanya." Ali memberikan salah satu tentengan di tangannya. "Udah pada makan belum?"

     "Udah."

     "Seriussss?"

     Citra terkekeh. "Serius, Ommmm."

     "Jangan begadang malem-malem, lho, ya!"

     "Maaf, Om, tapi kayaknya nggak bisa janji, deh!"

     Ali tertawa. Kemudian, dilanjutkannya langkah menuju kamar Ilyana yang bersebelahan dengan kamar sang putri.

     Kamar sepi. Tidak ada Ilyana dan tidak ada juga suara bayi yang menyambut hadirnya. Debyta telah lelap di dalam box-nya. Ali kemudian melangkah mendekati untuk menikmati sejenak bagaimana tenangnya tidur si bayi kecil sebelum berpindah tempat menuju kursi meja rias dan duduk di sana sembari mengulir pesan berisi pekerjaan.

     Tidak berapa lama, Ilyana datang. Wanita itu berjalan cepat dan langsung memeluknya dari arah belakang. "Suami aku pulang!" serunya girang.

     Ali tertawa melihat wanita itu dari refleksi kaca. "Abis dari dapur?"

     "He'eh!" Ilyana mengecup pipi Ali dari samping. "Biasa, pumping asi."

     "Deby dapet bingkisan lagi, tu, dari Eonnie," ujar Ali, menunjukkan paper bag cukup besar di hadapan dengan gerak dagu.

     "Wahhh...." Ilyana bersorak. Dia duduk di meja, tepat di hadapan sang suami dan mulai membuka hadiah berisi macam-macam pakaian bayi itu. "Ihhhh, lucu-lucu banget bajunya, Mas. Oleh-oleh dari Korea ini, ya?"

     "Iya. Kata dia kalo Deby udah bisa jalan suruh ngajak main ke rumah."

     Ilyana terkekeh. "Padahal pas Deby baru lahir dia udah ngasih kado, lho. Jenguk juga ke sini," ujarnya sambil merapikan barang-barang itu kembali.

     "Rezekinya Deby," sahut Ali sambil menyimpan telepon genggam di meja.

    "Tapi, aku masih nggak sudi makein Deby baju yang dari Riana." Ilyana merengut marah. "Kesel banget kalo inget itu, tu! Bisa-bisanya ngajakin suami aku bobo bareng!"

     Ali tertawa geli dengan kepala menggeleng-geleng. Dua lengannya lantas melingkari pinggang Ilyana yang membuat wanita itu secara refleks memajukan badan serta melingkarkan lengan di lehernya.

     "Semua terjadi begitu saja. Tak ada yang serius antara dia dan aku."

     Bola mata Ilyana berputar malas mendengar Ali menyanyikan lagu untuk merayunya.

     Ali terkekeh, lalu melanjutkan, "Tidak ada cinta dan tak ada hati, hanya karena aku lelaki dan dia wanita."

     "Mana ada?!" sanggah Ilyana. "Kalo nggak ada cinta, Riana nggak mungkin sampe segitunya banget ke kamu, Mas!"

     Ali justru kembali mengeluarkan kekehan lucu. "Main sekarang udah bisa belom, nih?" tanyanya sambil berdiri dari duduk, sehingga tingginya kini melebihi posisi Ilyana.

     Ilyana mengulum senyuman. "Kamu mau pulang jam berapa emang, Mas?"

     Ali menyeringai. Dikecupnya sekali bibir merah itu, lalu menjawab, "Aku mau rampungin yang di sini dulu."

     "Takut ditungguin Mbak Sarah kalo kemaleman, tuuu."

     "Mentok setengah 12 kayaknya," sahut Ali setelah melihat jam dinding. "Sejam buat main-main sama kamu, sejam lagi buat tidur."

     Ilyana tertawa. Tangannya memukul  dada suaminya. "Pinter banget ngaturin waktunya!"

     "Butuh istirahat soalnya." Ada nada serta raut lelah dari jawaban itu.

     "Capek banget kayaknya. Lagi banyak masalah, ya, di kerjaan?" Ilyana bertanya sembari memainkan helai rambut suaminya yang terjatuh-jatuh di kening. Sebagai istri, ia ingin Ali selalu membagi hal-hal yang telah dijumpai meski dirinya sendiri sudah dilelahkan dengan pekerjaan rumah dan mengurus anak.

     "Banyak, sih, enggak. Cuma capek gara-gara teriak-teriak mulu."

     "Teriak sambil marah-marah pasti."

     "Kamu udah paham." Ali tertawa masam.

     Ilyana memeluk tubuh lelaki itu hangat, erat. "Masih mau cerita lagi?" Dan ia dapat merasakan gelengan kepala Ali bahunya. "Terus maunya apa?" tanyanya lagi, lalu memberi tiupan lembut di telinga lelakinya.

     "Mau kamu. Butuh kamu banget soalnya." Ali mengecup pucuk kepala Ilyana serta menarik simpul dari seuntai tali tipis yang menggantung di bahunya. Tidak ada yang dapat Ilyana lakukan selain memasrahkan seluruh diri. Pakaian itu pun, terburai ke bawah dada. Kecup-kecup panas menyusul di sana diiringi pijatan-pijatan memuja yang membakar gelora.

     "Mashh...." Wajah Ilyana kontan terdengak ketika bibir Ali merambat naik menjelajah leher, dagu, bibir, lalu kembali menguasai sepasang dadanya. Tangan lelaki itu juga ikut berjalan-jalan menyusuri kulit punggungnya, terus berkelana hingga permukaan pahanya dan mengakhirkan jelajah di titik paling tersembunyi. Ia melayang-layang.

     Cukup lama permainan itu berlangsung sampai pada akhirnya, Ali menggendong dan membawanya ke tepian ranjang dengan ciuman yang tidak dihentikan.

     "Aku cinta kamu, Mas...,"

     "Cinta kamu juga, Sayang...."

     Kini, Ilyana mengambil alih kendali. Beranjak dari pangkuan, dirinya berdiri di antara kaki Ali dan mulai menanggalkan pakaian hingga celana denim panjang sang suami. Sebuah ciuman panjang kembali dimulainya dan terus bergerak turun melewati dada, pusar, lalu berhenti lama di pangkal paha.

     Napas Ali menjadi memburu-buru panas. Kelihaian Ilyana meruntuhkan segala pertahanan dirinya. Ia mengerang dengan wajah mendengak serta satu tangan memegang kepala Ilyana untuk membantu pergerakan wanita itu di bawah sana yang semakin cepat dan berani.

     Nada panggilan masuk secara tiba-tiba  mencampuri aktivitas. Ali begitu ingin mengabaikan, tetapi alunan yang berlangsung cukup lama itu sangat menganggu kebersamaannya dengan Ilyana.

     "Dek, berenti dulu!" Ali berkata sambil menahan kepala Ilyana agar tidak bergerak-gerak.

     Ilyana patuh. Dia melepaskan diri. "Biar aku yang ambil."

     "Dari siapa?" tanya Ali saat Ilyana telah mengambil handphone yang sudah dalam kondisi diam karena panggilan tidak sempat terangkat.

     Melangkah kembali pada Ali, Ilyana menjawab dan memberikan gawai dengan resah, "Mbak Sarah, Mas."

     Ali memijit pelipis melihat nama di layar ponsel.

     Sarah menelepon! Itu adalah satu pertanda bahwa kepulangannya tengah dinanti. Akan tetapi, meninggalkan Ilyana dalam kondisi tengah sama-sama menginginkan juga tidak mungkin.

     Menaruh gawai secara sembarang di ranjang, Ali menarik mendekat pinggang terbuka Ilyana. Pandangannya terangkat dan ia masih menemukan kegelisahan juga kebingungan di wajah wanita itu. Ia paham apa yang sedang Ilyana risaukan.

     "Ayo, lanjutin."

     "T—tapi, Mas—" Ilyana menahan dua lengan Ali yang hendak membawanya jatuh ke pembaringan. "Mbak Sarah gimana?"

     "Ini waktu aku sama kamu. Waktu kita berdua." Ali berkata sambil membelai pipi Ilyana. "Beberapa jam ke depan, aku punya kamu."

     Reaksi Ilyana masih hanya diam bimbang.

     "Tega kamu biarin aku begini tanpa dikasih pelepasan apa-apa?"

     Ilyana mengikuti pandangan Ali yang turun ke bawah dengan pipi merona merah. "Mas, ihhhh!" katanya, memukul manja bahu kokoh Ali.
    
      Pada akhirnya, Ilyana takluk pada hasrat juga tatapan mendamba sang suami terhadap dirinya. Kakinya lantas berlutut di bawah Ali seperti semula. Bibirnya terbuka untuk mengulangi penguasaan terhadap area sensitif milik Ali yang sudah sangat keras. Ibanya terhadap nasib Sarah hilang. Tidak lagi ada yang menjerat sisi wanitanya selain hanya rasa bahagia karena tengah bersama lelaki yang dicinta.

     Tidak berapa lama, panggilan kedua kembali datang dari nomor yang sama. Berbeda dengan sebelumnya, untuk kali ini Ali tidak membiarkan Ilyana berhenti sama sekali. Dirinya menurunkan nada panggilan sampai hanya menjadi getar, lalu berakhir dengan sendirinya.

     Waktu bergerak dan malam ikut merangkak meninggi. Mereka jatuh di atas ranjang dengan bibir menyatu. Pelukan tidak sedikitpun Ilyana lepaskan dari punggung gagah itu saat Ali memasuki dirinya, lalu bergerak dengan ritme lembut menjadi cepat dan makin cepat.

     Namun, kesenangan mereka tidak berlangsung lama. Ponsel lagi dan lagi menyala membawa panggilan ketiga dari Sarah. Meski derit ranjang yang ganas menyamarkan getarannya, Ali masih bisa menyadari itu. Tetapi, ia hanya melirik sekilas dan terus bergerak di dalam tubuh Ilyana seperti tidak terganggu sama sekali.

     "Mash—" Ilyana menggigit bibirnya kuat. Dirinya hampir berteriak akibat hentakan Ali yang begitu kuat. Lelaki itu mengetahui apa yang hendak dia utarakan. Sehingga, bungkaman paling tepat adalah dengan membuatnya kewalahan. Dirinya pun, menyerah.

     Getar masih terus berlangsung. Tetapi, percintaan mereka tidak ada tanda ingin diberhentikan oleh si lelaki.

     "Mas—mmmhh."

     Ali tetap tidak mengindahkan. Dia menutup mulut Ilyana dengan ciuman yang menuntut. Semua sulit untuk dijeda, apalagi dihentikan.

     "Bisa nanti," kata Ali saat Ilyana coba terus mengingatkan dengan memukul lemah dadanya.

     Sampai pada akhirnya, getar ponsel tidak lagi ada di atas ranjang mereka yang berantakan. Panggilan itu kembali terabaikan penuh kesengajaan. Kewarasan Ali tersesat dalam belantara nafsu. Begitu pula dengan Ilyana yang hanya mampu mengikuti segala perintah Ali.

     Akan tetapi, pengabaian hanyalah aman sesaat. Ketenangan itu masih cukup sulit untuk digapai. Di sela pergerakan Ilyana di atas tubuh Ali yang terbaring pasrah, panggilan ke empat datang lagi mengacau. Ali masih tidak acuh.

     Hal yang sama juga dilakukan Ilyana. Dia berusaha terus menikmati segala kekuasaan atas waktu, cinta dan raga sang suami. Namun, kelamaan sisi rasional dirinya seperti mengutuk keras apa yang tengah diperbuat. Ia tidak bisa melakukannya. Kebaikan-kebaikan Sarah menghantui pikiran. Akan begitu keji pabila keegoisaannya lebih jauh dari ini. Maka, ditahannya sebentar keinginan. Gerak pinggulnya dia hentikan. Ali menatap cukup bingung dan berusaha memancingnya untuk kembali bermain.

     "Mas—" Ilyana menahan tangan Ali. "Angkat dulu."

     Ali menatapnya cukup lama. Ia pun ... menyerah. "Maaf...."

     "Kasihan Mbak Sarah kalo terus-terusan didiemin."

     "Aku harus kasih alesan apa?"

     Ilyana menggeleng bisu. Ia tidak ingin memberi usul apapun.

    Ali memejamkan mata. Dihelanya napas beberapa kali agar alunan napasnya bisa pada posisi normal. Setelah merasa diri cukup siap, dipunggutnya telepon yang berada persis di samping kanan kepala, lalu menjawab panggilan tersebut, "Halo, Dek?" Tanpa melepas tatap dari Ilyana, Ali menyapa Sarah dengan nada manis lembut seperti biasa.

     "Kok, baru diangkat, Mas?" Tidak ada nada curiga atau amarah dalam suara Sarah.

     "Maaf. Hp-nya di kamar. Akunya dari tadi di ruang tamu."

     Ali menaruh ponsel di atas dadanya. Dua tangannya meraih pinggang Ilyana kembali, memerintahkan wanita itu untuk melanjutkan pergerakan. Tubuh yang saling berpadu, kecantikan Ilyana-nya yang menggoda, terlalu sia-sia bila dianggurkan begitu. Ilyana melotot menolak. Dia tidak mengabulkan permintaan itu dalam satu kali. Tetapi, Ali selalu memiliki banyak cara untuk membuatnya bertekuk lutut dan akhirnya bergerak dengan sendirinya.

     "Emang nggak kedengeran?" Sarah bertanya lagi.

     "Nggak sadar hp-nya aku silent."

     "Pulang jam berapa?"

     Ilyana membekap mulut saat tangan Ali tidak henti mempermainkan puncak dadanya. Ali menyeringai kecil. Dibalasnya perlakuan nakal itu yang membuat Ali hampir meloloskan erangan. Mereka bertatap-tatapan dengan tawa tertahan.

     "Kurang tau, Dek. Deby lagi rewel. Belum bisa ditinggal. Kamu tidur duluan aja, ya? Istirahat."

     "Deby sakit?" Sarah terdengar cemas.

     "Cuma lagi rewel aja, kok," jawab Ali. "Udahan dulu, ya. Aku lagi gendong Deby. Kalo Deby udah bisa ditinggal, aku langsung pulang."

     "Okey."

     "Maaf, ya, Sayang?"

     "Nggak pa-pa."

     Telepon terputus. Ali menaruh gawainya sembarangan.

     "Deby yang akhirnya jadi tumbal," gurau Ilyana.

     Ali terkekeh. "Kepepet."

    Sejatinya tidak ada yang bisa menakar batas dari sebuah percintaan di atas ranjang yang terjadi atas dasar kasih. Kepercayaan yang Sarah berikan, disepelakan. Ali kehilangan separuh akal. Kendali diri atas kebutuhannya sebagai lelaki, dia bebaskan hingga tidak peduli lagi pada waktu yang terbatas.

     Keduanya baru berhenti tidak karena memikirkan jam dinding yang telah berada di pukul sebelas malam, tetapi karena tubuh tidak lagi sanggup menerima dera surgawi dunia lebih banyak lagi.

     "Makasih banyak, Sayang.... Bangunin jam 12, ya?" Ali menggulingkan badan ke samping Ilyana setelah memberi kecup di dahinya. Dadanya yang basah naik turun dengan cepat. Napasnya tersengal-sengal.

     Bibir Ilyana mengukir senyum. "Sama-sama, Mas," ujarnya, menarik selimut di bawah kaki, lalu menyetel alarm untuk satu jam ke depan.

     "Anakku nggak kebangun, 'kan?" Ali melirik keberadaan Debyta.

     "Ngerti kalo Ayah Bundanya mau berduaan," sahut Ilyana.

     Ali tertawa. Keduanya bertukar ciuman sesaat sebelum terlelap dengan tubuh saling mendekap.

🍁

     Selepas pembicaraannya dengan Ali berakhir, Sarah hanya dapat menatap nanar layar ponsel dengan napas terhela panjang. Bibirnya terkatup rapat dan hatinya kembali ditekan paksa oleh rasa ikhlas. Setelah lahirnya Debyta, ketidak pedulian Ali terhadap waktu kebersamaan semakin sulit untuk ditolerir.

     Tidak. Ia sama sekali tidak menyalahkan atas hadirnya satu malaikat kecil yang menggemaskan itu. Bagaimanapun sulitnya mengikhlaskan hal-hal yang harus terabaikan karenanya, Debyta hanyalah seorang anak yang kelahirannya suci. Ia tidak menanggung dosa apapun atas semua sakit hatinya.

     Akan tetapi, sekeras apapun ia mencoba untuk mengabaikan biut-biut itu, pengabaian yang sudah berbulan terjadi ini tetap sangat menganggu kewarasannya sebagai istri. Itu sangat tidak menyenangkan. Rasa disayangi oleh Ali seperti tidak lebih dari sebatas selingan saja.

     Mencoba tetap tegar dan tenang, Sarah beranjak keluar kamar. Langkah-langkah tanpa suaranya meniti tangga dalam balutan redup cahaya menuju dapur. Secangkir teh sebelum tidur mungkin dapat membantunya menemukan satu rasa damai yang dapat membuat istirahatnya optimal.

     "Ayah belum pulang, Bang?"

     "Belum. Paling nanti abis jam 12."

     Larisa terkekeh getir mendengar jawaban itu. "Sekarang aja baru jam 10," katanya. "Pulang ke rumah sini cuma numpang makan sama tidur doang!"

     Kaki Sarah kontan berhenti mendengar ucapan pedas Larisa.

     "Tumben belum tidur? Tadi katanya ngantuk banget pas Abang ajakin keluar."

     Sarah tahu, Dimas sedang mencoba mengalihkan obrolan.

     "Kira-kira sampe kapan Ayah begini, ya? Kita kayak nggak ada prioritasnya sama sekali."

     Namun, Larisa adalah gadis yang ingin berterus terang mengenai perasaannya saat ini.

     "Tiap aku tanya, 'kenapa pulang telat?' jawabannya selalu Deby. Emang yang butuh cuma sana aja?!" ujar Larisa lagi, menahan kesal.

     "Deby masih bayi, Dek. Tante mungkin kerepotan. Kamu tau sendiri, 'kan, gimana repotnya ngurus bayi?"

     "Tapi, aku juga mau Ayah." Suara Larisa bergetar lemah. "Anak Ayah bukan cuma Yas sama Deby aja! Ayah emang pulang, tapi pulangnya Ayah ke sini kayak sebatas mampir aja, Bang. Gunanya apa kalo cuma gitu, doang?"

     Dimas terbungkam dengan hati teriris.

     "Punya Ayah, tapi kayak nggak punya Ayah!"

     Dimas memeluk tubuh sang adik. Saat itu juga, tangis Larisa pecah.

   "Lagi kangen Ayah pasti, ya?"

     Larisa membenarkan pertanyaan itu dengan isakan serta anggukan lemah. "Masa aku harus ngemis perhatian ke Ayah sendiri, sih, Bang? Masa harus aku juga yang minta waktu duluan ke Ayah?"

     "Ayah tetep sayang sama kita." Dimas mengecup kepala Larisa. "Tapi, keadaannya emang lagi gini. Jahat kalo kita nggak bisa ngertiin kondisinya Tante. Sabar, ya...."

     "Kasihan Mama juga. Emang Ayah nggak mikirin itu?!"

     "Sabar, ya.... Sabar...."

     Sarah berlari pergi dari tempat persembunyian. Ia hanya mampu meneteskan air mata tanpa bisa berbuat apa-apa meski sekadar menghapus air mata putri tercinta. Ia terlalu lemah untuk merangkul bahu kedua anaknya yang begitu kuat dalam memanggul seluruh kesakitan ini.

   "Maafin Mama.... Maafin Mama."

     Sarah terus menangis hingga tertidur dengan sendirinya diiringi beribu rasa lelah yang membelenggu. Ketenangan yang nihil didapat, rupanya mengalahkan letih dan membuatnya terjaga oleh nada panggilan di ponsel sang suami tepat di jam satu pagi dini. Suara berat suaminya itu terdengar menyusul menyambut seseorang di sana. Sarah tetap memejamkan mata, berpura tetap terlelap. Akan tetapi, dua telinganya tentu melakukan hal yang berkebalikan.

     "Udah mandi aja, sih?"

     Volume panggilan vidio itu masih mampu mencapai pendengaran Sarah. Ia mengintip. Didapatinya Ali sedang mengeringkan rambut dengan handuk di depan cermin sembari memegang telepon genggam.

     "Udah, dong!" jawab Ali, tersenyum.

     "Mbak Sarah mana, Mas?"

     Ali menoleh ke samping kanan melihat Sarah. "Udah tidur," balasnya. "Anakku kebangun, ya?"

     "Iya. Giliran kamu udah pergi dia baru bangun." Ilyana memperlihatkan posisi Debyta yang sedang diberi ASI. "Tapi, udah mau merem lagi, kok. Haus doang."

     "Perlu ditemenin nggak?" Ali menarik laci dan meraih sebatang rokok berserta korek api dari sana, lalu menuju jendela kamar dan membukanya. Udara dingin seketika menyerbu dadanya yang telanjang.

    "Nggak usah. Nanti kamu nggak istirahat-istirahat."

     "Bilang gitu, tapinya nelepon aku jam segini. Yang tadi kurang puas apa gimana, nih?" godanya dengan senyum manis menggoda.

     "Kurang puas dipeluknya. Kurang lamaaaa!" Ilyana menimpali, suaranya manja.

     "Sejam padahal."

     "Ih, maunya sampe pagi!"

      Ali terkekeh. "Dua hari lagi, ya, Cantik...."

     Ilyana tersenyum mengangguk. "Udahan dulu, deh, VC-nya. Waktu istirahat kamu abis nanti."

     Ali menaikkan sebelah alis, dihisapnya rokok dalam jepitan jemari. "Kamu udah mau tidur lagi emang?" tanyanya setelah membuang kepulan asap.

     "Belum. Kan, mau mandi dulu abis ini."

     "Kalo gitu aku temenin sambil ngabisin rokok," ujarnya, menunjukkan rokoknya pada Ilyana.

     "Jangan banyak-banyak ngerokoknya."

     "Baru ini doang. Rasanya kurang lengkap kalo abis bercinta nggak nyebat."

     "Telat banget! Bercintanya di sini ngerokoknya di situ!"

     Mereka tertawa-tawa.

     "Nggak pingin ini lagi, Mas?" Ilyana mendekatkan kamera ponsel pada payudaranya yang tidak ditutupi.

     Sudut bibir Ali membentuk satu seringai seksi. "Aku punya kata-kata buat itu."

     "Apaan, tuh?"

     "Sepasang dadamu adalah alasan mengapa aku terlambat pulang."

     Kontan, Ilyana tergelak. "Mas, ihhhhh! Maluuuuu."

     Setengah jam keduanya saling melempar bicara berisi goda. Ali lantas beranjak dari sana, meraih pakaian lalu berbaring di samping Sarah tanpa lupa memberi kecup sebelum tenggelam dalam lelap yang dalam.

     Tanpa suara, air mata Sarah kembali menitih pilu. Demi Ilyana, Ali telah mendustainya dengan cara yang paling tidak dia sukai dan berani menyelewengkan kepercayaan yang diberikan.

     Kendali dirinya pun, goyah. Ia membutuhkan tempat menangis. Dilepasnya rengkuhan lengan lelaki itu dan bangun dari ranjang. Senyum pahitnya timbul melihat lelaki itu tidak terusik sama sekali atas kepergiannya.

     "Ternyata, capek yang kamu bawa pulang ke sini bukan karena kerja, Mas."

     "Aku bakal berusaha terbiasa dibohongin kamu lagi, tapi tolong...., jangan kamu lupain Dimas sama Risa. Itu janji kamu."

     "Risa kangen kamu, Mas...." Sarah mengusap air matanya. "A—aku juga."

     "Jangan giniin aku terus, Mas...."

     Dengan cepat, Sarah memungut gawai. Namun, ia baru tersadar akan kapasitas baterai yang melemah. Tidak ingin berpikir lama, dia kemudian mengirimkan nomor Helmi menuju kotak pesan Ali dan menghubungi lelaki itu lewat sana.

     "Siapa?!"

     Nada ketus dengan suara serak diterima Sarah saat dua kakinya telah berada di balkon lantai dua yang sepi. Angin pagi dini berembus cukup kuat menyapu wajahnya yang basah. Helaian rambutnya ikut berkibar bersama-sama dengan gaun malam panjangnya yang menjuntai sendu.

     "Sarah."

     Hening terjadi. Helmi agaknya tengah mengumpulkan kesadaran.

     "Sorry. Aku kira siapa," tutur Helmi setelah beberapa detik. Nada suaranya pun, berubah lunak. "Abis nangis pasti, ya? Kenapa?"

     Sarah tidak bisa membendung air mata. Dirinya kali ini terisak secara bebas di antara riuh angin.

     "Oke. Aku temenin kamu nangis dulu."

     Helmi merubah mode panggilan suara menjadi vidio. Wajah ayu yang bersimbah air mata di bawah kelam langit malam membuat kantuknya lenyap. Ia tidak mengatakan apapun. Seperempat jam, dirinya hanya diam mendengar bagaimana isakan itu ternyata mampu membuatnya ikut merasa sedih.

     "Rasanya pingin pergi aja, Hel. Sakit banget...." adu Sarah, masih tersedu-sedu.

     "Apa yang udah Ali lakuin ke kamu?"

     Sarah bergeming. Ia masih terlalu malu untuk membeberkan apa yang telah Ali perbuat.

     "Apa yang bisa aku lakuin buat kamu, Sar?"

     "Besok temenin aku jalan bisa?" Sarah meminta dengan nada putus asa.

     "Bisa. Mau ke mana?"

     "Terserah kamu."

     Helmi mengangguk.

     "Kurang nyaman cerita lewat hp," ungkap Sarah.

     "Aku paham. Kamu emang butuh ruang yang lebih bebas," timpal Helmi, memahami keengganan Sarah untuk bercerita lebih rinci. "Masih pingin nangis?"

     "Suka banget liat aku nangis?"

     Helmi tertawa. "Nggak gitu, lho!" tepisnya. "Kalo masih mau nangis, jangan ditahan-tahan. Aku temenin sampe kamu puas."

     "Maaf, jadi ganggu waktu tidur kamu."

     "Jam berapapun kalo kamu yang gangguin nggak masalah, Sar!"

     "Mulai, deh, gombalnya!" Sarah mencibir sembari menyeka-nyeka air mata.

     "Serius ini!"

     "Awas aja kalo abis ini kamu ngetawain muka sembab aku!"

     "Sembab gitu tetep cantik."

     "Mulut buaya!"

     Helmi terbahak. "Kamu ganti nomor?"

     "Nomor suamiku." Sarah menjawab enteng

     "HAH?!" Helmi terkejut. "Serius? Tumben berani?"

     "Nakal dikit nggak pa-pa kali, ya?"

    "Gila-gila!" Helmi menggeleng-geleng  dengan senyum takjub.

     "Hel, makasih udah mau aku repotin." Sarah tersenyum.

     "Any time, Sar."

     "Aku tutup teleponnya."

     "Bisa langsung tidur lagi?"

     "Mau kompres mata dulu. Takut paginya nggak bisa ngebuka."

     Helmi menatapnya dengan kasihan. "Selamat istirahat, Cantik."

     Panggilan berakhir. Sarah kemudian menghapus jejak kejahatannya barusan dan mengetuk obrolan pesan antara Ali dan Ilyana. Hatinya lagi-lagi tertusuk sakit. Senyum mirisnya timbul melihat bagaimana keberanian Ilyana dalam menunjukkan cinta hingga mengirimkan gambar yang mampu membangkitkan jiwa lelaki Ali.

     "Ternyata begini, Mas." Ia menangis sambil tertawa getir. "Aku emang nggak bisa jadi sejalang Ilya di depan kamu."

     "Aku selalu kalah dari dia. Kemenanganku nggak lebih dari sebatas status istri sah."

     Bertemu pagi dengan cuaca kurang bersahabat, Sarah tetap menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja di hadapan Ali. Ia tetap menjalankan kewajiban utama sebagai ibu sekaligus istri. Obrolan-obrolan manis yang Ali bangun sepanjang perjalanan mengantarnya bekerja pun, dia tanggapi dengan baik tanpa cacat apapun.

     "Temenku ada yang ulang tahun. Dia bikin acara nonton bareng. Aku minta izinnya, ya, Mas?"

     "Cewek cowok?" Mobil Ali memasuki halaman luas pabrik yang ditempati Sarah.

     "Cewek, dong! Boleh?"

     "Sampe jam berapa?" telisik Ali lagi, memberhentikan kendaraan.

     "Nggak lebih dari jam sepuluh."

     "Malem amat, sih, Dek?"

     Kamu pulangnya lebih malem ! Sarah membatin marah. "Nanti aku usahain jam sembilan udah sampe rumah, kok. Boleh, ya?"

     "Abis nonton langsung pulang tapi!"

     "Makasih, Mas!" Sarah mengecup pipi Ali sekali.

     "Hati-hati, ya?" Ali mengusap kepala Sarah sebelum melepasnya keluar.

     Pada akhirnya, Sarah kalah oleh keadaan dan melakukan dusta demi berjumpa lelaki lainnya.

🍁

     16.30 Waktu Indonesia Barat, langit sudah berwarna abu-abu. Rintik kecil hadir memukuli atap kendaraan Helmi yang sunyi akibat keterdiaman Sarah. Kemelut hati dan pikirannya sejak malam tadi masih tidak kunjung hilang. Beruntung, Helmi mengerti atas semua yang terjadi kepadanya.

     "Punya rekomendasi tempat nongkrong nggak?" Helmi bertanya. Sudah hampir satu jam ia mengemudikan mobil tanpa tujuan.

     Sarah menggeleng. Tatapnya kosong ke arah depan.

     "Main ke rumahku mau nggak?"

     Sarah menoleh. Tanpa seucap kata ataupun tanya, ia mengangguk.

     "Beli makanan dulu. Kamu mau apa?" tawarnya. Sejujurnya, ia masih begitu terkejut, Sarah menerima ajakannya dengan sangat cepat.

     "Aku masakin mau nggak?"

     Helmi tertawa melihat Sarah. "Bahaya nggak?"

     "Kamu pikir aku bakal racunin kamu gitu?"

     "Tepatnya takut makin keracunan sama pesona kamu, sih, Sar!"

     Sarah berdecak. "Mau nggak jadinya?"

     "Ya, udah, kalo kamu maksa."

     Sarah mendengkus.

     "Bikinin aku nasi goreng aja."

     Tiba di kediaman Helmi, hujan menderas. Sarah tidak bisa menikmati makanan yang dibuatnya sendiri. Secangkir kopi di genggaman pun, hanya berkurang dua seruputan kecil yang tidak bisa menghangatkan hatinya yang muram.

     "Udah siap cerita, belom?" Helmi menggeser piring yang kosong dari hadapan. Ia tidak tahan melihat kemurungan Sarah.

     "Pindah ruang tamu aja, ya!"

     Helmi menuruti keinginannya. Mereka berpindah menunju sofa ruang tamu sembari membawa minuman masing-masing dan duduk bersisian.

     "Anak kamu nggak pulang ke sini?" Basa-basi Sarah bertanya. Matanya berlari menelusuri ruang tamu milik Helmi yang tertata rapi. Di beberapa sudut, dinding-dindingnya terpajang lukisan naturalisme yang serasi dengan nuansa.

     "Tadi bilangnya mau nginep di kos."

     Sarah mengerutkan dahi. "Kos? Kok, ngekos?"

     "Ngomongnya mau belajar mandiri."

     "Kamu izinin gitu aja, Hel?"

    "Rumah tanggaku udah ancur, Sar," ucapnya, memandang Sarah intens. "Aku nggak mau Adista manja. Gimana pun juga, dia harus belajar hidup kuat dan mandiri."

     Beda banget sama Mas Ali. Sarah tertegun dengan banyak sekali protes yang ingin dia utarakan atas ucap Helmi yang menurutnya keliru. "Yang penting dia nggak kehilangan figur kamu sebagai Ayah," timpalnya, bijak.

     Helmi tersenyum saja.

     "Kamu udah pernah liat maduku, 'kan?" Sarah bertanya.

     "Udah. Kenapa emang?"

     Sarah melipat bibir, matanya turun menatapi isi gelas yang mulai mendingin. "Menurut kamu, dia gimana?" tanyanya sembari menaruh gelas pada meja.

     "Cantik tentu." Helmi menjawab cepat dan mengimitasi gerakan Sarah. "Tipe-tipe perempuan yang nurutan dan nggak ngebantah suami," nilainya. "Cuma aku nggak suka sama yang modelan begitu. Nggak ada tantangannya."

     "Bukannya laki-laki suka yang begitu, ya?" Mereka bersitatap. "Karena dulu aku diduain karena nggak nurutin maunya suami," lanjut Sarah.

     "Nggak semua laki-laki begitu. Buktinya, aku malah suka kamu, Sar, timbang madu kamu."

     "Cantikan mana aku sama dia?"

     "Ya, kamu, lah!"

     Sarah tersenyum jengah dan melemparkan bantal di pangkuan. Helmi menangkapnya, lalu menggeser posisi untuk lebih dekat.

     "Aku sering dipuji cantik, tapi sama laki-laki yang punya wanita lain juga. Sampe suka nggak percaya sama pujian-pujian itu." Sarah melunturkan senyuman. "Aku ngerasanya, itu semua nggak lebih dari omong kosong buat nyenengin aku sesaat dong."

     "Termasuk pujian dari aku?"

     Sarah terkekeh sumbang. Matanya berair secara tiba-tiba. "Sulit buat percaya kalo aku secantik yang kamu bilang karena nyatanya di mata suami aku masih selalu kalah sama Ilya."

     Helmi mengusap bahu Sarah.

     "Aku kerja buat bantu ekonomi keluarga. Selama itu juga, aku nggak lalai buat menuhin tugas sama kewajibanku sebagai istri. Tapi, justru aku yang selalu jadi nomor  dua buat dia, Hel. Anak-anakku harus selalu ngalah sama anak-anaknya dia yang lain." Sarah menangis. "Aku nggak bisa diginiin terus-terusan. Rasanya sakit banget, Hel.... Tapi, aku nggak bisa ngapa-ngapain."

     Lengan Helmi melingkari bahu lemah itu. Sarah tidak mengelak saat ia menariknya ke dalam pelukan. Wanita itu justru semakin menunjukkan kerapuhannya dalam dekap yang haram dilakukan.

     "Kamu udah pernah ngomongin ini ke Ali?" tanyanya, mengusap punggung Sarah.

     "Udah. Sebelum Deby lahir dia janji nggak bakal abai sama aku terutama anak-anak. Aku coba buat bercaya, tapi sia-sia," tuturnya, sesak. "Kepercayaan aku cuma jadi mainan. Dia lebih milih Ilya timbang aku, Hel...."

     "Kenapa sampe punya pemikiran begitu?"

     Tanpa ingin menahannya lagi, Sarah menceritakan kebohongan yang Ali lakukan malam tadi diiringi uraian air mata. Beban-beban yang dia simpan dan tahan-tahan, juga dia keluarkan seluruhnya. Helmi mendengarkan dengan rengkuhan yang semakin erat seperti enggan melepas.

     "Apa tiap hari aku dibohongin pakek cara begitu, Hel? Kenapa dia sampe tega ngelakuin ini ke aku? Kenapaaa?"

     Suara Sarah sarat akan putus asa.

     "Aku kurang sabar yang gimana lagi? Aku kurang ikhlas yang gimana lagiiii?"

     "Kalo aku salah, salah aku di bagian mana biar aku benerin?"

     "Kamu nggak pernah salah. Please, jangan nyalahin diri sendiri." Helmi coba menguatkan.

     "Ilya yang kedua, Hel, tapi rasanya justru aku yang jadi bayang-bayang buat cinta mereka...."

     "Sampe kapan aku harus ngalah begini? Sampe kapan?"

     "Apa yang harus aku lakuin, Hel? Apaaaa?"

     "Aku bisa kasih kamu bahagia, Sar. Lepasin Ali."

     "Nggak bisa...." Sarah menggeleng-geleng. "Nggak segampang itu."

     "Kenapa?"

     "Anak-anakku cinta sama Ayahnya. Mereka nggak akan bisa ngelepasin."

     "Tapi, kamu juga perlu bahagia," balas Helmi. "Seiring waktu, anak-anak kamu pasti bisa ngerti dan nerima semuanya."

     "Tapi, mereka bakal kehilangan rumah."

     Helmi terdiam.

     "Mana mungkin mereka bisa bahagia, sedangkan rumah yang satunya tetep utuh, Hel?"

     Helmi semakin tidak bisa menjawab.

     "Aku nggak mungkin ngorbanin bahagia mereka demi bahagiaku aja."

🍁

     "Seminggu lalu Ayah ngajak temen ceweknya ke rumah. Ini bukan orangnya?"

     Riana menerima telepon genggam Adista dan memutar rekaman cctv yang terpasang di area teras depan, bagasi, juga ruang tamu rumah. Wajah Sarah yang telah sangat dikenalinya berada di sana. Wanita itu terlihat turun dari mobil, kemudian melewati teras dan baru terlihat kembali di sofa bersama Helmi dengan tumpahan air mata serta peluk yang tidak pantas dilakukan.

     "Iya," jawabnya, lesu. "Kirimin itu ke Tante."

     "Tante, mau ngasih tau ke suaminya?"

      Kepala Riana menggeleng bingung. Ia dilanda dilema besar. "Belum waktunya. Selain itu..., Tante takut salah."

     "Salah di bagian mananya?" tembak Adista retorik. "Meluk perempuan yang udah bersuami tentu bukan hal yang bener.  Rasanya nggak wajar banget kalo mereka cuma saling temenan, Tan."

     "Niat Tante nyari tahu soal ini semua biar rumah tangga dia tetep utuh. Tante bakal ngerasa bersalah kalo tindakan Tante justru bikin hubungan mereka memburuk," jelasnya. "Tante nggak mau itu."

     "Terus Tante mau nutupin ini semua sampe kapan?"

     "Tante bakal bicara sama Ayah kamu!" Riana memberi keputusan. "Ini mungkin bisa nyelametin hubungan Mas Ali tanpa harus ngasih tau yang sebenernya."

     Dengan tangan bersedekap, Adista menggeleng-geleng dan tersenyum sangsi. "Tante tau gimana Ayah. Dia nggak suka urusan pribadinya diusik. Aku rasa itu udah cukup jadi bahan pertimbangan."

     Ya! Riana tahu Helmi memiliki watak yang keras. Pria itu tidak akan mendengarkan perkataan orang lain bila berhubungan dengan apa yang tengah disukai.

     Melihat Helmi dari cara memperlakukan Sarah ketika di apotek waktu itu, hingga melihat bagaimana Helmi memeluk menenangkan tangis Sarah, ia langsung dapat menyimpulkan bahwa tujuan Helmi memberi itu semua tidak lagi atas dasar iba atau rasa tertarik sesaat. Ada ketertarikan besar yang melampaui batas aman. Dan Riana juga tahu, akhir dari semua ini bisa membuat Helmi menjadi sosok yang sangat berbahaya bagi keutuhan rumah tangga Ali Syahreza.

     "Tante bakal berusaha!" tandas Riana. "Ketimbang ngadepin Ayah kamu, Tante lebih nggak bisa liat dia hancur karena tau hubungan gelap istrinya."

    "Tante, secinta itu sama dia."

     Riana terkekeh mengakui. "Terlepas dari statusnya, menurut Tante dia emang sepantas itu buat dicintai."

     "Kenapa masalah percintaan orang dewasa selalu rumit, sih?" decaknya membuat Riana tertawa.

[ ]

Continue Reading

You'll Also Like

37.3K 2.4K 15
Main cast : - Oh Sehun - Bae Joohyun (Irene) - Park Chorong - Kim Jongin Other cast : -Kim Taehyung - yang lain akan menyusul sesuai alur cerita~ Gen...
7.4K 330 13
Kisah tentang konflik keluarga antara mertua, ipar vs menantu. ______ "Apa nih?" aku hampir memekik ketika kembali dari kamar Rafel ke kamar utama da...
494K 38.6K 24
Rava berselingkuh. Dia bahkan tidak menyadari bahwa Yasmin, istrinya, telah mengetahui hubungan gelapnya dengan Rana, gadis belia sekaligus rekan bis...
6.1M 315K 58
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...