Journal: The Lessons

By kenzaputrilia

4.4K 1K 1.4K

[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada bena... More

Journal
02 | Kensington
03 | Notting Hill
04 | Millennium Bridge
05 | Tate Modern
06 | Bankside
07 | City of London
08 | City Hall
09 | River Thames
10 | Greenwich
11 | Brixton
12 | Islington
13 | Islington Pt. II
14 | Highbury
15 | Camden Market
16 | Highgate
17 | Primrose Hill
18 | Lambeth Bridge
19 | Covent Garden
20 | Eye To Eye Gallery
21 | West End
22 | West End Pt. II
23 | Soho
24 | Andrew's Journal, Pt. I
24 | Andrew's Journal, Pt. II
24 | Andrew's Journal, Pt. III
25 | Euston Station
26 | London - Manchester
27 | Manchester
28 | The Stanleys
29 | The Stanleys, Pt. II

01 | Rendezvous

378 47 118
By kenzaputrilia

Setiap insan manusia adalah karakter utama dari jalan cerita hidupnya masing-masing. Layaknya sebuah film atau buku. Bedanya, tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya dalam alur cerita kehidupan. Semuanya mengalir begitu saja berupa teka-teki tanpa petunjuk bagaimana akhirnya. Tidak ada tombol rewind untuk memutar ulang suatu adegan atau balik ke halaman sebelumnya.

Selang nyaris satu dekade, jalan cerita hidup Zevania Sylvianna memasuki babak baru. Sekuel kisahku dengan London, kota favoritku sepanjang masa. Tiada hari yang terlewat tanpa doa kepada semesta agar dapat menapakkan kaki ke tanah impianku ini lagi.

London.

Nama kota itu terus menerus menghantui isi pikiranku selama perjalanan yang menempuh waktu nyaris 24 jam. Berbeda dengan diriku sepuluh tahun lalu, kali ini aku tidak sendirian. Aku pergi bersama Zevonio Nugraha, kembaranku, dan juga beberapa kru film yang harus berangkat lebih awal dari yang lainnya.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya aku mengambil cuti selama sepuluh hari untuk menemani Zevo yang bekerja sebagai location manager pada sebuah rumah produksi film. Latar lokasinya kebetulan sekali adalah London, kota yang selama ini selalu menjadi tujuan hidupku.

"Kesempatan ada di depan mata. Kapan lagi bisa kembali ke London?" Zevo tidak henti-hentinya membujukku agar ikut dengannya. Selain alasan itu, dia juga membutuhkan bantuanku yang pernah ke London untuk membantunya memberikan pendapat mengenai lokasi syuting untuk film yang akan digarapnya.

Sebenarnya Zevo sudah berulang kali memintaku untuk menemaninya setiap dia ada proyek yang mengambil latar tempat di luar negeri seperti Jepang, Belanda, Amerika Serikat, dan Australia. Hanya saja biaya perjalanannya ditanggung oleh kantong pribadiku sendiri. Rasanya kurang ikhlas harus mengorbankan tabungan yang sudah kusiapkan sejak sepuluh tahun lalu yang dibuat khusus untuk pujaan hatiku: London.

Begitu mendengar kabar dari Zevo bahwa latar film yang digarapnya adalah London, sejujurnya aku tidak perlu pikir panjang untuk menerima ajakannya. Sudah waktunya aku menggunakan tabunganku. Namun, mendadak aku jadi teringat dengan salah satu penduduk London.

London itu kota besar, Zeva. Aku mencoba untuk mengingatkan diriku sendiri. Kemungkinannya nyaris nol untuk bertemu dengannya bahkan ketika aku sengaja datang ke rumahnya. Bisa saja dia sudah pindah ke daerah lain atau ke negara lain atau jika memang dia masih tinggal di sana, belum tentu dia ada di rumahnya ketika aku datang. Ini bukan film.

Lagi pula untuk apa aku ke rumahnya? Belum tentu dia masih ingat denganku. Menghubungiku saja tidak pernah sama sekali.

Pesawat yang membawaku terbang dari Jakarta mendarat di London pukul delapan pagi waktu setempat setelah mengalami delay selama delapan jam di Istanbul. Berbeda dengan Zevo yang dapat tidur nyenyak selama perjalanan, aku terjaga sepanjang malam. Setiap aku mencoba untuk memejamkan mata, bayang-bayang London Eye, Big Ben, gedung pencakar langit di kawasan City of London, dan Tower Bridge selalu muncul dalam benakku layaknya potongan adegan pada film. Aku benar-benar merindukan kota itu. Rasanya lebih menggelisahkan daripada pertama kalinya aku ke London.

Bukan hanya tempat-tempat landmark London saja, melainkan bayangan dia—sosok yang menjadi alasanku ingin sekaligus enggan kembali ke London. Aku tidak tahu sebesar ini dampak seseorang yang hanya hadir kurang dari setahun dalam hidupku.

"Coba tidur sebentar." Zevo memandangku yang tengah menyantap sarapan di hotel tempat kami menginap. "Sejam atau dua jam cukup."

Ketika melihat pantulan diriku pada cermin, kuakui penampilanku memang menyedihkan. Meski sudah berusaha menutupi mata panda dengan concealer, itu tidak cukup untuk menutupi matanya yang kelelahan. Begitu sampai di hotel, aku hanya mandi dan mengganti baju, lalu mendatangi kamar Zevo yang tampak ogah-ogahan untuk segera berkeliling London.

Tidak peduli sekeras apapun usaha Zevo untuk membujukku agar beristirahat dahulu, aku bersikeras tidak mau melewatkan satu detik pun dari waktuku di London. "Lo punya sebulan, gue cuma sepuluh hari," adalah tamengku setiap Zevo menyuruhku tidur.

Sepuluh hari di London setelah sepuluh tahun berpisah. Aku bahkan tidak yakin waktu yang singkat itu cukup untuk mengobati rasa rinduku pada kota ini. Tidak ada yang tahu kapan aku bisa kembali lagi.

"Tadi juga sudah tidur di mobil." Aku meminum secangir teh hangat hingga tidak tersisa lalu mengecek ponselnya. "Sudah jam sepuluh nih. Ayo survei, Zev! Katanya masih ada satu tempat yang harus dicek pertama dulu. Galeri kan?"

Zevo, yang masih duduk di kursi, menahan lenganku. "Sebentar. Yang kerja kan gue, Nia. Lo cuma liburan. Jangan sampai terbebani gini."

Dikarenakan namaku dan Zevo sangat mirip. Jadi keluarga besar kami memberikan nama panggilan yang berbeda. Zevo untuk Zevonio dan Vania atau Nia untukku. Hanya mereka yang memanggilku ini. Aku dan Zevo tidak pernah satu kelas yang sama setiap bersekolah jadi tidak terlalu masalah dengan panggilan "Zev". (Ya, kami bahkan saling memanggil Zev.)

"No!" Aku menepis tangan Zevo dan membuat tanda silang menggunakan jari telunjukku. "Tidak ada kata beban apabila menyangkut segala aktivitas di London. Lagi pula sebelum ke galerinya—yang juga favorit gue—nanti kita bakal lewat beberapa tempat terkenal di London. Jadi santai aja sama kayak liburan."

"Oke, deh. Gue ikut lo aja." Zevo menyerah dan sadar bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan seorang Zevania Sylvianna yang sudah mabuk London. "Bang, saya duluan, ya. Mau survei tempat dulu." Dia membungkukkan badan dan berpamitan pada rekan kru film yang masih melahap sarapan dengan santai.

Sungguh berbeda denganku yang tampak buru-buru dikejar waktu. Padahal benar yang dibilang Zevo, aku di sini untuk liburan bukan bekerja.

Kami keluar dari hotel di daerah Lambeth yang terletak di pusat kota London. Pihak rumah produksi sengaja memilih tempat ini karena lokasinya yang berdekatan dengan beberapa landmark London yang tentunya akan menjadi latar lokasi syuting. Itu daya tarik filmnya.

Sebenarnya aku berharap mereka memilih hotel di daerah Islington.

Tidak. Fokus, Zevania.

"Tempatnya jauh gak dari sini?" tanya Zevo

"Lumayan kalau jalan kaki," jawabku dengan jujur seraya fokus pada layar ponsel yang menampilkan google maps. "Tapi gak bakal—"

"Iya, iya. Ayo jalan." Zevo mendorong pelan punggungku menuruni tangga lobi hotel. "Ke arah mana?"

"Sana." Aku menunjuk ke arah kiri kami setelah menyebrang. Jujur saja aku tidak pandai membaca google maps kalau di Bogor atau Jakarta, tapi khusus London aku adalah ahlinya.

Zevo dan aku berjalan berdampingan menyusuri trotoar kota London. Tidak ada yang spesial dari jalanan ini, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum selebar yang kubisa. Kuhirup udara musim panas London dalam-dalam, menikmati terpaan sinar matahari yang menyelinap di balik gumpalan awan di langit biru London. Tidak terlalu panas, tidak pula mendung. Aku suka udara London yang seperti ini.

"Indahnya musim panas di London." Aku ingin merutuki diriku sendiri setelah mengatakan hal cheesy itu dengan mata terpejam dan tangan membentang, seakan-akan aku berada di sebuah film romcom berlatar di London yang aku sering tonton demi melihat latarnya.

Notting Hill. About Time. Last Christmas. Love Actually.

"Lebay," komentar Zevo tapi aku tidak peduli. Dia berada beberapa langkah di belakangku. "Oh, iya kemarin lo pulang sebelum musim panas, ya?"

Bagus. Sekarang Zevo mengungkit masa laluku.

"Oh, double decker! Sudah pernah naik belum?" Aku membalikkan tubuh menghadap Zevo yang menatapku jengkel. Lalu aku menunjuk sebuah bus tingkat berwarna merah yang sangat mendunia jalan melewati kami.

"Pamer?"

"Cuma nanya."

"London nggak ada bedanya dari kota-kota yang gue pernah kunjungi."

"Pamer?" Aku mengulangi tanggapan Zevo yang menyebalkan.

"Cuma ngasih tahu," balas Zevo. Dia mempercepat jalannya hingga berdiri berdampingan denganku. "Lo kok suka banget sih sama London? Selain cowok yang—BIG BEN?" Zevo mengejutkanku setelah kami berbelok mengikuti arah trotoar.

"Lebay," cibirku padahal kalau Zevo tidak lebih dulu berteriak, maka aku akan melakukan hal yang sama (meski tahu bahwa Zevo juga berteriak untuk meniruku). Kami terus berjalan di sisi Sungai Thames hingga London Eye dan Big Ben semakin terlihat nyata.

Setelah berjalan selama sepuluh menit lebih, kami berhenti di Jembatan Westminster yang sangat legendaris dan terkenal di seluruh dunia. Selama perjalanan yang amat sangat panjang itu, Zevo tidak berhenti meledekku yang bisa berjalan kaki sedangkan di Indonesia ke mana-mana mengendarai motor. Aku diam saja, tidak bisa mengelak karena terserang fakta.

"Pasti ada scene di sini," aku menebak, mengingat jembatan yang diapit Big Ben dan London Eye ini menjadi bukti kalau kau berada di London. Wajib hukumnya masuk ke dalam film. Sekali lagi, daya tariknya filmnya.

"Tolong foto, Mba." Zevo menjulurkan ponselnya dan dia berpose di depan Big Ben.

"Norak," komentarku tapi tetap menyerahkan segala tenaga sampai lututku sakit karena mengambil foto Zevo dengan latar belakang Big Ben agar hasilnya memuaskan. "Gantian dong." Aku mengembalikan ponselnya, meminta Zevo memotretku menggunakan ponselnya, berfoto dengan latar Big Ben dan London Eye layaknya turis. (Memang turis.)

"Mau ke London Eye?" Ini yang kusukai dari Zevo karena kami saudara kembar: dia seolah-olah dapat bertelepati denganku. 

"Nanti. Ke galeri dulu." Aku mungkin terdengar sangat mengerti bahwa Zevo kemari untuk bekerja sebagai prioritasnya. Padahal, alasanku menunda adalah aku tidak ingin naik London Eye bersama Zevo. Ada satu orang yang ingin kuajak ke London Eye.

Tidak. Lupakan. Aku akan naik London Eye seorang diri. Kembali ke kenyataan.

"Ternyata jauh tempatnya." Aku menunjukkan ponsel pada Zevo yang menampilkan bahwa perjalanan dari lokasi kami ke galeri tujuan kami memakan waktu nyaris satu jam kalau berjalan kaki. Daerah Soho. Memangnya sejauh itu, ya? Aku sudah lupa.

"Naik Uber saja. Gimana?" Zevo menepuk ponselnya ke telapak tangannya.

"Mahal nggak?"

"Bisa klaim ke kantor," balas Zevo santai. "Apa nama tempatnya?"

"Eye To Eye Gallery."

Aku banyak mengikuti akun berbau London di instagram dan salah satu akun yang paling kusuka adalah londoneyetoeye, yang ternyata merupakan sebuah galeri yang terletak di Soho, London. Yang kusukai dari akun itu adalah fotonya yang diunggah berwarna hitam-putih, yang berwarna hanya warna merah. Aku menyukai perpaduan warnanya. Ketika Zevo bilang bahwa dia membutuhkan galeri untuk latar tempat salah satu adegan film yang digarapnya, aku langsung mengusulkan Eye To Eye Gallery.

Perjalanan dari Westminster Bridge ke Soho, lagi-lagi memamerkan indahnya pusat kota London. Dari Big Ben dan House of Parliament tentunya, melewati Westminster Abbey, gereja bergaya gotik yang telah menjadi saksi sejarah kerajaan Inggris, salah satunya adalah pernikahan Prince William dan Kate Middleton, yang kusaksikan sewaktu masih di bangku Sekolah Dasar. Kemudian, melewati Trafalgar Square yang kutebak pasti akan muncul di filmnya Zevo. Memasuki daerah West End, menyisir Charing Cross Road, sisi kanan kiri dipenuhi gedung teater yang tidak pernah masuk ke dalam daftar tempat yang akan kukunjungi di London.

Uber yang membawaku dan Zevo berhenti di pinggir jalan Crimson Lane, Soho. Kata sopirnya kami bisa berjalan kaki untuk ke galerinya. Aku mengecek maps dan benar, lokasi galerinya terletak di dalam sebuah gang yang hanya muat satu mobil. Mungkin kalau mobilnya ikut masuk ke dalam gang, sopirnya akan kesulitan untuk putar balik.

"Tidak sesuai titik. Bintang dua," komentar Zevo yang mengundang gelak tawaku. Aku tidak masalah kami harus berjalan sedikit untuk ke galerinya.

EYE TO EYE GALLERY

Terpampang nama tempat galeri tersebut pada dinding gedung yang berwarna maroon dan beige. Terdapat tulisan "OPEN" yang menunjukkan bahwa galeri tersebut sudah buka dan dapat dikunjungi.

Galeri ini akan digunakan sebagai lokasi syuting film. Zevo bilang dia sudah mengirim email proposal untuk menyewanya dan akan bertemu dengan pemilik galeri yang bernama Daniel Stanley.

Stanley. Kebetulan yang cukup memberiku serangan jantung begitu mendengar kabar dari Zevo. Kemudian, aku teringat bahwa barangkali tersebar jutaan orang yang memiliki marga Stanley di Inggris. Tidak seperti namaku yang bisa dibilang cukup langka di Indonesia.

Begitu memasuki gedung galeri, kami langsung disambut dengan deretan foto kota London yang identik dengan warna merah. Sebuah senyum merekah pada wajahku, foto-foto di galeri ini mirip dengan yang kulihat di instagram. Aku tidak percaya dapat mengunjungi galeri ini dan barangkali bertemu dengan pemilik ide brilian tentang foto hitam-putih dan merah.

"Welcome! I'm sorry we're just open. May I help you?"

Aku sontak menoleh ke sumber suara, muncul seorang pria yang baru saja menuruni anak tangga dan berjalan menghampiri kami berdua. Begitu aku membuat kontak mata dengannya, pria itu berhenti melangkah dan balas mengunci pandangan matanya padaku seolah-olah ada yang menekan tombol pause pada film hidupku.

Entah kebetulan ini bisa dibilang baik atau buruk.

Dari jutaan orang dan ribuan tempat yang tersebar di London, mengapa aku harus bertemu dengannya di tempat yang sengaja kupilih dan pada hari pertamaku di London?

Keheningan melanda selama beberapa saat hingga Zevo yang mengambil langkah pertama untuk memperkenalkan diri. "Hi, do you work here?"

"Yes, I work here." Pria itu menganggukkan kepala, tetapi matanya masih tidak lepas dariku yang membeku. Mata biru lautnya.

"My name is Zevonio Nugraha." Zevo mengulurkan tangannya pada pria itu. "I believe you've received an email about our visit today."

"Zevanio?" Pria itu baru melirik Zevo yang mengulurkan tangannya dengan canggung. Dia membalasnya jabatan tangannya. "My name is Andrew. Andrew Stanley."

"Andrew? An ... drew?" Zevo menoleh padaku dengan dahi yang berkerut sebelum sebuah senyuman tercetak pada wajahnya yang sangat menyebalkan. "Oh, she is my sister. Zevania Sylvianna."

Aku benar-benar ingin kabur dari sini juga. Langsung terbang pulang ke Indonesia dan menggali kuburanku sendiri. Lupakan semua tentang London.

"Andrew Stanley." Kini Andrew yang mengulurkan tangan padaku, seakan-akan dia bisa membaca pikiranku bahwa aku akan pergi jadi dia menahanku.

Bodoh. Jangan menipu diri sendiri, Zeva. Sepuluh tahun dan kau baru membaca jurnalnya tiga tahun yang lalu. Selama tujuh tahun aku tidak tahu bahwa Andrew sebenarnya memiliki rasa yang sama denganku. Selama tujuh tahun pula aku tidak tahu bahwa Andrew telah membaca isi jurnalku yang memalukan.

Aku memberanikan diri untuk membalas jabatan tangan Andrew. "Zevania Sylvianna."

Aku tidak sadar bahwa tangan kami saling berjabat dalam waktu yang lumayan lama hingga Zevo berdeham. Aku mencoba menarik tangan, tetapi pria bernama Andrew itu menahannya. "Funny how we've known each other for ten years yet this is our official introduction."

"Oh! You are THAT Andrew who—"

Aku menarik paksa tanganku agar terlepas dari Andrew dan mengalihkan pandanganku, memberikan sorotan tajam kepada Zevo agar tidak meneruskan ucapannya.

Dari sekian banyak galeri di London, mengapa harus Andrew yang berada di sini? Dan sedang apa Andrew di sini? Bekerja sebagai apa? Bukannya seharusnya dia berada di Arsenal? Menjadi kiper profesional seperti yang selalu dimimpikannya?

"Jadi sedang apa kalian berdua kemari?" tanya Andrew yang membuatku bertanya-tanya. Bukannya tadi Zevo sudah memberitahu bahwa dia sudah mengirimkan surel tentang kedatangannya?

Entah ini perasaanku saja atau bukan, tetapi kini Andrew berdiri lebih dekat denganku. Bukan berhadapan denganku, melainkan sedikit berada di sampingku. Tubuhnya menyerong berhadapan dengan Zevo. Membuatnya seolah-olah aku ke sini bersama Andrew, bukan Zevo.

Hanya perasaanku. Aku mencoba meyakinkan diri. Jangan terlena dengan pertemuan yang bahkan belum lima menit ini.

"Aku sedang menggarap sebuah film." Zevo mengambil sebuah proposal yang telah disiapkannya dari dalam ranselnya. Dia memberikannya berkas itu kepada Andrew. "Sudah kukirim melalui surel tapi ini salinannya."

Andrew menerima berkasnya dan membaca beberapa halaman depan sambil menganggukkan kepala. "Lalu?"

Aku memang cinta dengan London tapi aku berharap aku tidak mati di sini—aku lahir di Indonesia jadi aku ingin mati di Indonesia—dan jika aku tetap berada di sini, keinginan itu tidak akan terkabul. "Gue pergi cari angin dulu." Aku telah mengambil ancang-ancang untuk kabur tapi tertahan karena Zevo dengan sigap menahan lenganku.

"I am sorry. My English is not very good. My sister will help me to tell you," katanya tiba-tiba menggunakan aksen bahasa Indonesia yang kaku padahal sebelumnya dia dapat berbicara menggunakan bahasa Inggris dengan lancar. "My sister are graduated from high school in England," lanjutnya lagi, menggunakan penekanan pada kata "are" dengan pengucapan huruf "R" yang kuat, serta sengaja mengacak-acak tatabahasanya.

Aku memberikan tatapan tidak percaya kepada Zevo yang terlihat jelas tengah menahan senyumnya. Beribu penyesalan memenuhi kerongkonganku, disertai ribuan cara untuk membunuh Zevo. Aku bersumpah setelah ini akan membiarkan tubuhnya terjepit Tower Bridge.

"Okay. Could you please tell me what is this for?" Andrew kini memberikan tatapan yang sama seperti Zevo. Mereka berdua seolah-olah telah bersekongkol untuk merusak hari pertamaku yang indah di London.

Aku menghela napas panjang. Tidak repot-repot menyembunyikan wajah jengkelku di hadapan Andrew dan Zevo. Bagaimana mungkin aku tidak tahu bahwa Andrew bekerja di galeri ini?

Daniel Stanley itu siapanya Andrew?

"I don't get paid for this."

"But you'll thank me later." Kedua alis Zevo naik-turun, membuatnya benar-benar menyebalkan dan memuakkan.

"Oh ... seems like your English skills are back," balasku. Sekarang aku ingin menenggelamkannya di Sungai Thames.

Zevo hanya melemparkan senyuman manis yang terlihat dibuat-buat. "No, I use google translate."

Lelah berdebat dengan Zevo, akhirnya aku mengikuti jalan permainan berpura-pura tidak mengerti bahasa Inggrisnya. Aku menoleh pada Andrew, berusaha keras agar terlihat normal begitu menatap mata biru lautnya yang semakin mematikan. Wajah Andrew tentu saja menua dengan rambut-rambut halus di sekitar rahangnya. Namun, matanya tidak berubah. Mata biru laut yang amat kurindukan.

Fokus pada tujuan pertama.

"The point is they would like to ask for your permission to rent this place for shooting a film."

Selesai.

Aka masih tidak bisa mengontrol detak jantungku yang rasanya seperti ingin lompat dari tulang rusukku. Musim panas di London tidak seberapa dibandingkan di Bogor, tetapi aku merasa udara di sekitarku semakin pengap hingga aku kesulitan untuk bernapas. Aku ingin mengelak bahwa alasannya adalah kemunculan sosok Andrew Stanley, tetapi tidak bisa.

"You could talk to Daniel Stanley," jawab Andrew sambil membaca proposal. "He is the owner of this gallery."

"Your Dad?" tanya Zevo, dalam bahasa Inggris.

Andrew menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. Senyuman yang dulu paling sering kulihat. "Bukan, tapi pamanku. Dia sebentar lagi sampai," jawabnya seraya melihat jam di lengan kirinya. "Mau kuantar melihat-lihat galerinya dulu sambil menunggu?"

"Sure!" Zevo mengiyakan tanpa pikir panjang. Sementara aku masih menimbangkan segala hal memalukan yang kemungkinan akan diciptakan oleh Zevo untuk memojokkanku. "Come on. You bring me here. You say this is your favorite gallery."

Lihat? Aku sudah kehabisan kata-kata. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi selain tersenyum pasrah mengiyakan apapun yang dikatakan Zevo—meski memang benar apa yang dikatakannya bahwa ini adalah galeri favoritku. Andrew tahu galerinya adalah favoritku, sama seperti Andrew tahu aku menyukainya.

Dulu.

Iya, dulu.

"Follow me!" Andrew mengisyaratkan dengan tangannya agar kami mengikutinya menyusuri setiap bagian dari galeri yang memamerkan foto-foto dalam figura. Semakin memasuki galeri, semakin minim pencahayaan. Beberapa lampu berwarna kekuningan yang hangat menyorot ke setiap pigura yang kebanyakan adalah potret kota London.

Sejauh ini, aku memperhatikan Andrew tidak bertingkah laku aneh. Dari dulu dia memang aneh, hanya saja aku merasa Andrew kini sedikit berbeda. Dia jadi lebih banyak bicara. Andrew yang dulu hanya bicara apabila ditanya dan tampak tidak nyaman berada di sekitarku.

Sudah satu dekade, aku mengingatkan diri sendiri. Tentunya banyak sekali yang berubah. Andrew yang berdiri di hadapanku kini sama asingnya dengan pertemuan pertama kali antara aku dengannya di bandara sepuluh tahun silam. Andrew yang mengira aku adalah Gadis Eskimo. Aku tidak percaya itu kesan pertamanya terhadapku.

Dua pertemuan tidak terduga dan sama-sama pada hari pertamaku di London.

Apakah Andrew adalah duta kota London yang memiliki tugas tidak tertulis untuk menyambut kedatanganku?

Meski enggan melakukannya, aku ingin sekali bertanya banyak hal pada Andrew. Pertanyaan pertama tentunya mengapa dia bekerja di sebuah galeri? Mengapa dia tidak pernah terlihat di televisi baik sebagai kiper Arsenal atau Inggris? Mengapa dia begitu tenang begitu bertemu denganku seolah-olah dia tidak sama terkejutnya denganku? Apakah pertemuan kami ini tidak berarti baginya? Apakah dia menganggapku hanya sebatas teman lama?

Dan ... mengapa dia tidak hadir di bandara saat aku hendak pulang ke Indonesia? Aku tidak bisa menemukan jawabannya di jurnal yang Andrew tulis untukku.

Apakah Andrew juga memiliki banyak pertanyaan yang ditujukan untukku? Apakah Andrew sama penasaran sepertiku? Apakah Andrew juga ikut dihantui bayang-bayang selama sepuluh tahun itu?

Begitu banyak pertanyaan dan prasangka yang memenuhi kepalaku. Aku bahkan tidak mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulut Andrew ketika dia menjelaskan foto-foto koleksi galeri ini secara profesional seolah-olah film hidupnya sedang dalam mode mute.

"Kita lanjut ke lantai dua." Tiba-tiba lamunanku terpecah begitu Andrew menunjuk lift yang akan membawa ke lantai dua.

"Galeri ini besar bahkan ada lift." Zevo berbasa-basi khas orang Indonesia ketika kami bertiga berada dalam lift.

Andrew terkekeh pelan. "Tidak begitu besar. Pada beberapa kesempatan, galeri ini dibuka untuk pameran jadi agar lebih memudahkan pengunjung saja."

Pintu lift terbuka dan menampilkan beberapa foto yang tersebar di seluruh ruangan. Kali ini fotonya lebih beragam, tidak hanya pemandangan kota London. Aku mengekor dalam diam. Sebenarnya aku ingin memotret isi galeri ini dan mengunggahnya, tetapi rasa gengsi mengalahkanku. Aku berusaha keras agar tampak tidak antusias dengan tur galeri yang dipimpin Andrew ini.

Selain foto-foto, terdapat koleksi kamera dari berbagai macam model, merek, dan tahun pembuatan yang tertata rapi pada sebuah rak kaca yang menghiasi sudut dinding lantai dua galeri.

"Apakah kamera-kamera ini bisa dipakai?" tanya Zevo. menunjuk ke sebuah kamera tua yang tidak kuketahui jenisnya.

"Sebagian iya, sebagian tidak," jawab Andrew. Kemudian, matanya beralih padaku. "Dan di sini ada toko buku. Semua bukunya dijual."

Oh, jadi Andrew kini menganggapku hanya sebatas customer galerinya yang berpotensi untuk membeli buku?

Kebanyakan dari buku yang ditumpuk di sebuah adalah buku-buku tentang fotografi dan London. Mataku tertarik pada beberapa majalah pariwisata yang biasa dijumpai di pesawat. Dari majalah bersampul kepulauan tropis hingga gedung-gedung pencakar langit di kota metropolitan. Namun, tetap saja, landmark London masih mendominasi.

Ketika berbalik badan untuk menyusul Andrew dan Zevo, mataku langsung disambut oleh satu foto familiar.

"Ini ... Bali?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku begitu melihat sebuah foto Pura Ulun Danu Beratan Bedugul di Bali yang diambil pada waktu matahari terbenam dengan langit berwarna jingga keunguan. Pandanganku beralih pada catatan kecil di sudut bawah sebelah kanan foto. Tulisan: "Bali, Indonesia by Andrew Stanley" terpampang di sana.

Andrew, yang sudah berjalan agak jauh dariku, kembali menghampiri foto yang dipajang. "Uhm ... yeah. I went there."

"Oh." Hanya itu respons yang kuberikan padahal beribu pertanyaan lain telah memenuhi kepalaku.

So close yet so far.

"Lanjut ke lantai tiga?"

Lantai tiga adalah sebuah cafe kecil. Ada seorang pelayan yang masih merapikan meja. "Silakan," sapanya ramah.

"Biasanya orang-orang di dekat sini akan kemari untuk makan siang dan malam karena lebih murah dari restoran sekitar," katanya disertai tawa kecil.

Sudah bisa bercanda dia, pikirku. Namun, hati kecilku turut senang menyaksikan Andrew tidak kaku seperti dulu.

"Spesial untuk kalian berdua, tidak perlu membayar," lanjutnya.

"Thank you very much." Zevo masih menggunakan aksen bahasa Indonesia.

"Andrew?" Seorang pria paruh baya muncul dari balik pintu lift yang baru terbuka. Aku menduga dia adalah pemilik galeri ini, sekaligus pamannya Andrew. Menyadari kehadiran dua orang asing di hadapannya, dia bertanya, "Are they...?"

Andrew mengangguk, sepertinya dia telah memberitahu Daniel perihal penyewaan galeri ini. Dia memberikan proposalnya kepada sang paman. "He said they've sent you an email before."

"Hi, I'm Daniel Stanley. Thank you for waiting." Daniel berkata sopan seraya berjabat tangan denganku dan Zevo. "Yes, I've received the email. You are Mr. Nugraha?"

"Yes, I am." Zevo tampak menghela napas lega. Sepertinya dia kepikiran mengapa Andrew tampak tidak tahu tentang proposal dan kedatangannya.

"Call me Daniel. I've got something to show you about my gallery." Daniel mengangkat proposalnya. "Mind if we talk in my office on the fourth floor?"

Ketika aku hendak mengikuti Daniel, Zevo lagi-lagi menahanku. "I've told you that I'm the one who works here. You're not. So, enjoy your holiday," katanya dengan bahasa Inggris yang sungguh fasih. "And Daniel, she is my sister and she is so excited to help me. London is her favorite city. Her dream city. Oh, has Andrew told you that she was his school mate?" Kalimat itu ditujukan pada Daniel, yang semakin membuatku yakin bahwa Zevo tidak akan mencium tanah Indonesia lagi.

"Oh, that's surprising. What a small world. Andrew, you should take her around the city."




















————————

author's note:

aku tahu dulu aku pakai Daniel Seavey sebagai visualisasi Andrew versi 16 tahun tapi seiring berjalannya waktu, aku merasa Daniel ga cocok lagi jadi Andrew dan aku menemukan sosok yang pas... Andrew versi 26 tahun yaitu Declan Rice, pemain bola asal Inggris (yang rumornya bakal ke Arsenal musim depan. AAMIIN!!!)

SO THIS IS OUR 26 YEAR OLD ANDREW STANLEY



editan nih sayangnya beliau bukan kiper :(


Continue Reading

You'll Also Like

1M 42.8K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
361K 19.3K 27
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
773K 49.9K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
564K 106K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...